Selasa, 03 Desember 2013

RELASI NEGARA DAN ISLAM DI INDONESIA: PENGALAMAN NAHDLATUL ULAMA *)


Oleh Hasyim Asy’ari **)

Pengantar
Dalam satu dasawarsa belakangan ini, mulai tahun 2000-2011 Indonesia diguncang oleh serangkaian peristiwa bom. Pemboman itu secara massif terjadi secara tersebar di sejumlah tempat. Oleh pihak otoritas keamanan (polisi) diidentifikasi pelaku bom masih saling terkait dengan peristiwa-peristiwa terdahulu, seperti gerakan Negara Islam Indonesia (NII), jaringan kekerasan bersenjata Aceh, kerusuhan Maluku dan Poso, dan kelompok Islam garis keras. Jaringan pelaku bom juga diidentifikasi berbasis ideologi Islam garis keras. Kekerasan bom di Indonesia itu diidentifikasi telah mengalami regenerasi dan modifikasi gerakan dan ideologi, baik dalam arti pelaku yang semula berkelompok dan berjejaring, kini telah bermodifikasi menjadi pelaku individu. Demikian pula dalam penyebaran ideologi kekerasan telah menyebar hingga tingkat individual yang semakin sulit diidentifikasi karena tersebar berserakan. Kondisi ini telah membawa “Indonesia menjadi medan perang”.[1] Perang dalam arti yang sesungguhnya yang melibatkan sarana kekerasan, dan perang dalam arti perbenturan ideologi antara Pancasila berhadapan dengan liberalisme sekaligus Islam garis keras.
Dalam konteks ideologi, Pancasila pada praktek politik kenegaraan sepanjang era Orde Baru, telah mengalami “penyimpangan”. Di satu pihak diakui bahwa Pancasila adalah pandangan hidup resmi dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia, namun di sisi lain Negara Orde Baru telah memperlakukan Pancasila sekedar hanya sebagai “alat pemukul” bagi pihak yang kritis terhadap negara.[2] Dalam konteks itu, pasca Orde Baru masyarakat cenderung enggan mendasarkan diri pada Pancasila, bahkan Pancasila cenderung telah ditinggalkan sebagai pandangan hidup dalam berbangsa dan bernegara. Bahkan kurikulum pendidikan di Indonesia juga telah “meminggirkan” Pancasila dari ranah pendidikan.[3]
Apakah warga muslim Indonesia selalu bersikap demikian ekstrem terhadap negara? Tentu saja tidak, karena masih ada warga muslim lainnya yang bersikap moderat dan jumlahnya lebih besar, di antaranya adalah warga nahdliyyin yang bernaung di bawah organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU).
Tulisan ini hendak mendeskripsikan relasi masyarakat dan negara di Indonesia, terutama respon masyarakat muslim. Kajian ini akan difokuskan kepada pengalaman respon Nahdlatul Ulama (NU) terhadap negara, karena NU adalah organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia dan dikenal memiliki sikap toleran dan moderat sebagai pandangan hidupnya, sehingga kajian tentang NU penting untuk mendapat perhatian dalam beradaptasi dengan negara-bangsa selama ini. Tulisan akan dimulai dengan mengkaji relasi Islam dan negara, terutama di Indonesia, dan dilanjutkan dengan mengkaji sejumlah pengalaman titik-temu antara NU dan negara.

Relasi Negara dan Agama: Pengalaman Indonesia dan Perbandingan
Titik konflik yang menonjol di Indonesia di antaranya diwarnai oleh relasi negara dan agama. Konflik ini dapat melibatkan antara otoritas negara versus warga negara, dan konflik antar warga negara. Persoalan ini dapat diruntut dari bagaimana relasi antara negara dan agama, serta pandangan masyarakat terhadap negara dan agama. Relasi antara negara dan agama memiliki beberapa kecenderungan.[4]
Pertama, negara berdasar agama, pada negara ini terjadi bersatunya pemegang otoritas negara dan agama (waliyul amri kalifatullah sayyidin pranatagama, caesaro papisme). Negara dan pemegang otoritas negara dijalankan berdasarkan agama tertentu. Pada model negara ini terdapat dua kemungkinan, yaitu warga negara diwajibkan memeluk agama resmi negara dan kemungkinan lainnya warga diberi kebebasan untuk memeluk agama sesuai keyakinannya.
Kedua, agama sebagai spirit bernegara, pada model ini negara tidak secara formal menganut agama tertentu, namun nilai-nilai agama menjadi spirit penyelenggara dan penyelenggaraan negara, dan terdapat jaminan dari negara terhadap warga negara untuk memeluk agama tertentu dan beribadat berdasarkan keyakinan agamanya itu.
Ketiga, negara sekuler, pada negara model ini terdapat pemisahan otoritas negara dan agama, atau secara ekstrem negara tidak mengurus agama dan demikian juga agama tidak berkaitan dengan negara.
Lalu Indonesia berada pada model yang mana? Dalam pandangan saya, Indonesia cenderung berada pada model kedua, yaitu agama sebagai spirit bernegara. Indonesia tidak menganut kepada agama tertentu, namun negara berdasar kepada prinsip ketuhanan, dan negara memberikan jaminan kebebasan beragama kepada warganya.
Membicarakan relasi agama dan negara dalam konteks Indonesia pada perkembangan awalnya tidak mungkin melupakan tokoh-tokoh semacam Snouck Hurgronje, van den Berg dan Hazairin. Dalam beberapa penelitian awal mereka tentang praktek hukum di Indonesia dapat ditemukan beberapa hal yang menarik untuk dikaji.
Dalam beberapa praktek hukum masyarakat ditemukan praktek yang berdasarkan kepada syari’ah Islam. Masyarakat bertindak dalam praktek hukum, seperti perkawinan, waris, jual beli dan beberapa lainnya menggunakan syari’ah Islam sebagai dasar hukumnya.[5] Adat (perilaku keseharian) masyarakat pada beberapa tempat di Indonesia banyak ditentukan oleh aturan Islam.
Dari sinilai muncul teori receptio in complexu oleh van den Berg.[6] Berg menganggap bahwa syari’ah Islam telah diambil sebagai pegangan masyarakat dalam mengatur berbagai aspek kehidupan mereka. Syari’ah Islam menjadi sendi dasar bagi sebagian besar hukum adat masyarakat Indonesia, terutama yang berada pada busur Melayu Muslim, yaitu wilayah nusantara yang menggunakan bahasa Melayu sebagai pengantar dan pernah memiliki pengalaman dipimpin oleh kerajaan-kerajaan Islam. Pada masyarakat Melayu Muslim ini antara hukum adat dengan syari’ah Islam tidak terdapat pemisahan sama sekali. Dalam pepatah Minangkabau dikenal dengan sebutan: “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Syara’ mangata, adat mamakai”.[7]
Berbeda dengan Berg, bagi Snouck Hurgronje, syari’ah Islam baru berlaku dalam masyarakat bila telah diadatkan. Syari’ah Islam, menurut Hurgronje, baru dapat diterima dan diberlakukan dalam masyarakat bila telah diterima oleh adat masyarakat setempat. Dengan kata lain syari’ah Islam baru berlaku bila tidak bertentangan dengan adat. Pada akhirnya, dengan menggunakan konsepsi hukum modern, Hurgronje menganggap bahwa adat baru dapat berlaku jika tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dibuat oleh negara. Inilah yang kemudian dikenal dengan teori receptio.
Tentunya dapat dipahami adanya perbedaan antara dua orang ahli Islam dari Belanda tersebut. Di satu pihak van den Berg ingin melihat praktek hukum masyarakat pada kondisi senyatanya. Sementara Snouck Hurgronje di pihak lain, dalam merekonstruksi berlakunya syari’ah Islam di Indonesia memiliki motif-motif politik tertentu. Melihat kenyataan bahwa syari’ah Islam di sejumlah tempat di Indonesia telah mendarah daging dalam praktek hukum masyarakat dan tentu saja ini –dalam batas-batas tertentu— tidak menguntungkan penguasa kolonial Belanda, maka sebagai salah seorang penasehat penguasa Belanda, Hurgronje berkeyakinan bahwa satu-satunya jalan untuk memangkas hubungan erat antara syari’ah dan hukum adat adalah dengan cara memisahkan wilayah dunia dari wilayah agama.
Teori Snouck Hurgronje nampaknya lebih diterima oleh penguasa kolonial Belanda. Syari’ah Islam yang tidak mengenal pemisahan antara “pesan ketuhanan” dengan “peran kemanusiaan”, bahkan justru peran kemanusiaan harus dilakukan sesuai dengan pesan ketuhanan, dilihat oleh Snouck Hurgronje dapat membawa potensi revolusioner yang dapat membahayakan kekuasaan kolonial Belanda. Dengan demikian, tanpa melakukan pemisahan antara keduanya, tidak mungkin bisa mematahkan berlakunya syari’ah Islam di nusantara.
Pengambilan teori Snouck Hurgronje ini masih dilanjutkan hingga kini dengan serangkaian pengaturan hukum dalam bentuk perundang-undangan formil yang diadopsi dari warisan kekuasaan Belanda secara konkordansi. Syari’ah Islam hanya memiliki wilayah pengaturan selama ditentukan dan diberikan kewenangan oleh undang-undang resmi buatan negara. Sementara di wilayah lain, pengaturan hukum masih menjadi kewenangan hukum negara yang tidak mengadopsi syari’ah Islam, dalam hal ini hukum penguasa kolonial Belanda.
Menapaki zaman pascakolonial, Indonesia mengalami suatu perdebatan panjang yang tak kunjung usai berkaitan dengan persoalan Islam dan negara. Perdebatan antar elemen masyarakat pada saat merumuskan bentuk negara Indonesia, dan perdebatan seputar “apa” yang akan dijadikan dasar bagi negara, apakah Indonesia akan menjadi negara berdasarkan agama, ataukah Indonesia akan bercorak negara-bangsa (nation state) merupakan gambaran betapa masalah Islam dan negara merupakan persoalan yang sensitif untuk diperdebatkan.[8] Untuk memecah kebuntuan dalam serangkaian perdebatan itu, akhirnya diselesaikan dengan menerima Indonesia sebagai negara-bangsa dan Pancasila sebagai dasarnya. Perdebatan ini masih berlanjut dan berkepanjangan dalam Sidang Konstituante, yang diakhiri dengan pembubaran Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945 oleh Soekarno atas desakan kalangan militer Angkatan Darat.[9]
Serangkaian deskripsi historis tersebut menunjukkan bahwa Indonesia telah memilih bercorak sebagai negara-bangsa, dan meninggalkan cita-cita sebagai negara berdasarkan atas agama tertentu, dalam hal ini Islam. Sampai batas-batas tertentu upaya menolak munculnya negara Islam di Indonesia dan berlakunya syari’ah Islam, merupakan langkah awal sekularisasi hukum di Indonesia.[10]
Pada sejumlah negara yang berpenduduk mayoritas muslim terdapat beberapa bentuk praktek syari’ah Islam. Dengan maksud untuk memudahkan klasifikasi dapat ditemukan dua corak utama praktek syari’ah Islam.[11]
Pertama, negara yang menempatkan syari’ah sebagai hukum negara. Negara macam ini menganggap bahwa syari’ah yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah sudah cukup lengkap dan memadai untuk mengatur kehidupan masyarakat. Terhadap berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat, negara cukup dengan merujuk kembali kepada aturan normatif yang terkandung di dalam dua sumber tadi.
Arab Saudi dan Sudan dapat ditunjuk sebagai contoh negara dalam kategori ini. Namun begitu, seperti di Arab Saudi muncul persoalan penafsiran terhadap teks Al-Qur’an dan Sunnah, karena di Arab Saudi lebih menekankan pada madzhab Hanbali-Wahabi. Jadi ada semacam persoalan intern di kalangan umat Islam Arab Saudi, yaitu dalam praktek syari’ah Islam lebih tunduk kepada madzhab yang dominan. Sementara dalam praktek-praktek hukum tertentu, seperti masalah perburuhan dan real estate, hukum yang digunakan adalah peraturan hukum yang dibuat oleh raja.
Di Sudan ada kecenderungan berlakunya syari’ah Islam dibarengi dengan munculnya represifitas yang cukup tinggi oleh pihak penguasa terhadap pihak yang berbeda pendapat dengan penguasa negara.[12] Mahmoud Mohammed Toha, seorang ulama reformis yang memiliki sejumlah gagasan pembaharuan pemahaman syari’ah terpaksa harus tewas di tiang gantungan rezim Ja’far Numeiry, hanya karena pandangannya berbeda dengan pendapat resmi ulama negara.
Kedua, negara yang hanya menempatkan syari’ah hanya sebagai bagian pelengkap saja dari hukum negara. Hukum yang berlaku hampir semuanya tidak bersumber dari syari’ah Islam, yaitu Qur’an dan Sunnah secara tekstual-formalistik. Syari’ah Islam di negara kategori macam ini hanya digunakan untuk mengatur hal-hal yang sifatnya privat. Sementara di bidang lain yang bersifat publik tidak tersentuh sama sekali oleh pengaturan syari’ah. Dapat dikatakan, pada negara macam ini sekularisasi dalam arti pemisahan antara wilayah pengaturan agama dan pengaturan negara benar-benar terjadi.
Turki sebagai pewaris terakhir dari kekhalifahan Islam dapat ditunjuk dalam hal ini. Hampir semua produk hukum Turki merupakan konkordansi dari hukum Perancis. Sementara syari’ah hanya menempati pengaturan dalam wilayah hukum keluarga, seperti perkawinan, perceraian dan pewarisan.




Kebangkitan Ulama: Latar Sejarah Kelahiran NU[13]
            Latar belakang historis kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi memiliki sejumlah interpretasi. Setidaknya ada tiga interpretasi yang seringkali digunakan untuk menjelaskan sejarah kelahiran NU.
Pertama, penjajahan oleh bangsa Eropa yang juga diikuti penyebaran agama Kristen mendorong para ulama untuk melakukan respon, di antaranya perlawanan kultural lewat jalur pendidikan dan dakwah. Para ulama sadar bahwa sikap non kooperatif terhadap politik etis Belanda tidak mungkin dilakukan bila tanpa memperkuat kembali jaringan ulama dan pesantren, dan ini ditafsirkan sebagai embrio lahirnya NU. Kedua, kebangkitan umat Islam, selain membawa dampak positif ternyata juga membaga ekses negatif, yaitu munculnya masalah khilafiyyah furu’iyyah. Berbagai serangan kaum pembaharu yang meremehkan ulama penganut madzhab dalam praktek beragama, mendorong ulama untuk merespon dalam bentuk pembelaan terhadap faham Ahlussunnah wal jama’ah dan sistem madzhab. Upaya merespon serangan kaum pembaharu ini juga menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi lahirnya NU. Ketiga, jatuhnya Khilafah Usmaniyah Turki, dan disusul dengan jatuhnya Hijaz ke dalam kekuasaan kaum Wahabiyyah, ini dikhawatirkan oleh para ulama dapat berakibat dilarangnya kehidupan bermadzhab di Haramain, dan karena itu para ulama berusaha untuk memperjuangkan agar kehidupan bermadzhab tidak dilarang. Perebutan dalam penentuan anggota komite dalam Konggres Dunia Islam juga tampil sebagai faktor penentu yang melatarbelakangi lahirnya NU.
Penjajahan di belahan dunia Islam dan penyebaran agama Kristen merupakan usaha simbiotik yang tidak dapat dipisahkan. H. Kraemer menyatakan bahwa perluasan kolonial dan ekspansi agama Kristen merupakan gejala simbiose yang saling menunjang.[14] Arogansi Barat yang menganggap bangsa-bangsa lain dan agama mereka sebagai primitif dan “uncivilized”, dikejutkan oleh kekalahan demi kekalahan dalam perang Salib yang berkepanjangan selama kurang lebih 175 tahun (1095-1270).[15] Belum lagi sembuh dari luka perang Salib, Yerusallem dengan Bait al-Maqdisnya yang dianggap tempat suci orang Kristen, pada tahun 1453 jatuh ke tangan Islam. Eropa dikejutkan jatuhnya Bizantium (Imperium Kristen di Timur) ke dalam kekuasaan Islam di bawah pimpinan Muhammad al-Fatih, Khalifah Turki Usmani. Bahkan Turki berhasil menguasai Bulgaria, Yugoslavia, Rumania, Hungaria dan berkembang terus ke Barat sampai batas Benteng Wina.[16]
Berbagai kekalahan ini dipandang Eropa bukan hanya sebagai kekalahan politik, namun juga kekalahan agama. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan kebencian terhadap Islam dan dunia Islam, sehingga memupuk dendam untuk membalas dan menguasai Islam pada suatu ketika kelak. Atas restu Paus Alexander VI, Spanyol dan Portugal yang dipersatukan lewat perkawinan politik antara Raja Ferdinand II dengan Issabella, berhasil menghancurkan Islam di Spanyol (1492). Berdasarkan Perjanjian Tordesillas (7 Juni 1494), Spanyol dibagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah di belahan Barat Spanyol menjadi bagian Spanyol dan belahan Timur Spanyol menjadi bagian Portugis.
Peristiwa historis ini dapat ditafsirkan bahwa Paus Alexander VI sebagai pucuk pimpinan agama Kristen pada waktu itu telah merestui dan memberi mandat kepada Spanyol dan Portugis untuk menghancurkan dan menjajah bangsa-bangsa Islam.[17] Sejak itu timbul semangat reconquistia (penaklukan), dengan memberangkatkan para conquistador dan angkatan crusade (angkatan perang Salib), dari Barat ke dunia Timur, terutama dunia Islam, yang bertujuan untuk merebut kembali wilayah mereka dan memperluas pengaruh agama Kristen.[18]
Demikian pula dengan bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda yang berdatangan silih berganti ke wilayah Nusantara, selalu dibalut oleh tiga semangat sekaligus: ekonomi (gold), politik (glory) dan agama (gospel). Bangsa Belanda yang menginjakkan kakinya pertama kali di Indonesia pada akhir abad XVI, dalam perkembangannya, yaitu pada tahun 1602 memperkuat kedudukannya dengan memonopoli perdagangan melalui VOC (Vereenidge Oast Indische Compagnie). Kekuasaan Belanda di Nusantara ini mengalami pasang surut, ditandai dengan bubarnya VOC pada tahun 1799 dan jatuhnya Kerajaan Belanda ke tangan Perancis pada tahun 1806, ini diikuti jatuhnya Indonesia ke tangan Inggris (sekutu Perancis) pada tahun 1811. Belanda berkuasa kembali di Indonesia, menyusul dikalahkannya Perancis oleh Kerajaan Belanda pada tahun 1814, dan sejak itu penjajahan Belanda semakin kuat.
Sebenarnya perlawanan rakyat Indonesia yang dipimpin para ulama tak pernah reda dari masa ke masa. Sejarah mencatat perlawanan Iskandar Muda di Aceh tahun 1511, Sultan Demak (1512, 1526 dan 1527), Sultan Babullah Ternate 1575, Sultan Agung Mataram 1628-1629, Sultan Hasanuddin di Goa, Pangeran Diponegoro 1825-1830, Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Teungku Umar dan Tjut Nyak Din di Aceh. Berbagai perlawanan itu seringkali mudah dipatahkan, selain karena kalah dari segi persenjataan, politik devide et impera juga digunakan dalam menghadapi berbagai perlawanan itu.
Seorang pendeta bernama Simon menyatakan bahwa persatuan umat Islam harus dipecah, sehingga missi sanggup menasranikan kaum muslimin, karena bila kaum muslimin bersatu akan menjadi bahaya dan kutukan bagi dunia missionaris.[19] Pernyataan ini menunjukkan bahwa “politik pecah belah” memiliki dua dimensi kepentingan, yaitu kepentingan penaklukan politik dan agama sekaligus.
Dalam hal ini Snouck Hurgronje (seorang advisser pemerintah kolonial Belanda) secara tegas menyatakan bahwa berkembangnya pengaruh Belanda di Timur tidaklah semata-mata bermaksud mencari keuntungan material, namun juga lebih banyak dimaksudkan untuk mengembangkan agama Kristen.[20] Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg yang berkuasa di Hindia Belanda 1909-1916 sebagai penggagas Kristening Politiek menyatakan bahwa Kristening Politiek  tidak saja akan memperkuat agama Kristen di negeri jajahan, namun juga agar kekuasaan penjajah lebih kokoh dan sulit dilepaskan.[21] Lebih lanjut Idenburg menyatakan bahwa dapat tetap dipertahankannya tanah jajahan Indonesia tergantung kepada dapat dikristenkannya atau tidak rakyat Indonesia, bahkan ia bertekad agar penjajah Belanda tetap menguasai Indonesia sampai agama Kristen menjadi agama bangsa Indonesia.[22]
Dalam rangka memperkuat Kristening Politiek, Snouck Hurgronje melancarkan Islam Politiek, yaitu politik “netralitas agama” yang mengakui dan memberikan kebebasan beragama sepanjang tidak mengganggu ketertiban dan keamanan.[23] Politik keagamaan ini bersifat “dualistis”, yaitu memisahkan antara Islam sebagai doktrin agama dan Islam sebagai doktrin politik,[24] atau splitsing-theory sebagaimana disebutkan oleh Kernkomp.[25] Snouck Hurgronje membagi masalah Islam atas tiga kategori: 1) bidang agama murni, 2) bidang sosial kemasyarakatan, dan 3) bidang politik. Dalam bidang agama murni dan sosial kemasyarakatan, Belanda memberi kebebasan sepanjang tidak mengganggu ketertiban dan keamanan. Sementara di bidang politik, segala politik keislaman akan dicegah secara represif, bahkan kalau perlu akan dihadapi dengan kekerasan.[26] Politik keagamaan dualistis ini, oleh H.J. Benda disebut sebagai “politik kembar” antara toleransi dan kewaspadaan, karena memang motivasi dan orientasinya adalah untuk kelestarian kekuasaan pemerintah kolonial.[27]
Dalam rangka status quo ini, Belanda juga melancarkan politik asosianisme atau asimilasionisme, yang dikenal juga sebagai Etische Politiek, yaitu suatu politik yang berupaya membalas budi rakyat jajahan, di antaranya melalui pendidikan. Pendidikan dengan sistem Barat yang ditawarkan penjajah ini, di antaranya adalah untuk memperkuat loyalitas terhadap pemerintah Belanda, memoderasikan sikap keagamaan Islam, dan menyiapkan tenaga-tenaga birokrasi pemerintahan Belanda dari kaum pribumi.[28]
Kaum ulama tradisional lebih berhati-hati dan “non kooperatif” dalam menanggapi politik etis ini, bahkan ada kecenderungan untuk melakukan perlawanan secara kultural.[29] Dalam berbagai dakwahnya, para ulama melarang untuk meniru-niru (tasyabbuh) kebiasaan orang kafir, yang dalam hal ini ditujukan kepada kaum penjajah Belanda.[30]
Bentuk-bentuk perlawanan kultural kaum ulama ini ditunjukkan dengan mengintensifkan lembaga-lembaga pendidikan mereka, yaitu pesantren dan madrasah. Pendidikan di pesantren ini digunakan kaum ulama untuk membentengi pengaruh yang disebarkan kaum penjajah, dan sekaligus untuk menyiapkan kader-kader ulama.[31] Para kyai pesantren mengajarkan berbagai materi pengajiannya dengan muatan-muatan yang membangkitkan semangat nasionalisme.[32]
Sementara penjajahan Belanda dan Kristening Politiek masih berjalan, di dalam umat Islam Indonesia dihadapkan kepada pertentangan yang semakin tajam, yang disebabkan masalah madzhab[33] dan khilafiyah furu’iyyah.[34] Kebangkitan dunia Islam di penghujung abad XIX dan awal abad XX, ternyata diiikuti dengan berbagai perdebatan tajam seputar masalah madzhab dan khilafiyah furu’iyyah. Perdebatan ini semakin memperluas dan memperdalam jurang perbedaan antara golongan-golongan dalam Islam, khususnya antara yang memegangi madzhab dan yang anti madzhab. Kedua golongan ini saling memperkokoh argumentasi dan barisannya. Kelompok anti madzhab semakin meningkatkan serangan-serangannya, sementara kelompok bermadzhab yang dipelopori para kyai dan ulama pesantren terus berusaha menggalang kekuatan untuk menghadapi serangan-serangan dari kalangan anti madzhab.
Walaupun diadakan usaha mempersatukan umat Islam oleh Bratanata (seorang tokoh Syarikat Islam (SI) dari Cirebon) dengan membentuk Badan Koordinasi Konggres Islam sebagai wadah koordinasi dan pemersatu yang menampung semua organisasi dan badan-badan Islam, namun belum membawa hasil.[35] Bahkan dalam Konggres Islam pertama di Cirebon tanggal 31 Oktober-2 Nopember 1922 yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto dan Agus Salim, perdebatan antar kelompok semakin sengit. Muhammadiyah dan Al-Irsyad yang diwakili Ahmad Syurkati menuduh madzhab sebagai sumber penyebab kebekuan dan kemunduran umat Islam. Sementara kalangan ulama madzhab yang diwakili oleh K.H. Abdul Wahab dan K.H.R. Asnawi sebaliknya menuduh orang-orang yang menentang madzhab justru akan membuat madzhab sendiri dengan menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits sesuka hatinya.[36]
Konggres Islam yang diadakan selanjutnya juga kurang membawa hasil, sehingga perseteruan yang diwarnai oleh perdebatan khilafiyah semakin meningkat. Alfian mencatat bahwa ada gejala yang kuat, kaum anti madzhab (yang sering disebut sebagai kaum pembaharu) semakin menunjukkan kecongkakan dan sikap arogansinya terhadap kaum penganut madzhab, yang pada gilirannya membawa perpecahan di antara keduanya semakin sulit dipersatukan kembali.[37]
Sementara itu dunia Islam dikejutkan oleh berita jatuhnya Khilafah Usmaniyah ke tangan sekularis Musthafa Kamal, dan dihapusnya sistem khilafah berubah menjadi berbentuk Republik Turki.[38] Pada saat yang hampir bersamaan, Hijaz (di dalamnya termasuk Makkah dan Madinah) jatuh ke tangan kekuasaan kalangan Wahabiyah, sehingga menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi ulama penganut madzhab di Indonesia bahwa kelak penguasa akan melarang praktek kehidupan beragama ala Ahlussunnah wal Jama’ah yang menganut madzhab.
Krisis kekhilafahan ini dimanfaatkan oleh Raja Hijaz Syarief Husein bin Ali untuk mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah Islam yang baru.[39] Tindakan terburu-buru dan cukup gegabah Raja Husein ini dinilai akan mengancam wibawa kerajaan Najed, dan ini mendorong Raja Abdul Aziz bin Saud menggerakkan tentaranya untuk menyerang Hijaz. Pada tanggal 13 Oktober 1924, Makkah sebagai pusat kekuasaan Husein jatuh ke Tangan Raja Ibnu Saud, dan pada 5 Desember 1924 Madinah berhasil dikuasai, selanjutnya Syarief Husein atas bantuan Inggris melarikan diri ke Ciprus. Setelah berhasil menguasai seluruh Hijaz, Abdul Aziz Bin Saud pada 8 Januari 1926 memproklamasikan diri sebagai Raja Arab baru yang berkedudukan di Makkah.[40]
Para ulama Mesir yang dipelopori oleh ulama Al-Azhar berusaha mengadakan Muktamar Dunia Islam untuk membicarakan soal khilafah ini. Maka diundanglah para pemimpin Islam dari berbagai negara-negara Islam, termasuk Indonesia, untuk menghadiri muktamar yang direncanakan akan diselenggarakan pada bulan Maret 1925.[41]
Begitu undangan dari Mesir diterima di Indonesia, pada tanggal 24-26 Desember 1924 diadakan Konggres Al-Islam di Surabaya, yang hasilnya di antaranya adalah dibentuknya Central Comite Chilafat beranggotakan berbagai organisasi Islam dan diketuai oleh Wondo Soedirdjo (Wondoamiseno) dari SI. Konggres mengusulkan agar khilafah tetap dipertahankan dan dipegang secara kolektif oleh sebuah “Majlis Ulama” yang diwakili oleh ulama-ulama terkemuka dunia, dan hendaknya berkedudukan di Makkah. Konggres juga memutuskan akan mengirim delegasi yang terdiri dari Suryo Pranoto (SI), KH. Fachruddin (Muhammadiyah), dan KH. Abdul Wahab Chasbullah (mewakili ulama Surabaya).[42]
Namun karena kurang mendapat dukungan dari dunia Islam secara luas, dan situasi dalam negeri masing-masing negara Islam kurang menguntungkan, maka muktamar yang direncanakan di Kairo itu gagal.[43] Akibatnya utusan Indonesia pun tidak jadi berangkat.
Kekhawatiran ulama penganut madzhab terhadap kekuasaan Ibnu Saud di Hijaz akan menyebarkan paham Wahabiyah menjadi kenyataan, menyusul tersiarnya kabar bahwa telah terjadi pembunuhan ulama-ulama yang tidak sepaham, dan penghancuran tempat-tempat yang dianggap suci. Demikian pula terjadi perombakan dalam praktek-praktek keagamaan yang selama ini dianggap mapan, seperti larangan bermadzhab, larangan berziarah ke tempat-tempat yang dianggap keramat, dan berbagai larangan itu diikuti dengan ancaman hukuman mati bagi yang melanggarnya.[44]
Kondisi ini mendorong ulama madzhab dan penganut ahlussunnah wal jamaa’ah di Indonesia untuk ikut berpartisipasi dalam mempertahankan praktek-praktek keagamaan ala ahlussunnah wal jama’ah di tanah Hijaz. Pada saat diselenggarakan Konggres Islam IV di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925, bersamaan dengan Konggres Syarikat Islam, kaum ulama madzhab yang dipelopori KH. Abdul Wahab mengusulkan agar dalam Muktamar tentang khilafah yang akan diadakan oleh Ibu Saud pada Juni 1926 di Makkah nanti, delegasi Indonesia mendesak Raja Ibnu Saud untuk melindungi dan mempertahankan kebebasan bermadzhab. Abdul Wahab tidak setuju kalau delegasi Indonesia hanya sekedar menyatakan perasaan solidaritas atas jatuhnya khilafah Islam saja, namun juga harus dipersoalkan tentang jatuhnya Hijaz ke tangan kekuasaan Ibnu Saud. Kaum pembaharu dengan dipelopori Syarikat Islam, Muhammadiyah dan Al-Irsyad yang sejak semula arogan dan mendominasi Konggres Islam, menurut Alfian, menolak usul Abdul Wahab dan menilai usul itu tidak pada tempatnya.[45]
Setelah undangan resmi Raja Ibnu Saud untuk menghadiri Muktamar Dunia Islam sampai di Indonesia, maka pada tanggal 6 Pebruari 1926 diadakan Konggres Islam V di Bandung untuk merumuskan bahan dan utusan yang akan dikirim ke muktamar tersebut.[46] Secara kebetulan KH. Abdul Wahab (wakil ulama madzhab yang selalu mengikuti perkembangan Konggres Islam) mendadak pulang ke Jombang dan tidak dapat meneruskan ikut konggres, karena ayahnya (KH Chasbullah) wafat. Hal ini diambil kesempatan oleh kaum pembaharu untuk semakin mendominasi Konggres, dan usul ulama madzhab dalam Konggres Islam V di Bandung ini semakin tidak mendapat perhatian, serta ulama madzhab tidak diikutsertakan dalam delegasi  Muktamar di Makkah.[47] Delegasi muktamar terdiri dari HOS. Tjokroaminoto (Syarikat Islam), KH. Mas Mansur dan H. Soedjak (keduanya dari Muhammadiyah), dan ditambah H. Abdullah Ahmad dan H.A. Karim Amrullah, keduanya mewakili kaum pembaharu di Sumatera Barat. Delegasi berangkat ke Makkah pada tanggal 2 Maret 1926 dengan menggunakan kapal Rondo melalui pelabuhan Surabaya.[48]
Kalangan ulama madzhab yang merasa diabaikan, atas gagasan KH. Abdul Wahab dengan restu KH. Hasyim Asy’ari, membentuk komite sendiri untuk mengirim delegasi ke  muktamar di Makkah. Komite yang kemudian diberi nama Komite Hijaz ini diketuai oleh H. Hasan Gipo, H. Saleh Syamil sebagai sekretaris, dan KH. Abdul Halim dan KH. Kholil Masyhuri sebagai pembantu, sementara KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab sebagai penasehat. Komite mengawali kegiatannya dengan mengundang ulama-ulama terkemuka dan mempersiapkan pertemuan.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah, bertepatan dengan 31 Januari 1926, pertemuan ulama digelar di Kertopaten Surabaya, di rumah Kyai Musa (mertua KH. Abdul Wahab). Para ulama yang hadir dalam pertemuan itu di antaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, KH. Abdul Wahab Tambakberas Jombang, KH. Bisri Syansuri Denanyar Jombang, KH. Doro Muntoha (menantu KH. Kholil) Bangkalan Madura, KH. R. Asnawi Kudus, KH. Nawawi Pasuruan, KH. Ridlwan Mujahid Semarang, KH. Abdul Hamid Faqih Sedayu Gresik, KH. Zubair Gresik, KH. Abdul Halim Liewemunding Cirebon, KH. Maksum Lasem Rembang, KH. Nachrowi Malang, KH. Dahlan Abdul Qohar Kertosono, KH. Ridlwan Abdullah, KH. Mas Alwi Abdul Aziz dan KH. Abdullah Ubaid, ketiganya dari Surabaya, Syekh Ahmad Ghonaim al-Misri dari Mesir, dan beberapa ulama lainnya.[49]
Pertemuan para ulama yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Chasbullah ini membicarakan masalah pengiriman delegasi ke Makkah dan masalah penting lainnya, yaitu: 1) tentang kristenisasi dan sikap acuh tak acuh terhadap agama yang ditunjukkan oleh beberapa orang tertentu; 2) perjuangan umat Islam dalam menentukan nasib rakyat dan tanah air; 3) menghadapi aliran baru yang anti madzhab; 4) persatuan ulama ahlussunnah wal jama’ah untuk meningkatkan perjuangan; dan 5) menghadapi ancaman kaum wahabiyah terhadap paham ahlussunnah wal jama’ah di tanah Hijaz.
Pada pertemuan itu diresmikan Komite Hijaz yang telah dibentuk sebelumnya, dan memutuskan mengirim KH. R. Asnawi dari Kudus sebagai utusan ulama Indonesia untuk menghadap dan mengajukan permohonan kepada Raja Ibnu Saud, yaitu: 1) meminta kepada Raja Ibnu Saud untuk tetap memberlakukan kebebasan bermadzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali); 2) memohon tetap diramaikannya tempat-tempat bersejarah, karena tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid, seperti tempat kelahiran Siti Fatimah, bangunan Khoizuron dan lain-lain; 3) mohon agar disebarluaskan waktunya musim haji, mengenai hal ihwal haji, baik ongkos haji, perjalanan keliling Makkah maupun tentang Syekh; 4) mohon hendaknya semua hukum yang berlaku di Hijaz ditulis sebagai undang-undang, supaya tidak terjadi pelanggaran hanya karena belum ditulisnya undang-undang tersebut; dan 5) jam’iyah ulama mohon jawaban tertulis yang menjelaskan bahwa utusan sudah menghadap Raja Ibnu Saud dan sudah menyampaikan usul-usul tersebut.[50]
Dalam musyawarah ulama itu muncul persoalan, atas nama siapa pengiriman delegasi  ke  Makkah  tersebut. Jawaban spontan dari para ulama adalah kesepakatan untuk membentuk suatu jam’iyah (organisasi) sebagai wadah bagi persatuan dan perjuangan para ulama. Berkenaan dengan nama jam’iyah itu muncul dua usul.[51] Pertama, KH. Abdul Hamid Faqih dari Sedayu Gresik mengusulkan agar jam’iyah tersebut diberi nama Nuhud al-Ulama yang berarti kebangkitan ulama, dengan harapan para ulama bersiap-siap akan bangkit melalui jam’iyah tersebut. Kedua, KH. Mas Alwi Abdul Aziz dari Surabaya mengusulkan agar jam’iyah itu diberi nama Nahdhah al-Ulama, yang artinya kebangkitan ulama secara bersama-sama yang terorganisir, iqtibas kepada Nahdhah al-Wathan, yang menunjukkan adanya kebangkitan ulama yang sudah dirintis sejak lama. Akhirnya secara aklamasi usul KH. Mas Alwi Abdul Aziz diterima oleh forum musyawarah karena dianggap lebih cocok. Pada hari itu juga, yaitu tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah atau 31 Januari 1926 Miladiyah, jam’iyah Nahdlatul Ulama dinyatakan resmi berdiri.
KH. R. Asnawi yang dalam musyawarah diputuskan menjadi utusan menghadap Raja Ibnu Saud gagal berangkat, karena ketinggalan kapal. Agar misi ulama tidak gagal, maka keputusan musyawarah ulama di Surabaya dikirim melalui telegram langsung kepada Raja Ibnu Saud. Setelah mengirim telegram dua kali yang menghabiskan biaya masing-masing senilai f. 113.83 dan f. 261.20, dan ditunggu selama dua tahun, jawaban belum juga datang. Karena hal itu, maka KH. Abdul Wahab bersama Syekh Ahmad Gonaim al-Misri berangkat menghadap Raja Ibnu Saud di Makkah, dan menyampaikan apa yang menjadi keinginan para ulama Indonesia. Utusan dan surat NU itu mendapat sambutan yang menggembirakan dari Raja Ibnu Saud, dan ia meluluskan permintaan NU sebagaimana dinyatakan dalam surat jawabannya kepada Pengurus Besar NU No. 2082 tertanggal 13 Juni 1928.[52]
Lahirnya NU juga disertai dengan beberapa hambatan, baik internal maupun eksternal. Secara internal ada beberapa kyai yang tidak setuju dengan didirikannya jam’iyah NU, bahkan dianggap bid’ah, karena zaman Rasulullah tidak ada usaha yang demikian. Kyai Hasyim (salah seorang guru KH. Hasyim Asy’ari) pengasuh Pondok Pesantren Plangitan Babad yang berasal dari Padangan Cepu bahkan mengharamkan berdirinya NU.[53]
Secara eksternal, reaksi berdirinya NU datang dari dua arah, yaitu dari kalangan penjajah dan dari kaum pembaharu. Berdirinya NU hampir bersamaan waktunya dengan sedang berseminya semangat nasionalisme yang menentang penjajah. Oleh karena itu, berhimpunnya para ulama dalam NU juga tidak luput dari kecurigaan pemerintah kolonial Belanda. Dari arah lain, reaksi datang dari kaum pembaharu yang anti madzhab, bahkan mereka secara arogan menuduh NU berdiri atas dukungan Belanda dan disponsori oleh Christiaan van der Plas, seorang ahli Islam dan pegawai tinggi pemerintah kolonial Belanda.[54]
Berdasarkan gambaran di atas, menunjukkan bahwa berbagai peristiwa historis tersebut merupakan latar belakang atau faktor pendorong, baik langsung maupun tidak langsung berdirinya NU. Faktor penjajahan kolonial Eropa yang diikuti dengan politik kristenisasi, menjadi faktor tidak langsung kebangkitan ulama pesantren. Sementara itu dominasi organisasi kaum pembaharu Islam di Indonesia dan serangkaian serangan yang dialamatkan kepada kalangan ulama madzhab, serta kepentingan mempertahankan praktek beragama ala madzhab menyusul berkuasanya Raja Saud di Hijaz yang dinilai membahayakan madzhab, menjadi faktor yang berkaitan langsung dengan berdirinya NU. Dari sini terlihat bahwa berdirinya jam’iyah NU merupakan simbol yang paling jelas atas fenomena kebangkitan ulama pembela tradisi ahlussunnah wal jama’ah di Indonesia.
NU adalah organisasi sosial keagamaan berbasis Islam di Indonesia yang secara tegas dibentuk untuk mempertahankan tetap dapat dipraktekkannya paham ahlussunnah wal jama’ah (selanjutnya disingkat aswaja). Hal ini terlihat jelas dalam Statuten Nahdlatoel Oelama sebagai Anggaran Dasar NU yang pertama, di mana Pasal 2 menyatakan:
            “Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe: memegang tegoeh pada salah satoe dari madzhabnya Imam empat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe Hanifah an Noe’man, atau Imam Ahmad bin Hambal; dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam.”[55]

Pengakuan NU sebagai penganut aswaja diperkuat dalam Muktamar NU XVI di Semarang tahun 1979, yang menyebutkan bahwa:
            “Nahdlatul Ulama bertujuan: (a) Menegakkan Syari’at Islam menurut haluan Ahlussunnah wal jama’ah, ialah ahlil madzahibil arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali); (b) Mengusahakan berlakunya ajaran Ahlussunnah wal jama’ah dalam masyarakat”.[56]

Relasi Negara dan Agama: Pengalaman NU
            Relasi negara dan agama di Indonesia dapat ditinjau dari pengalaman relasi NU dan negara selama ini. Pengalaman panjang NU sejak Indonesia sebelum merdeka hingga kini penting juga untuk mengetahui pandangan warga masyarakat terhadap negara dan agama. Pada bagian ini akan dikaji pengalaman NU sebagai organisasi masyarakat berbasis keagamaan dalam memandang relasi negara dan agama.
Basis sosial dalam tulisan ini diartikan sebagai unsur sosial pendukung utama dalam NU. Secara individual pendukung utama NU adalah kalangan ulama, dan secara institusional pendukung utama NU adalah pesantren.[57] Dukungan utama kalangan ulama dan pesantren ini wajar, karena mereka merupakan eksponen utama pembela tradisi ahlussunnah wal jama’ah, dan berdirinya NU di antaranya dimaksudkan untuk memelihara tetap dijalankan praktek keagamaan berdasarkan madzhab ala ahlussunnah wal jama’ah.
Paham aswaja dalam NU, menurut K.H. Achmad Siddiq, adalah ajaran Islam yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.[58] K.H. Siradjuddin Abbas mendefinisikan i’tiqad aswaja sebagai berikut: menurut arti bahasa, “ahlussunnah” berarti penganut sunnah nabi, sedangkan “wal jama’ah” adalah penganut i’tiqad sebagai i’tiqad jama’ah sahabat nabi, dan secara istilahi, ahlussunnah wal jama’ah adalah para penganut i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya.[59] Kedua pandangan ini didasarkan kepada hadis Nabi yang artinya “haruslah kamu sekalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk (al-mahdiyin).[60] Al-mahdiyin di sini dipahami bahwa para sahabat nabi yang termasuk khulafaurrasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Dalam pendirian NU paham aswaja yang diikuti adalah[61]: 1) dalam bidang aqidah mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy’ari[62] dan Imam Abu Manshur al-Maturidi[63]; 2) dalam bidang fiqh mengikuti salah satu dari empat imam madzhab, yaitu Imam Hanafi[64], Imam Maliki[65], Imam Syafi’i[66], dan Imam Hambali[67]; 3) dalam bidang tasawwuf mengikuti thariqah Imam Abu Qasim al-Junaidi[68].
Menurut Sa’id Aqiel Siradj, ahlussunnah wal jama’ah adalah metode berfikir yang bersifat agamis (religius) yang mencakup semua aspek dan problem kehidupan yang berlandaskan atas dasar karakteristik yang moderat, netral dan menjaga keseimbangan, serta toleran.[69] Sikap moderat aswaja ini tercermin pada istinbath hukum yang mendahulukan nash, namun juga memperhatikan posisi akal. Begitu juga dalam metode berfikir selalu menjembatani antara konsep ilahi (wahyu) dengan rasio (al-ra’yi). Manhaj seperti inilah yang diimplementasikan oleh para imam madzhab empat serta para generasi lapis berikutnya dalam membangun hukum fiqh.[70]
Paham aswaja yang dianut NU ini pada gilirannya akan membentuk tata nilai tersendiri, yang akan dijadikan prinsip-prinsip dalam tata pikir dan metode penyelesaian masalah. Tata nilai yang dikembangkan NU berdasarkan kepada ajaran para imam madzhab yang dianutnya adalah prinsip moderat (tawassuth), adil (ta’adul), seimbang (tawazun), dan toleran (tasamuh).[71]
Prinsip tawassuth yaitu mengambil jalan tengah antara dalil naqli dan dalil aqli, antara nash dan ra’yu, dan menjauhi sikap tatharruf (ekstrim), tasaum (pesimisme) dan tidak apriori. Ini tidak berarti kompromistis atau akomodatif yang mengarah kepada sikap permissif, namun tawassuth lebih merupakan sikap wajar dalam memandang segala sesuatu, dan tidak mengada-ada. I’tidal berarti tegak lurus atau menegakkan keadilan. Sikap adil ini dimaksudkan dalam melaksanakan ajaran Islam harus sesuai dengan ketentuan yang semestinya, dan secara lurus dan benar, terlepas dari penyimpangan dan pengaruh yang merusak. Prinsip tawazun ini berarti mengambil sikap menjaga keseimbangan atau moderat, tidak ekstrim, tidak menutup diri, dan mau mendengar dari berbagai pihak. Sebagai konsekuensi dari tawassuth, i’tidal dan tawazun adalah sikap tasamuh (toleran). Sikap moderat, terbuka, memegang kebenaran dan keadilan, pada gilirannya akan mengarahkan sikap toleran, penuh pengertian dengan berbagai pihak lain, dan menghindari fanatik secara buta.
Paham aswaja dan tata nilai yang terkandung di dalamnya, menunjukkan bahwa paham ini mengutamakan perilaku yang moderat, tidak ekstrim dan penuh toleransi. Tata nilai yang dianut NU ini pada gilirannya sangat mempengaruhi perilaku organisasi NU yang dalam perjalanan sejarahnya dikenal begitu moderat, toleran dan mengambil sikap jalan tengah ketika dihadapkan kepada berbagai pilihan politik. Berbagai keputusan organisasi dalam perjalanan historis NU selalu didasarkan kepada hukum yang merujuk kepada paham aswaja ini. Hal inilah yang menunjukkan bahwa NU pada dasarnya adalah organisasi sosial keagamaan (jam’iyah diniyyah).[72]
Dalam perkembangannya, NU dalam mengambil keputusan lebih didasarkan kepada hukum fiqh. Ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa keputusan politik NU didasarkan kepada fiqh, yaitu sikap NU yang menyatakan bahwa Hindia Belanda adalah dar al-islam, resolusi jihad NU dalam mempertahankan kemerdekaan dari pendudukan kembali penjajah Belanda, dan pemberian gelar waliy al-amry al-daruri bi al-syaukah terhadap Presiden Soekarno.[73] Selain itu Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984, Munas Alim Ulama di Cilacap1987, dan Muktamar NU ke-32 di Makasar tahun 2010. Cara pandang dan sikap NU itu merupakan potret titik-temu antara Islam dan negara di Indonesia.
Pertama, pada Muktamar XI NU di Banjarmasin tahun 1936 di antaranya memutuskan bahwa wilayah Hindia Belanda sebagai dar al-islam. Keputusan ini didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, sebelum kedatangan penjajah Belanda, mayoritas penduduk di wilayah Nusantara beragama Islam, dengan demikian ia berstatus sebagai dar al-islam. Walaupun kemudian status Hindia Belanda berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda yang beragama Kristen, kondisi ini tidak merubah status Nusantara sebagai dar al-islam. Kedua, kendati di bawah pemerintah kolonial Belanda yang beragama Kristen, namun praktek keagamaan berdasar Islam di Nusantara tetap boleh berlangsung, maka status Nusantara tetap sebagai dar al-islam.
Kedua, setelah Indonesia memproklamasikan diri sebagai negara merdeka dan berdaulat, NU mengeluarkan statemen politik yang dikenal dengan “Resolusi Jihad”.[74] Resolusi Jihad ini menegaskan sikap NU untuk membela kemerdekaan dari upaya kolonial yang akan merebut kembali kemerdekaan Indonesia. Resolusi Jihad NU ini pertama kali dikumandangkan pada tanggal 22 Oktober 1945, dan dikukuhkan dalam Muktamar XVI NU di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946. Resolusi Jihad NU ini berisi seruan bahwa jihad fi sabilillah mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah adalah fardlu ‘ain hukumnya, terutama bagi kaum muslimin yang berada di radius 80 km yang berada di wilayah pertempuran. Radius 80 km ini merupakan qiyas dari hukum rukhshah shalat. Bagi kaum muslimin yang meninggal dalam jihad ini dihukumi sebagai mati syahid. Resolusi Jihad ini tentu saja pada gilirannya memperkuat moral-psikologis para pejuang dalam melakukan pertempuran melawan tentara Belanda yang coba masuk kembali ke Indonesia.
Ketiga, keputusan politik NU untuk memberikan gelar kepada Presiden Soekarno sebagai waliy al-amry al-daruri bi al-syaukah (pemegang kekuasaan temporer yang secara de facto memegang kekuasaan) diprakarsai oleh Menteri Agama (1953-1954) K.H. Masjkur, yang menggelar pertemuan ulama nasional dan banyak dihadiri ulama yang berafiliasi dengan NU dan Perti. Pemberian gelar ini berkaitan dengan didirikannya Pengadilan Agama di Sumatera Barat, dan keputusan Menteri Agama mengenai pengangkatan (tauliah) wali hakim bagi perkawinan wanita yang tidak mempunyai wali (nasab) sendiri. Status penguasa negara Indonesia sebagai penguasa Islam sangat menentukan keabsahan legitimasi Islam bagi wali hakim di pengadilan agama nantinya. Di sisi lain, pemberian gelar kepada Presiden Soekarno ini mempunyai implikasi politik, yaitu dengan gelar waliy al-amry ini pada saat yang bersamaan mendelegitimasi kekuasaan Kartosuwirjo (pemimpin pemberontakan DI/TII) yang mendeklarasikan dirinya sebagai “imam” dar al-islam Indonesia.
Berdasarkan keterangan tersebut, terlihat bahwa NU dapat bersikap fleksibel dan tegas sekaligus dalam mengambil keputusan. Sikap NU ini sangat dipengaruhi oleh karakter fiqh yang dianut NU dalam mengambil keputusan.
Keempat, Muktamar ke-27 NU di Situbondo tahun 1984 ini memiliki nilai strategis karena beberapa hal.[75] Pertama, pada Muktamar ini NU mengambil sikap untuk kembali kepada orientasi awal pendirian NU yaitu sebagai jam’iyah diniyyah yang memiliki keprihatinan kepada masalah sosial-keagamaan. Kedua, pada muktamar kali ini mulai dilakukan regenerasi dalam kepengurusan NU. Ketiga, dalam muktamar ini dikukuhkan hasil keputusan Munas Alim Ulama NU di Situbondo 1983 tentang hubungan NU dan Pancasila.
Keputusan yang paling penting adalah mengenai hubungan NU dan Pancasila. Berdasarkan pertimbangan keagamaan yang diyakini oleh para ulama NU, NU mengambil sikap secara tegas tidak mempersoalkan penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi. Pertimbangan penerimaan Pancasila ini didasarkan kepada pertimbangan agama[76]: pertama, bahwa Pancasila dapat diterima sebagai asas organisasi  sepanjang   tidak   mengubah   fungsi   Pancasila menjadi agama. Kedua, prinsip ketuhanan yang terkandung dalam Pancasila, menurut NU, sama dengan prinsip tauhid dalam Islam. K.H. Achmad Siddiq secara tegas menyebutkan bahwa Pancasila adalah sebagai kalimatin sawain bagi bangsa Indonesia.[77] Dengan demikian, menurut NU, tidak ada alasan untuk mempertentangkan antara Islam dan Pancasila. Ketiga, NU secara tegas menerima bentuk negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila sebagai bentuk yang final. NU tidak lagi mempersoalkan antara negara Pancasila dengan negara Islam.
Keputusan Muktamar NU Situbondo itu dapat dipandang sebagai sikap fleksibel-moderat NU, karena pada beberapa waktu sebelumnya tak jarang terjadi ketegangan  hubungan antara NU dan negara. Masalah agama seputar rencana Undang-Undang (UU) perkawinan menjadi issu utama pada tahun 1973.[78] Kalangan NU menolak usulan RUU dari pemerintah yang  mengabaikan tata cara perkawinana menurut Islam. Pihak NU dengan dukungan penuh KH. Bisri Syansuri yang mengutamakan cara pandang fiqh, mengusulkan berbagai perubahan dalam rancangan UU perkawinan ini, agar lebih menyesuaikan hukum Islam. Pada kesempatan ini, pihak militer cenderung akomodatif terhadap reaksi keras kalangan NU. Hal ini karena pihak militer sedang dihadapkan pada “serangan” yang cukup berat, yaitu tuduhan sebagai agen sekularisme, dan kritik keras dari mahasiswa yang menolak modal asing yang puncaknya meledak pada peristiwa Malari (15 Januari 1974).[79]
Sikap radikal NU terhadap pemerintah Orde Baru ditunjukkan dalam Sidang MPR 1978.[80] NU tidak setuju dengan gagasan pemerintah yang memasukkan “aliran kepercayaan” sejajar dengan posisi agama. NU mengusulkan agar semua konsep mengenai “aliran kepercayaan” dalam GBHN dihapuskan, karena NU khawatir dengan posisi yang sejajar demikian ini “aliran kepercayaan” akan berpotensi menggantikan agama.[81] Selain itu, NU menilai bahwa upaya memunculkan “aliran kepercayaan” ke dalam wacana formal sama dengan pengakuan adanya pembelahan antara “santri” dan “abangan”, padahal antara kedua varian budaya itu, secara formal mereka adalah pemeluk agama Islam.[82]
Sikap keras NU ini juga ditunjukkan dengan melakukan penolakan terhadap pengesahan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). NU menilai bahwa P4 pada masa mendatang memiliki potensi untuk menggantikan agama, dan akan menjadi dasar pedoman segala kegiatan. Dengan demikian, identitas Islam akan hilang, lebur dalam satu ajaran yaitu Pancasila. NU menilai bahwa pelembagaan P4 ini akan dijadikan dasar pijakan pengakuan terhadap keberadaan “aliran kepercayaan”.
Berbagai pendekatan politik oleh pemerintah terhadap NU di tubuh PPP, demikian pula sebaliknya, mengalami jalan buntu. Akhirnya keputusan untuk menerima atau menolak pelembagaan P4 dilakukan dengan jalan voting. Dihadapkan pada posisi sulit demikian ini, NU di tubuh PPP mengalami ketidakpuasan, dan akhirnya melakukan walk out sebagai tanda protes pada saat dilaksanakan voting pada tanggal 18 Maret 1978.
Sikap protes NU, kembali ditunjukkan pada sidang pengambilan keputusan tentang pengesahan “aliran kepercayaan”. Sehari kemudian, pada tanggal 19 Maret 1978 NU kembali melakukan walk out sebagai tanda protes atas ketidaksetujuannya terhadap keberadaan “aliran kepercayaan”.[83] Dengan demikian, upaya kalangan Islam (dalam hal ini NU) dalam penolakan terhadap keberadaan aliran kepercayaan menemui kekalahan.
Kelima, pidato Khutbah Iftitah Rais Am Syuriyah PBNU K.H. Achmad Siddiq pada pembukaan Munas Alim Ulama NU tahun 1987 di Cilacap.[84] Pada saat itu K.H. Achmad Siddiq menyatakan sikap persaudaran yang dikembangan di lingkungan warga NU adalah persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah). Pandangan ini menunjukkan bahwa konsep persaudaraan yang dianut oleh NU sangat luas, tanpa memandang agama dan bangsa, bahkan mencakup persaudaraan kemanusiaan.
Keenam, salah satu keputusan penting dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di Makasar 22-27 Maret 2010 lalu adalah hasil pembahasan masalah-masalah keagamaan (bahsul masail diniyyah). Selama ini forum bahsul masail dalam Muktamar NU hanya meliputi dua bidang, yaitu pembahasan masalah kasus-kasus keagamaan tertentu (bahsul masail diniyyah waqiiyah) dan pembahasan masalah keagaman tematik-konseptual (bahsul masail diniyyah maudluiyyah). Pada Muktamar NU ke-32 terdapat forum baru yang melakukan tinjauan keagamaan terhadap perundang-undangan di Indonesia (bahsul masail diniyyah qanuniyah).[85] Forum ini digunakan untuk membahas dan memutuskan pandangan NU terhadap masalah seputar perundang-undangan di Indonesia.
NU memandang bahwa setiap undang-undang hendaklah selalu hidup dan bermanfaat untuk menjawab perkembangan tuntutan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini NU memegang prinsip al muhafazat ‘ala al qadim al shalih wa al akhdz bi al jadid al ashlah, yaitu proses transformasi kehidupan masyarakat memerlukan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai positif dari tradisi yang telah sejak lama berkembang dalam masyarakat, namun pada saat yang sama juga bersikap responsif kepada perkembangan moderen.
Atas dasar itulah, Muktamar NU ke-32 menyusun Qawaidut Taqnin yang dimasudkan sebagai pedoman dan standar NU dalam mempertahankan, mengkritisi, mengawal, dan mengusulkan peraturan perundang-undangan.
NU berpandangan bahwa seluruh praktik penyelenggaraan negara tidak saja mempunyai dimensi kepentingan sesaat, akan tetapi hendaklah memiliki pandangan yang jauh ke depan. Dalam pandangan NU kepentingan ke depan itu harus selalu didasarkan pada pertimbangan kepentingan pelaksanaan nilai-nilai ajaran Islam, karena pelaksanaan ajaran Islam pada dasarnya tidak hanya penting bagi umat Islam saja akan tetapi bermanfaat bagi keluhuran sifat dasar kemanusiaan.
Secara umum pembuatan peraturan perundangan-undangan di Indonesia harus mengacu kepada kaidah “kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan pada kemaslahatan” (tasharraf al imam ‘ala raiyyah manuuthun bi al mashlahah). Secara lebih khusus lagi, sesuai dengan dasar filosofi ajaran Islam (maqashid al syari’at), maka bagi NU semua peraturan perundang-undangan hendaklah dapat memperkuat lima tujuan diturunkannya syari’at (maqashid al syari’at).[86]
Pertama, hifz al din. Setiap kegiatan didasarkan untuk kepentingan pemeliharaan ajaran Islam, oleh karena kehidupan itu baru bernilai apabila selalu didasarkan kepada ajaran Islam. Setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan hakikat ajaran Islam malah justru semua undang-undang haruslah bertujuan memperkuat komitmen semua umat beragama terhadap ajaran agamanya. Oleh karena itu pertimbangan untuk kepentingan syari’at haruslah ditempatkan di atas segala-galanya. Semua peraturan perundang-undangan hendaklah yang dapat memudahkan orang beribadah oleh karenanya tidak boleh ada yang bertentangan dengan ajaran Islam (Q.S. Ali ‘Imran [3]:83). Mengingat agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah Islam, maka setiap undang-undang hendaklah memberi kemudahan bagi umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya, dan pada saat yang sama juga memberikan kemudahan bagi umat lainnya dalam mengamalkan ajaran agamanya. Bertolak pada pemikiran tersebut, setiap undang-undang tidak boleh bertentangan dengan semangat spiritual yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Kedua, hifz al nafs. Setiap pelaksanaan ajaran Islam harus selalu memelihara kelangsungan hidup manusia, oleh karena itu tidak dibenarkan upaya-upaya kehidupan yang justru berakibat hilangnya keberadaan manusia. Seluruh peraturan perundang-undangan harus dapat menjaga kelangsungan kehidupan dan melindungi kehormatan umat manusia. Tidak dibenarkan adanya undang-undang yang merendahkan martabat manusia karena manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang sempurna (Q.S. Al Tin [95]: 4); (Q.S. Al Isra’ [17]: 33).
Ketiga, hifz al nasl. Seluruh perundang-undangan harus dapat memelihara kelangsungan berketurunan, oleh karena itu tidak dibenarkan adanya upaya pembunuhan atau pemutusan keturunan atas dasar alasan apapun juga. Serta tidak dibenarkan aktifitas perusakan lingkungan hidup karena dapat mengancam eksistensi kelangsungan hidup manusia. Seluruh produk perundang-undangan hendaklah bertujuan memuliakan manusia (Q.S. Al Isra’ [17]: 31).
Keempat, hifz al mal. Seluruh perundang-undangan hendaklah dapat memelihara kepemilikan harta, baik kepemilikan harta yang sempurna (milk taam) maupun kepemilikan tak sempurna (milk naaqish) dan hak-hak kepemilikan kebendaan termasuk hak cipta maupun budaya bangsa. Islam menegaskan adanya kepemilikan perorangan dan kepemilikan syirkah, namun harta yang dimiliki itu memiliki nilai ibadah dan sosial yang ditunaikan melalui zakat, infak dan shadaqah (Q.S. Al Hijr [15]: 20).
Kelima, hifz al aql. Peraturan perundang-undangan hendaklah memuliakan manusia sebagai makhluk Allah yang mulia yang memiliki akal sehat dengan kemampuan berfikir yang baik dan benar, terbebas dari hedonisme dan materialisme, jauh dari pragmatis serta menjunjung tinggi akhlak mulia, sehingga segenap kehidupan manusia menjadi aman dan bahagia (Qs. 17:70). Hal ini dapat terwujud manakala akal pikirannya positif, tidak terkotori pengaruh narkotika dan obat-obat terlarang dan mampu menyikapi semua hal secara dewasa.
Berdasarkan kepada prinsip-prinsip tersebut, maka NU berpandangan bahwa produk peraturan perundangan hendaklah dapat: (1) melindungi semua golongan; (2) berkeadilan; (3) sesuai dengan agama/keyakinan/kepercayaan masyarakat yang disahkan keberadaannya di Indonesia; (4) sesuai dengan nilai-nilai kepatutan dan budaya masyarakat yang tidak bertentangan dengan agama; (5) selalu memiliki wawasan ke depan.
NU memandang bahwa penyerapan hukum Islam dalam hukum nasional adalah suatu keniscayaan, karena sebagian besar masyarakat Indonesia beragama Islam di mana ada bagian-bagian dari hukum Islam yang dapat terlaksana secara paripurna memerlukan peranan dan dukungan negara. Oleh karena itu, NU memandang penyerapan hukum Islam dalam hukum nasional dapat diwujudkan sejalan dengan semangat bhineka tunggal ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini disebabkan karena hukum Islam adalah semuanya membawa kemaslahatan bagi umat manusia dan alam semesta, sehingga tidak akan terjadi diskriminasi terhadap warga negara yang berbeda budaya maupun agama.
Pola penyerapan itu dapat dilakukan dalam tiga hal yaitu formal, substansial, dan esensial, tergantung pada materi dan ruang lingkup berlakunya.
Pertama, pola formal (rasmiah). Formal artinya penyerapan hukum Islam pada hukum nasional secara formal. NU memandang ada bagian-bagian hukum Islam yang harus diserap dalam hukum nasional secara formal dan hanya berlaku bagi umat Islam, seperti zakat, wakaf, peradilan agama, dan haji. Dalam hal ini, NU mendorong terbitnya peraturan perundang-undangan yang secara formal mengatur persoalan tersebut yang hanya berlaku bagi umat Islam.
Kedua, substansial (dzatiah). NU menyadari bahwa ajaran Islam adalah ajaran universal (rahmatan lil alamin), untuk itu NU berupaya agar nilai-nilai ajaran Islam dapat dirasakan kemaslahatannya bukan hanya oleh bangsa Indonesia saja akan tetapi oleh seluruh umat manusia. Karena sistem sosial politik bangsa Indonesia belum memungkinkan berlakunya ajaran Islam secara formal, maka NU memperjuangkan nilai-nilai substansi dalam peraturan perundang-undangan, seperti masalah pornografi, perjudian, penyalahgunaan narkoba dan lain-lain.
Ketiga, esensial (ruhiah). NU menyadari kebinekaan bangsa Indonesia dan mendukung tegaknya NKRI. Karena itu dalam penerapan syariah, NU merasa perlu menggunakan pola tadriji untuk menghindarkan penolakan masyarakat yang berakibat kontraproduktif bagi perkembangan sosialisasi syariah pada masa depan. Hukum Islam yang belum memungkinkan diterapkan, diupayakan untuk memasukkan esensi Hukum Islam ke dalam perundangan yang berlaku di Indonesia. Seperti dalam hukum pidana Islam, NU untuk sementara belum mendorong berlakunya hukum jinayat Islam secara formal ataupun substansial, tetapi mengupayakan terserapnya esensi hukum jinayah. Misalnya pidana terhadap pelaku zina (ghairu muhson) yang dalam KUHP tidak dianggap sebagai pidana harus diperjuangkan menjadi delik pidana dengan hukuman ta’zir.
Sampai di sini dapat diketahui posisi dan sikap NU dalam kehidupan politik kenegaraan Indonesia. Nampaknya NU akan tetap mengambil peran dalam berpolitik, terutama di tingkat kenegaraan dan kebangsaan, melalui cara pandang Islam moderat dan toleran yang dikembangkannya.

Penutup
Relasi negara dan Islam di Indonesia diwarnai oleh ketegangan dan moderasi. Pengalaman NU setidaknya menggambarkan dinamika relasi itu. Pada akhirnya relasi negara dan Islam di Indonesia adalah pilihan. Pengalaman NU dapat dipilih sebagai pelajaran bahwa relasi negara dan Islam di Indonesia tidak selalu ditempuh melalui jalur ketegangan yang berwatak kekerasan, namun ketegangan itu dapat dikelola secara kreatif melalui jalur moderasi dan toleransi.[87]  ©


**) Hasyim Asy’ari adalah Dosen Hukum Tata Negara (HTN), Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang. Makalah disampaikan di acara “Halqah; Islam Toleran dalam Himpitan Gerakan Islam Transnasional” yang diadakan oleh Ma’had Qudsiyyah yang bekerjasama dengan Yayasan Nurul Ma’iyyah Indonesia. Bertempat di gedung YM3SK Kudus, 11 Desember 2011


[1] Kompas, Senin, 2 Mei 2011, “Indonesia Jadi Medan Perang, Generasi Baru Pelaku Terorisme Sudah Lahir”.
[2] Michael van Langenberg, 1992, “The New Order State: Language, Ideology and Hegemony”, dalam Arief Budiman (ed.), 1992, State and Civil Society in Indonesia, (Clayton: Centre of Southeast Asian Studies Monash University), hlm. 121-149. Ideologi negara Orde Baru di sini dapat dibagi menjadi dua, yaitu “ideologi praktis” berupa “pembangunanisme” dan ideologi yang lebih “filosofis” adalah “Pancasila”. Penggunaan ideologi Pancasila dan “pembangunan” sebagai basis legitimasi politik Orde Baru, lihat: Mochtar Pabottinggi, 1995, “Indonesia: Historicizing the New Order’s Legitimacy Dilemma”, dalam Muthiah Alagappa (ed.), 1995, Political Legitimacy in Southeast Asia: The Quest for Moral Authority, (California: Stanford University Press), hlm. 224-256.
[3] Kompas, Jumat, 6 Mei 2011, “Pendidikan Pancasila Dihapus, Nilai-Nilai Toleransi Ditinggalkan”.
[4] Diskusi mutakhir tentang relasi agama dan negara, dapat dibaca: Luthfi Assyaukanie, 2009, Islam and The Secular State in Indonesia, (Singapore: ISEAS), Musdah Mulia, 2009, Negara Islam, (Depok: Kata Kita), dan Abdul Aziz, 2011, Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam, (Jakarta: Pustaka Alvabet).
[5] Rachmat Djatnika, 1990, “Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia”, dalam Abdurrahman Wahid et.al., 1990, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya), hlm. 229-231.
[6] Ibid., hlm. 231-233.
[7] Rachmat Djatnika, 1990, “Sosialisasi Hukum Islam”, dalam Abdurrahman Wahid et.al., 1990, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya), hlm. 243-246.
[8] Kajian mutakhir seputar Islam dan Negara di Indonesia, lihat: Bahtiar Effendy, 1998, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina).
[9] Perdebatan seputar pemikiran politik sebagai dasar Negara dapat dibaca: Herbert Feith and Lance Castles, (eds.), 1988, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta: LP3ES). Perdebatan seputar Konstituente baca: Adnan Buyung Nasution, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal Atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Grafiti).
[10] Noer Iskandar Al-Barsany, 1992, “Politik Islam di Indonesia”, dalam Masdar Farid Mas’udi (ed.), 1992, Fiqh Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, (Jakarta: P3M-RMI), hlm. 81-93.
[11] Mohammad Fajrul Falaakh, 1994, “Sketsa Komparatif Hukum Islam di Turki dan Saudi Arabia”, makalah disampaikan pada Seminar “Pelaksanaan Hukum Islam di Timur Tengah”, oleh Pusat Pengkajian dan Penelitian Masalah-Masalah Timur Tengah, Fisipol, UGM, Yogyakarta, 8 September 1994.
[12] Tentang pemberlakuan Syari’ah Islam di Sudan, baca: Abdullahi Ahmed An-Naim, 1994, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hukum Internasional dan Hak-Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: LKiS).
[13] Bagian ini bersumber pada: Musthofa Sonhadji, 2001, Hubungan Politik Nahdlatul Ulama dan Pemerintah Orde Baru, Disertasi, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga), kecuali disebutkan sumber lain.
[14] Baca Aqib Suminto, 1985, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES), hlm. 18.
[15] M. Farid Wajdi, 1956, Dairah al-Ma’arif, Jilid V, Kairo, hlm. 531.
[16] Lothrop Stoddard, 1966, The World of Islam, alih bahasa Panitia, (Jakarta: Panitia), hlm. 24.
[17] KH. Saifuddin Zuhri, 1980, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangan di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif), hlm. 346. Bandingkan: Muhammad Yamin, 1968, Tatanegara Majapahit II, (Jakarta: Yayasan Prapanca), hlm. 266, 313 dan 329.
[18] Saifuddin Zuhri, loc.cit.
[19] Mustofa Kholidy dan Omar A. Farukh, 1953, Al-Tabsyir wa al-Isti’mar, alih bahasa Tk. H. Ismail Yakub, (Surabaya: CV. Mizan), hlm. 38. Lihat juga: Saifuddin Zuhri, op.cit., hlm. 368 dan 386.
[20] Zuhri, ibid., hlm. 381.
[21] Stoddard, op.cit., hlm. 306.
[22] Mengenai pernyataan-pernyataan ini secara lebih lengkap, baca pidato-pidato para pemimpin dan pejabat Belanda yang  dikutip Aqib Suminto, op.cit., hlm. 17-25.
[23] Lihat: R.R. (Reglement op het belid der Regering van Nederland Indie) 1854 ayat 119, hlm. 28, yang berbunyi: “Setiap warga negara bebas menganut pendapat agamanya, tidak kehilangan perlindungan masyarakat dan anggotanya atas pelanggaran peraturan umum hukum agama”.
[24] Harry J. Benda, 1980, The Crescent and The Rising Sun, alih bahasa Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya), hlm. 44.
[25] Aqib Suminto, op.cit., hlm. 15.
[26] Ibid.
[27] H.J. Benda, op.cit., hlm. 45.
[28] Aqib Suminto, op.cit., hlm. 40. Tentang politik etis, baca juga: Robert van Niel, 1984, Munculnya Elit Modern Indonesia, alih bahasa Zahara Deliar Noer, (Jakarta: Pustaka Jaya), hlm. 50-70.
[29] Politik kristenisasi yang dijalankan oleh kolonial Eropa, nampaknya menjadi salah satu faktor pendorong berdirinya berbagai organisasi Islam di Indonesia. Selain NU, respon terhadap politik kristenisasi ini juga menjadi salah satu faktor berdirinya Muhammadiyah. Lihat: Alwi Shihab, 1998, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan), hlm. 141-147. Perlawanan non-kultural kalangan pesantren terhadap kolonial Belanda pada periode sebelumnya ditunjukkan dalam berbagai pemberontakan, di antaranya pemberontakan petani di Banten. Lihat: Sartono Kartodirdjo, 1984, Pemberontakan Petani di Banten 1888, (Jakarta: Pustaka Jaya), hlm. 222-225.
[30] Baca: Masbuchin, 1967, Nahdlatul Ulama di Tengah Rakyat dan Bangsa Indonesia, (Kebumen: Daya Bakti), hlm. 16. Juga, Musthofa Sonhadji, 1987, Nahdlah al-Ulama: Organisasi Sosial Keagamaan Tahun 1926-1952 (Suatu Tinjauan Kultural Historis), Tesis M.A., (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga), hlm. 95-97.
[31] Ada semacam transformasi fungsi kultural pesantren, yang semula menjalankan “fungsi instrumen islamisasi”, pada masa kolonial berubah menjadi “fungsi benteng pertahanan menghadapi penetrasi kebudayaan luar”. Lihat: Abdurrahman Wahid, 1979, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: Dharma Bhakti), hlm. 116.
[32] Perguruan Nahdlatul Wathan yang dipelopori oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah, K.H. Mas Mansur dan K.H. Ridlwan Abdullah, dalam mengawali setiap kegiatan belajar selalu dikumandangkan syair berbahasa Arab yang bertujuan untuk membangkitkan semangat nasionalisme. Choirul Anam menyebutkan bahwa salah satu motivasi berdirinya NU, sebagaimana dikemukakan oleh K.H. Abdul Wahab Chasbullah kepada K.H. Abdul Halim pada suatu ketika menjelang berdirinya NU, adalah untuk memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia. Untuk lebih lengkap, lihat: Choirul Anam, 1985, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, (Sala: Jatayu), hlm. 25-26, dan hlm. 32-33.
[33] Madzhab adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti jalan atau cara. Bermadzhab di sini diartikan sebagai pengamalan agama dengan mengikuti pendapat dan pemikiran dari salah seorang ulama yang memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang agama dan memiliki kemampuan berijtihad. Dalam praktek agama Islam terdapat banyak madzhab. Sementara dalam fiqh madzhab terbesar adalah madzhab Hanafi yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, madzhab Maliki oleh Imam Malik bin Anas, madzhab Syafi’i oleh Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i, dan madzhab Hanbali oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
[34] Masalah khilafiyah yaitu masalah-masalah agama yang diperselisihkan oleh aliran-aliran agama khususnya antara ulama bermadzhab dengan ulama tidak bermadzhab, dan sebenarnya masalah-masalah yang diperselisihkan bukan masalah pokok/dasar, namun hanya masalah-masalah kecil/cabang (furu’iyyah).
[35] H.J. Benda, op.cit., hlm. 77-78.
[36] Tentang perdebatan-perdebatan tersebut, dapat dilihat dalam: Deliar Noer, 1980, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES), hlm. 247-248. Baca juga: Rosihan Anwar, 1971, Pergerakan Islam dan Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: PT. Kartika Tama), hlm. 29-58.
[37] Alfian, 1969, Sekitar Lahirnya “Nahdlatul Ulama” (NU), (Jakarta: Lembaga Ekonomi dan Masyarakat Nasional LIPI), hlm. 4.
[38] Harun Nasution, 1975, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), hlm. 153-154.
[39] Carl Brockelmann, 1968, Tarikh al-Syu’ub al-Islamiyah, alih bahasa Arab oleh Habib Amin Faris dan Murik al-Ba’albaki, (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Mabayin), hlm. 744-748.
[40] Ibid., hlm. 749-751; bandingkan Philip K. Hitti, 1953, Arab History, alih bahasa H. Hutagalung dan ODP. Sihombing, (Bandung: Van Hoeve), hlm. 255-256.
[41] Ibid.
[42] Deliar Noer, op.cit., hlm. 248.
[43] Brockelmann, op.cit., hlm. 753.
[44] Berita-berita tersebut pernah dimuat dalam Swara Nahdlotoel Oelama’, No. 2 Th. I, Shofar 1346 H; bandingkan Umar Burhan, “Hari-Hari Sekitar Lahirnya NU”, Aula, No. 2 Th. III, Januari 1981, hlm. 16-17.
[45] Alfian, op.cit., hlm. 5.
[46] Deliar Noer, op.cit., hlm 243, mencatat bahwa Konggres Islam V ini telah didahului oleh suatu pertemuan “persekongkolan” kaum pembaharu untuk mendeskriditkan ulama madzhab yang diadakan di Cianjur Jawa Barat pada tanggal 8-10 Januari 1926.
[47] Deliar Noer, ibid., hlm. 248.
[48] Setelah delegasi kembali ke Indonesia, pada bulan September 1926 diadakan Konggres Islam VI di Surabaya guna membicarakan hasil Muktamar Dunia Islam di Makkah, dan di antara keputusannya adalah membubarkan Comite Central Chilafat dan mendirikan Muktamar Alam Islami Far’u al-Hindi al-Syarqiyah (MAIHS), yaitu cabang dari Muktamar Alam Islami yang berpusat di Makkah. Baca: Amelz, 1950, H.O.S. Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangannya, (Jakarta: Bulan Bintang), hlm. 172-173.
[49] Saifuddin Zuhri, op.cit., hlm. 609; juga Umar Burhan, op.cit., hlm. 18.
[50] Musthofa Sonhadji, op.cit., hlm. 21.
[51] Tentang asal mula nama NU, lihat: Choirul Anam, op.cit., hlm. 2-3. Juga Mudjib Ridwan, “Si Pencipta Nama NU”, Aula, No. 2 Th. III, 1981, hlm. 28.
[52] Lihat: Swara Nahdlatoel Oelama, No. 12 Th. I, Dzulhijjah 1346 H; juga Deliar Noer, op.cit., hlm. 244-246.
[53] Musthofa Sonhadji, op.cit., hlm. 23.
[54] Berdasarkan penelitiannya, Alfian tidak menemukan bukti yang dapat membenarkan tuduhan itu. Van der Plas memang sering membuat laporan tentang perkembangan NU, namun ia juga membuat laporan tentang perkembangan organisasi Islam lainnya, seperti pada tahun 1927 Plas membuat laporan perkembangan Muhammdiyah di Minangkabau. Lihat: Alfian, op.cit., hlm. 1-2.
[55] Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama, 1344 H /1926 M, Rechtspersoon, No. IX, 6 Pebruari 1930, hlm. 2.
[56] Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU, 1979, Pasal 2 ayat 2.
[57] Martin van Bruinessen, 1994, NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS), hlm. 37-41.
[58] Achmad Siddiq, 1980, Khittah Nahdliyyah, (Surabaya: Balai Buku), hlm. 27.
[59] Siradjuddin Abbas, 1982, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah), hlm. 16.
[60] Achmad Siddiq, op.cit., hlm. 29.
[61] Bisyri Musthofa, 1966, Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, (Kudus: Menara Kudus), hlm. 18-19.
[62] Abu Hasan al-Asy’ari adalah keturunan sahabat Nabi Abu Musa al-Asy’ari, dengan nama lengkap Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abi Basyar bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy’ari. Dia lahir di Basrah (Iraq) tahun 260 H/873 M, dan wafat dalam usia 64 tahun pada 324 H/935 M. Al-Asy’ari  adalah murid ayah tirinya yang juga tokoh Mu’tazilah yaitu Abu Ali Muhammad al-Juba’i. Karya al-Asy’ari di antaranya adalah Maqalat al-Islamiyyin, Al-Luma’ fi al-Raddi ‘Ala Ahl al-Ziyagh wa al-Bida’, dan Al-Ibanah ‘An Ushul al-Diyanah. Informasi tentang para imam aswaja yang diikuti NU diambil dari Musthofa Sonhadji, 1988, Nahdlah al-Ulama Gerakan Sosial Keagamaan 1926-1952: Suatu Tinjauan Historis Kultural, Tesis M.A., (Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga).
[63] Nama lengkapnya Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Ia lahir di Maturidi, sebuah kota kecil di daerah Samarkand pada pertengahan abad IX dan meninggal pada tahun 333 H/944 M. Karya-karya al-Maturidi di antaranya adalah Kitab al-Tawhid, Ta’wilat al-Qur’an, Risalah fi al-Aqaid, dan Syarh al-Fiqh al-Akbar.
[64] Imam Hanafi memiliki nama lengkap Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin Zutha al-Kufi (lahir 80 H/699 M, wafat 150 H/769 M). Ia lahir di Anhar Kufah dan di kota ini belajar kepada Hamad bin Abi Sulaiman murid dari Ibrahim al-Nakha’iy. Setelah pindah ke Bagdad, Imam Hanafi banyak mengeluarkan fatwa, dan di natara fatwanya banyak yang menggunakan qiyas dan ra’yi, sehingga ada yang menggolongkannya ke dalam Ahl al-Qiyas dan Ahl al-Ra’yi, namun demikian fatwanya masih didasarkan kepada Qur’an dan Sunnah, sementara qiyas dan ra’yi hanya digunakannya untuk memperkuat argumentasi.
[65] Imam Maliki memiliki nama lengkap Malik bin Anas Malik bin Abi “Amir al-Asbahi al-Madani (lahir 93 H/ 712 M, wafat 179 H/ 798 M). Ia lahir di Madinah dari keturunan kabilah Ashbah Yaman yang hijrah ke Madinah. Sejak kecil ia banyak belajar hadis, menurut riwayat, Imam Malik berguru kepada sekitar 700 orang, dan 300 di antaranya adalah golongan tabi’in. Salah satu gurunya yang terkenal adalah Abdulrahman bin Harmuz, seorang pembela hadis yang gigih. Imam Maliki memperkenalkan perpaduan natara metode Ahl al-Hadis dan Ahl al-Ra’yi, yaitu berupa taufiq antara nash dan kemaslahatan. Kitab karya Imam Malik yang terkenal adalah Al-Muwaththa’ yang memuat 100.000 hadis dengan metode susunan atas dasar Al-Qur’an, Sunnah Rasul, Ijma’ (kesepakatan) ulama, dan Qiyas (analogi), dan karena keahliannya dalam ilmu fiqh, ia dijuluki sebagai Sayyid Fuqaha al-Hijaz.
[66] Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Saib Ibnu ‘Abid bin Abi Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin Abi Manaf al-Quraisyi (lahir 150 H/767 M, wafat 204 H/820 M). Sejak dilahirkan di Palestina, Imam Syafi’i hidupnya pindah-pindah ke Makkah, Baghdad dan Mesir. Ia berguru langsung kepada Imam Malik dan membaca kitab Al-Muwaththa’. Imam Syafi’i mengembangkan metode yang mengkompromikan fiqh Ahl al-Hadis yang diperolehnya dari Hijaz dengan metode fiqh Ahl al-Ra’yi yang didapatnya di Iraq. Ketika di Makkah, Imam Syafi’i menyusun kaidah fiqhiyyah dalam buku Al-Risalah, yang kemudian dikenal sebagai peletak dasar Ushul al-Fiqh. Karya-karya Imam Syafi’i di antaranya adalah Ahkam al-Qur’an, Al-Um, Ikhtilal al-Hadis, Al-Musnad, dan Al-Qiyas.
[67] Nama lengkap Imam Hanbali adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal (lahir 164 H/750 M, wafat 241 H/855 M). Ia lahir di Baghdad dari keluarga keturunan Arab yang hijrah dan menetap di Khurasan. Imam Hanbali adalah murid dari Imam Syafi’i, dan setelah menjadi ahli fiqh dan hadis, Imam Hanbali memiliki banyak murid, di antaranya adalah ahli hadis terkemuka, yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim.
[68] Al-Junaidi memiliki nama lengkap Abu al-Qasim al-Junaidi al-Baghdadi, lahir di Nahawan dan wafat di Baghdad pada tahun 287 H/910 M. Al-Junaidi adalah ulama yang mengajarkan tasawwuf  berdasarkan syariat. Menurut Al-Junaidi, tasawwuf tidak boleh bertentangan dengan syariat, karena syariat itu jalan menuju tasawwuf dan tasawwuf adalah buah dari syariat.
[69] Sa’id Aqiel Siradj, 1996, “Ahlussunnah wal Jama’ah”, makalah untuk Bahtsul Masail tentang Aswaja oleh Lajnah Bahtsul Masail PBNU, 15 September, hlm. 24-25.
[70] Sa’id Aqiel Siradj, ibid., hlm. 30.
[71] Achmad Siddiq, op.cit., hlm. 38-40.
[72] Musthofa Sonhadji, op.cit., hlm. 105. Lihat juga: M. Fajrul Falaakh, 1994, “Jam’iyah Nahdlatul Ulama: Kini, Lampau dan Datang”, dalam Ellyasa KH. Darwis (ed.), 1994, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS), hlm. 171.
[73] Informasi tentang hal ini, lihat: M. Ali Haidar, 1994, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih Dalam Politik, (Jakarta: Gramedia), hlm. 4-5.
[74] Diskusi tentang fatwa “Resolusi Jihad NU”, lihat: Hairus Salim, “50 Tahun Resolusi Jihad NU”, Kompas, 10 Nopember 1995; Hermawan Sulistyo, “Historiografi tentang Resolusi Jihad NU”, Kompas, 24 Nopember 1995; Mohammad Fajrul Falaakh, “NU dalam Dua Resolusi Jihat”, Kompas, 8 Desember 1995. Ketegangan relasi negara dan Islam di Indonesia pada masa revolusi yang melibatkan militer, NII dan NU di tengah-tengah-nya, dilukiskan secara novelis oleh Ahmad Tohari, 1995, Lingkar Tanah Lingkar Air, (Purwokerto: Harta Prima), baca: Hasyim Asy’ari, 2008, “Budaya Politik di Pentas Novel: Kajian Tentang PKI dan DI/TII dalam Novel Ahmad Tohari”, diterbitkan dalam Sabda Jurnal Kajian Kebudayaan, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Vol. 3, Nomor 1, April 2008, hlm. 1-9.
[75] Mahrus Irsyam, 1984, Ulama dan Politik: Upaya Mengatasi Krisis, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan), hlm. 124-125. Ibid., hlm. 133.
[76] Lihat: Keputusan Munas Alim Ulama NU No. II/MAUNU/1404/1983 tentang Pemulihan Khittah NU 1926. Pembahasan tentang hal ini, lihat: Einar Martahan Sitompul, 1996, NU dan Pancasila, (Jakarta: Sinar Harapan), hlm. 167-180.
[77] Faisal Ismail, 1999, Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wacana), hlm. 237.
[78] Andree Feillard, 1999, NU fis-a-fis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS), hlm. 190-198.
[79] Ibid., hlm. 197.
[80] Tentang sikap keras NU dalam Sidang MPR 1978, lihat: Andree Feillard, ibid., hlm. 199-203. Sikap keras ini sebenarnya bukan khas NU, tetapi hampir menjadi sikap semua orang Islam, namun secara politik formal hal ini ditunjukkan oleh NU secara dramatis dalam persidangan MPR.
[81] Munculnya “aliran kepercayaan” sebagai kekuatan politik dalam Orde Baru tidak lepas dari sponsor pemerintah, terutama dimotori oleh Mayor Jenderal (Mayjen) Soedjono Hoemardani, asisten pribadi Presiden Soeharto, yang dikenal sebagai penganut kejawen. Satu bulan setelah “menggolkarkan” GUPPI, Soedjono Hoemardani mensponsori pertemuan 43 kelompok aliran kepercayaan di Yogyakarta yang ingin mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah. Lihat: Michael S. Malley, “Soedjono Hoemardani dan Orde Baru: Aspri Presiden Bidang Ekonomi 1966-1974”, Prisma, hlm. 118-119.
[82] Pembahasan tentang kebijakan pemerintah dalam penataan “aliran kepercayaan”, lihat: Paul Stange, 1998, Politik Perhatian: Rasa Dalam Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: LKiS), terutama bab “Politik Penataan Kepercayaan”, hlm.93-130.
[83] Laode Ida, 1996, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), 1996, hlm. 44.
[84] Informasi ini diperoleh dari KH. Em. Nadjib Hassan, pemangku makam Sunan Kudus dan masjid al-Aqsha Menara Kudus yang juga Wakil Rais Syuriyah Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Tengah.
[85] Keputusan Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah, Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) Ke-32, Makasar, 22-27 Maret 2010.
[86] Teori maqashid al syari’at diajukan oleh sejumlah ahli hukum Islam, khususnya Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Syathibi, seorang ahli fiqh madzhab Maliki yang karya-karyanya menyangkut maqashid al syari’at, khususnya dalam kitab al-Muwaafaqat fi ‘Ushul al Syariah, (Beirut: Dar al Ma’rifah, 2004).
[87] Andree Feillard, 1994, “Nahdlatul Ulama dan Negara: Fleksibilitas, Legitimasi dan Pembaharuan”, dalam Ellyasa KH. Darwis (ed.), 1994, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS).

Tidak ada komentar: