Oleh Hasyim Asy’ari **)
Pengantar
Dalam satu dasawarsa belakangan ini, mulai tahun
2000-2011 Indonesia diguncang oleh serangkaian peristiwa bom. Pemboman itu
secara massif terjadi secara tersebar di sejumlah tempat. Oleh pihak otoritas
keamanan (polisi) diidentifikasi pelaku bom masih saling terkait dengan
peristiwa-peristiwa terdahulu, seperti gerakan Negara Islam Indonesia (NII),
jaringan kekerasan bersenjata Aceh, kerusuhan Maluku dan Poso, dan kelompok
Islam garis keras. Jaringan pelaku bom juga diidentifikasi berbasis ideologi
Islam garis keras. Kekerasan bom di Indonesia itu diidentifikasi telah
mengalami regenerasi dan modifikasi gerakan dan ideologi, baik dalam arti
pelaku yang semula berkelompok dan berjejaring, kini telah bermodifikasi
menjadi pelaku individu. Demikian pula dalam penyebaran ideologi kekerasan
telah menyebar hingga tingkat individual yang semakin sulit diidentifikasi
karena tersebar berserakan. Kondisi ini telah membawa “Indonesia menjadi medan
perang”.[1]
Perang dalam arti yang sesungguhnya yang melibatkan sarana kekerasan, dan
perang dalam arti perbenturan ideologi antara Pancasila berhadapan dengan
liberalisme sekaligus Islam garis keras.
Dalam konteks ideologi, Pancasila pada praktek politik
kenegaraan sepanjang era Orde Baru, telah mengalami “penyimpangan”. Di satu
pihak diakui bahwa Pancasila adalah pandangan hidup resmi dalam berbangsa dan
bernegara di Indonesia, namun di sisi lain Negara Orde Baru telah memperlakukan
Pancasila sekedar hanya sebagai “alat pemukul” bagi pihak yang kritis terhadap
negara.[2]
Dalam konteks itu, pasca Orde Baru masyarakat cenderung enggan mendasarkan diri
pada Pancasila, bahkan Pancasila cenderung telah ditinggalkan sebagai pandangan
hidup dalam berbangsa dan bernegara. Bahkan kurikulum pendidikan di Indonesia
juga telah “meminggirkan” Pancasila dari ranah pendidikan.[3]
Apakah warga muslim Indonesia selalu bersikap demikian
ekstrem terhadap negara? Tentu saja tidak, karena masih ada warga muslim
lainnya yang bersikap moderat dan jumlahnya lebih besar, di antaranya adalah
warga nahdliyyin yang bernaung di
bawah organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU).
Tulisan ini hendak mendeskripsikan relasi masyarakat dan
negara di Indonesia, terutama respon masyarakat muslim. Kajian ini akan
difokuskan kepada pengalaman respon Nahdlatul Ulama (NU) terhadap negara,
karena NU adalah organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia dan dikenal
memiliki sikap toleran dan moderat sebagai pandangan hidupnya, sehingga kajian
tentang NU penting untuk mendapat perhatian dalam beradaptasi dengan negara-bangsa
selama ini. Tulisan akan dimulai dengan mengkaji relasi Islam dan negara,
terutama di Indonesia, dan dilanjutkan dengan mengkaji sejumlah pengalaman
titik-temu antara NU dan negara.
Relasi Negara dan Agama: Pengalaman Indonesia dan Perbandingan
Titik konflik yang menonjol di Indonesia di antaranya diwarnai oleh relasi
negara dan agama. Konflik ini dapat melibatkan antara otoritas negara versus
warga negara, dan konflik antar warga negara. Persoalan ini dapat diruntut dari
bagaimana relasi antara negara dan agama, serta pandangan masyarakat terhadap
negara dan agama. Relasi antara negara dan agama memiliki beberapa
kecenderungan.[4]
Pertama, negara berdasar agama, pada negara ini terjadi
bersatunya pemegang otoritas negara dan agama (waliyul amri kalifatullah sayyidin pranatagama, caesaro papisme). Negara dan pemegang
otoritas negara dijalankan berdasarkan agama tertentu. Pada model negara ini
terdapat dua kemungkinan, yaitu warga negara diwajibkan memeluk agama resmi
negara dan kemungkinan lainnya warga diberi kebebasan untuk memeluk agama sesuai
keyakinannya.
Kedua, agama sebagai spirit bernegara, pada model ini negara
tidak secara formal menganut agama tertentu, namun nilai-nilai agama menjadi
spirit penyelenggara dan penyelenggaraan negara, dan terdapat jaminan dari
negara terhadap warga negara untuk memeluk agama tertentu dan beribadat
berdasarkan keyakinan agamanya itu.
Ketiga, negara sekuler, pada negara model ini terdapat
pemisahan otoritas negara dan agama, atau secara ekstrem negara tidak mengurus
agama dan demikian juga agama tidak berkaitan dengan negara.
Lalu Indonesia berada pada model yang mana? Dalam pandangan saya, Indonesia
cenderung berada pada model kedua, yaitu agama sebagai spirit bernegara.
Indonesia tidak menganut kepada agama tertentu, namun negara berdasar kepada
prinsip ketuhanan, dan negara memberikan jaminan kebebasan beragama kepada
warganya.
Membicarakan relasi agama dan negara dalam konteks
Indonesia pada perkembangan awalnya tidak mungkin melupakan tokoh-tokoh semacam
Snouck Hurgronje, van den Berg dan Hazairin. Dalam beberapa penelitian awal
mereka tentang praktek hukum di Indonesia dapat ditemukan beberapa hal yang
menarik untuk dikaji.
Dalam beberapa praktek hukum masyarakat ditemukan praktek
yang berdasarkan kepada syari’ah Islam. Masyarakat bertindak dalam praktek hukum,
seperti perkawinan, waris, jual beli dan beberapa lainnya menggunakan syari’ah
Islam sebagai dasar hukumnya.[5]
Adat (perilaku keseharian) masyarakat pada beberapa tempat di Indonesia banyak
ditentukan oleh aturan Islam.
Dari sinilai muncul teori receptio in complexu
oleh van den Berg.[6]
Berg menganggap bahwa syari’ah Islam telah diambil sebagai pegangan masyarakat
dalam mengatur berbagai aspek kehidupan mereka. Syari’ah Islam menjadi sendi
dasar bagi sebagian besar hukum adat masyarakat Indonesia, terutama yang berada
pada busur Melayu Muslim, yaitu wilayah nusantara yang menggunakan bahasa
Melayu sebagai pengantar dan pernah memiliki pengalaman dipimpin oleh
kerajaan-kerajaan Islam. Pada masyarakat Melayu Muslim ini antara hukum adat
dengan syari’ah Islam tidak terdapat pemisahan sama sekali. Dalam pepatah
Minangkabau dikenal dengan sebutan: “Adat basandi syara’, syara’ basandi
kitabullah. Syara’ mangata, adat mamakai”.[7]
Berbeda dengan Berg, bagi Snouck Hurgronje, syari’ah
Islam baru berlaku dalam masyarakat bila telah diadatkan. Syari’ah Islam,
menurut Hurgronje, baru dapat diterima dan diberlakukan dalam masyarakat bila
telah diterima oleh adat masyarakat setempat. Dengan kata lain syari’ah Islam
baru berlaku bila tidak bertentangan dengan adat. Pada akhirnya, dengan
menggunakan konsepsi hukum modern, Hurgronje menganggap bahwa adat baru dapat
berlaku jika tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan dibuat oleh negara. Inilah yang kemudian dikenal dengan teori receptio.
Tentunya dapat dipahami adanya perbedaan antara dua orang
ahli Islam dari Belanda tersebut. Di satu pihak van den Berg ingin melihat
praktek hukum masyarakat pada kondisi senyatanya. Sementara Snouck Hurgronje di
pihak lain, dalam merekonstruksi berlakunya syari’ah Islam di Indonesia
memiliki motif-motif politik tertentu. Melihat kenyataan bahwa syari’ah Islam
di sejumlah tempat di Indonesia telah mendarah daging dalam praktek hukum
masyarakat dan tentu saja ini –dalam batas-batas tertentu— tidak menguntungkan
penguasa kolonial Belanda, maka sebagai salah seorang penasehat penguasa
Belanda, Hurgronje berkeyakinan bahwa satu-satunya jalan untuk memangkas
hubungan erat antara syari’ah dan hukum adat adalah dengan cara memisahkan
wilayah dunia dari wilayah agama.
Teori Snouck Hurgronje nampaknya lebih diterima oleh
penguasa kolonial Belanda. Syari’ah Islam yang tidak mengenal pemisahan antara
“pesan ketuhanan” dengan “peran kemanusiaan”, bahkan justru peran kemanusiaan
harus dilakukan sesuai dengan pesan ketuhanan, dilihat oleh Snouck Hurgronje
dapat membawa potensi revolusioner yang dapat membahayakan kekuasaan kolonial
Belanda. Dengan demikian, tanpa melakukan pemisahan antara keduanya, tidak
mungkin bisa mematahkan berlakunya syari’ah Islam di nusantara.
Pengambilan teori Snouck Hurgronje ini masih dilanjutkan
hingga kini dengan serangkaian pengaturan hukum dalam bentuk perundang-undangan
formil yang diadopsi dari warisan kekuasaan Belanda secara konkordansi.
Syari’ah Islam hanya memiliki wilayah pengaturan selama ditentukan dan
diberikan kewenangan oleh undang-undang resmi buatan negara. Sementara di
wilayah lain, pengaturan hukum masih menjadi kewenangan hukum negara yang tidak
mengadopsi syari’ah Islam, dalam hal ini hukum penguasa kolonial Belanda.
Menapaki zaman pascakolonial, Indonesia mengalami suatu
perdebatan panjang yang tak kunjung usai berkaitan dengan persoalan Islam dan
negara. Perdebatan antar elemen masyarakat pada saat merumuskan bentuk negara
Indonesia, dan perdebatan seputar “apa” yang akan dijadikan dasar bagi negara,
apakah Indonesia akan menjadi negara berdasarkan agama, ataukah Indonesia akan
bercorak negara-bangsa (nation state) merupakan gambaran betapa masalah
Islam dan negara merupakan persoalan yang sensitif untuk diperdebatkan.[8]
Untuk memecah kebuntuan dalam serangkaian perdebatan itu, akhirnya diselesaikan
dengan menerima Indonesia sebagai negara-bangsa dan Pancasila sebagai dasarnya.
Perdebatan ini masih berlanjut dan berkepanjangan dalam Sidang Konstituante,
yang diakhiri dengan pembubaran Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945
oleh Soekarno atas desakan kalangan militer Angkatan Darat.[9]
Serangkaian deskripsi historis tersebut menunjukkan bahwa
Indonesia telah memilih bercorak sebagai negara-bangsa, dan meninggalkan
cita-cita sebagai negara berdasarkan atas agama tertentu, dalam hal ini Islam.
Sampai batas-batas tertentu upaya menolak munculnya negara Islam di Indonesia
dan berlakunya syari’ah Islam, merupakan langkah awal sekularisasi hukum di
Indonesia.[10]
Pada sejumlah negara yang berpenduduk mayoritas muslim
terdapat beberapa bentuk praktek syari’ah Islam. Dengan maksud untuk memudahkan
klasifikasi dapat ditemukan dua corak utama praktek syari’ah Islam.[11]
Pertama, negara yang
menempatkan syari’ah sebagai hukum negara. Negara macam ini menganggap bahwa
syari’ah yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah sudah cukup lengkap dan
memadai untuk mengatur kehidupan masyarakat. Terhadap berbagai masalah yang
muncul dalam masyarakat, negara cukup dengan merujuk kembali kepada aturan
normatif yang terkandung di dalam dua sumber tadi.
Arab Saudi dan Sudan dapat ditunjuk sebagai contoh negara
dalam kategori ini. Namun begitu, seperti di Arab Saudi muncul persoalan
penafsiran terhadap teks Al-Qur’an dan Sunnah, karena di Arab Saudi lebih
menekankan pada madzhab Hanbali-Wahabi. Jadi ada semacam persoalan intern di
kalangan umat Islam Arab Saudi, yaitu dalam praktek syari’ah Islam lebih tunduk
kepada madzhab yang dominan. Sementara dalam praktek-praktek hukum tertentu,
seperti masalah perburuhan dan real estate, hukum yang digunakan adalah
peraturan hukum yang dibuat oleh raja.
Di Sudan ada kecenderungan berlakunya syari’ah Islam
dibarengi dengan munculnya represifitas yang cukup tinggi oleh pihak penguasa
terhadap pihak yang berbeda pendapat dengan penguasa negara.[12]
Mahmoud Mohammed Toha, seorang ulama reformis yang memiliki sejumlah gagasan
pembaharuan pemahaman syari’ah terpaksa harus tewas di tiang gantungan rezim
Ja’far Numeiry, hanya karena pandangannya berbeda dengan pendapat resmi ulama
negara.
Kedua, negara yang hanya
menempatkan syari’ah hanya sebagai bagian pelengkap saja dari hukum negara.
Hukum yang berlaku hampir semuanya tidak bersumber dari syari’ah Islam, yaitu
Qur’an dan Sunnah secara tekstual-formalistik. Syari’ah Islam di negara
kategori macam ini hanya digunakan untuk mengatur hal-hal yang sifatnya privat.
Sementara di bidang lain yang bersifat publik tidak tersentuh sama sekali oleh
pengaturan syari’ah. Dapat dikatakan, pada negara macam ini sekularisasi dalam
arti pemisahan antara wilayah pengaturan agama dan pengaturan negara
benar-benar terjadi.
Turki sebagai pewaris terakhir dari kekhalifahan Islam
dapat ditunjuk dalam hal ini. Hampir semua produk hukum Turki merupakan
konkordansi dari hukum Perancis. Sementara syari’ah hanya menempati pengaturan
dalam wilayah hukum keluarga, seperti perkawinan, perceraian dan pewarisan.
Kebangkitan Ulama: Latar Sejarah Kelahiran NU[13]
Latar
belakang historis kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi memiliki
sejumlah interpretasi. Setidaknya ada tiga interpretasi yang seringkali
digunakan untuk menjelaskan sejarah kelahiran NU.
Pertama, penjajahan oleh bangsa Eropa yang juga diikuti
penyebaran agama Kristen mendorong para ulama untuk melakukan respon, di
antaranya perlawanan kultural lewat jalur pendidikan dan dakwah. Para ulama
sadar bahwa sikap non kooperatif terhadap politik etis Belanda tidak mungkin
dilakukan bila tanpa memperkuat kembali jaringan ulama dan pesantren, dan ini
ditafsirkan sebagai embrio lahirnya NU. Kedua,
kebangkitan umat Islam, selain membawa dampak positif ternyata juga membaga
ekses negatif, yaitu munculnya masalah khilafiyyah
furu’iyyah. Berbagai serangan kaum
pembaharu yang meremehkan ulama penganut madzhab dalam praktek beragama,
mendorong ulama untuk merespon dalam bentuk pembelaan terhadap faham Ahlussunnah wal jama’ah dan sistem
madzhab. Upaya merespon serangan kaum pembaharu ini juga menjadi salah satu
faktor yang melatarbelakangi lahirnya NU. Ketiga,
jatuhnya Khilafah Usmaniyah Turki, dan disusul dengan jatuhnya Hijaz ke dalam
kekuasaan kaum Wahabiyyah, ini dikhawatirkan oleh para ulama dapat berakibat
dilarangnya kehidupan bermadzhab di Haramain, dan karena itu para ulama
berusaha untuk memperjuangkan agar kehidupan bermadzhab tidak dilarang.
Perebutan dalam penentuan anggota komite dalam Konggres Dunia Islam juga tampil
sebagai faktor penentu yang melatarbelakangi lahirnya NU.
Penjajahan di belahan dunia Islam dan penyebaran agama
Kristen merupakan usaha simbiotik yang tidak dapat dipisahkan. H. Kraemer
menyatakan bahwa perluasan kolonial dan ekspansi agama Kristen merupakan gejala
simbiose yang saling menunjang.[14]
Arogansi Barat yang menganggap bangsa-bangsa lain dan agama mereka sebagai
primitif dan “uncivilized”, dikejutkan oleh kekalahan demi kekalahan
dalam perang Salib yang berkepanjangan selama kurang lebih 175 tahun
(1095-1270).[15]
Belum lagi sembuh dari luka perang Salib, Yerusallem dengan Bait al-Maqdisnya
yang dianggap tempat suci orang Kristen, pada tahun 1453 jatuh ke tangan Islam.
Eropa dikejutkan jatuhnya Bizantium (Imperium Kristen di Timur) ke dalam
kekuasaan Islam di bawah pimpinan Muhammad al-Fatih, Khalifah Turki Usmani.
Bahkan Turki berhasil menguasai Bulgaria, Yugoslavia, Rumania, Hungaria dan
berkembang terus ke Barat sampai batas Benteng Wina.[16]
Berbagai kekalahan ini dipandang Eropa bukan hanya
sebagai kekalahan politik, namun juga kekalahan agama. Oleh karena itu, hal ini
menimbulkan kebencian terhadap Islam dan dunia Islam, sehingga memupuk dendam
untuk membalas dan menguasai Islam pada suatu ketika kelak. Atas restu Paus
Alexander VI, Spanyol dan Portugal yang dipersatukan lewat perkawinan politik
antara Raja Ferdinand II dengan Issabella, berhasil menghancurkan Islam di
Spanyol (1492). Berdasarkan Perjanjian Tordesillas (7 Juni 1494), Spanyol
dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah di belahan Barat Spanyol menjadi
bagian Spanyol dan belahan Timur Spanyol menjadi bagian Portugis.
Peristiwa historis ini dapat ditafsirkan bahwa Paus
Alexander VI sebagai pucuk pimpinan agama Kristen pada waktu itu telah merestui
dan memberi mandat kepada Spanyol dan Portugis untuk menghancurkan dan menjajah
bangsa-bangsa Islam.[17]
Sejak itu timbul semangat reconquistia
(penaklukan), dengan memberangkatkan para conquistador
dan angkatan crusade (angkatan perang
Salib), dari Barat ke dunia Timur, terutama dunia Islam, yang bertujuan untuk
merebut kembali wilayah mereka dan memperluas pengaruh agama Kristen.[18]
Demikian pula dengan bangsa Portugis, Spanyol, Inggris
dan Belanda yang berdatangan silih berganti ke wilayah Nusantara, selalu
dibalut oleh tiga semangat sekaligus: ekonomi (gold), politik (glory)
dan agama (gospel). Bangsa Belanda
yang menginjakkan kakinya pertama kali di Indonesia pada akhir abad XVI, dalam
perkembangannya, yaitu pada tahun 1602 memperkuat kedudukannya dengan
memonopoli perdagangan melalui VOC (Vereenidge
Oast Indische Compagnie). Kekuasaan Belanda di Nusantara ini mengalami
pasang surut, ditandai dengan bubarnya VOC pada tahun 1799 dan jatuhnya
Kerajaan Belanda ke tangan Perancis pada tahun 1806, ini diikuti jatuhnya
Indonesia ke tangan Inggris (sekutu Perancis) pada tahun 1811. Belanda berkuasa
kembali di Indonesia, menyusul dikalahkannya Perancis oleh Kerajaan Belanda
pada tahun 1814, dan sejak itu penjajahan Belanda semakin kuat.
Sebenarnya perlawanan rakyat Indonesia yang dipimpin para
ulama tak pernah reda dari masa ke masa. Sejarah mencatat perlawanan Iskandar
Muda di Aceh tahun 1511, Sultan Demak (1512, 1526 dan 1527), Sultan Babullah
Ternate 1575, Sultan Agung Mataram 1628-1629, Sultan Hasanuddin di Goa,
Pangeran Diponegoro 1825-1830, Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Teungku
Umar dan Tjut Nyak Din di Aceh. Berbagai perlawanan itu seringkali mudah
dipatahkan, selain karena kalah dari segi persenjataan, politik devide et impera juga digunakan dalam
menghadapi berbagai perlawanan itu.
Seorang pendeta bernama Simon menyatakan bahwa persatuan
umat Islam harus dipecah, sehingga missi sanggup menasranikan kaum muslimin,
karena bila kaum muslimin bersatu akan menjadi bahaya dan kutukan bagi dunia
missionaris.[19]
Pernyataan ini menunjukkan bahwa “politik pecah belah” memiliki dua dimensi
kepentingan, yaitu kepentingan penaklukan politik dan agama sekaligus.
Dalam hal ini Snouck Hurgronje (seorang advisser
pemerintah kolonial Belanda) secara tegas menyatakan bahwa berkembangnya
pengaruh Belanda di Timur tidaklah semata-mata bermaksud mencari keuntungan
material, namun juga lebih banyak dimaksudkan untuk mengembangkan agama
Kristen.[20]
Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg yang berkuasa di Hindia Belanda 1909-1916
sebagai penggagas Kristening Politiek
menyatakan bahwa Kristening Politiek tidak saja akan memperkuat agama Kristen di
negeri jajahan, namun juga agar kekuasaan penjajah lebih kokoh dan sulit
dilepaskan.[21]
Lebih lanjut Idenburg menyatakan bahwa dapat tetap dipertahankannya tanah
jajahan Indonesia tergantung kepada dapat dikristenkannya atau tidak rakyat
Indonesia, bahkan ia bertekad agar penjajah Belanda tetap menguasai Indonesia
sampai agama Kristen menjadi agama bangsa Indonesia.[22]
Dalam rangka memperkuat Kristening Politiek, Snouck Hurgronje melancarkan Islam Politiek, yaitu politik “netralitas
agama” yang mengakui dan memberikan kebebasan beragama sepanjang tidak
mengganggu ketertiban dan keamanan.[23]
Politik keagamaan ini bersifat “dualistis”, yaitu memisahkan antara Islam
sebagai doktrin agama dan Islam sebagai doktrin politik,[24]
atau splitsing-theory sebagaimana
disebutkan oleh Kernkomp.[25]
Snouck Hurgronje membagi masalah Islam atas tiga kategori: 1) bidang agama
murni, 2) bidang sosial kemasyarakatan, dan 3) bidang politik. Dalam bidang
agama murni dan sosial kemasyarakatan, Belanda memberi kebebasan sepanjang
tidak mengganggu ketertiban dan keamanan. Sementara di bidang politik, segala
politik keislaman akan dicegah secara represif, bahkan kalau perlu akan
dihadapi dengan kekerasan.[26]
Politik keagamaan dualistis ini, oleh H.J. Benda disebut sebagai “politik
kembar” antara toleransi dan kewaspadaan, karena memang motivasi dan
orientasinya adalah untuk kelestarian kekuasaan pemerintah kolonial.[27]
Dalam rangka status
quo ini, Belanda juga melancarkan politik asosianisme atau asimilasionisme,
yang dikenal juga sebagai Etische Politiek,
yaitu suatu politik yang berupaya membalas budi rakyat jajahan, di antaranya
melalui pendidikan. Pendidikan dengan sistem Barat yang ditawarkan penjajah
ini, di antaranya adalah untuk memperkuat loyalitas terhadap pemerintah
Belanda, memoderasikan sikap keagamaan Islam, dan menyiapkan tenaga-tenaga
birokrasi pemerintahan Belanda dari kaum pribumi.[28]
Kaum ulama tradisional lebih berhati-hati dan “non
kooperatif” dalam menanggapi politik etis ini, bahkan ada kecenderungan untuk
melakukan perlawanan secara kultural.[29]
Dalam berbagai dakwahnya, para ulama melarang untuk meniru-niru (tasyabbuh) kebiasaan orang kafir, yang
dalam hal ini ditujukan kepada kaum penjajah Belanda.[30]
Bentuk-bentuk perlawanan kultural kaum ulama ini
ditunjukkan dengan mengintensifkan lembaga-lembaga pendidikan mereka, yaitu
pesantren dan madrasah. Pendidikan di pesantren ini digunakan kaum ulama untuk
membentengi pengaruh yang disebarkan kaum penjajah, dan sekaligus untuk
menyiapkan kader-kader ulama.[31]
Para kyai pesantren mengajarkan berbagai materi pengajiannya dengan
muatan-muatan yang membangkitkan semangat nasionalisme.[32]
Sementara penjajahan Belanda dan Kristening Politiek masih berjalan, di dalam umat Islam Indonesia
dihadapkan kepada pertentangan yang semakin tajam, yang disebabkan masalah
madzhab[33]
dan khilafiyah furu’iyyah.[34]
Kebangkitan dunia Islam di penghujung abad XIX dan awal abad XX, ternyata
diiikuti dengan berbagai perdebatan tajam seputar masalah madzhab dan khilafiyah furu’iyyah. Perdebatan ini
semakin memperluas dan memperdalam jurang perbedaan antara golongan-golongan
dalam Islam, khususnya antara yang memegangi madzhab dan yang anti madzhab.
Kedua golongan ini saling memperkokoh argumentasi dan barisannya. Kelompok anti
madzhab semakin meningkatkan serangan-serangannya, sementara kelompok bermadzhab
yang dipelopori para kyai dan ulama pesantren terus berusaha menggalang
kekuatan untuk menghadapi serangan-serangan dari kalangan anti madzhab.
Walaupun diadakan usaha mempersatukan umat Islam oleh
Bratanata (seorang tokoh Syarikat Islam (SI) dari Cirebon) dengan membentuk
Badan Koordinasi Konggres Islam sebagai wadah koordinasi dan pemersatu yang
menampung semua organisasi dan badan-badan Islam, namun belum membawa hasil.[35]
Bahkan dalam Konggres Islam pertama di Cirebon tanggal 31 Oktober-2 Nopember
1922 yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto dan Agus Salim, perdebatan antar
kelompok semakin sengit. Muhammadiyah dan Al-Irsyad yang diwakili Ahmad
Syurkati menuduh madzhab sebagai sumber penyebab kebekuan dan kemunduran umat
Islam. Sementara kalangan ulama madzhab yang diwakili oleh K.H. Abdul Wahab dan
K.H.R. Asnawi sebaliknya menuduh orang-orang yang menentang madzhab justru akan
membuat madzhab sendiri dengan menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits sesuka hatinya.[36]
Konggres Islam yang diadakan selanjutnya juga kurang
membawa hasil, sehingga perseteruan yang diwarnai oleh perdebatan khilafiyah semakin meningkat. Alfian
mencatat bahwa ada gejala yang kuat, kaum anti madzhab (yang sering disebut
sebagai kaum pembaharu) semakin menunjukkan kecongkakan dan sikap arogansinya
terhadap kaum penganut madzhab, yang pada gilirannya membawa perpecahan di
antara keduanya semakin sulit dipersatukan kembali.[37]
Sementara itu dunia Islam dikejutkan oleh berita jatuhnya
Khilafah Usmaniyah ke tangan sekularis Musthafa Kamal, dan dihapusnya sistem
khilafah berubah menjadi berbentuk Republik Turki.[38]
Pada saat yang hampir bersamaan, Hijaz (di dalamnya termasuk Makkah dan
Madinah) jatuh ke tangan kekuasaan kalangan Wahabiyah, sehingga menimbulkan
kekhawatiran tersendiri bagi ulama penganut madzhab di Indonesia bahwa kelak
penguasa akan melarang praktek kehidupan beragama ala Ahlussunnah wal Jama’ah yang menganut madzhab.
Krisis kekhilafahan ini dimanfaatkan oleh Raja Hijaz
Syarief Husein bin Ali untuk mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah Islam
yang baru.[39]
Tindakan terburu-buru dan cukup gegabah Raja Husein ini dinilai akan mengancam
wibawa kerajaan Najed, dan ini mendorong Raja Abdul Aziz bin Saud menggerakkan
tentaranya untuk menyerang Hijaz. Pada tanggal 13 Oktober 1924, Makkah sebagai
pusat kekuasaan Husein jatuh ke Tangan Raja Ibnu Saud, dan pada 5 Desember 1924
Madinah berhasil dikuasai, selanjutnya Syarief Husein atas bantuan Inggris
melarikan diri ke Ciprus. Setelah berhasil menguasai seluruh Hijaz, Abdul Aziz
Bin Saud pada 8 Januari 1926 memproklamasikan diri sebagai Raja Arab baru yang
berkedudukan di Makkah.[40]
Para ulama Mesir yang dipelopori oleh ulama Al-Azhar
berusaha mengadakan Muktamar Dunia Islam untuk membicarakan soal khilafah ini.
Maka diundanglah para pemimpin Islam dari berbagai negara-negara Islam,
termasuk Indonesia, untuk menghadiri muktamar yang direncanakan akan
diselenggarakan pada bulan Maret 1925.[41]
Begitu undangan dari Mesir diterima di Indonesia, pada
tanggal 24-26 Desember 1924 diadakan Konggres Al-Islam di Surabaya, yang
hasilnya di antaranya adalah dibentuknya Central
Comite Chilafat beranggotakan berbagai organisasi Islam dan diketuai oleh
Wondo Soedirdjo (Wondoamiseno) dari SI. Konggres mengusulkan agar khilafah
tetap dipertahankan dan dipegang secara kolektif oleh sebuah “Majlis Ulama”
yang diwakili oleh ulama-ulama terkemuka dunia, dan hendaknya berkedudukan di Makkah.
Konggres juga memutuskan akan mengirim delegasi yang terdiri dari Suryo Pranoto
(SI), KH. Fachruddin (Muhammadiyah), dan KH. Abdul Wahab Chasbullah (mewakili
ulama Surabaya).[42]
Namun karena kurang mendapat dukungan dari dunia Islam
secara luas, dan situasi dalam negeri masing-masing negara Islam kurang
menguntungkan, maka muktamar yang direncanakan di Kairo itu gagal.[43]
Akibatnya utusan Indonesia pun tidak jadi berangkat.
Kekhawatiran ulama penganut madzhab terhadap kekuasaan
Ibnu Saud di Hijaz akan menyebarkan paham Wahabiyah menjadi kenyataan, menyusul
tersiarnya kabar bahwa telah terjadi pembunuhan ulama-ulama yang tidak sepaham,
dan penghancuran tempat-tempat yang dianggap suci. Demikian pula terjadi
perombakan dalam praktek-praktek keagamaan yang selama ini dianggap mapan,
seperti larangan bermadzhab, larangan berziarah ke tempat-tempat yang dianggap
keramat, dan berbagai larangan itu diikuti dengan ancaman hukuman mati bagi
yang melanggarnya.[44]
Kondisi ini mendorong ulama madzhab dan penganut ahlussunnah wal jamaa’ah di Indonesia
untuk ikut berpartisipasi dalam mempertahankan praktek-praktek keagamaan ala ahlussunnah wal jama’ah di tanah Hijaz.
Pada saat diselenggarakan Konggres Islam IV di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925,
bersamaan dengan Konggres Syarikat Islam, kaum ulama madzhab yang dipelopori
KH. Abdul Wahab mengusulkan agar dalam Muktamar tentang khilafah yang akan
diadakan oleh Ibu Saud pada Juni 1926 di Makkah nanti, delegasi Indonesia
mendesak Raja Ibnu Saud untuk melindungi dan mempertahankan kebebasan
bermadzhab. Abdul Wahab tidak setuju kalau delegasi Indonesia hanya sekedar
menyatakan perasaan solidaritas atas jatuhnya khilafah Islam saja, namun juga
harus dipersoalkan tentang jatuhnya Hijaz ke tangan kekuasaan Ibnu Saud. Kaum
pembaharu dengan dipelopori Syarikat Islam, Muhammadiyah dan Al-Irsyad yang
sejak semula arogan dan mendominasi Konggres Islam, menurut Alfian, menolak
usul Abdul Wahab dan menilai usul itu tidak pada tempatnya.[45]
Setelah undangan resmi Raja Ibnu Saud untuk menghadiri
Muktamar Dunia Islam sampai di Indonesia, maka pada tanggal 6 Pebruari 1926
diadakan Konggres Islam V di Bandung untuk merumuskan bahan dan utusan yang
akan dikirim ke muktamar tersebut.[46]
Secara kebetulan KH. Abdul Wahab (wakil ulama madzhab yang selalu mengikuti
perkembangan Konggres Islam) mendadak pulang ke Jombang dan tidak dapat
meneruskan ikut konggres, karena ayahnya (KH Chasbullah) wafat. Hal ini diambil
kesempatan oleh kaum pembaharu untuk semakin mendominasi Konggres, dan usul
ulama madzhab dalam Konggres Islam V di Bandung ini semakin tidak mendapat
perhatian, serta ulama madzhab tidak diikutsertakan dalam delegasi Muktamar di Makkah.[47]
Delegasi muktamar terdiri dari HOS. Tjokroaminoto (Syarikat Islam), KH. Mas
Mansur dan H. Soedjak (keduanya dari Muhammadiyah), dan ditambah H. Abdullah
Ahmad dan H.A. Karim Amrullah, keduanya mewakili kaum pembaharu di Sumatera
Barat. Delegasi berangkat ke Makkah pada tanggal 2 Maret 1926 dengan
menggunakan kapal Rondo melalui pelabuhan Surabaya.[48]
Kalangan ulama madzhab yang merasa diabaikan, atas
gagasan KH. Abdul Wahab dengan restu KH. Hasyim Asy’ari, membentuk komite
sendiri untuk mengirim delegasi ke
muktamar di Makkah. Komite yang kemudian diberi nama Komite Hijaz ini diketuai oleh H. Hasan
Gipo, H. Saleh Syamil sebagai sekretaris, dan KH. Abdul Halim dan KH. Kholil
Masyhuri sebagai pembantu, sementara KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab
sebagai penasehat. Komite mengawali kegiatannya dengan mengundang ulama-ulama
terkemuka dan mempersiapkan pertemuan.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah, bertepatan dengan 31
Januari 1926, pertemuan ulama digelar di Kertopaten Surabaya, di rumah Kyai
Musa (mertua KH. Abdul Wahab). Para ulama yang hadir dalam pertemuan itu di
antaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, KH. Abdul Wahab
Tambakberas Jombang, KH. Bisri Syansuri Denanyar Jombang, KH. Doro Muntoha
(menantu KH. Kholil) Bangkalan Madura, KH. R. Asnawi Kudus, KH. Nawawi
Pasuruan, KH. Ridlwan Mujahid Semarang, KH. Abdul Hamid Faqih Sedayu Gresik,
KH. Zubair Gresik, KH. Abdul Halim Liewemunding Cirebon, KH. Maksum Lasem
Rembang, KH. Nachrowi Malang, KH. Dahlan Abdul Qohar Kertosono, KH. Ridlwan
Abdullah, KH. Mas Alwi Abdul Aziz dan KH. Abdullah Ubaid, ketiganya dari
Surabaya, Syekh Ahmad Ghonaim al-Misri dari Mesir, dan beberapa ulama lainnya.[49]
Pertemuan para ulama yang dipimpin oleh KH. Hasyim
Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Chasbullah ini membicarakan masalah pengiriman
delegasi ke Makkah dan masalah penting lainnya, yaitu: 1) tentang kristenisasi
dan sikap acuh tak acuh terhadap agama yang ditunjukkan oleh beberapa orang
tertentu; 2) perjuangan umat Islam dalam menentukan nasib rakyat dan tanah air;
3) menghadapi aliran baru yang anti madzhab; 4) persatuan ulama ahlussunnah wal jama’ah untuk
meningkatkan perjuangan; dan 5) menghadapi ancaman kaum wahabiyah terhadap
paham ahlussunnah wal jama’ah di
tanah Hijaz.
Pada pertemuan itu diresmikan Komite Hijaz yang telah dibentuk sebelumnya, dan memutuskan
mengirim KH. R. Asnawi dari Kudus sebagai utusan ulama Indonesia untuk
menghadap dan mengajukan permohonan kepada Raja Ibnu Saud, yaitu: 1) meminta
kepada Raja Ibnu Saud untuk tetap memberlakukan kebebasan bermadzhab empat
(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali); 2) memohon tetap diramaikannya
tempat-tempat bersejarah, karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid,
seperti tempat kelahiran Siti Fatimah, bangunan Khoizuron dan lain-lain; 3)
mohon agar disebarluaskan waktunya musim haji, mengenai hal ihwal haji, baik
ongkos haji, perjalanan keliling Makkah maupun tentang Syekh; 4) mohon
hendaknya semua hukum yang berlaku di Hijaz ditulis sebagai undang-undang, supaya
tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-undang tersebut;
dan 5) jam’iyah ulama mohon jawaban
tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap Raja Ibnu Saud dan sudah
menyampaikan usul-usul tersebut.[50]
Dalam musyawarah ulama itu muncul persoalan, atas nama
siapa pengiriman delegasi ke Makkah
tersebut. Jawaban spontan dari para ulama adalah kesepakatan untuk
membentuk suatu jam’iyah (organisasi)
sebagai wadah bagi persatuan dan perjuangan para ulama. Berkenaan dengan nama jam’iyah itu muncul dua usul.[51]
Pertama, KH. Abdul Hamid Faqih dari
Sedayu Gresik mengusulkan agar jam’iyah tersebut diberi nama Nuhud al-Ulama yang berarti kebangkitan
ulama, dengan harapan para ulama bersiap-siap akan bangkit melalui jam’iyah tersebut. Kedua, KH. Mas Alwi Abdul Aziz dari Surabaya mengusulkan agar jam’iyah itu diberi nama Nahdhah al-Ulama, yang artinya
kebangkitan ulama secara bersama-sama yang terorganisir, iqtibas kepada Nahdhah
al-Wathan, yang menunjukkan adanya kebangkitan ulama yang sudah dirintis
sejak lama. Akhirnya secara aklamasi usul KH. Mas Alwi Abdul Aziz diterima oleh
forum musyawarah karena dianggap lebih cocok. Pada hari itu juga, yaitu tanggal
16 Rajab 1344 Hijriyah atau 31 Januari 1926 Miladiyah, jam’iyah Nahdlatul Ulama dinyatakan resmi berdiri.
KH. R. Asnawi yang dalam musyawarah diputuskan menjadi
utusan menghadap Raja Ibnu Saud gagal berangkat, karena ketinggalan kapal. Agar
misi ulama tidak gagal, maka keputusan musyawarah ulama di Surabaya dikirim
melalui telegram langsung kepada Raja Ibnu Saud. Setelah mengirim telegram dua
kali yang menghabiskan biaya masing-masing senilai f. 113.83 dan f. 261.20, dan
ditunggu selama dua tahun, jawaban belum juga datang. Karena hal itu, maka KH.
Abdul Wahab bersama Syekh Ahmad Gonaim al-Misri berangkat menghadap Raja Ibnu
Saud di Makkah, dan menyampaikan apa yang menjadi keinginan para ulama
Indonesia. Utusan dan surat NU itu mendapat sambutan yang menggembirakan dari
Raja Ibnu Saud, dan ia meluluskan permintaan NU sebagaimana dinyatakan dalam
surat jawabannya kepada Pengurus Besar NU No. 2082 tertanggal 13 Juni 1928.[52]
Lahirnya NU juga disertai dengan beberapa hambatan, baik
internal maupun eksternal. Secara internal ada beberapa kyai yang tidak setuju
dengan didirikannya jam’iyah NU, bahkan dianggap bid’ah, karena zaman
Rasulullah tidak ada usaha yang demikian. Kyai Hasyim (salah seorang guru KH.
Hasyim Asy’ari) pengasuh Pondok Pesantren Plangitan Babad yang berasal dari
Padangan Cepu bahkan mengharamkan berdirinya NU.[53]
Secara eksternal, reaksi berdirinya NU datang dari dua
arah, yaitu dari kalangan penjajah dan dari kaum pembaharu. Berdirinya NU
hampir bersamaan waktunya dengan sedang berseminya semangat nasionalisme yang
menentang penjajah. Oleh karena itu, berhimpunnya para ulama dalam NU juga
tidak luput dari kecurigaan pemerintah kolonial Belanda. Dari arah lain, reaksi
datang dari kaum pembaharu yang anti madzhab, bahkan mereka secara arogan
menuduh NU berdiri atas dukungan Belanda dan disponsori oleh Christiaan van der
Plas, seorang ahli Islam dan pegawai tinggi pemerintah kolonial Belanda.[54]
Berdasarkan gambaran di atas, menunjukkan bahwa berbagai
peristiwa historis tersebut merupakan latar belakang atau faktor pendorong,
baik langsung maupun tidak langsung berdirinya NU. Faktor penjajahan kolonial
Eropa yang diikuti dengan politik kristenisasi, menjadi faktor tidak langsung
kebangkitan ulama pesantren. Sementara itu dominasi organisasi kaum pembaharu
Islam di Indonesia dan serangkaian serangan yang dialamatkan kepada kalangan
ulama madzhab, serta kepentingan mempertahankan praktek beragama ala madzhab
menyusul berkuasanya Raja Saud di Hijaz yang dinilai membahayakan madzhab,
menjadi faktor yang berkaitan langsung dengan berdirinya NU. Dari sini terlihat
bahwa berdirinya jam’iyah NU merupakan simbol yang paling jelas atas fenomena
kebangkitan ulama pembela tradisi ahlussunnah wal jama’ah di Indonesia.
NU adalah organisasi sosial keagamaan berbasis Islam di
Indonesia yang secara tegas dibentuk untuk mempertahankan tetap dapat
dipraktekkannya paham ahlussunnah wal
jama’ah (selanjutnya disingkat aswaja). Hal ini terlihat jelas dalam Statuten Nahdlatoel Oelama sebagai
Anggaran Dasar NU yang pertama, di mana Pasal 2 menyatakan:
“Adapoen
maksoed perkoempoelan ini jaitoe: memegang tegoeh pada salah satoe dari
madzhabnya Imam empat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj Sjafi’i, Imam Malik
bin Anas, Imam Aboe Hanifah an Noe’man, atau Imam Ahmad bin Hambal; dan
mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam.”[55]
Pengakuan NU sebagai penganut aswaja diperkuat dalam
Muktamar NU XVI di Semarang tahun 1979, yang menyebutkan bahwa:
“Nahdlatul Ulama bertujuan: (a) Menegakkan
Syari’at Islam menurut haluan Ahlussunnah
wal jama’ah, ialah ahlil
madzahibil arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali); (b)
Mengusahakan berlakunya ajaran Ahlussunnah
wal jama’ah dalam masyarakat”.[56]
Relasi Negara dan Agama: Pengalaman NU
Relasi negara
dan agama di Indonesia dapat ditinjau dari pengalaman relasi NU dan negara
selama ini. Pengalaman panjang NU sejak Indonesia sebelum merdeka hingga kini penting
juga untuk mengetahui pandangan warga masyarakat terhadap negara dan agama.
Pada bagian ini akan dikaji pengalaman NU sebagai organisasi masyarakat
berbasis keagamaan dalam memandang relasi negara dan agama.
Basis sosial dalam tulisan ini diartikan sebagai unsur
sosial pendukung utama dalam NU. Secara individual pendukung utama NU adalah
kalangan ulama, dan secara institusional pendukung utama NU adalah pesantren.[57]
Dukungan utama kalangan ulama dan pesantren ini wajar, karena mereka merupakan
eksponen utama pembela tradisi ahlussunnah wal jama’ah, dan berdirinya
NU di antaranya dimaksudkan untuk memelihara tetap dijalankan praktek keagamaan
berdasarkan madzhab ala ahlussunnah wal jama’ah.
Paham aswaja dalam NU, menurut K.H. Achmad Siddiq, adalah
ajaran Islam yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.[58]
K.H. Siradjuddin Abbas mendefinisikan i’tiqad aswaja sebagai berikut:
menurut arti bahasa, “ahlussunnah” berarti penganut sunnah nabi,
sedangkan “wal jama’ah” adalah penganut i’tiqad sebagai i’tiqad
jama’ah sahabat nabi, dan secara istilahi, ahlussunnah wal jama’ah
adalah para penganut i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad dan
sahabat-sahabatnya.[59]
Kedua pandangan ini didasarkan kepada hadis Nabi yang artinya “haruslah kamu
sekalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin
yang mendapat petunjuk (al-mahdiyin).[60]
Al-mahdiyin di sini dipahami bahwa para sahabat nabi yang termasuk khulafaurrasyidin,
yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Dalam pendirian NU paham aswaja yang diikuti adalah[61]:
1) dalam bidang aqidah mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy’ari[62]
dan Imam Abu Manshur al-Maturidi[63];
2) dalam bidang fiqh mengikuti salah satu dari empat imam madzhab, yaitu Imam
Hanafi[64],
Imam Maliki[65],
Imam Syafi’i[66],
dan Imam Hambali[67];
3) dalam bidang tasawwuf mengikuti thariqah Imam Abu Qasim al-Junaidi[68].
Menurut Sa’id Aqiel Siradj, ahlussunnah wal jama’ah
adalah metode berfikir yang bersifat agamis (religius) yang mencakup semua
aspek dan problem kehidupan yang berlandaskan atas dasar karakteristik yang
moderat, netral dan menjaga keseimbangan, serta toleran.[69]
Sikap moderat aswaja ini tercermin pada istinbath
hukum yang mendahulukan nash, namun
juga memperhatikan posisi akal. Begitu juga dalam metode berfikir selalu
menjembatani antara konsep ilahi
(wahyu) dengan rasio (al-ra’yi). Manhaj
seperti inilah yang diimplementasikan oleh para imam madzhab empat serta para
generasi lapis berikutnya dalam membangun hukum fiqh.[70]
Paham aswaja yang dianut NU ini pada gilirannya akan
membentuk tata nilai tersendiri, yang akan dijadikan prinsip-prinsip dalam tata
pikir dan metode penyelesaian masalah. Tata nilai yang dikembangkan NU berdasarkan
kepada ajaran para imam madzhab yang dianutnya adalah prinsip moderat (tawassuth), adil (ta’adul), seimbang (tawazun),
dan toleran (tasamuh).[71]
Prinsip tawassuth
yaitu mengambil jalan tengah antara dalil naqli dan dalil aqli,
antara nash dan ra’yu, dan menjauhi sikap tatharruf (ekstrim), tasaum
(pesimisme) dan tidak apriori. Ini tidak berarti kompromistis atau akomodatif
yang mengarah kepada sikap permissif, namun tawassuth lebih merupakan
sikap wajar dalam memandang segala sesuatu, dan tidak mengada-ada. I’tidal berarti tegak lurus atau
menegakkan keadilan. Sikap adil ini dimaksudkan dalam melaksanakan ajaran Islam
harus sesuai dengan ketentuan yang semestinya, dan secara lurus dan benar,
terlepas dari penyimpangan dan pengaruh yang merusak. Prinsip tawazun ini berarti mengambil sikap
menjaga keseimbangan atau moderat, tidak ekstrim, tidak menutup diri, dan mau
mendengar dari berbagai pihak. Sebagai konsekuensi dari tawassuth, i’tidal dan tawazun adalah sikap tasamuh (toleran). Sikap moderat,
terbuka, memegang kebenaran dan keadilan, pada gilirannya akan mengarahkan
sikap toleran, penuh pengertian dengan berbagai pihak lain, dan menghindari
fanatik secara buta.
Paham aswaja dan tata nilai yang terkandung di dalamnya,
menunjukkan bahwa paham ini mengutamakan perilaku yang moderat, tidak ekstrim
dan penuh toleransi. Tata nilai yang dianut NU ini pada gilirannya sangat
mempengaruhi perilaku organisasi NU yang dalam perjalanan sejarahnya dikenal
begitu moderat, toleran dan mengambil sikap jalan tengah ketika dihadapkan
kepada berbagai pilihan politik. Berbagai keputusan organisasi dalam perjalanan
historis NU selalu didasarkan kepada hukum yang merujuk kepada paham aswaja
ini. Hal inilah yang menunjukkan bahwa NU pada dasarnya adalah organisasi
sosial keagamaan (jam’iyah diniyyah).[72]
Dalam perkembangannya, NU dalam mengambil keputusan lebih
didasarkan kepada hukum fiqh. Ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa
keputusan politik NU didasarkan kepada fiqh, yaitu sikap NU yang menyatakan
bahwa Hindia Belanda adalah dar al-islam,
resolusi jihad NU dalam mempertahankan kemerdekaan dari pendudukan kembali
penjajah Belanda, dan pemberian gelar waliy
al-amry al-daruri bi al-syaukah terhadap Presiden Soekarno.[73]
Selain itu Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984, Munas Alim Ulama di
Cilacap1987, dan Muktamar NU ke-32 di Makasar tahun 2010. Cara pandang dan
sikap NU itu merupakan potret titik-temu antara Islam dan negara di Indonesia.
Pertama, pada Muktamar XI NU di Banjarmasin tahun 1936 di
antaranya memutuskan bahwa wilayah Hindia Belanda sebagai dar al-islam. Keputusan ini didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, sebelum kedatangan penjajah
Belanda, mayoritas penduduk di wilayah Nusantara beragama Islam, dengan
demikian ia berstatus sebagai dar
al-islam. Walaupun kemudian status Hindia Belanda berada di bawah
pemerintahan kolonial Belanda yang beragama Kristen, kondisi ini tidak merubah
status Nusantara sebagai dar al-islam.
Kedua, kendati di bawah pemerintah
kolonial Belanda yang beragama Kristen, namun praktek keagamaan berdasar Islam
di Nusantara tetap boleh berlangsung, maka status Nusantara tetap sebagai dar al-islam.
Kedua, setelah Indonesia memproklamasikan diri sebagai negara
merdeka dan berdaulat, NU mengeluarkan statemen politik yang dikenal dengan
“Resolusi Jihad”.[74]
Resolusi Jihad ini menegaskan sikap NU untuk membela kemerdekaan dari upaya
kolonial yang akan merebut kembali kemerdekaan Indonesia. Resolusi Jihad NU ini
pertama kali dikumandangkan pada tanggal 22 Oktober 1945, dan dikukuhkan dalam
Muktamar XVI NU di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946. Resolusi Jihad NU ini
berisi seruan bahwa jihad fi sabilillah
mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah adalah fardlu ‘ain hukumnya, terutama bagi kaum muslimin yang berada di
radius 80 km yang berada di wilayah pertempuran. Radius 80 km ini merupakan qiyas dari hukum rukhshah shalat. Bagi kaum muslimin yang meninggal dalam jihad ini
dihukumi sebagai mati syahid.
Resolusi Jihad ini tentu saja pada gilirannya memperkuat moral-psikologis para
pejuang dalam melakukan pertempuran melawan tentara Belanda yang coba masuk
kembali ke Indonesia.
Ketiga, keputusan politik NU untuk memberikan gelar kepada
Presiden Soekarno sebagai waliy al-amry
al-daruri bi al-syaukah (pemegang kekuasaan temporer yang secara de facto memegang kekuasaan) diprakarsai
oleh Menteri Agama (1953-1954) K.H. Masjkur, yang menggelar pertemuan ulama
nasional dan banyak dihadiri ulama yang berafiliasi dengan NU dan Perti.
Pemberian gelar ini berkaitan dengan didirikannya Pengadilan Agama di Sumatera
Barat, dan keputusan Menteri Agama mengenai pengangkatan (tauliah) wali hakim bagi perkawinan wanita yang tidak mempunyai
wali (nasab) sendiri. Status penguasa
negara Indonesia sebagai penguasa Islam sangat menentukan keabsahan legitimasi
Islam bagi wali hakim di pengadilan agama nantinya. Di sisi lain, pemberian
gelar kepada Presiden Soekarno ini mempunyai implikasi politik, yaitu dengan
gelar waliy al-amry ini pada saat
yang bersamaan mendelegitimasi kekuasaan Kartosuwirjo (pemimpin pemberontakan
DI/TII) yang mendeklarasikan dirinya sebagai “imam” dar al-islam Indonesia.
Berdasarkan keterangan tersebut, terlihat bahwa NU dapat
bersikap fleksibel dan tegas sekaligus dalam mengambil keputusan. Sikap NU ini
sangat dipengaruhi oleh karakter fiqh yang dianut NU dalam mengambil
keputusan.
Keempat, Muktamar ke-27 NU di Situbondo tahun 1984 ini memiliki
nilai strategis karena beberapa hal.[75]
Pertama, pada Muktamar ini NU
mengambil sikap untuk kembali kepada orientasi awal pendirian NU yaitu sebagai jam’iyah
diniyyah yang memiliki keprihatinan kepada masalah sosial-keagamaan. Kedua, pada muktamar kali ini mulai
dilakukan regenerasi dalam kepengurusan NU. Ketiga,
dalam muktamar ini dikukuhkan hasil keputusan Munas Alim Ulama NU di Situbondo
1983 tentang hubungan NU dan Pancasila.
Keputusan yang paling penting adalah mengenai hubungan NU
dan Pancasila. Berdasarkan pertimbangan keagamaan yang diyakini oleh para ulama
NU, NU mengambil sikap secara tegas tidak mempersoalkan penerimaan Pancasila
sebagai asas organisasi. Pertimbangan penerimaan Pancasila ini didasarkan
kepada pertimbangan agama[76]:
pertama, bahwa Pancasila dapat
diterima sebagai asas organisasi
sepanjang tidak mengubah
fungsi Pancasila menjadi agama. Kedua, prinsip ketuhanan yang terkandung
dalam Pancasila, menurut NU, sama dengan prinsip tauhid dalam Islam. K.H.
Achmad Siddiq secara tegas menyebutkan bahwa Pancasila adalah sebagai kalimatin sawain bagi bangsa Indonesia.[77]
Dengan demikian, menurut NU, tidak ada alasan untuk mempertentangkan antara
Islam dan Pancasila. Ketiga, NU
secara tegas menerima bentuk negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila
sebagai bentuk yang final. NU tidak lagi mempersoalkan antara negara Pancasila
dengan negara Islam.
Keputusan Muktamar NU Situbondo itu dapat dipandang
sebagai sikap fleksibel-moderat NU, karena pada beberapa waktu sebelumnya tak
jarang terjadi ketegangan hubungan
antara NU dan negara. Masalah agama seputar rencana Undang-Undang (UU)
perkawinan menjadi issu utama pada tahun 1973.[78]
Kalangan NU menolak usulan RUU dari pemerintah yang mengabaikan tata cara perkawinana menurut
Islam. Pihak NU dengan dukungan penuh KH. Bisri Syansuri yang mengutamakan cara
pandang fiqh, mengusulkan berbagai perubahan dalam rancangan UU perkawinan
ini, agar lebih menyesuaikan hukum Islam. Pada kesempatan ini, pihak militer
cenderung akomodatif terhadap reaksi keras kalangan NU. Hal ini karena pihak
militer sedang dihadapkan pada “serangan” yang cukup berat, yaitu tuduhan
sebagai agen sekularisme, dan kritik keras dari mahasiswa yang menolak modal
asing yang puncaknya meledak pada peristiwa Malari (15 Januari 1974).[79]
Sikap radikal NU terhadap pemerintah Orde Baru ditunjukkan
dalam Sidang MPR 1978.[80]
NU tidak setuju dengan gagasan pemerintah yang memasukkan “aliran kepercayaan”
sejajar dengan posisi agama. NU mengusulkan agar semua konsep mengenai “aliran
kepercayaan” dalam GBHN dihapuskan, karena NU khawatir dengan posisi yang
sejajar demikian ini “aliran kepercayaan” akan berpotensi menggantikan agama.[81]
Selain itu, NU menilai bahwa upaya memunculkan “aliran kepercayaan” ke dalam
wacana formal sama dengan pengakuan adanya pembelahan antara “santri” dan
“abangan”, padahal antara kedua varian budaya itu, secara formal mereka adalah
pemeluk agama Islam.[82]
Sikap keras NU ini juga ditunjukkan dengan melakukan
penolakan terhadap pengesahan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila). NU menilai bahwa P4 pada masa mendatang memiliki potensi untuk
menggantikan agama, dan akan menjadi dasar pedoman segala kegiatan. Dengan
demikian, identitas Islam akan hilang, lebur dalam satu ajaran yaitu Pancasila.
NU menilai bahwa pelembagaan P4 ini akan dijadikan dasar pijakan pengakuan
terhadap keberadaan “aliran kepercayaan”.
Berbagai pendekatan politik oleh pemerintah terhadap NU
di tubuh PPP, demikian pula sebaliknya, mengalami jalan buntu. Akhirnya
keputusan untuk menerima atau menolak pelembagaan P4 dilakukan dengan jalan
voting. Dihadapkan pada posisi sulit demikian ini, NU di tubuh PPP mengalami
ketidakpuasan, dan akhirnya melakukan walk
out sebagai tanda protes pada saat dilaksanakan voting pada tanggal 18
Maret 1978.
Sikap protes NU, kembali ditunjukkan pada sidang
pengambilan keputusan tentang pengesahan “aliran kepercayaan”. Sehari kemudian,
pada tanggal 19 Maret 1978 NU kembali melakukan walk out sebagai tanda protes atas ketidaksetujuannya terhadap
keberadaan “aliran kepercayaan”.[83]
Dengan demikian, upaya kalangan Islam (dalam hal ini NU) dalam penolakan
terhadap keberadaan aliran kepercayaan menemui kekalahan.
Kelima, pidato Khutbah Iftitah Rais Am Syuriyah PBNU K.H.
Achmad Siddiq pada pembukaan Munas Alim Ulama NU tahun 1987 di Cilacap.[84]
Pada saat itu K.H. Achmad Siddiq menyatakan sikap persaudaran yang dikembangan
di lingkungan warga NU adalah persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah). Pandangan ini
menunjukkan bahwa konsep persaudaraan yang dianut oleh NU sangat luas, tanpa
memandang agama dan bangsa, bahkan mencakup persaudaraan kemanusiaan.
Keenam, salah satu keputusan penting dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32
di Makasar 22-27 Maret 2010 lalu adalah hasil pembahasan masalah-masalah
keagamaan (bahsul masail diniyyah).
Selama ini forum bahsul masail dalam
Muktamar NU hanya meliputi dua bidang, yaitu pembahasan masalah kasus-kasus
keagamaan tertentu (bahsul masail
diniyyah waqiiyah) dan pembahasan masalah keagaman tematik-konseptual (bahsul masail diniyyah maudluiyyah).
Pada Muktamar NU ke-32 terdapat forum baru yang melakukan tinjauan keagamaan
terhadap perundang-undangan di Indonesia (bahsul
masail diniyyah qanuniyah).[85] Forum
ini digunakan untuk membahas dan memutuskan pandangan NU terhadap masalah
seputar perundang-undangan di Indonesia.
NU memandang bahwa setiap
undang-undang hendaklah selalu hidup dan bermanfaat untuk menjawab perkembangan
tuntutan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini NU memegang prinsip al muhafazat ‘ala al qadim al shalih wa al
akhdz bi al jadid al ashlah, yaitu proses transformasi kehidupan masyarakat
memerlukan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai positif dari tradisi yang
telah sejak lama berkembang dalam masyarakat, namun pada saat yang sama juga
bersikap responsif kepada perkembangan moderen.
Atas dasar itulah, Muktamar
NU ke-32 menyusun Qawaidut Taqnin yang dimasudkan sebagai pedoman dan standar NU dalam mempertahankan,
mengkritisi, mengawal, dan mengusulkan peraturan perundang-undangan.
NU berpandangan bahwa seluruh
praktik penyelenggaraan negara tidak saja mempunyai dimensi kepentingan sesaat,
akan tetapi hendaklah memiliki pandangan yang jauh ke depan. Dalam pandangan NU
kepentingan ke depan itu harus selalu didasarkan pada pertimbangan kepentingan
pelaksanaan nilai-nilai ajaran Islam, karena pelaksanaan ajaran Islam pada
dasarnya tidak hanya penting bagi umat Islam saja akan tetapi bermanfaat bagi
keluhuran sifat dasar kemanusiaan.
Secara umum pembuatan peraturan perundangan-undangan di
Indonesia harus mengacu kepada kaidah “kebijakan
pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan pada kemaslahatan” (tasharraf
al imam ‘ala raiyyah manuuthun bi al mashlahah). Secara lebih khusus
lagi, sesuai dengan dasar filosofi ajaran Islam (maqashid al syari’at), maka bagi NU semua peraturan
perundang-undangan hendaklah dapat memperkuat lima tujuan diturunkannya
syari’at (maqashid al syari’at).[86]
Pertama, hifz al din. Setiap kegiatan didasarkan untuk kepentingan pemeliharaan
ajaran Islam, oleh karena kehidupan itu baru bernilai apabila selalu didasarkan
kepada ajaran Islam. Setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan hakikat ajaran Islam malah justru semua undang-undang
haruslah bertujuan memperkuat komitmen semua umat beragama terhadap ajaran
agamanya. Oleh karena itu pertimbangan untuk kepentingan syari’at haruslah
ditempatkan di atas segala-galanya. Semua peraturan perundang-undangan
hendaklah yang dapat memudahkan orang beribadah oleh karenanya tidak boleh ada
yang bertentangan dengan ajaran Islam (Q.S.
Ali ‘Imran [3]:83). Mengingat
agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah Islam, maka setiap
undang-undang hendaklah memberi kemudahan bagi umat Islam untuk mengamalkan
ajaran agamanya, dan pada saat yang sama juga memberikan kemudahan bagi umat
lainnya dalam mengamalkan ajaran agamanya. Bertolak pada pemikiran tersebut,
setiap undang-undang tidak boleh bertentangan dengan semangat spiritual yang
hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Kedua, hifz al nafs. Setiap pelaksanaan ajaran Islam harus selalu memelihara
kelangsungan hidup manusia, oleh karena itu tidak dibenarkan upaya-upaya
kehidupan yang justru berakibat hilangnya keberadaan manusia. Seluruh peraturan
perundang-undangan harus dapat menjaga kelangsungan kehidupan dan melindungi
kehormatan umat manusia. Tidak dibenarkan adanya undang-undang yang merendahkan
martabat manusia karena manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang sempurna (Q.S. Al Tin [95]: 4); (Q.S. Al Isra’ [17]: 33).
Ketiga, hifz al nasl. Seluruh
perundang-undangan harus dapat memelihara kelangsungan berketurunan, oleh
karena itu tidak dibenarkan adanya upaya pembunuhan atau pemutusan keturunan
atas dasar alasan apapun juga. Serta tidak dibenarkan aktifitas perusakan
lingkungan hidup karena dapat mengancam eksistensi kelangsungan hidup manusia.
Seluruh produk perundang-undangan hendaklah bertujuan memuliakan manusia (Q.S. Al Isra’ [17]: 31).
Keempat, hifz al mal. Seluruh perundang-undangan hendaklah dapat memelihara
kepemilikan harta, baik kepemilikan harta yang sempurna (milk taam) maupun kepemilikan tak sempurna (milk naaqish) dan hak-hak kepemilikan kebendaan termasuk hak cipta
maupun budaya bangsa. Islam
menegaskan adanya kepemilikan perorangan dan kepemilikan syirkah, namun harta yang dimiliki itu
memiliki nilai ibadah dan sosial yang ditunaikan melalui zakat, infak dan
shadaqah (Q.S. Al Hijr [15]: 20).
Kelima, hifz al aql. Peraturan
perundang-undangan hendaklah memuliakan manusia sebagai makhluk Allah yang
mulia yang memiliki akal sehat dengan kemampuan berfikir yang baik dan benar,
terbebas dari hedonisme dan materialisme, jauh dari pragmatis serta menjunjung
tinggi akhlak mulia, sehingga segenap kehidupan manusia menjadi aman dan
bahagia (Qs. 17:70). Hal ini dapat
terwujud manakala akal pikirannya positif, tidak terkotori pengaruh narkotika
dan obat-obat terlarang dan mampu menyikapi semua hal secara dewasa.
Berdasarkan kepada prinsip-prinsip tersebut, maka NU
berpandangan bahwa produk peraturan perundangan hendaklah dapat: (1) melindungi
semua golongan; (2) berkeadilan; (3) sesuai dengan agama/keyakinan/kepercayaan
masyarakat yang disahkan keberadaannya di Indonesia; (4) sesuai dengan
nilai-nilai kepatutan dan budaya masyarakat yang tidak bertentangan dengan
agama; (5) selalu memiliki wawasan ke
depan.
NU memandang bahwa penyerapan hukum Islam dalam
hukum nasional adalah suatu keniscayaan, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
beragama Islam di mana ada bagian-bagian dari hukum Islam yang dapat terlaksana
secara paripurna memerlukan peranan dan dukungan negara. Oleh karena itu, NU
memandang penyerapan hukum Islam dalam hukum nasional dapat diwujudkan sejalan
dengan semangat bhineka tunggal ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal ini disebabkan karena hukum Islam adalah semuanya membawa
kemaslahatan bagi umat manusia dan alam semesta, sehingga tidak akan terjadi
diskriminasi terhadap warga negara yang berbeda budaya maupun agama.
Pola penyerapan itu dapat dilakukan dalam tiga hal
yaitu formal, substansial, dan esensial, tergantung pada materi dan
ruang lingkup berlakunya.
Pertama, pola formal (rasmiah). Formal
artinya penyerapan hukum Islam pada hukum nasional secara formal. NU memandang
ada bagian-bagian hukum Islam yang harus diserap dalam hukum nasional secara
formal dan hanya berlaku bagi umat Islam, seperti zakat, wakaf, peradilan
agama, dan haji. Dalam hal ini, NU mendorong terbitnya peraturan
perundang-undangan yang secara formal mengatur persoalan tersebut yang hanya
berlaku bagi umat Islam.
Kedua, substansial (dzatiah). NU
menyadari bahwa ajaran Islam adalah ajaran universal (rahmatan lil alamin), untuk itu NU berupaya agar nilai-nilai ajaran
Islam dapat dirasakan kemaslahatannya bukan hanya oleh bangsa Indonesia saja
akan tetapi oleh seluruh umat manusia. Karena sistem sosial politik bangsa
Indonesia belum memungkinkan berlakunya ajaran Islam secara formal, maka NU
memperjuangkan nilai-nilai substansi dalam peraturan perundang-undangan,
seperti masalah pornografi, perjudian, penyalahgunaan narkoba dan lain-lain.
Ketiga, esensial (ruhiah). NU menyadari kebinekaan bangsa Indonesia
dan mendukung tegaknya NKRI. Karena itu dalam penerapan syariah, NU merasa
perlu menggunakan pola tadriji untuk menghindarkan penolakan masyarakat
yang berakibat kontraproduktif bagi perkembangan sosialisasi syariah pada masa
depan. Hukum Islam yang belum memungkinkan diterapkan, diupayakan untuk
memasukkan esensi Hukum Islam ke dalam perundangan yang berlaku di Indonesia.
Seperti dalam hukum pidana Islam, NU untuk sementara belum mendorong berlakunya
hukum jinayat Islam secara formal
ataupun substansial, tetapi mengupayakan terserapnya esensi hukum jinayah. Misalnya pidana terhadap pelaku
zina (ghairu muhson) yang dalam KUHP tidak dianggap sebagai pidana harus
diperjuangkan menjadi delik pidana dengan hukuman ta’zir.
Sampai di sini dapat
diketahui posisi dan sikap NU dalam kehidupan politik kenegaraan Indonesia.
Nampaknya NU akan tetap mengambil peran dalam berpolitik, terutama di tingkat
kenegaraan dan kebangsaan, melalui cara pandang Islam moderat dan toleran yang
dikembangkannya.
Penutup
Relasi negara dan Islam di Indonesia diwarnai oleh
ketegangan dan moderasi. Pengalaman NU setidaknya menggambarkan dinamika relasi
itu. Pada akhirnya relasi negara dan Islam di Indonesia adalah pilihan.
Pengalaman NU dapat dipilih sebagai pelajaran bahwa relasi negara dan Islam di
Indonesia tidak selalu ditempuh melalui jalur ketegangan yang berwatak
kekerasan, namun ketegangan itu dapat dikelola secara kreatif melalui jalur
moderasi dan toleransi.[87]
©
**) Hasyim
Asy’ari adalah Dosen Hukum Tata Negara (HTN), Fakultas Hukum, Universitas
Diponegoro (UNDIP), Semarang. Makalah disampaikan
di acara “Halqah; Islam Toleran dalam Himpitan Gerakan Islam Transnasional” yang
diadakan oleh Ma’had Qudsiyyah yang bekerjasama dengan Yayasan Nurul Ma’iyyah
Indonesia. Bertempat di gedung YM3SK Kudus, 11 Desember 2011
[1] Kompas, Senin, 2 Mei 2011, “Indonesia Jadi Medan Perang, Generasi Baru
Pelaku Terorisme Sudah Lahir”.
[2]
Michael van Langenberg, 1992, “The New Order State: Language, Ideology and
Hegemony”, dalam Arief Budiman (ed.), 1992, State and Civil Society in
Indonesia, (Clayton: Centre of Southeast Asian Studies Monash University),
hlm. 121-149. Ideologi negara Orde Baru di sini dapat dibagi menjadi dua, yaitu
“ideologi praktis” berupa “pembangunanisme” dan ideologi yang lebih “filosofis”
adalah “Pancasila”. Penggunaan ideologi Pancasila dan “pembangunan” sebagai
basis legitimasi politik Orde Baru, lihat: Mochtar Pabottinggi, 1995,
“Indonesia: Historicizing the New Order’s Legitimacy Dilemma”, dalam Muthiah
Alagappa (ed.), 1995, Political Legitimacy in Southeast Asia: The Quest for
Moral Authority, (California: Stanford University Press), hlm. 224-256.
[3] Kompas, Jumat, 6 Mei 2011, “Pendidikan Pancasila Dihapus, Nilai-Nilai
Toleransi Ditinggalkan”.
[4] Diskusi mutakhir tentang relasi agama dan negara, dapat
dibaca: Luthfi Assyaukanie, 2009, Islam
and The Secular State in Indonesia, (Singapore: ISEAS), Musdah Mulia, 2009,
Negara Islam, (Depok: Kata Kita), dan
Abdul Aziz, 2011, Chiefdom Madinah: Salah
Paham Negara Islam, (Jakarta: Pustaka Alvabet).
[5]
Rachmat Djatnika, 1990, “Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia”, dalam
Abdurrahman Wahid et.al., 1990, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia,
(Bandung: Remaja Rosdakarya), hlm. 229-231.
[6] Ibid.,
hlm. 231-233.
[7]
Rachmat Djatnika, 1990, “Sosialisasi Hukum Islam”, dalam Abdurrahman Wahid
et.al., 1990, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja
Rosdakarya), hlm. 243-246.
[8]
Kajian mutakhir seputar Islam dan Negara di Indonesia, lihat: Bahtiar Effendy,
1998, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta: Paramadina).
[9]
Perdebatan seputar pemikiran politik sebagai dasar Negara dapat dibaca: Herbert
Feith and Lance Castles, (eds.), 1988, Pemikiran Politik Indonesia
1945-1965, (Jakarta: LP3ES). Perdebatan seputar Konstituente baca: Adnan
Buyung Nasution, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:
Studi Sosio-Legal Atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Grafiti).
[10]
Noer Iskandar Al-Barsany, 1992, “Politik Islam di Indonesia”, dalam Masdar
Farid Mas’udi (ed.), 1992, Fiqh Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat,
(Jakarta: P3M-RMI), hlm. 81-93.
[11]
Mohammad Fajrul Falaakh, 1994, “Sketsa Komparatif Hukum Islam di Turki dan
Saudi Arabia”, makalah disampaikan pada Seminar “Pelaksanaan Hukum Islam di
Timur Tengah”, oleh Pusat Pengkajian dan Penelitian Masalah-Masalah Timur Tengah,
Fisipol, UGM, Yogyakarta, 8 September 1994.
[12]
Tentang pemberlakuan Syari’ah Islam di Sudan, baca: Abdullahi Ahmed An-Naim,
1994, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hukum Internasional dan
Hak-Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: LKiS).
[13]
Bagian ini bersumber pada: Musthofa Sonhadji, 2001, Hubungan Politik Nahdlatul Ulama dan Pemerintah Orde Baru,
Disertasi, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga), kecuali disebutkan sumber lain.
[14]
Baca Aqib Suminto, 1985, Politik Islam
Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES), hlm. 18.
[15] M.
Farid Wajdi, 1956, Dairah al-Ma’arif,
Jilid V, Kairo, hlm. 531.
[16]
Lothrop Stoddard, 1966, The World of
Islam, alih bahasa Panitia, (Jakarta: Panitia), hlm. 24.
[17] KH.
Saifuddin Zuhri, 1980, Sejarah
Kebangkitan Islam dan Perkembangan di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif),
hlm. 346. Bandingkan: Muhammad Yamin, 1968, Tatanegara
Majapahit II, (Jakarta: Yayasan Prapanca), hlm. 266, 313 dan 329.
[18]
Saifuddin Zuhri, loc.cit.
[19]
Mustofa Kholidy dan Omar A. Farukh, 1953,
Al-Tabsyir wa al-Isti’mar, alih bahasa Tk. H. Ismail Yakub, (Surabaya: CV.
Mizan), hlm. 38. Lihat juga: Saifuddin Zuhri, op.cit., hlm. 368 dan 386.
[20]
Zuhri, ibid., hlm. 381.
[21]
Stoddard, op.cit., hlm. 306.
[22]
Mengenai pernyataan-pernyataan ini secara lebih lengkap, baca pidato-pidato
para pemimpin dan pejabat Belanda yang
dikutip Aqib Suminto, op.cit.,
hlm. 17-25.
[23]
Lihat: R.R. (Reglement op het belid der
Regering van Nederland Indie) 1854 ayat 119, hlm. 28, yang berbunyi: “Setiap warga negara bebas menganut pendapat
agamanya, tidak kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas
pelanggaran peraturan umum hukum agama”.
[24]
Harry J. Benda, 1980, The Crescent and
The Rising Sun, alih bahasa Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya), hlm.
44.
[25]
Aqib Suminto, op.cit., hlm. 15.
[26] Ibid.
[27]
H.J. Benda, op.cit., hlm. 45.
[28]
Aqib Suminto, op.cit., hlm. 40.
Tentang politik etis, baca juga: Robert van Niel, 1984, Munculnya Elit Modern Indonesia, alih bahasa Zahara Deliar Noer,
(Jakarta: Pustaka Jaya), hlm. 50-70.
[29]
Politik kristenisasi yang dijalankan oleh kolonial Eropa, nampaknya menjadi
salah satu faktor pendorong berdirinya berbagai organisasi Islam di Indonesia.
Selain NU, respon terhadap politik kristenisasi ini juga menjadi salah satu
faktor berdirinya Muhammadiyah. Lihat: Alwi Shihab, 1998, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi
Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan), hlm. 141-147. Perlawanan
non-kultural kalangan pesantren terhadap kolonial Belanda pada periode
sebelumnya ditunjukkan dalam berbagai pemberontakan, di antaranya pemberontakan
petani di Banten. Lihat: Sartono Kartodirdjo, 1984, Pemberontakan Petani di Banten 1888, (Jakarta: Pustaka Jaya),
hlm. 222-225.
[30]
Baca: Masbuchin, 1967, Nahdlatul Ulama di
Tengah Rakyat dan Bangsa Indonesia, (Kebumen: Daya Bakti), hlm. 16. Juga,
Musthofa Sonhadji, 1987, Nahdlah
al-Ulama: Organisasi Sosial Keagamaan Tahun 1926-1952 (Suatu Tinjauan Kultural
Historis), Tesis M.A., (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga), hlm. 95-97.
[31] Ada
semacam transformasi fungsi kultural pesantren, yang semula menjalankan “fungsi
instrumen islamisasi”, pada masa kolonial berubah menjadi “fungsi benteng
pertahanan menghadapi penetrasi kebudayaan luar”. Lihat: Abdurrahman Wahid,
1979, Bunga Rampai Pesantren,
(Jakarta: Dharma Bhakti), hlm. 116.
[32]
Perguruan Nahdlatul Wathan yang
dipelopori oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah, K.H. Mas Mansur dan K.H. Ridlwan
Abdullah, dalam mengawali setiap kegiatan belajar selalu dikumandangkan syair
berbahasa Arab yang bertujuan untuk membangkitkan semangat nasionalisme.
Choirul Anam menyebutkan bahwa salah satu motivasi berdirinya NU, sebagaimana
dikemukakan oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah kepada K.H. Abdul Halim pada suatu
ketika menjelang berdirinya NU, adalah untuk memperjuangkan tercapainya
kemerdekaan Indonesia. Untuk lebih lengkap, lihat: Choirul Anam, 1985, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama,
(Sala: Jatayu), hlm. 25-26, dan hlm. 32-33.
[33]
Madzhab adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti jalan atau cara. Bermadzhab
di sini diartikan sebagai pengamalan agama dengan mengikuti pendapat dan
pemikiran dari salah seorang ulama yang memiliki otoritas yang sangat tinggi
dalam bidang agama dan memiliki kemampuan berijtihad. Dalam praktek agama Islam
terdapat banyak madzhab. Sementara dalam fiqh madzhab terbesar adalah madzhab
Hanafi yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, madzhab Maliki
oleh Imam Malik bin Anas, madzhab Syafi’i oleh Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i,
dan madzhab Hanbali oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
[34]
Masalah khilafiyah yaitu
masalah-masalah agama yang diperselisihkan oleh aliran-aliran agama khususnya
antara ulama bermadzhab dengan ulama tidak bermadzhab, dan sebenarnya
masalah-masalah yang diperselisihkan bukan masalah pokok/dasar, namun hanya
masalah-masalah kecil/cabang (furu’iyyah).
[35]
H.J. Benda, op.cit., hlm. 77-78.
[36]
Tentang perdebatan-perdebatan tersebut, dapat dilihat dalam: Deliar Noer, 1980, Gerakan Modern Islam di Indonesia,
(Jakarta: LP3ES), hlm. 247-248. Baca juga: Rosihan Anwar, 1971, Pergerakan Islam dan Kebangsaan Indonesia,
(Jakarta: PT. Kartika Tama), hlm. 29-58.
[37]
Alfian, 1969, Sekitar Lahirnya “Nahdlatul
Ulama” (NU), (Jakarta: Lembaga Ekonomi dan Masyarakat Nasional LIPI), hlm.
4.
[38]
Harun Nasution, 1975, Pembaharuan Dalam
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), hlm. 153-154.
[39]
Carl Brockelmann, 1968, Tarikh al-Syu’ub
al-Islamiyah, alih bahasa Arab oleh Habib Amin Faris dan Murik
al-Ba’albaki, (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Mabayin), hlm. 744-748.
[40] Ibid., hlm. 749-751; bandingkan Philip
K. Hitti, 1953, Arab History, alih
bahasa H. Hutagalung dan ODP. Sihombing, (Bandung: Van Hoeve), hlm. 255-256.
[41] Ibid.
[42]
Deliar Noer, op.cit., hlm. 248.
[43]
Brockelmann, op.cit., hlm. 753.
[44]
Berita-berita tersebut pernah dimuat dalam Swara
Nahdlotoel Oelama’, No. 2 Th. I, Shofar 1346 H; bandingkan Umar Burhan,
“Hari-Hari Sekitar Lahirnya NU”, Aula,
No. 2 Th. III, Januari 1981, hlm. 16-17.
[45]
Alfian, op.cit., hlm. 5.
[46]
Deliar Noer, op.cit., hlm 243,
mencatat bahwa Konggres Islam V ini telah didahului oleh suatu pertemuan
“persekongkolan” kaum pembaharu untuk mendeskriditkan ulama madzhab yang
diadakan di Cianjur Jawa Barat pada tanggal 8-10 Januari 1926.
[47]
Deliar Noer, ibid., hlm. 248.
[48]
Setelah delegasi kembali ke Indonesia, pada bulan September 1926 diadakan
Konggres Islam VI di Surabaya guna membicarakan hasil Muktamar Dunia Islam di
Makkah, dan di antara keputusannya adalah membubarkan Comite Central
Chilafat dan mendirikan Muktamar Alam
Islami Far’u al-Hindi al-Syarqiyah (MAIHS), yaitu cabang dari Muktamar Alam
Islami yang berpusat di Makkah. Baca: Amelz, 1950, H.O.S. Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangannya, (Jakarta: Bulan
Bintang), hlm. 172-173.
[49]
Saifuddin Zuhri, op.cit., hlm. 609;
juga Umar Burhan, op.cit., hlm. 18.
[50]
Musthofa Sonhadji, op.cit., hlm. 21.
[51]
Tentang asal mula nama NU, lihat: Choirul Anam, op.cit., hlm. 2-3. Juga Mudjib Ridwan, “Si Pencipta Nama NU”, Aula, No. 2 Th. III, 1981, hlm. 28.
[52]
Lihat: Swara Nahdlatoel Oelama, No.
12 Th. I, Dzulhijjah 1346 H; juga Deliar Noer, op.cit., hlm. 244-246.
[53]
Musthofa Sonhadji, op.cit., hlm. 23.
[54]
Berdasarkan penelitiannya, Alfian tidak menemukan bukti yang dapat membenarkan
tuduhan itu. Van der Plas memang sering membuat laporan tentang perkembangan
NU, namun ia juga membuat laporan tentang perkembangan organisasi Islam
lainnya, seperti pada tahun 1927 Plas membuat laporan perkembangan Muhammdiyah
di Minangkabau. Lihat: Alfian, op.cit.,
hlm. 1-2.
[55] Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama,
1344 H /1926 M, Rechtspersoon, No. IX, 6 Pebruari 1930, hlm. 2.
[56] Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU,
1979, Pasal 2 ayat 2.
[57]
Martin van Bruinessen, 1994, NU: Tradisi,
Relasi-Relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS), hlm.
37-41.
[58]
Achmad Siddiq, 1980, Khittah Nahdliyyah,
(Surabaya: Balai Buku), hlm. 27.
[59]
Siradjuddin Abbas, 1982, I’tiqad
Ahlussunnah wal Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah), hlm. 16.
[60]
Achmad Siddiq, op.cit., hlm. 29.
[61]
Bisyri Musthofa, 1966, Risalah
Ahlussunnah wal Jama’ah, (Kudus: Menara Kudus), hlm. 18-19.
[62] Abu Hasan al-Asy’ari adalah keturunan sahabat Nabi Abu
Musa al-Asy’ari, dengan nama lengkap Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abi Basyar
bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah
bin Abu Musa al-Asy’ari. Dia lahir di Basrah (Iraq) tahun 260 H/873 M, dan
wafat dalam usia 64 tahun pada 324 H/935 M. Al-Asy’ari adalah murid ayah tirinya yang juga tokoh
Mu’tazilah yaitu Abu Ali Muhammad al-Juba’i. Karya al-Asy’ari di antaranya
adalah Maqalat al-Islamiyyin, Al-Luma’ fi al-Raddi ‘Ala Ahl al-Ziyagh wa
al-Bida’, dan Al-Ibanah ‘An Ushul
al-Diyanah. Informasi tentang para imam aswaja yang diikuti NU diambil dari
Musthofa Sonhadji, 1988, Nahdlah al-Ulama
Gerakan Sosial Keagamaan 1926-1952: Suatu Tinjauan Historis Kultural, Tesis
M.A., (Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga).
[63]
Nama lengkapnya Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Ia
lahir di Maturidi, sebuah kota kecil di daerah Samarkand pada pertengahan abad
IX dan meninggal pada tahun 333 H/944 M. Karya-karya al-Maturidi di antaranya
adalah Kitab al-Tawhid, Ta’wilat al-Qur’an, Risalah fi al-Aqaid, dan Syarh
al-Fiqh al-Akbar.
[64]
Imam Hanafi memiliki nama lengkap Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin
Zutha al-Kufi (lahir 80 H/699 M, wafat 150 H/769 M). Ia lahir di Anhar Kufah
dan di kota ini belajar kepada Hamad bin Abi Sulaiman murid dari Ibrahim
al-Nakha’iy. Setelah pindah ke Bagdad, Imam Hanafi banyak mengeluarkan fatwa,
dan di natara fatwanya banyak yang menggunakan qiyas dan ra’yi, sehingga ada
yang menggolongkannya ke dalam Ahl
al-Qiyas dan Ahl al-Ra’yi, namun
demikian fatwanya masih didasarkan kepada Qur’an dan Sunnah, sementara qiyas
dan ra’yi hanya digunakannya untuk memperkuat argumentasi.
[65]
Imam Maliki memiliki nama lengkap Malik bin Anas Malik bin Abi “Amir al-Asbahi
al-Madani (lahir 93 H/ 712 M, wafat 179 H/ 798 M). Ia lahir di Madinah dari
keturunan kabilah Ashbah Yaman yang hijrah ke Madinah. Sejak kecil ia banyak
belajar hadis, menurut riwayat, Imam Malik berguru kepada sekitar 700 orang,
dan 300 di antaranya adalah golongan tabi’in. Salah satu gurunya yang terkenal
adalah Abdulrahman bin Harmuz, seorang pembela hadis yang gigih. Imam Maliki
memperkenalkan perpaduan natara metode Ahl
al-Hadis dan Ahl al-Ra’yi, yaitu
berupa taufiq antara nash dan
kemaslahatan. Kitab karya Imam Malik yang terkenal adalah Al-Muwaththa’ yang memuat 100.000 hadis dengan metode susunan atas
dasar Al-Qur’an, Sunnah Rasul, Ijma’ (kesepakatan) ulama, dan Qiyas (analogi),
dan karena keahliannya dalam ilmu fiqh, ia dijuluki sebagai Sayyid Fuqaha al-Hijaz.
[66]
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin
Saib Ibnu ‘Abid bin Abi Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin Abi Manaf al-Quraisyi
(lahir 150 H/767 M, wafat 204 H/820 M). Sejak dilahirkan di Palestina, Imam
Syafi’i hidupnya pindah-pindah ke Makkah, Baghdad dan Mesir. Ia berguru
langsung kepada Imam Malik dan membaca kitab Al-Muwaththa’. Imam Syafi’i mengembangkan metode yang
mengkompromikan fiqh Ahl al-Hadis yang diperolehnya dari Hijaz dengan metode
fiqh Ahl al-Ra’yi yang didapatnya di Iraq. Ketika di Makkah, Imam Syafi’i
menyusun kaidah fiqhiyyah dalam buku Al-Risalah, yang kemudian dikenal sebagai
peletak dasar Ushul al-Fiqh.
Karya-karya Imam Syafi’i di antaranya adalah Ahkam al-Qur’an, Al-Um, Ikhtilal al-Hadis, Al-Musnad, dan Al-Qiyas.
[67]
Nama lengkap Imam Hanbali adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal (lahir
164 H/750 M, wafat 241 H/855 M). Ia lahir di Baghdad dari keluarga keturunan
Arab yang hijrah dan menetap di Khurasan. Imam Hanbali adalah murid dari Imam
Syafi’i, dan setelah menjadi ahli fiqh dan hadis, Imam Hanbali memiliki banyak
murid, di antaranya adalah ahli hadis terkemuka, yaitu Imam Bukhari dan Imam
Muslim.
[68]
Al-Junaidi memiliki nama lengkap Abu al-Qasim al-Junaidi al-Baghdadi, lahir di
Nahawan dan wafat di Baghdad pada tahun 287 H/910 M. Al-Junaidi adalah ulama
yang mengajarkan tasawwuf berdasarkan
syariat. Menurut Al-Junaidi, tasawwuf tidak boleh bertentangan dengan syariat,
karena syariat itu jalan menuju tasawwuf dan tasawwuf adalah buah dari syariat.
[69]
Sa’id Aqiel Siradj, 1996, “Ahlussunnah wal Jama’ah”, makalah untuk Bahtsul
Masail tentang Aswaja oleh Lajnah Bahtsul Masail PBNU, 15 September,
hlm. 24-25.
[70]
Sa’id Aqiel Siradj, ibid., hlm. 30.
[71]
Achmad Siddiq, op.cit., hlm. 38-40.
[72]
Musthofa Sonhadji, op.cit., hlm. 105.
Lihat juga: M. Fajrul Falaakh, 1994, “Jam’iyah Nahdlatul Ulama: Kini, Lampau
dan Datang”, dalam Ellyasa KH. Darwis (ed.), 1994, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS), hlm. 171.
[73]
Informasi tentang hal ini, lihat: M. Ali Haidar, 1994, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih Dalam Politik,
(Jakarta: Gramedia), hlm. 4-5.
[74] Diskusi tentang fatwa “Resolusi Jihad NU”, lihat: Hairus
Salim, “50 Tahun Resolusi Jihad NU”, Kompas, 10 Nopember 1995; Hermawan
Sulistyo, “Historiografi tentang Resolusi Jihad NU”, Kompas, 24 Nopember
1995; Mohammad Fajrul Falaakh, “NU dalam Dua Resolusi Jihat”, Kompas, 8
Desember 1995. Ketegangan relasi negara dan Islam di Indonesia pada masa
revolusi yang melibatkan militer, NII dan NU di tengah-tengah-nya, dilukiskan
secara novelis oleh Ahmad Tohari, 1995, Lingkar
Tanah Lingkar Air, (Purwokerto: Harta Prima), baca: Hasyim Asy’ari, 2008,
“Budaya Politik di Pentas Novel: Kajian Tentang PKI dan DI/TII dalam Novel
Ahmad Tohari”, diterbitkan dalam Sabda
Jurnal Kajian Kebudayaan, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Vol. 3,
Nomor 1, April 2008, hlm. 1-9.
[75]
Mahrus Irsyam, 1984, Ulama dan Politik:
Upaya Mengatasi Krisis, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan), hlm. 124-125. Ibid., hlm. 133.
[76]
Lihat: Keputusan Munas Alim Ulama NU No. II/MAUNU/1404/1983 tentang Pemulihan
Khittah NU 1926. Pembahasan tentang hal ini, lihat: Einar Martahan Sitompul,
1996, NU dan Pancasila, (Jakarta:
Sinar Harapan), hlm. 167-180.
[77]
Faisal Ismail, 1999, Ideologi, Hegemoni
dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila,
(Yogyakarta: Tiara Wacana), hlm. 237.
[78] Andree Feillard, 1999, NU fis-a-fis Negara:
Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS), hlm. 190-198.
[79] Ibid., hlm. 197.
[80]
Tentang sikap keras NU dalam Sidang MPR 1978, lihat: Andree Feillard, ibid., hlm. 199-203. Sikap keras ini
sebenarnya bukan khas NU, tetapi hampir menjadi sikap semua orang Islam, namun
secara politik formal hal ini ditunjukkan oleh NU secara dramatis dalam
persidangan MPR.
[81] Munculnya
“aliran kepercayaan” sebagai kekuatan politik dalam Orde Baru tidak lepas dari
sponsor pemerintah, terutama dimotori oleh Mayor Jenderal (Mayjen) Soedjono
Hoemardani, asisten pribadi Presiden Soeharto, yang dikenal sebagai penganut
kejawen. Satu bulan setelah “menggolkarkan” GUPPI, Soedjono Hoemardani
mensponsori pertemuan 43 kelompok aliran kepercayaan di Yogyakarta yang ingin
mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah. Lihat: Michael S. Malley,
“Soedjono Hoemardani dan Orde Baru: Aspri Presiden Bidang Ekonomi 1966-1974”, Prisma, hlm. 118-119.
[82] Pembahasan
tentang kebijakan pemerintah dalam penataan “aliran kepercayaan”, lihat: Paul
Stange, 1998, Politik Perhatian: Rasa
Dalam Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: LKiS), terutama bab “Politik Penataan
Kepercayaan”, hlm.93-130.
[83] Laode Ida, 1996, Anatomi
Konflik NU, Elit Islam dan Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), 1996, hlm.
44.
[84]
Informasi ini diperoleh dari KH. Em. Nadjib Hassan, pemangku makam Sunan Kudus
dan masjid al-Aqsha Menara Kudus yang juga Wakil Rais Syuriyah Pengurus Wilayah
(PW) NU Jawa Tengah.
[85]
Keputusan Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah, Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) Ke-32,
Makasar, 22-27 Maret 2010.
[86]
Teori maqashid al syari’at
diajukan oleh sejumlah ahli hukum Islam, khususnya Imam Abu Ishaq Ibrahim bin
Musa al-Syathibi, seorang ahli fiqh madzhab Maliki yang karya-karyanya
menyangkut maqashid al syari’at, khususnya dalam kitab al-Muwaafaqat
fi ‘Ushul al Syariah, (Beirut: Dar al Ma’rifah, 2004).
[87]
Andree Feillard, 1994, “Nahdlatul Ulama dan Negara: Fleksibilitas, Legitimasi
dan Pembaharuan”, dalam Ellyasa KH. Darwis (ed.), 1994, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar