Sabtu, 30 November 2013

أداب المتعلم و المعلم; Sebuah Local Wisdom


التعريف بالمؤلف
اسمه ونسبه:
هو محمد هاشم بن اشعرى بن عبد الواحد بن  عبد الحليم الملقب بفاعيران بناوا بن عبدالرحمن الملقب بجاكا تيعكير سلطان هادى ويجايا بن عبدالله بن عبد العزيز بن عبدالفتاح بن مولانا اسحق والد رادين عين اليقين المشهور بسونن كيرى التبوايرنجى الجنبانى

Profil Pengarang
Nama dan Nasab Pengarang:
Yaitu Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (yang dikenal dikenal dengan sebutan Pangeran Benowo) bin Abdur Rahman (yang dikenal dengan sebutan Joko Tingkir Sultan Hadiwijoyo) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq )ayah Raden ‘Ainul Yaqin yang biasa disebut Sunan Giri( Tebu Ireng Jombang.

الباب الثانى
فى اداب المتعلم فى نفسه وفيه عشرة انواع من الاداب
الاول ان يطهر قلبه من كل غش ودنس وغل وحسد وسوء عقيدة وسوء خلق , ليصلح بذلك لقبول العلم وحفظه والاطلاع على دقائق معانيه والفهم لغوامضه.


BAB II
Etika Orang yang Sedang Belajar
Etika orang yang sedang belajar ada 10 macam, yaitu :

1. Membersihkan hati dari setiap tipu daya, kotoran, prasangka buruk, dengki, keyakinan yang buruk, dan budi pekerti yang buruk. Hal tersebut supaya hati pantas untuk menerima dan menghafalkan ilmu, dapat memahami beberapa makna ilmu yang amat rinci, dan dapat memahami kesamaran-kesamaran  ilmu.


الثانى ان يحسن النية فى طلب العلم بان يقصد وجه الله عزوجل والعمل به واحياء الشريعة وتنويرقلبه وتحلية باطنه والتقرب من الله تعالى ولايقصد به الاعراض الدنيوية من تحصيل الرياسة والجاه والمال ومباهاة الاقران وتعظيم الناس له ونحوذلك
.
2. Niat yang baik dalam mencari ilmu yakni dengan tujuan mencari Ridlo Allah, me-ngamalkan ilmunya, meng-hidupkan hukum Islam, meng-hiasi batin, dan mendekatkan diri pada Allah. Ingat ! Janganlah mencari ilmu dengan tujuan keduniaan yaitu berhasil memperoleh kemimpinan, pangkat, harta benda, unggul dari teman-teman, dimuliakan orang-orang, dsb.


الثالث ان يبادر بتحصيل العلم شبابه واوقات عمره, ولايغتز بخدع التسويف والتاءميل فان كل ساعة تمرمن عمره لابدل لها ولاعوض عنها وان يقطع ما قدر عليه من العلائق الشاغلة والعوائق المانعة عن تمام الطلب و بذل الا جتهاد وقوة الجد فى التحصيل, فانها قواطع طريق التعلم

3. Bergegas dalam belajar (menghasilkan ilmu) pada waktu muda dan beberapa waktu disisa umur. Jangan terbujuk dengan bujukan untuk menunda-nunda dan sekadar angan-angan belaka. Maka sesungguhnya waktu yang telah lewat  tidak bisa diganti.  Dan hentikan sesuatu yang menyibukkan dan yang mencegah dari kesungguhan dalam mencari ilmu, keseriusan belajar, dan usaha yang keras untuk menghasilkan (ilmu). Maka sesungguhnya semua itu kesemuanya hanyalah pemutus dan penghalang proses belajar.

الرابع ان يقنع من القوت واللباس بما تيسر فبالصبر على ادنى العيش ينال سعة العلم وجمع شمل القلب من متفرقات الامال ويتفجر فيه ينابيع الحكم .قال امامنا الشا فعي الله عنه لايفلح من طلب العلم بعزة النفس وسعة المعيشة , رلكن من طلبه بذلة النفس وضيق العيش وخدمة العلماء افلح.

4. Menerima makanan dan pakaian dari sesuatu yang  mudah diperoleh. Maka dengan sabar atas sempitnya penghi-dupan luasnya ilmu, pemusatan pikiran (konsentrasi), dan pan-caran beberapa sumber hikmah bisa diperoleh. Imam Syafi’i berkata. ”Tidak beruntung orang yang mencari ilmu dengan harga diri dan keluasan penghidupan. Akan tetapi, beruntung bagi orang yang mencari ilmu dengan  diri yang hina, sempitnya penghidupan, dan melayani ulama’.

والخامس ان يقسم اوقات ليله ونهاره ويغتنم ما بقي من عمره , فان بقية العمر لاقيمة لها,
واجود الاوقات للحفظ الاسحار, للبحث الا بكار, وللكتابة وسط النهار, وللمطالعة والمذاكرة الليل, واجود اماكن الحفظ الغرف وكل موضع بعيد عن الملهيات ولا يحسن الحفظ بحضرة النبات والخضرة والانهار وضجيع الاصوات

5. Membagi  waktu malam dan siang dan mengambil kesempaan dari sisa umur yang ada. Maka sesungguhnya sisa umur itu tidak ternilai harganya. Sebaik-baiknya waktu yang digunakan untuk menghafal adalah waktu sahur. Untuk diskusi adalah waktu pagi, untuk menulis adalah waktu tengah hari, dan untuk muthola’ah serta mengingat-ingat (review) adalah waktu malam hari. Sebaik-baiknya tempat untuk menghafal adalah kamar dan tempat yang jauh dari hiburan. Tidak baik menghafal sesuatu di depan tumbuhan, hijau-hijauan, sungai-sungai, dan suara-suara yang bergemuruh.

والسادس ان يقلل الاكل والشرب فان الشبع
 يمنع من العبادة ويثقل البدن, ومن فوائد قلة الاكل صحة البدن ودفع الامراض البدنية, فان سببها كثرة الاكل وكثرة الشرب كما قيل :
فان الداء اكثر ما تراه # يكون من الطعام او الشراب
وصحة القلوب من الطغيان والبطر, ولم ير احد من الاولياء والائمة والعلماء الاخيار يتصف او يوصف بكثرة الاكل ولاحمد به, وانما تحمد كثرة الاكل من الدوات التي لاتعقل وترصد للعمل

6. Sedikit makan dan minum. Sesungguhnya kebanyakan makan bisa merintangi orang beribadah dan memberatkan badan. Termasuk faedah-faedah sedikit makan ialah badan yang sehat, dan mencegah penyakit dari tubuh, karena sesungguhnya sebab-sebab penyakit tubuh adalah dari kebanyakan makan dan minum, seperti disebutkan dalam syair:
“ Sesungguhnya kebanyakan penyakit seperti apa yang kamu lihat adalah berasal dari makan dan minum yang berlebihan”.
Dan  membersihkan hati dari kedzaliman dan sombong. Tidak  didapati dari para wali, imam, dan ulama pilihan yang mempunyai sifat diatas (banyak makan) dan hal tersebut amat tidak terpuji. Banyak makan itu lebih baik untuk ternak (kerbau dan sapi) yang tidak berakal dan digunakan untuk bekerja.

والسابع ان يؤاخذ نفسه بالورع والاحتياط في جميع شأنه ويتحرى الحلال في طعامه وشرابه ولباسه ومسكنه وفي جميع ما يحتاج اليه ليستنير قلبه ويصلح لقبول العلم ونوره والنفع به , وينبغى له ان يستعميل الرخص في مواضعها عند الحاجة اليها و وجود سببها, فان الله يحب ان تؤتى رحصه كما يحب ان تؤتى عزائمه.

7. Orang yang sedang belajar supaya menuntut dirinya dengan wira’i dan berhati-hati disemua tindak lakunya, memilah dan memilih sesuatu yang halal dalam hal makanan, minuman, pakaian, tempat ting-gal, dan segala kebutuhannya.
Semua itu supaya hati menjadi terang, cocok untuk menerima ilmu, cahaya ilmu, dan manfaat ilmu. Dan sebaiknya orang yang belajar untuk mengamalkan beberapa macam rukhshoh (Kemurahan) pada tempatnya ketika ada hajat (kebutuhan) yang memang diperbolehkan untuk melakukan rukhshoh, dan adanya sabab rukhshoh. Sesungguhnya Allah menyukai jika rukhshoh dari-Nya dilakukan seperti Allah menyukai jika ‘Azimah-Nya (hokum asli) dijalankan.

والثامن ان يقلل استعمال المطاعم التي هي من اسباب البلادة وضعف الحواس كالتفاح الخامض والباقلاء وشرب الخل وكذلك ما يكثر استعماله البلغم المبلد للذهن والمثقل للبدن ككثرة الالبان والسمك واشباه ذلك, وينبغي ان يجتنب ما يورث النسيان بالخاصية كاكل اثر سورالفأر وقراءة الواح القبور والدخول بين جملين مقطورين والقاء القمل حيا.
8. Orang yang sedang belajar supaya menyedikitkan memakan makanan yang menyebabkan kebodohan dan lemahnya panca indera, seperti apel yang asam, kacang-kacangan, meminum cukak. Dan seperti yang telah diuraikan tersebut yaitu berlebihan memakan makanan yang mengandung lendir yang bisa membuat akal bodoh dan memberatkan bagi tubuhnya seperti kebanyakan meminum susu dan ikan laut. Orang yang sedang belajar seyogyanya menjauhkan diri dari sesuatu yang menimbulkan lupa secara khusus seperti memakan sisa makanan yang dimakan tikus , membaca batu nisan kubur, berada diantara dua unta yang berdampingan, dan membuang kutu dalam keadaan hidup.

والتاسع ان يقلل نومه مالم يلحقه ضرر فى بدنه وذهنه ولايزيد فى نومه فى اليوم والليلة على ثمان ساعات وهو ثلث الزمان, فان احتمل حاله اقل منها فعل. ولابأس ان يريح نفسه وقلبه وذهنه ويصره اذا كل شيء من ذلك وضعف بتنزه وتفرج فى المتنزهات بحيث يعود الى حاله ولايضيع عليه

9. Orang yang sedang belajar supaya menyedikitkan tidurnya selagi tidak membahayakan bagi badan dan hatinya. Dan jangan menambahkan tidurnya sehari semalam lebih banyak dari delapan  jam. Delapan  jam adalah  sepertiga hari. Maka jika orang yang sedang belajar mampu lebih menyedikitkan dari keadaan yang semula yaitu delapan  jam, maka kerjakanlah. Dan tidak buruk mengistirahat-kan diri, hati, akal, dan penglihatan ketika lemas dan lelah dengan bertamasya, membebaskan diri di taman-taman, jika hal itu bisa menyegarkan (me-refresh) pikiran dan tidak menyia-nyiakan waktu pencari ilmu tersebut.

والعاشر ان يترك العشرة فان تركها من اهم ما ينبغي لطالب العلم ولاسيما لغير جنس خصوصا ان كثر لعبه وقلت فكرته. فان الطبع سراق. وافة العشرة ضياع العمر بغير فائدة وذهاب الدين اذا كان مع غير اهله,  فان احتاج الى من يصحبه فليكن صاحبا صالحا دينا تقيا ورعا زكيا كثير الخير قليل الشر حسن المروءة قليل الممارات ان نسي ذكر وان ذكر اعانه.

10. Orang yang sedang belajar supaya meninggalkan pergaulan, sebab meninggalkan pergaulan itu suatu perkara yang paling penting yang patut untuk para pencari ilmu. Apalagi bergaul dengan lain jenis secara khusus jika ia kebanyakan bermain, dan sedikit  berfikir, maka para penari ilmu itu akan terpengaruh olehnya.
Bahayanya pergaulan adalah sia-sianya umur dengan tanpa faedah dan hilangnya agama ketika orang yang sedang belajar bersama lain agama.
Maka jika orang yang sedang belajar butuh seseorang untuk menemaninya, maka orang tersebut harus menjadi teman yang baik, kuat agamanya, banyak taqwanya, wira’i, bersih, banyak kebaikan-nya, sedikit keburukannya, baik kepribadiannya, sedikit ber-bicara, ketika ia lupa temannya mengingatkan dan ketika ia ingat temannya membantunya.




Dimuat di majalah tahunan “EL_QUDSY” edisi 20/2012, diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Qudsiyyah (PPQ).


Minggu, 24 November 2013

Maraknya Perda Berbasis Syariah; Eksistensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia



Oleh: Saifuddien Djazuli, S.H.I[1]
Peraturan daerah (perda) merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang muncul belakangan seiring dengan munculnya era otonomi daerah. Pasca reformasi konsep desentralisasi pemerintahan sangat terasa ketika muncul Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian disusul dengan ditetapkannya TAP MPR No. III/MPR/2000 yang didalam mengatur tentang pengakuan peraturan daerah sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kemudian peraturan diatas diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Table.1 Perubahan Hirarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

TAP MPRS No.   XX/MPRS/1966
TAP MPR No. III/MPR/2000
UU No. 10 TAHUN 2004
UU No. 12 TAHUN 2011
UUD 1945
UUD 1945
UUDNRI TH 1945
UUDNRI TH 1945
TAP MPR
TAP MPR
--
TAP MPR
UU/PERPU
UU
UU/PERPU
UU/PERPU
PP
PERPU
PP
PP
KEPPRES
PP
PERPRES
PERPRES
Peraturan Pelaksana lainnya: PERMEN, INMEN
KEPPRES
PERDA (Prov, kab/ kota dan Perdes)
PERDA PROVINSI

PERDA

PERDA KAB/KOTA

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[2] Dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, salah satu kewajiban pemerintah daerah di era otda adalah membentuk peraturan daerah sesuai ruang lingkup kewenangannya.
Kalau melihat perkembangan perda, perda banyak bermunculan mulai tahun 2004, begitu juga dengan perda bernuansa syariat islam. Secara historis-yuridis, landasan hukum yang dipakai dalam pembentukan perda bernuansa syariat islam ini adalah UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 10 Tahun 2004 yang pada saat sudah diganti dengan UU No.12 Tahun 2011. Pada tahun 2004 ada sekitar 17 perda bernuansa syariah yang muncul di berbagai wilayah, NAD, Sumbar, Lampung, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Hal ini merupakan sebuah bukti nyata bahwa era otda memberikan ruang yang begitu luas bagi pemerintah daerah dalam mengatur kehidupan wilayahnya, termasuk kehidupan beragama.
Secara konstitusional, Peraturan daerah bernuansa syariat islam pada dasarnya tidak ada yang perlu dipersoalkan. Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008 juga menetapkan bahwa perda yang bernuansa syariat tidak inkonstitusional. Akan tetapi yang menjadi persoalan dan perdebatan di berbagai kalangan adalah dari segi teori hukum, materi muatan peraturan, system hirarki perundang-undangan.

Teori Hukum
Penerapan hukum agama ke dalam hukum positif sebuah Negara sudah berlangsung lama sejak dulu. Sejarah hukum pada abad IX menggolongkan beberapa aliran hukum, aliran hukum kodrat dan aliran positivism hukum. aliran hukum kodrat menguji validitas hukum buatan manusia dimana standar regulasinya adalah kitab suci dari agama samawi, sedangkan positivisme hukum yang walaupun melakukan juga uji validitas hukum akan tetapi standar regulasinya adalah juga undang-undang yang lebih tinggi yang disebut konstitusi. Kemudian aliran positivism hukum dikembangkan oleh Hans Kelsen dengan staatsgurndnorm dan Hans Nawiasky dengan staatsfundamentalnorm.
Perkembangan teori di atas sampai di Indonesia pada abad XIX dalam bentuk teori receptie incomplexu oleh Van den Berg, teori receptive oleh van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje, dan teori receptie balik (receptie a contrario) oleh Hazairin dan Sajuti Thalib. Ketiga teori inilah yang mempengaruhi proses akulturasi dan asimilasi norma-norma hukum Islam menjadi sebuah hukum positif atau hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Teori receptie a contrario telah melahirkan produk UU bernuansa syariat Islam antara lain UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Perbankan Syariah, UU Pelaksanaan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat dan sebagainya. Puncaknya adalah lahirnya Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang memberi jaminan hukum tentang pelaksanaan Syariat Islam sebagai hukum materiil yang digunakan di Aceh, mengembangkan dan mengatur pendidikan sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan dan menyelenggarakan kehidupan adat dan peran serta kedudukan ulama dalam penerapan kebijakan daerah. Apalagi kemudian diperkuat lagi dengan Undang-Undang nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan keleluasaan kepada Aceh untuk membuat qanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam.
Konsekwensi logis dari teori receptie a contrario adalah adanya personalitas keagamaan. Dengan kewajiban, dimana bagi penganut agama tertentu hanya berlaku hukum agama mereka, tidak ada paksaan kepada penganut agama lain untuk mengikuti hukum yang bukan hukum agama mereka. Dalam bahasa yang sederhana, hukum Islam untuk umat Islam, hukum Budha untuk umat Budha dll. Dalam konteks ini, seperti perda wajib bisa membaca al-Qur’an, menutup aurat dan membayar zakat atau infaq, hanya wajib dilaksanakan oleh umat Islam yang berdomisili di daerah yang memberlakukannya, sementara umat agama lain tidak wajib untuk itu meskipun bertempat tinggal di wilayah perda tersebut diberlakukan. Hal ini senada dengan Perda di Bali yang mengatur tentang Perayaan Nyepi dan Perda tentang cara Pembakaran Mayat di Toraja, dimana perda-perda ini hanya berlaku untuk umat agama yang bersangkutan.
Apakah teori receptie a contrario akan terus digunakan dan berkembang atau sebaliknya? Karena latar belakang adanya teori ini adalah respon dari teori receptive. Selain itu, apakah teori ini akan terus bertahan seiring dengan perkembangan teori hukum positif yang sesuai dengan system hukum Indonesia, eropa continental.

Materi Muatan Peraturan Daerah
Dalam pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 menjelaskan bahwa Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugaspembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Berbeda dengan UU No. 10 Tahun 2004, dalam UU No. 12 Tahun 2011 pasal 15 menjelaskan bahwa materi muatan sebuah perda dalam mencantumkan ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Menurut Dr. Rumadi, MA, perda bernuansa syariat Islam dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu pertama, perda yang terkait isu moralitas masyarakat secara umum. Kedua, perda yang terkait fashion dan mode pakaian. Ketiga, perda yang terkait “keterampilan beragama”. Keempat, perda yang terkait pemungutan dana sosial dari masyarakat, yaitu perda zakat, infak dan shadaqah. Dari keempat kategori di atas yang menjadi perdebatan dalam ranah system hukum di Indonesia adalah perda yang terkait fashion dan mode pakaian. dan “keterampilan beragama”.
            Persoalan yang menjadi pro-kontra terkait materi muatan perda bernuansa syariat antara lain sebagai berikut, pertama, materi muatan perda bernuansa syariat islam dinilai eksklusif dan mengkikis nilai islam yang rahmatan lil ‘alamin serta tidak sejalan dengan semangat ideology bangsa Indonesia. Kedua, materi muatan perda bernuansa syariat Islam bertentangan dengan beberapa asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang tertuang dalam pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011, yaitu kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, kesamaan kedudukan dalam hukum dan Pemerintahan. Ketiga, lahirnya sebuah perda yang bernuansa syariat Islam dinilai sebagian kalangan sebagai eforia politik lebih parah lagi menjadi komoditas politik, khususnya pencitraan.
            Dengan bertambahnya materi muatan perda, yaitu ancaman pidana dan denda, hal ini dapat memberikan peluang lebih besar dalam intervensi pelaksanaan perda bernuansa syariat Islam kepada masyarakat. Padahal selama ini, dalam pelaksanaannya perda bernuansa syariat Islam masih menuai kontroversi, kurangnya pengawasan, munculnya diskriminasi, tidak diakomodirnya kaum minoritas dan sebagainya. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan anomaly terhadap hukum Islam dan Islam itu sendiri.

Epilog
            Peraturan Daerah sebagai bentuk peraturan perundang-undangan paling bawah dalam hirarki peraturan perundang-undangan, sudah sepatutnya menerapkan asas hukum lex supperiori derogat lex inferiori (hukum yang ada di bawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang di atasnya). Sama halnya posisi Ijma’ dalam hirarki hukum Islam, Ijma’ tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Apabila kita lihat dari sisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sendiri, terbitnya perda syariat Islam justru telah menabrak kewenangan Pemerintah Pusat. Dalam pasal 10 ayat 3 huruf f menjelaskan bahwa masalah agama menjadi otoritas pemerintah pusat, bukan kewenangan pemerintah daerah. Otonomi daerah perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang atau peraturan sendiri yang tidak memiliki landasan peraturan lebih tinggi. Sebagai contoh perda yang sesuai dengan peraturan di atasnya adalah perda tentang pengelolaan zakat.
Paradigma pembaharuan hukum Islam harus disikapi secara arif dan bijaksana, perda bernuansa syariat islam tidak dipungkiri akan terus bermunculan, sebagai konsekwensi adanya Undang-undang bernuansa syariat Islam, UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Pengelolaan Zakat dan sebagainya. Proses pengawasan perda dengan executive review dan judicial rivew harus terus dilaksanakan. Meskipun perda bernuansa Islam ini berdampak positif bagi sebuah daerah, tetapi juga menuai pro-kontra terlebih dalam tataran praktis dan pelaksanaannya. Oleh karena itu penerapan perda bernuansa syariat Islam saat ini di berbagai daerah perlu dikaji kembali dan eksistensi hukum islam tidak harus melalui legislasi dalam peraturan perundang-undangan. Living law of Islamic law better than legislation of Islamic law.


[1] Alumni Madrasah Qudsiyyah angkatan tahun 2004. Tulisan ini dimuat di majalah tahunan “EL_QUDSY” edisi 20/2012, diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Qudsiyyah (PPQ)


[2] Pasal 1 UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah