Disahkannya UU
No. 22/1999 tentang otonomi daerah membawa banyak pengaruh dalam keadaan
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Salah satunya adalah
munculnya Peraturan Daerah (Perda) bernuansa syariah di berbagai pelosok
negeri.
Namun, selain
itu, tenyata masih banayak hal-hal ‘di balik’ Perda syariah yang masih
menyertainya, seperti kontroversi mengenai aspek legalitasnya, pertimbangan
agama, dan lain-lain. Berikut ini adalah petikan hasil wawancara tim redaksi
dengan Bapak Drs. Mudzakir, M.A., mahasiswa program doktoral IAIN Sunan Ampel
Surabaya, yang sedang mengadakan penelitian disertasi mengenai Perda syariah.
Apakah Perda syariah
itu?
Sebenarnya,
kurang tepat bila disebut sebagai Perda syariah. Yang ada adalah Perda bernuansa
syariah. Ini karena dalam Perda-Perda itu tidak secara eksplisit disebutkan
kata-kata syariah.
Bagaimana latar
belakang munculnya Perda syariah di Indonesia?
Kalau
latar belakang, Perda syariah muncul karena adanya UU No.
22/1999 tentang otonomi daerah. Peraturan
tersebut sebenarnya tidak diberi wewenang untuk mengatur bidang
peradilan dan agama tersebut sebenarnya tidak diberi wewenang untuk mengatur
bidang peradilan dan agama. Tapi, realitanya Perda-Perda itu menyentuh persoalan
agama dan quasi-peradilan.
Bagaimana
respon dari umat Islam sendiri terhadap adanya Perda syariah ini?
Saya
membagi respon umat Islam terhadap upaya
formalisasi agama ini menjadi empat kelompok. Yaitu respon dari kelompok
tradisionalis, fundamentalis, modernis, dan liberalis. Teori itu selain berlaku
dalam hal respon terhadap upaya formalisasi agama, juga bisa digunakan dan
diterapkan dalam respon mengenai masalah lain.
Sehingga,
kemudian menjadi begini nanti, kelompok tradisionalis itu beranggapan bahwa
Islam, agama Islam, termasuk hukum Islam, itu adalah bagian dari tradisi. Tradisi
itu ya pemikiran, sikap perilaku masyarakat. Sehingga maunya oleh kelompok
tradisionalis, hukum Islam tidak usah diformalkan, tidak usah di-Perdakan, tapi
diinternalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ya,
masing-masing pihak nanti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kalau
kekurangannya dari kelompok tradisionalis nanti, itu menjadi sangat permisif
(terbuka), menjadi tidak terlalu peka terhadap pelanggaran.
Sekarang
saya ambil contoh, tapi saya mohon jangan tersinggung dulu lho ya,
karena ini kajian akademis. Ya memang akademis itu membuka fakta-fakta yang
ada, terserah itu nanti mau bagaimana, itu terserah.
Saya
jujur sebagai orang NU, tapi ada kelemahan mendasar dalam kelompok
tradisionalis, yaitu sangat permisif terhadap adanya pelanggaran hukum. NU yang
sangat banyak basis massanya, kan seperti diam terhadap adanya pelanggaran hukum.
Yang harus diingat kan hukum bukan sekedar zakat, puasa, dan haji, tapi juga
ada masalah korupsi, nepotisme, pelanggaran-pelanggaran konstitusi, dan masih
banyak sekali.
Hari-hari
ini Indonesia sangat karut marut, tapi orang NU mana perannya? Saya
kadang-kadang sedih juga sebagai orang NU. Terus iki piye?, kalau ada karut
marut, yang keluar malah dalil kok.
Sekarang orang didalili sudah nggak mempan kok. Apa iya, sekarang dengan
adanya dalil kemudian orang jadi manut? “Oh iya, memang begitu”. Tidak, kan?
Orang
nggak takut dengan dalil sekarang, yang korupsi ya tetap korupsi, yang
selingkuh ya tetap selingkuh. Kan begitu? Dalilnya kan jelas padahal. Itu
kelemahannya di situ.
Maka
perlu ada wacana lain, kelompok modernis. Modernis memang dari sisi pemikiran
banyak di Muhammadiyah, tapi sekarang orang NU yang sangat modern juga banyak, bahkan terkadang ada yang
pemikirannya melebihi orang Muhammadiyah sendiri. Jadi saya kira sekarang wadah
ormas Islam tidak mampu lagi untuk mewadahi dinamika pemikiran anggotanya.
Orang Muhammadiyah yang ibadahnya melebihi orang NU juga banyak sekarang ini,
jadi begitu.
Maka
kemudian kelompok modernis itu berpendapat bahwa, sekali tempo, melihat konteks
sosiologi. Mungkin hukum Islam perlu diformalkan. Karena apa? Karena kalau
sekarang dengan cara mentradisikan agama ternyata gagal, maka hukum Isalm perlu
diformalkan.
Lah,
kalau kelompok fundamentalis, nanti memang cenderung menginginkan formalisasi
agama. Undang-Undang ya Undang-Undang Islam. Perda ya Perda syariah, Negara ya
Negara Islam.
Hanya
memang problemnya, saya coba menganalisis dari berbagai literatur itu kita ngotot
di Perda di hukum Islam, tapi kita tidak memperhatikan dan mempersiapkan
keberagamaan secara utuh.
Lah
kita coba menengok sejarah Nabi, pembentukan keberagamaan oleh Rasulullah SAW
di Makkah dan Madinah kan berbeda. Di Makkah itu memperkuat akidah, sedangkan di
Madinah itu memperkuat kemasyarakatan. Lah kita itu ngotot untuk
memperkuat masyarakat, tapi tidak mengangkat akidahnya dulu. Sehingga apa yang
terjadi? Ngerti nek iki doso, ngerti nek iki haram, ngerti nek iki di larang
agama, tapi ya tetep dilakoni. Karena apa? Ya karena akidahnya kurang.
Maka
hukum Islam menurut saya tidak identik dengan fiqh. Hukum Islam itu harus
diidentikkan dengan syariah Islam, karena dalam syariah Islam ada unsur akidahnya,
ada unsur akhlaknya, ada unsur fiqhnya atau hukumnya. Jadi tidak parsial.
Sehingga
kalau menegakkan syariah Islam termasuk dalam Perda, tidak cukup menata Perdanya,
masalah akidah dan etikanya ditata dulu. Kalau akidahnya sudah kuat, taklif
apapun, dibebani seberat apapun sudahlah. Jangankan harta, nyawapun kita siap
kok.
Abu
Bakar ketika diajak hijrah bersama Rasulullah, ketika sedang dalam gua, hampir
ketahuan kaum kafir Quraisy, nderedek Abu Bakar. “Ini bagaimana? kita
pasti mati”. Sampai Rasulullah berkata, ”Laa tahzan, inna allaha ma’anaa
(Jangan takut, sesungguhnya Allah beserta kita)”. Begitu Rasulullah berkata
begitu, sudahlah Abu Bakar, jangankan harta yang ditinggalkan di Makkah,
tinggal saja tidak apa-apa, nyawa pun kita siap.
Ali
bin Abi Thalib ketika Rasul hijrah kan sampai berkata, “Sudah, Rasulullah pergi
saja tidak apa-apa, saya yang akan tidur di kamarmu, di kasurmu, nanti kalau orang
kafir Quraisy ingin membunuh, biar saja saya yang terbunuh, bukan Rasulullah.” Sekarang,
apa ada manusia yang seperti itu?
Lah
syariah Islam itu saya maunya begitu, tidak Perda, Perda, Perda, tapi agamane
masyarakat diurusi ndhisek!!!
Kalau
begitu, apa kemudian sampai tidak usah diformalkan ?
Ya
tergantung, kelompok-kelompok tadi mulai tradisionalis, modernis,
fundamentalis, dan liberalis, sesungguhnya kalau ditanya ada yang salah nggak?
kan nggak tahu?
Begini,
lahirnya NU dan Muhammadiyah, sampai adanya Islam ala NU dan Islam ala
Muhammadiyah kan tidak bisa dipersalahkan to? Tidak bisa kemudian mana
yang lebih benar, kan? itukan lebih sulit.
Sekarang
kalau itu tidak bisa dijawab, kemudian kan semuanya, mulai dari tradisionalis,
modernis, liberalis, dan fundamentalis menjadi sama. Maka saya hanya melihat
begini, dalam hal tertentu misalnya, terkadang pendapat fundamentalis bisa dipakai,
ketika keadaan tidak memungkinkan diterapkan pendapat tradisionalis.
Korupsi,
apa kemudian bisa diberantas dengan cara tradisionalis? Mungkin perlu pola-pola
fundamentalis. Ada korupsi, digrebek, kan begitu? Dia biar kapok,
kan gitu? Sebab apa? Hukum Negara sekarang dipermainkan oleh aparat, oleh
penegak hukum. Korupsi puluhan bahkan ratusan miliar, dihukum 2 tahun saja, kan
tidak sebanding? Tapi kalau digrebek kelompok fundamentalis, kan bisa kapok.
Hanya memang penggrebekan itu kurang tepat, karena kita Negara hukum. Daripada
digrebek, formalkan saja. Jadi Islam itu tidak cuma mengurusi shalat, zakat,
dan ibadah lain. Tapi juga masalah mu’amalah dan masalah lain yang sering terabaikan.
Ngeri saya kadang
itu. Kadang saya sampai berpikir begini, “Aku mulang yah ono yah ene iki opo
maknane?” Kalau melihat kenyataan seperti ini, kita bergerak sekarang juga
berat. Sampean kalau tahu ada pelanggaran hukum, sampean kok
lapor, ya masuk penjara dulu. Terus kita mau apa?
Sehingga
perlu apa tidak, harus dianalisis secara agama atau religius, secara
sosiologis, secara politis, atau mungkin bahkan secara filosofis. Tidak mungkin
dari satu sisi hukumnya saja, dari sisi legal-formalnya saja. Tidak kemudian
dengan adanya Perda, semuanya akan selesai, tidak bisa.
Harus
ada kajian sosiologis, harus ada kajian politis. Kajian politis itu, kalau
menyusun Perda, maka wakil-wakil kita di DPRD mewakili atau tidak? Mewakili tidak
hanya sekedar votingnya, tidak sekedar suara banyak. Yang penting itu,
kebanyakan paham atau tidak? Itu termasuk mewakili. Akeh tapi ora paham kan
podo wae ngenteni duit thok. Yang penting banyak, paham, dan mereka tahu
strategi, tahu materi yang harus diperjuangkan. Itu bergerak secara
politik-konstitusional.
Saya
kira satu-satu perlu Perda, tapi ya harus ditata. Tidak boleh hanya bergerak
dari sisi legal-formalnya saja. Harus menata juga sisi agamanya, sisi akidahnya,
dan sisi akhlaknya.
Contoh,
sekarang itu, terjadinya orang yang selingkuh itu, sesungguhnya yang salah
orang yang selingkuh saja, atau masyarakat keseluruhan ikut salah? Kan tidak
bisa yang disalahkan yang bersangkutan saja. Termasuk tata busana, atau bagaimana
cara berbusana. Coba sekarang mahasiswa muslim minim-minim gitu kok. Itu kan
membuat nafsu birahi laki-laki, bagaimana pun yang normal kan, ya tergoda.
Sebagai manusia normal pasti tergoda. Lah kalau akidahnya tidak kuat, pasti
bablas. Yang akidahnya kuat saja yang bisa bertahan. Dan yang begitu jumlahnya
minim sekali, kecil sekali yang mampu bertahan.
Maka
kalau yang akidahnya tidak kuat itu bablas, kan tidak dia sendiri yang
disalahkan. Harus ditata cara berbusana, berbusana yang Islami, cara bergaul
yang benar. Maka syariah itu, ada akidahnya, ada akhlaknya. Akidah ditata,
akhlak ditata, baru hukumnya. Kalau akidahnya kuat, akhlaknya kuat, sudahlah
mau dibebani apapun silahkan. Wong
menurut saya, sebenarnya puasa Ramadhan itu ya berat, tapi karena akidah kita
sudah kuat untuk menerimanya, ya berat seperti apapun kita jalani saja.
Maksud
saya kan gitu, menata dimensi hukum, jangan dilepaskan dari dimensi akhlak,
dari dimensi akidah. Kedua, ini kan Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Al-Hadits, bagaimana kalau kemudian Islam itu masuk ke Indonesia, yang mana Indonesia masyaraktnya sangat heterogen,
apakah kita harus bertahan pada pemahaman Islam yang hitam putih? Kan tidak? Harus
menyesuaikan dengan budaya Indonesia. Cuma mana yang harus disesuaikan, dan
mana yang tidak boleh disesuaikan, itu kita juga harus waspada. Karena nanti
jangan sampai kita dituduh merubah sumber.
Banyak kasus
dimana Perda syariah dianggap malah merugikan masyarakat dan menghambat pembangunan
serta tidak memberi solusi terbaik, contohnya larangan mandi di sungai di
Kalimantan dengan alasan membuka aurat dan ikhtilath, lalu larangan wanita keluar malam di Tangerang, padahal
Tangerang sendiri sebagai kota industri yang notabene selalu hidup 24 jam, bagaimana
tanggapan Anda?
Itu
kan pemahaman Islam yang literalis tadi, hanya memahami Islam secara tekstual.
Sekarang
busana muslim, kalau ditanya definisi batasannya itu seperti apa? Kan menutup
aurat. Sekarang, ada yang menutup aurat, tapi pakaiannya ketat gimana? Bukannya
malah orang yang melihat justru menjadi
terbayang-bayang. Jadi, alangkah baiknya jika kemudian busana muslim itu bukan
sekedar menutup aurat, tapi busana yang menjadikan orang menjadi tidak terpikat
dengan auratnya.
Ya,
memang biasanya yang kecenderungannya tekstual seperti itu ya, kaum
tradisionalis. Kalau modernis kecenderungannya lebih bisa menerima perkembangan
budaya.
Yang tak kalah hebohnya, Perda syariah juga mengundang
kecemburuan penganut agama lain, bahkan ada wacana di Bali akan ada Perda Hindu
dan di Papua Barat akan ada Perda Nasrani, tanggapan Anda bagaimana?
Itu
yang harus diantisipasi. Sebagai Negara dan bangsa yang plural, mestinya kita
juga harus mengantisipasi itu. Artinya apa? Kita kemudian jangan menjadi
kebakaran jenggot ketika ada hal-hal seperti itu.
Kan
dulu ada, kebijakan yang mengatur bahwa setiap pabrik harus memiliki musala,
memiliki masjid. Kalau kemudian di pabrik itu, kemudian kebanyakan karyawannya
non-Islam, lalu mereka mendirikan tempat ibadah mereka, kita kan jangan
kebakaran jenggot. Kalau kita menuntut hak, mereka kan juga punya hak, karena
Negara kita kan Negara plural, bukan Negara milik umat Islam saja.
Lantas
apa solusinya?
Nah,
supaya tidak terjadi hal semacam itu, pemahaman syariat Islam itu jangan
literalis, atau text book. Jadi tidak membaca syariah dalam pengertian
teksnya, tapi substansinya.
Kesimpulannya
apakah Perda syariah sudah mencerminkan kaidah ‘tasharruful imam ala ar-ra’iyyah
manuthun bil mashlahah’ dan spirit-spiritnya?
Kalau
spiritnya sudah ada, cuma ya tadi. Kaidah itu kan sebenarnya persoalannya
bagaimana memahami agama, yang dimana agama itu harus menjadi bagian dari
kehidupan. Tapi spiritnya sudah ada.
Sekarang
sudah mulai ada gerakan pemikiran yang luar biasa dari umat Islam. Kalau Anda coba
membaca berbagai literatur itu luar biasa. Sesungguhnya yang memperhatikan
bagaimana sekarang ini keberagamaan menjadi karut marut, itu para pemerhati
sudah luar biasa. Cuma, sayangnya masih baru dalam dataran pemikiran.
Nah,
bagaimana kemudian dataran pemikiran ini yang sudah luar biasa bisa
diformalisasikan. Jadi masuk ke ruang publik. Kan agama itu rahmantan lil
‘alamin, bukan rahmatan lis syakhs, bukan rahmat untuk individu.
Jadi, agama harus masuk ke ruang publik.
Ya
semangatnya sudah ada, cuma mungkin belum waktunya aja. Ya, ternyata menata agama
itu sulitnya luar biasa. Saya kadang-kadang kalau mengajar itu mahasiswa tak
marahi juga. Kita itu sebagai representasi mahasiswa muslim
perguruan tinggi Islam, kenapa moralitas kita seperti ini? kok mahasiswa nggak
ada yang bergerak gitu lho. Tak ithik-ithik ya diam-diam saja tuh.
Lalu kaum fundamentalis itu kan
kemudian memakai dalil وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُون, itu apa? Apakah lagi-lagi tekstual atau bagaimana?
Ya tekstual, dia
hanya bergerak dari sisi fiqh, dari sisi hukumnya, tapi tidak mempertimbangkan
dari sisi akidah dan akhlaknya.
Cuma memang, kajian
Islam itu sangat-sangat kompleks. Akidah, kita berbicara akidah, polarisasi
atau perpecahan bidang akidah itu kan juga sudah dimulai sejak zaman sahabat.
Kalau kita ditanya, yang salah itu kelompoknya Ali bin Abi Thalib atau
kelompoknya Mu’awiyah. Ketika kaum muslimin terbunuh sekian ribu, baik di pihak
Ali dalam perang Shiffin itu maupun kelompok Mu’awiyah, sing salah siang
endi?, lha wong yang terbunuh orang Islam, yang membunuh juga orang Islam.
Itu kan perpecahan akidah sudah mulai muncul.
Sekarang menurut
saya, itu harus dilihat tidak berangkat dari akidah, tidak berangkat dari
ideologi, tidak berangkat dari teologi. Karena berangkat dari situ memang
kemudian sulit mendapatkan pemecahan. Harus dilihat dari kacamata sosiologi.
Sehingga, ya sudahlah yang begitu, biar begitu. Kita sekarang bagaimana
menghadapi problem kemasyarakatan. Jangan berangkat dari ideologi. Tapi,
berangkat dari fakta bahwa kita menghadapi problem kemasyarakatan yang luar
biasa.
Maka, saya kemudian
mencantolkan kepada teori maslahat. Bagaimana Islam, hukum Islam melahirkan
maslahat. Tinjauannya tidak hanya dari sisi teologis. Teologisnya saya
singgung, sisi etiknya saya singgung, sisi politiknya saya singgung, tapi
terutama sisi sosiologis yang saya lihat.
Kemudian teori maslahat
sendiri kan berlaku untuk hukum yang tidak ada nash qoth’i-nya, Pak.
Lalu kemudian bagaimana dengan hukum yang qoth’i tapi masih menjadi
kontroversi di luar, Pak?
Memang di situ kita
tidak berangkat dari ideologi tadi. Dan saya lebih cenderung, hanya ada
beberapa saja di dalam Al-Qur’an yang sifatnya qoth’i. Tapi lebih banyak
ayat-ayat hukum itu yang sifatnya dzanni.
Para ahli ushul fiqh
sendiri jumlah qoth’i dan dzanni sendiri kan tidak sepakat. Hanya
beberapa, seperti waris. Waris juga dalam kajian filosofis juga ada yang
mengatakan ayat tentang waris juga tidak qoth’i. Tapi Anda jangan bantah
di situ. Kalau bantah di situ, nanti menjadi ideologi lagi.
Boleh Anda diskusikan. Nanti setelah
didiskusikan, terserah Anda mau yang bagaimana. Itu filosofis. Karena apa? Karena
secara filosofis, ayat-ayat Al-Qur’an adalah symbol. Dalam ushul fiqh, Al-Qur’an
dan hadits itu disebut mashadir (sumber hukum). Dan ketika itu mashadir,
dengan hukumnya itu sama atau tidak? Tapi ini logika filsafat, lo, kalau
Anda anti-filsafat ya tidak bisa masuk.
Kita pasti harus
membedakan antara mashadir dengan ketentuan hukum. Kalau mashadir-nya
begini, lalu hukumnya berbeda, ya jangan disalahkan. Karena memang hukum tidak
sama dengan mashadir.
Sehingga ketika waris
umpamanya, ada ayat:
لِلذَّكَرِ
مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ
itu kan mashadir.
Ketika hukumnya berkata berbeda, itu kan ketentuan hukum. Berbeda dengan mashadir,
mashadir-nya apa? mashadir ayat itu dibaca secara sosiologis.
Sosiologi masyarakat Arab pada waktu itu yang bekerja dan pemikul beban
keluarga si laki-laki, dan perempuan tidak aktif bekerja mencari penghasilan.
Sekarang yang adil itu
yang bagaimana? Kalau kemudian nafkah keluarga ditanggung bersama, ya boleh
saja nanti kalau hukumya berbunyi, sudahlah tak apa dibagi rata, yang penting
kedua belah pihak merasa adil. Tapi ini sudah modernis yang begini lho! kalau
tradisionalis ya tidak mau begitu. Tapi bagi kaum tradisionalis, yang mau 2:1
yang dianggap adil ya nggak masalah. Menerapkan yang tekstual, yang modernis
menerapkan yang kontekstual. Yang
perlu ditekankan, yang penting kedua belah pihak merasa adil. Maka mashadir itu adalah simbol, dan hukum
adalah pelaksanaan. Modernis itu.
Apalagi yang nanti
liberalis, akan menjadi berbeda lagi. Mereka berpendapat, kalau haji itu tidak
harus bulan haji, bulan apa saja bisa, yang penting di sana tidak terjadi madlarat.
Kalau ditentukan pada hari dan jam tertentu kemudian menjadi madlarat,
kenapa ibadah kok harus mendekati madharat? Hari lain, bulan lain kenapa?
Itulah liberalis.
Terlepas sepakat atau
tidak sepakat, tapi pemikiran itu ada. Kalau fundamentalis itu sesungguhnya
melebihi tradisionalis, maunya itu ya bunyi teks Al-Quran dan hadits, itu
fundamentalis. Ya, mereka sebenarnya tidak salah dalam kacamata agama. Tapi
dalam kacamata sosiologi, pendapat semacam itu tidak cocok dengan masyarakat
Indonesia. Maka ketika Perda syariah yang menjadi jargon bagi kaum
fundamentalis ya nggak cocok. Harus tekstual, harus berbunyi Perda syariah,
undang-undang syariah, Negara Islam. Itu menjadi tidak cocok bagi kondisi
Indonesia, yang secara sosiologi terdiri dari banyak paham dan aliran.
Sekarang mengenai
pelaksanaannya, apakah sudah efektif dan berjalanan baik?
Saya
kira bukan hanya pelaksanaan Perda syariah yang pelaksanaannya amburadul. Saya
kira peraturan perundang-undangan Indonesia sudah sangat banyak dan lengkap.
Tapi, masalah implementasi, mungkin 75%-80% peratutan belum bisa terlaksana
dengan baik. Tidak hanya Perda syariah.
Sehingga
di Aceh, apakah kemudian dengan adanya qanun syariah, tidak ada
pelanggaran syariah? siapa bilang. Di sana, pelanggaran syariah masih luar
biasa. Di sana korupsi, masih menjadi sumber yang luar biasa. Lo, qanun-nya
bagaimana? ya satu dua mungkin terlaksana, tapi yang lain belum.
Di
sisi implementasi, Indonesia sangat-sangat lemah. Kalau undang-undangnya sudah
sangat-sangat lengkap, undang-undang apa saja cari di internet semua ada. Tapi
masalah implementasi dan pelaksanaan hampir kalah dengan kepentingan politik.
Adakah hambatan Perda
syariah? Apakah prospek ke depan Perda syariah akan semakin banyak mengatur bahkan
sampai masalah ibadah atau bagaimana?
Masa
depannya tergantung kita, kalau kita bisa menata keberagamaan secara utuh, dan
masing-masing kelompok tadi bisa ditata secara akademik, menyadari secara
akademik, bukan tidak mungkin akan semakin marak Perda syariah.
Dan untuk
beberapa hal, saya setuju dengan Perda bernuansa syariah.
Alasannya apa?
Karena apabila
kemudian syariah tidak bisa diterapkan semua dalam sendi-sendi kehidupan, maka
jangan semua dilepas. Seperti yang tersebut dalam kaidah fiqhiyyah:
ما لا يدرك كله لا يترك كله
kan itu kemudian
menjadi lebih baik, daripada tidak diterapkan sama sekali. Jadi jangan
dilepaskan semua pelaksanaan syariah Islamnya.
Tapi
yang perlu dicatat pelaksanaannya harus sesuai secara akademis, dengan
memepertimbangkan keberagamaan secara utuh. Agama yang utuh itu adalah rahmatan
lil ‘alamin. Kehadiran agama itu harus bisa menjadi rahmat bagi seluruh
penghuni alam ini. Tidak bisa tidak, karena itu jargon utama diutusnya
Rasulullah.
Jadi
jika kemudian kehadiran agama malah menjadi problematika di tengah-tengah
masyarakat, maka itu bukan agama secara utuh. Bangsa kita sekarang ini seperti
itu, belum memahami agama secara utuh, masih parsial. Dan mereka tergabung
dalam kelompok-kelompok, masing-masing mengklaim ‘aku lho sing paling bener,
sampean salah’.
Padahal
dalam setiap roda kehidupan ini, kan tidak semuanya bisa selalu sama, tidak
akan mungkin, sesekali pasti berbeda. Itu adalah hal yang sangat sangat
manusiawi. Yang penting, kita kan harus selalu menghargai perbedaan, kalau
orang lain berbeda ya tidak apa kan? Selama itu membawa kemaslahatan.
Kita
kan tidak, masing-masing ngotot, mengklain diri sendiri benar. Biasanya kalau
yang satu fundamental, akan dilawan juga dengan yang fundamental. Yang satu
bilang, ‘nek ora ngene salah’ dan satu pihak lagi juga bilang begitu,
terus kapan mau ketemunya? Akhirnya, kan umat Islam di Indonesia menjadi cerai
berai.
Kalau
Kudus sendiri sudah ada atau belum, Pak, mengenai Perda syariah?
Kalau
untuk Kudus sendiri, kemarin mau ada Perda mengenai penertiban hiburan malam,
tapi belum jadi. Saya juga sempat mengobrol kemarin dengan DPR, tapi belum
jadi, dan masih sebatas Peraturan Bupati (Perbup) saja, belum Perda.
[1]
Tulisan ini dimuat di majalah tahunan “EL_QUDSY” edisi 20/2012, diterbitkan
oleh Persatuan Pelajar Qudsiyyah (PPQ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar