Selasa, 03 Desember 2013

Perda Syari’ah, Cacat Hukumkah?



Oleh Muhammad Nahirulhaq (XI D)[1]
Berdasar survei yang dilakukan Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta[2], mayoritas responden Muslim setuju dengan pemberlakuan Perda Syariah (94,7%). Mayoritas masyarakat Muslim (92,8%) juga menilai bahwa Perda Syariah adalah kebutuhan masyarakat. Bahkan, Perda-Perda Syariah juga didukung oleh hampir separuh responden (46%) non-Muslim, sedangkan non-muslim yang tidak setuju sebanyak 35,5% dan yang lain menyatakan ragu-ragu.
Selain itu, menurut survey PPIM-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2001-2004 tentang “Islam dan Konsolidasi Demokrasi di Indone-sia” diperoleh data bahwa persetujuan rakyat Indonesia tentang persetujuan penerapan syariat Islam, pada 2001 berjumlah 61,4%, pada 2002 mencapai 70,6%, dan pada 2004 melonjak hingga 75,5%.
Kemudian mengenai persetujuan mengenai bentuk pemerintahan Islam dan anggapan mereka bahwa pemerintahan Islam yang terbaik, pada 2001 mencapai 57,8%, pada 2002 meningkat menjadi 67,1%, bahkan pada 2004, melonjak sampai 72,2%.[3]
Meskipun dari survey tersebut terlihat bahwa dukungan terhadap penerapan syariat dan Perda Syariah amat banyak, namun masih banyak juga beberapa anggapan yang bisa menjadi penghalang berlakunya perda syari’ah, seperti yang akan dijelaskan.
Bertentangan Dengan UU yang Lebih Tinggi.
Anggapan  tentang ini tentunya kebanyakan berasal dari para ahli dan pakar hukum.
Mereka berpendapat seperti ini berdasarkan teori berjenjang (Stufen Theory) yang dicetuskan oleh Hans Kelsen, yang bebunyi lex supperiori derogate lex inferiori (hukum yang stratanya ada di bawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang ada di atasnya).[4]
Sebenarnya, teori itu berlaku untuk segala Perda bahkan peraturan perundang-undangan yang lain. Hal ini sebenarnya sudah pernah disinggung sebelumnya oleh Satjipto Rahardjo. Ia mengatakan bahwa pembahasan mengenai Perda semakin mendesak untuk dikaji, selain karena semakin menjamurnya sejak era reformasi, juga karena Perda tidak boleh bertentangan denga peraturan yang lebih tinggi stratanya.[5]
Yang dimaksud peraturan yang lebih tinggi dalam konteks Perda Syariah ini ada beberapa pendapat. Yang banyak, mereka menganggap fenomena Perda Syariah ini tak sesuai dengan pasal  3 UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi pasal 10 ayat 3 UU No. 2004. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa urusan agama  merupakan wewenang pemerintah pusat. Pemberlakuan pasal ini juga didukung pasal 18 ayat (5) perubahan kedua UUD 1945 yang menyebutkan bahwa wewenang pemerintah pusat dikecualikan dari otonomi yang seluas-luasnya.[6]
Tapi ada juga yang tidak setuju dengan pendapat ini. Menurut Nazaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Depag, masalah keagamaan memang termasuk satu dari enam hal yang diserahkan kepada pusat sesuai Undang-Undang nomor 32 tahun 2004, namun itu tidak ada kaitannya dengan pembuatan Perda bermuatan syariah yang isinya mengatur kepentingan masyarakat setempat. Masalah agama yang diserahkan ke pusat antara lain jika muncul aliran sesat di suatu daerah. Selain itu masalah Kantor Urusan Agama (KUA) atau pelaksanaan dari Undang-Undang Perkawinan nomor 1  tahun 1974, semua itu diserahkan ke pusat.[7]
Memang, dalam penjelasan UU Nomor 32 tahun 2004 disebutkan, wewenang pemerintah pusat dalam hal agama adalah menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya, dan bagian tertentu urusan pemerintah lain yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah. Tapi, sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh pemerintah kepada daerah sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama.
Jadi, ia berkesimpulan, selama Perda bermuatan syariah merupakan wujud nyata dalam meningkatkan keikutsertaan daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama, membantu program kerja pemerintah, juga skalanya hanya berlaku untuk daerah tertentu, perda bermuatan syariah tersebut dapat dibenarkan demi hukum.
Selain itu, mereka yang pro perda syari’ah juga menerapkan kaedah hukum ‘lex specialis derogat lex generalis’ yang berarti bahwa peraturan yang khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat lebih umum dalam hal ini mereka memberi contoh seperti sebagai berikut:
1. Perda anti pelacuran dan perzinaan, salah satunya seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Tangerang nomor 08 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Perda ini merupakan dukungan dan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Pornografi.
2. Perda yang terkait dengan pemungutan dana sosial dari masyarakat (zakat, infaq, wakaf dan shadaqah) seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bukit Tinggi nomor 29 tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Perda ini merupakan dukungan dan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-Undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.[8]
3.    Qanun-qanun yang berlangsung di daerah NAD sebagai penjabaran dan implementasi dari UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh pasal 3 dan 4, UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Aceh, dan dan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Jadi, jika dilihat penjabaran diatas sebenarnya semua kembali pada substansi Perda bernuansa syariah itu sendiri. Jika  memang substansinya sesuai dengan aturan yang lebih tinggi, maka hal itu bisa dibenarkan dan juga sebaliknya.
Selain itu,  jika memang tidak setuju terhadap substansi suatu peraturan, masyarakat dihimbau untuk menempuh jalur hukum melalui judicial review yang diajukan ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi daripada sekedar menyampaikan pendapat melalui forum yang tidak berwenang mengenai masalah ini.[9]

Penyebab Disintegrasi Bangsa
“Yang banyak dilupakan adalah, bahwa Indonesia sangat plural. bukan cuma beragam suku, ras, bahasa, dan budaya saja, Indonesia juga beragam dalam hal agama dan kepercayaam” . Begitulah mungkin anggapan orang bahwa Perda Syariah mengancam integrasi bangsa.
Hal ini –bagi mereka- dapat dibuktikan dengan adanya daerah-daerah berpenduduk mayoritas non-muslim yang juga memformalisasi-kan ajaran agama mereka.[10] Contoh  terbaru adalah munculnya perda Injil di Manokwari pada 2009. Adanya hal ini. Oleh sebagian orang hal ini dikhawatirkan mengancam Pancasila sebagai dasar Negara.
Salah satu yang beranggapan seperti ini adalah Bertholomeus Bolong, OCD, seorang Pastor yang meraih gelar doktor dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
 Ia menganggap tuntutan untuk mengformalisasikan hanya satu agama tertentu dalam undang-undang, merupakan sesuatu yang bertabrakan dengan Pancasila dan undang-undang dasar negara 1945 itu sendiri, yang di dalamnya terkandung bahwa negara Indonesia bukanlah negara agama, tetapi negara berketuhanan. Karenanya NKRI harus tetap berpancasila dan tidak bersyariat, demi kepentingan interen umat beragama itu sendiri yang berbeda-beda paham dan interpretasi mengenai syariat, maupun demi menjauhkan perpecahan dan konflik antar agama, yang selama ini hidup rukun dan damai.
Berdasarkan pengamatannya, ia juga menganggap bahwa menjalankan syariat Islam dengan undang-undang negara sebagai alat adalah keyakinan umat Islam. Sebagaimana Nabi Muhammad memberikan contoh cara mengamalkan Islam yang benar, yaitu harus dengan kuasa Negara, sebagaimana yang ia kutip dari Kuntowijoyo.[11]
 Namun baginya, keyakinan Islam itu tidak berlaku universal. Keyakinan itu hanya berlaku bagi kelompok Islam sendiri, dan itu semua terkandung dalam hukum Islam. Sedangkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi negara Indonsia terikat untuk semua warga negara. Setiap warga negara wajib taat terhadap hukum atau undang-undang tersebut. Karenanya mengformalisasikan syariat Islam merupakan sesuatu yang pada prakteknya bisa melahirkan pemaksaan, intimidasi dan kekerasan yang bertentangan dengan hak asasi manusia, pada akhirnya akan mendatangkan konflik dan bisa berakibat pada perpecahan bangsa. Syariat Islam yang mengajarkan tentang kedamaian, kerukunan, ketenteraman, kesejahteraan dan keselamatan itu, justru akan menjadi pembawa kekacauan, penderitaan dalam segala aspek kehidupan bangsa dan masyarakat penganutnya.
Ia juga beranggapan situasi zaman Nabi berbeda dengan kehidupan berbangsa zaman ini. Sangat mungkin bagi Nabi pada zamannya untuk meng-formalisasikan nilai-nilai atau ideologi agama sebagai undang-undang, karena dalam satu negara hidup satu agama saja. Konteks zaman ini di mana dalam satu negara hidup masyarakat yang memiliki keyakian yang berbeda, adalah tugas para pengikutnya untuk merefleksikan ulang dan menerapkannya sesuai dengan situasi dan konteks zamannya. Dengan mengontektualisasikan apa yang dilakukan Nabi sesuai dengan situasi zaman ini, nilai Islam akan benar-benar membawa penganutnya kepada kedamaian dan kesejahteraan di bumi dan di akhirat.[12]
Terlepas dari berbagai kontro-versi mengenai Perda Syariah, ada juga beberapa catatan yang juga perlu diperhatikan dalam  hal ini.
Pertama, kebanyakan masyarakat mengetahuinya lewat cara yang bersifat satu arah (top down), yaitu lewat ceramah, dan banyak sekali masyarakat yang hanya mengetahui melalui secondary media, bukan primary media, yaitu melalui media massa (34%) dan spanduk (12%). Kedua, kendati sekitar 38,7% responden non-muslim mengaku bahwa sosialisasi Perda Syariah dilakukan pemerintah, tetapi ada 37% mengaku sosialisasi Perda sebelum ditetapkan tidak dilakukan sama sekali terhadap mereka. Ketiga, sosialisasi Perda-Perda Syariah tertentu di sebagain daerah, bagi kalangan muslim sendiri masih problem. Di Kabupaten Tasikmalaya, misalnya,  tampak cukup tinggi tingkat ketidaktahuan masyarakat muslim (50-60%) mengenai  Perda-Perda Syari’ah yang diterapkan di daerahnya, yaitu Perda yang mengatur pakaian muslim, penertiban miras, perjudian, dan pelacuran. Keempat, menurut 40,6% responden,  di daerah yang memiliki Perda Syariah justru dilarang mengajukan keberatan terhadap aturan yang berkaitan dengan syariah Islam seperti zakat profesi.[13]



[1] Pemred majalah EL_QUDSY edisi 20/2012. Tulisan ini dimuat dalam majalah tersebut.
[2]  Survei yang dipadukan dengan metode kualitatif ini,  jumlah respondennya 1000 orang [200 responden non-Muslim dan 800 Muslim] atau 134 sampel muslim secara acak dan 33 atau 34 sampel non-muslim secara tidak acak. Komposisi laki-laki dan perempuan diseimbangkan dengan margin of error 3% dan tingkat kepercayaan 95%.    
[3]Yang menarik bahwa pemahaman masyarakat mengenai syari'at Islam tidak monolitik. Tidak selamanya syari'at dipahami sebagai hukum potong tangan, hukum rajam, dan lain sebagainya. Bahkan responden yang memiliki pemahaman seperti ini sangat kecil jumlahnya. Dalam survei 2004, sebagian besar responden memahami syariat Islam sebagai "ritual agama" (28,7%), "tuntunan Islam dan pedoman hidup" (14,8%). Sementara responden yang memahami syariat Islam sebagai "penegakan hukum Islam"16,3%. Ini menunjukkan bahwa orang yang setuju dengan syariat Islam tidak otomatis setuju dengan hukum potong tanagan, hukum rajam, dan sebagainya. Bahkan data menunjukkkan bahwa responden yang setuju dengan hukum potong tangan hanya (2001: 28,9%; 2002: 33,5%; 2004: 38,9%). Ini artinya ada jarak yang cukup besar antara kesetujuan mereka terhadap syariat Islam di satu pihak, dan penolakan mereka terhadap hukum potong tangan   dan rajam di pihak lain, Lihat: Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. 218.
[4] Lihat: Jimly Asshidqie dkk, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: (Sekjen dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm 110.
[5] Lihat: Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum., Bandung: (PT. Citra Aditya Bakti, Cet.ke.4), hlm. 83
[6] Buletin Nawala, The Wahid Institute, edisi 1, November 2005, hlm. 3.
[7] Lihat: Muhammad Fadhly Ase, makalah “Mengkaji Ulang Eksistensi Perda Bernuansa Syari’at: Sebuah Pendekatan Yuridis Formatif, hlm. 5.
[8] Ibid.
[9]  Rifyal Ka’bah, makalah “Piagam Jakarta dan Dinamika Syari’at Islam Dalam Sejarah Hukum Indonesia”, 2006, hlm. 6.
[10] Sukron Kamil, makalah "Perda Syari’ah Di Indonesia: Dampaknya terhadap Kebebasan Sipil dan Minoritas Non Muslim", Disampaikan dalam Diskusi Serial Islam dan HAM yang Diselengarakan Pusat Studi HAM UII di Hotel Santika Yogyakarta, Rabu 13 Agustus 2008, hal. 14.  

[11]  Kunto Wijoyo. 1991. Paradigma Islam Interpretasi untuk aksi. (Bandung:Mizan,1991). hal. 208-210. Dalam Bertholomeus Bolong, OCD, makalah” Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia (Prespektif Gereja Katolik)”,  Jurnal Al-Mawarid, (Yogyakarta, 2006),  hal 11 (156).

[12] Bertholomeus Bolong, OCD, Ibid.
[13]  Sukron Kamil dkk., Syari’ah Islam dan HAM, Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non Muslim, Jakarta, CSRC UIN Jakarta dan KAS, 2007

Tidak ada komentar: