Minggu, 24 November 2013

SAMINISME; Perjuangan Melawan Para Penjajah


Oleh: A. Musyaffa’ (XI A)[1]

Tak bisa dipungkiri, kenangan bangsa Indonesia yang pahit berupa penjajahan oleh koloni Belanda masih melekat di hati rakyat Indonesia.Mereka menindas rakyat secara biadab,baik itu yang menganut maupun yang membangkan.Salah satu pembangkan itu adalah suku Samin.
Suku samin,begitulah mereka dikenal.Sekelompok masyarakat berbudaya yang tinggal di wilayah Blora, dan sebagian bermukim di wilayah Bojonegoro,Jawa Tengah.Simbol identitasnya sangat khas yang bisa ditinjau dari segi pakaian, alat-alat gerabah, juga bahasa yang mereka gunakan sehari-hari untuk berkomunikasi. Dari segi pakaian kebanyakan dari mereka menggunakan baju berlengan panjang, tidak berkerah, dan berwarna hitam.
Kelompok ini mempunyai aturan dan cara hidup yang bisa dikatakan membingungkan dan tidak wajar,sehingga kerap kali menimbulkan rasa penasaran.Budaya mereka lebih tertuju kepada hakekat manusia sebagai kholifah di bumi dan ajaran-ajaran yang sepatutnya dimiliki oleh manusia sebagai makhluk Tuhan.
Asal-usul suku Samin sendiri adalah merupakan keturunan dari Raden Kohar atau dikenal dengan Raden Samin Surosentiko yang lahir pada tahun 1859 M dan wafat pada tahun 1914 M.Beliau adalah putra Raden Surowijaya atau biasa disebut Samin Sepuh yang berasal dari Randhublatung ,Blora.Menurut kaum Samin di desa Tapelan,  Samin Surosentiko menguasai Aksara Jawa, yang dapat dibuktikan dalam buku peninggalannya yang disebut Serat Jamus Kalimasada.
Ajaran Suku Samin termaktub dalam buku yang diberi nama Serat Jamus Kalimasada.Didalamnya antara lain mencakup serat Uri-Uri Pambudi yaitu berisi tentang budi pekerti manusia sebagai makhluk Tuhan Selain itu ajaran samin juga terdapat pada Serat Pikukuh Kasajaten yang isinya mencakup hal-hal tentang kenegaraan yang intinya dikatakan bahwa sebuah negara akan sejahtera apabila bisa membangun sebuah peradaban, dan dapat menguasai ilmu pengetahuan serta kehidupan damai di lingkungan masyarakat.
Inti dari ajaran kebatinan Surosentiko ini adalah pengetahuan tentang keberadaan Tuhan  Yang Maha Esa,serta larangan dan tindakan saling mencurigai dan berprasangka kepada sesama.Menurutnya manusia mempunyai hati nurani yang dapat membedakan antara sesuatu yang benar dari sesuatu yang salah,  sehingga terjalin hubungan harmonis antar sesama makhluk Tuhan.Akhirnya,manusia dapat mengetahui hakekat dari kehidupan mereka di dunia.
Ajaran Saminisme sendiri sejatinya merupakan ajaran kebatinan yang mengandung nafas kerakyatan, namun lambat laun berkembang menjadi ajaran perlawanan kepada penjajah kolonial Belanda. Surosentiko menggunakan Serat Jamus Kalimasada kepada para pengikutnya untuk melawan penjajah Belanda, seperti ia menyuruh para kaum Samin untuk tidak membayar pajak, ronda malam dan kerja paksa kepada kolonial Belanda.
Seiring dengan berjalannya waktu, ajaran Surosentiko alias Saminisme semakin menyebar luas ke beberapa daerah.Berawal dari desa Klopodhuwur, Blora. Samin Surosentik sukses menyebarkan ajarannya sampai Bojonegoro, Alhasil pada tahun 1903 pihak Residen Rembang, Jawa Tengah melaporkan kepada kolonial Belanda bahwa ada sekitar 700 orang yang menjadi penganut ajaran Saminisme yang tersebar di 34 wilayah  desa di Kabupaten Blora bagian selatan hingga mencakup sebagian daerah Kabupaten Bojonegoro. Dengan  adanya laporan tersebut sontak membuat pihak kolonial Belanda menjadi was-was karena pesatnya sebuah ajaran, yang cenderung mereka sebut sebagai ajaran pemberontakan.
Tidak selesai sampai disitu, tepatnya pada tahun 1907, jumlah pengikut kaum Samin sudah mencapai lima ribu orang, sehingga sontak para kolonial Belanda segera melakukan tindakan untuk mencegah persebaran kaum Samin tersebut.Alhasil banyak dari suku  Samin yang dijebloskan  dalam tahanan dan ada pula yang diasingkan ke luar jawa.Sementara itu pada tanggal 8 November 1907 Samin Surosentiko diangkat menjadi Ratu Adil dengan gelar Panembahan Suryangalam.Namun sialnya empat puluh hari setelah pengangkatannya  Samin Surosentiko ditangkap oleh Raden Pranolo yaitu Kepala Desa Randublatung, sehingga Samin Surosentiko beserta delapan pengikutnya diasingkan ke luar Jawa hingga mereka meninggal dunia pada tahun 1914.
Meskipun Samin Surosentiko sebagai proklamator terbentuknya Saminisme telah tiada, tidak membuat gerakan saminisme berhenti sampai disitu. Pada tahun 1908, Wongsorejo yang merupakan salah satu pengikut suku Samin tidak berhenti untuk terus menyebarkan ajaran Samin di Madiun. Disini para warga desa dihasut olehnya supaya tidak membayar pajak kepada pemerintah kolonial Belanda, dan pada akhirnya Wongsorejo dan para pengikutnya diasingkan ke luar Jawa.Sepeninggal Wongsorejo, pada tahun 1911, Surohidin yang merupakan menantu dari Samin Surosentiko bersama para pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di daerah Kajen, Pati, Jawa Tengah.Alhasil ajaran Samin itupun meluas sampai daerah-daerah lain misalnya Jatinegoro,Tuban, Purwodadi,Pati, dan Bojonegoro. Hingga pada tahun 1903 perlawanan Samin terhadap para pemerintah kolonial Belanda berhenti dikarenakan tidak ada figur pemimpin suku Samin yang kuat, maka sampai saat ini para suku Samin lebih memilih untuk hidup bersama dan mengasingkan diri dari masyarakat yang lain serta menjauh dari lingkungan yang berbau modern, karena menurut mereka gaya hidup seperti itulah yang sering dilakukan para kolonial Belanda pada zaman dahulu.


[1] Tulisan ini dimuat di majalah tahunan “EL_QUDSY” edisi 20/2012, diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Qudsiyyah (PPQ)

Tidak ada komentar: