Oleh: A. Musyaffa’ (XI A)[1]
Tak bisa dipungkiri, kenangan bangsa Indonesia yang
pahit berupa penjajahan oleh koloni Belanda masih melekat di hati rakyat
Indonesia.Mereka menindas rakyat secara biadab,baik itu yang menganut maupun
yang membangkan.Salah satu pembangkan itu adalah suku Samin.
Suku samin,begitulah mereka dikenal.Sekelompok
masyarakat berbudaya yang tinggal di wilayah Blora, dan sebagian bermukim di
wilayah Bojonegoro,Jawa Tengah.Simbol identitasnya sangat khas yang bisa ditinjau
dari segi pakaian, alat-alat gerabah, juga bahasa yang mereka gunakan
sehari-hari untuk berkomunikasi. Dari segi pakaian kebanyakan dari mereka
menggunakan baju berlengan panjang, tidak berkerah, dan berwarna hitam.
Kelompok ini mempunyai aturan dan cara hidup yang bisa
dikatakan membingungkan dan tidak wajar,sehingga kerap kali menimbulkan rasa
penasaran.Budaya mereka lebih tertuju kepada hakekat manusia sebagai kholifah
di bumi dan ajaran-ajaran yang sepatutnya dimiliki oleh manusia sebagai makhluk
Tuhan.
Asal-usul suku Samin sendiri adalah merupakan
keturunan dari Raden Kohar atau dikenal dengan Raden Samin Surosentiko yang
lahir pada tahun 1859 M dan wafat pada tahun 1914 M.Beliau adalah putra Raden
Surowijaya atau biasa disebut Samin Sepuh yang berasal dari Randhublatung ,Blora.Menurut
kaum Samin di desa Tapelan, Samin
Surosentiko menguasai Aksara Jawa, yang dapat dibuktikan dalam buku
peninggalannya yang disebut Serat Jamus Kalimasada.
Ajaran Suku Samin termaktub dalam buku yang diberi
nama Serat Jamus Kalimasada.Didalamnya antara lain mencakup serat Uri-Uri
Pambudi yaitu berisi tentang budi pekerti manusia sebagai makhluk Tuhan Selain
itu ajaran samin juga terdapat pada Serat Pikukuh Kasajaten yang isinya
mencakup hal-hal tentang kenegaraan yang intinya dikatakan bahwa sebuah negara akan
sejahtera apabila bisa membangun sebuah peradaban, dan dapat menguasai ilmu
pengetahuan serta kehidupan damai di lingkungan masyarakat.
Inti dari ajaran kebatinan Surosentiko ini adalah
pengetahuan tentang keberadaan Tuhan
Yang Maha Esa,serta larangan dan tindakan saling mencurigai dan
berprasangka kepada sesama.Menurutnya manusia mempunyai hati nurani yang dapat
membedakan antara sesuatu yang benar dari sesuatu yang salah, sehingga terjalin hubungan harmonis antar sesama
makhluk Tuhan.Akhirnya,manusia dapat mengetahui hakekat dari kehidupan mereka
di dunia.
Ajaran Saminisme sendiri sejatinya merupakan ajaran
kebatinan yang mengandung nafas kerakyatan, namun lambat laun berkembang menjadi
ajaran perlawanan kepada penjajah kolonial Belanda. Surosentiko menggunakan
Serat Jamus Kalimasada kepada para pengikutnya untuk melawan penjajah Belanda, seperti
ia menyuruh para kaum Samin untuk tidak membayar pajak, ronda malam dan kerja
paksa kepada kolonial Belanda.
Seiring dengan berjalannya waktu, ajaran Surosentiko
alias Saminisme semakin menyebar luas ke beberapa daerah.Berawal dari desa
Klopodhuwur, Blora. Samin Surosentik sukses menyebarkan ajarannya sampai
Bojonegoro, Alhasil pada tahun 1903 pihak Residen Rembang, Jawa Tengah
melaporkan kepada kolonial Belanda bahwa ada sekitar 700 orang yang menjadi
penganut ajaran Saminisme yang tersebar di 34 wilayah desa di Kabupaten Blora bagian selatan hingga
mencakup sebagian daerah Kabupaten Bojonegoro. Dengan adanya laporan tersebut sontak membuat pihak
kolonial Belanda menjadi was-was karena pesatnya sebuah ajaran, yang cenderung
mereka sebut sebagai ajaran pemberontakan.
Tidak selesai sampai disitu, tepatnya pada tahun 1907,
jumlah pengikut kaum Samin sudah mencapai lima ribu orang, sehingga sontak para
kolonial Belanda segera melakukan tindakan untuk mencegah persebaran kaum Samin
tersebut.Alhasil banyak dari suku Samin
yang dijebloskan dalam tahanan dan ada
pula yang diasingkan ke luar jawa.Sementara itu pada tanggal 8 November 1907
Samin Surosentiko diangkat menjadi Ratu Adil dengan gelar Panembahan
Suryangalam.Namun sialnya empat puluh hari setelah pengangkatannya Samin Surosentiko ditangkap oleh Raden Pranolo
yaitu Kepala Desa Randublatung, sehingga Samin Surosentiko beserta delapan
pengikutnya diasingkan ke luar Jawa hingga mereka meninggal dunia pada tahun
1914.
Meskipun Samin Surosentiko sebagai proklamator
terbentuknya Saminisme telah tiada, tidak membuat gerakan saminisme berhenti
sampai disitu. Pada tahun 1908, Wongsorejo yang merupakan salah satu pengikut
suku Samin tidak berhenti untuk terus menyebarkan ajaran Samin di Madiun.
Disini para warga desa dihasut olehnya supaya tidak membayar pajak kepada
pemerintah kolonial Belanda, dan pada akhirnya Wongsorejo dan para pengikutnya
diasingkan ke luar Jawa.Sepeninggal Wongsorejo, pada tahun 1911, Surohidin yang
merupakan menantu dari Samin Surosentiko bersama para pengikutnya menyebarkan ajaran
Samin di daerah Kajen, Pati, Jawa Tengah.Alhasil ajaran Samin itupun meluas
sampai daerah-daerah lain misalnya Jatinegoro,Tuban, Purwodadi,Pati, dan
Bojonegoro. Hingga pada tahun 1903 perlawanan Samin terhadap para pemerintah
kolonial Belanda berhenti dikarenakan tidak ada figur pemimpin suku Samin yang
kuat, maka sampai saat ini para suku Samin lebih memilih untuk hidup bersama
dan mengasingkan diri dari masyarakat yang lain serta menjauh dari lingkungan
yang berbau modern, karena menurut mereka gaya hidup seperti itulah yang sering
dilakukan para kolonial Belanda pada zaman dahulu.
[1] Tulisan
ini dimuat di majalah tahunan “EL_QUDSY” edisi 20/2012, diterbitkan oleh
Persatuan Pelajar Qudsiyyah (PPQ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar