Oleh Muhammad
Nahirulhaq (XI D)[1]
Berdasar survei yang dilakukan Center for the Study of Religion
and Culture (CSRC) UIN Jakarta[2],
mayoritas responden Muslim setuju dengan pemberlakuan Perda Syariah (94,7%).
Mayoritas masyarakat Muslim (92,8%) juga menilai bahwa Perda Syariah adalah
kebutuhan masyarakat. Bahkan, Perda-Perda Syariah juga didukung oleh hampir
separuh responden (46%) non-Muslim, sedangkan non-muslim yang tidak setuju
sebanyak 35,5% dan yang lain menyatakan ragu-ragu.
Selain itu, menurut survey PPIM-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2001-2004 tentang “Islam dan Konsolidasi Demokrasi di Indone-sia”
diperoleh data bahwa persetujuan rakyat Indonesia tentang persetujuan penerapan
syariat Islam, pada 2001 berjumlah 61,4%, pada 2002 mencapai 70,6%, dan pada
2004 melonjak hingga 75,5%.
Kemudian mengenai persetujuan mengenai bentuk pemerintahan Islam
dan anggapan mereka bahwa pemerintahan Islam yang terbaik, pada 2001 mencapai
57,8%, pada 2002 meningkat menjadi 67,1%, bahkan pada 2004, melonjak sampai
72,2%.[3]
Meskipun dari
survey tersebut terlihat bahwa dukungan terhadap penerapan syariat dan Perda
Syariah amat banyak, namun masih banyak juga beberapa anggapan yang bisa
menjadi penghalang berlakunya perda syari’ah, seperti yang akan dijelaskan.
Bertentangan Dengan UU yang Lebih Tinggi.
Anggapan tentang ini tentunya kebanyakan berasal dari
para ahli dan pakar hukum.
Mereka berpendapat seperti ini berdasarkan
teori berjenjang (Stufen Theory) yang dicetuskan oleh Hans Kelsen, yang bebunyi
lex supperiori derogate lex inferiori (hukum yang stratanya ada di bawah
tidak boleh bertentangan dengan hukum yang ada di atasnya).[4]
Sebenarnya, teori itu berlaku untuk segala Perda
bahkan peraturan perundang-undangan yang lain. Hal ini sebenarnya sudah pernah
disinggung sebelumnya oleh Satjipto Rahardjo. Ia mengatakan bahwa pembahasan
mengenai Perda semakin mendesak untuk dikaji, selain karena semakin menjamurnya
sejak era reformasi, juga karena Perda tidak boleh bertentangan denga peraturan
yang lebih tinggi stratanya.[5]
Yang dimaksud peraturan yang lebih tinggi dalam
konteks Perda Syariah ini ada beberapa pendapat. Yang banyak, mereka menganggap
fenomena Perda Syariah ini tak sesuai dengan pasal 3 UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi
menjadi pasal 10 ayat 3 UU No. 2004. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa
urusan agama merupakan wewenang
pemerintah pusat. Pemberlakuan pasal ini juga didukung pasal 18 ayat (5)
perubahan kedua UUD 1945 yang menyebutkan bahwa wewenang pemerintah pusat
dikecualikan dari otonomi yang seluas-luasnya.[6]
Tapi ada juga yang tidak setuju dengan
pendapat ini. Menurut Nazaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Depag,
masalah keagamaan memang termasuk satu dari enam hal yang diserahkan kepada
pusat sesuai Undang-Undang nomor 32 tahun 2004, namun itu tidak ada kaitannya
dengan pembuatan Perda bermuatan syariah yang isinya mengatur kepentingan
masyarakat setempat. Masalah agama yang diserahkan ke pusat antara lain jika
muncul aliran sesat di suatu daerah. Selain itu masalah Kantor Urusan Agama
(KUA) atau pelaksanaan dari Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974, semua itu diserahkan ke pusat.[7]
Memang, dalam
penjelasan UU Nomor
32 tahun 2004 disebutkan, wewenang pemerintah pusat dalam hal agama
adalah menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan
pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam
penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya, dan bagian tertentu urusan
pemerintah lain yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah. Tapi,
sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh pemerintah kepada daerah sebagai upaya
meningkatkan keikutsertaan daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama.
Jadi, ia berkesimpulan, selama Perda bermuatan syariah
merupakan wujud nyata dalam meningkatkan keikutsertaan daerah dalam
menumbuhkembangkan kehidupan beragama, membantu program kerja pemerintah, juga
skalanya hanya berlaku untuk daerah tertentu, perda bermuatan syariah tersebut dapat
dibenarkan demi hukum.
Selain itu, mereka yang pro perda syari’ah juga menerapkan kaedah
hukum ‘lex specialis derogat lex generalis’ yang berarti bahwa peraturan yang khusus dapat
mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat lebih umum dalam hal
ini mereka memberi contoh seperti sebagai berikut:
1. Perda anti pelacuran dan perzinaan, salah satunya
seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Tangerang nomor 08 tahun 2005
tentang Pelarangan Pelacuran. Perda ini merupakan dukungan dan penjabaran lebih
lanjut dari Undang-Undang Pornografi.
2. Perda yang terkait dengan pemungutan dana sosial
dari masyarakat (zakat, infaq, wakaf dan shadaqah) seperti yang diatur dalam
Peraturan Daerah Kota Bukit Tinggi nomor 29 tahun 2004 tentang Pengelolaan
Zakat. Perda ini merupakan dukungan dan penjabaran lebih lanjut dari
Undang-Undang nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-Undang
nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.[8]
3. Qanun-qanun
yang berlangsung di daerah NAD sebagai penjabaran dan implementasi dari UU No. 44 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh pasal 3 dan 4, UU No. 18 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Aceh, dan dan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Jadi,
jika dilihat penjabaran diatas sebenarnya semua kembali pada substansi Perda
bernuansa syariah itu sendiri. Jika
memang substansinya sesuai dengan aturan yang lebih tinggi, maka hal itu
bisa dibenarkan dan juga sebaliknya.
Selain
itu, jika memang tidak setuju terhadap
substansi suatu peraturan, masyarakat dihimbau untuk menempuh jalur hukum
melalui judicial review yang diajukan ke Mahkamah Agung atau Mahkamah
Konstitusi daripada sekedar menyampaikan pendapat melalui forum yang tidak
berwenang mengenai masalah ini.[9]
Penyebab
Disintegrasi Bangsa
“Yang banyak
dilupakan adalah, bahwa Indonesia sangat plural. bukan cuma beragam suku, ras,
bahasa, dan budaya saja, Indonesia juga beragam dalam hal agama dan
kepercayaam” . Begitulah mungkin anggapan orang bahwa Perda Syariah mengancam
integrasi bangsa.
Hal ini –bagi mereka- dapat dibuktikan dengan adanya daerah-daerah
berpenduduk mayoritas non-muslim yang juga memformalisasi-kan ajaran agama
mereka.[10]
Contoh terbaru adalah munculnya perda Injil
di Manokwari pada 2009. Adanya hal ini. Oleh sebagian orang
hal ini dikhawatirkan mengancam Pancasila sebagai dasar
Negara.
Salah satu yang beranggapan seperti ini adalah Bertholomeus
Bolong, OCD, seorang Pastor yang meraih
gelar doktor dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Ia menganggap tuntutan untuk
mengformalisasikan hanya satu agama tertentu dalam undang-undang, merupakan
sesuatu yang bertabrakan dengan Pancasila dan undang-undang dasar negara 1945
itu sendiri, yang di dalamnya terkandung bahwa negara Indonesia bukanlah negara
agama, tetapi negara berketuhanan. Karenanya NKRI harus tetap berpancasila dan
tidak bersyariat, demi kepentingan interen umat beragama itu sendiri yang
berbeda-beda paham dan interpretasi mengenai syariat, maupun demi menjauhkan
perpecahan dan konflik antar agama, yang selama ini hidup rukun dan damai.
Berdasarkan pengamatannya, ia juga menganggap bahwa menjalankan
syariat Islam dengan undang-undang negara sebagai alat adalah keyakinan umat
Islam. Sebagaimana Nabi Muhammad memberikan contoh cara mengamalkan Islam yang
benar, yaitu harus dengan kuasa Negara, sebagaimana yang ia kutip dari
Kuntowijoyo.[11]
Namun baginya, keyakinan Islam
itu tidak berlaku universal. Keyakinan itu hanya berlaku bagi kelompok Islam
sendiri, dan itu semua terkandung dalam hukum Islam. Sedangkan Pancasila dan
UUD 1945 sebagai hukum tertinggi negara Indonsia terikat untuk semua warga
negara. Setiap warga negara wajib taat terhadap hukum atau undang-undang
tersebut. Karenanya mengformalisasikan syariat Islam merupakan sesuatu yang
pada prakteknya bisa melahirkan pemaksaan, intimidasi dan kekerasan yang bertentangan
dengan hak asasi manusia, pada akhirnya akan mendatangkan konflik dan bisa
berakibat pada perpecahan bangsa. Syariat Islam yang mengajarkan tentang
kedamaian, kerukunan, ketenteraman, kesejahteraan dan keselamatan itu, justru
akan menjadi pembawa kekacauan, penderitaan dalam segala aspek kehidupan bangsa
dan masyarakat penganutnya.
Ia juga beranggapan situasi zaman Nabi berbeda dengan kehidupan
berbangsa zaman ini.
Sangat
mungkin bagi Nabi pada zamannya untuk meng-formalisasikan nilai-nilai atau ideologi
agama sebagai undang-undang, karena dalam satu negara hidup satu agama saja.
Konteks zaman ini di mana dalam satu negara hidup masyarakat yang memiliki
keyakian yang berbeda, adalah tugas para pengikutnya untuk merefleksikan ulang
dan menerapkannya sesuai dengan situasi dan konteks zamannya. Dengan
mengontektualisasikan apa yang dilakukan Nabi sesuai dengan situasi zaman ini,
nilai Islam akan benar-benar membawa penganutnya kepada kedamaian dan
kesejahteraan di bumi dan di akhirat.[12]
Terlepas dari berbagai kontro-versi mengenai Perda
Syariah, ada juga beberapa catatan yang juga perlu diperhatikan dalam hal ini.
Pertama, kebanyakan masyarakat mengetahuinya lewat cara yang bersifat satu
arah (top down), yaitu lewat ceramah, dan banyak sekali masyarakat yang
hanya mengetahui melalui secondary media, bukan primary media,
yaitu melalui media massa (34%) dan spanduk (12%). Kedua, kendati
sekitar 38,7% responden non-muslim mengaku bahwa sosialisasi Perda Syariah
dilakukan pemerintah, tetapi ada 37% mengaku sosialisasi Perda sebelum
ditetapkan tidak dilakukan sama sekali terhadap mereka. Ketiga,
sosialisasi Perda-Perda Syariah tertentu di sebagain daerah, bagi kalangan muslim
sendiri masih problem. Di Kabupaten Tasikmalaya, misalnya, tampak cukup tinggi tingkat ketidaktahuan
masyarakat muslim (50-60%) mengenai Perda-Perda
Syari’ah yang diterapkan di daerahnya, yaitu Perda yang mengatur pakaian muslim,
penertiban miras, perjudian, dan pelacuran. Keempat, menurut 40,6% responden, di daerah yang memiliki Perda Syariah justru
dilarang mengajukan keberatan terhadap aturan yang berkaitan dengan syariah
Islam seperti zakat profesi.[13]
[1] Pemred majalah EL_QUDSY edisi
20/2012. Tulisan ini dimuat dalam majalah tersebut.
[2] Survei yang dipadukan dengan metode kualitatif
ini, jumlah respondennya 1000 orang [200
responden non-Muslim dan 800 Muslim] atau 134 sampel
muslim secara acak dan 33 atau 34 sampel non-muslim secara tidak acak.
Komposisi laki-laki dan perempuan diseimbangkan dengan margin of error
3% dan tingkat kepercayaan 95%.
[3]Yang menarik bahwa pemahaman masyarakat mengenai syari'at Islam tidak monolitik. Tidak
selamanya syari'at dipahami sebagai hukum potong tangan, hukum rajam, dan lain sebagainya. Bahkan responden yang memiliki pemahaman seperti ini sangat kecil jumlahnya. Dalam survei 2004, sebagian besar responden memahami syariat Islam sebagai
"ritual agama" (28,7%), "tuntunan Islam dan pedoman hidup" (14,8%). Sementara responden yang memahami syariat Islam sebagai "penegakan hukum Islam"16,3%. Ini menunjukkan
bahwa orang
yang setuju dengan syariat Islam
tidak otomatis setuju
dengan hukum
potong tanagan, hukum rajam, dan sebagainya. Bahkan
data
menunjukkkan bahwa responden
yang setuju dengan hukum potong tangan hanya (2001: 28,9%; 2002: 33,5%; 2004: 38,9%). Ini artinya ada jarak yang cukup
besar antara kesetujuan
mereka terhadap syariat Islam di
satu pihak, dan penolakan mereka terhadap hukum potong tangan dan rajam di pihak lain,
Lihat: Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal
di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. 218.
[4] Lihat: Jimly
Asshidqie dkk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: (Sekjen dan
Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm 110.
[5] Lihat: Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum., Bandung: (PT.
Citra Aditya Bakti, Cet.ke.4), hlm. 83
[6] Buletin Nawala, The Wahid Institute,
edisi 1, November 2005, hlm. 3.
[7] Lihat: Muhammad Fadhly Ase, makalah
“Mengkaji Ulang Eksistensi Perda Bernuansa Syari’at: Sebuah Pendekatan Yuridis
Formatif, hlm. 5.
[8] Ibid.
[9] Rifyal Ka’bah,
makalah “Piagam Jakarta dan Dinamika Syari’at Islam Dalam Sejarah Hukum
Indonesia”, 2006, hlm. 6.
[10] Sukron
Kamil, makalah "Perda Syari’ah Di Indonesia: Dampaknya terhadap Kebebasan
Sipil dan Minoritas Non Muslim", Disampaikan dalam Diskusi Serial Islam
dan HAM yang Diselengarakan Pusat Studi HAM UII di Hotel Santika
Yogyakarta, Rabu 13 Agustus 2008, hal. 14.
[11] Kunto Wijoyo. 1991. Paradigma
Islam Interpretasi untuk aksi. (Bandung:Mizan,1991). hal. 208-210. Dalam
Bertholomeus Bolong, OCD, makalah” Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia (Prespektif
Gereja Katolik)”, Jurnal Al-Mawarid,
(Yogyakarta, 2006), hal 11 (156).
[12] Bertholomeus
Bolong, OCD, Ibid.
[13] Sukron Kamil dkk., Syari’ah Islam dan HAM,
Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non
Muslim, Jakarta, CSRC UIN Jakarta dan KAS, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar