Minggu, 24 November 2013

Kedepankan Akhlak Sosial, Hindari Arogansi Ideologi

Oleh: Muhammad Nashirulhaq (XI D)[1]

Disahkannya UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah membawa banyak pengaruh dalam keadaan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Salah satunya adalah munculnya Peraturan Daerah (Perda) bernuansa syariah di berbagai pelosok negeri.

Namun, selain itu, tenyata masih banayak hal-hal ‘di balik’ Perda syariah yang masih menyertainya, seperti kontroversi mengenai aspek legalitasnya, pertimbangan agama, dan lain-lain. Berikut ini adalah petikan hasil wawancara tim redaksi dengan Bapak Drs. Mudzakir, M.A., mahasiswa program doktoral IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang sedang mengadakan penelitian disertasi mengenai Perda syariah.



Apakah Perda syariah itu?

Sebenarnya, kurang tepat bila disebut sebagai Perda syariah. Yang ada adalah Perda bernuansa syariah. Ini karena dalam Perda-Perda itu tidak secara eksplisit disebutkan kata-kata syariah.



Bagaimana latar belakang munculnya Perda syariah di Indonesia?

Kalau latar belakang, Perda syariah muncul karena adanya UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah. Peraturan  tersebut sebenarnya tidak diberi wewenang untuk mengatur bidang peradilan dan agama tersebut sebenarnya tidak diberi wewenang untuk mengatur bidang peradilan dan agama. Tapi, realitanya Perda-Perda itu menyentuh persoalan agama dan quasi-peradilan.



Bagaimana respon dari umat Islam sendiri terhadap adanya Perda syariah ini?

Saya membagi respon umat Islam terhadap upaya  formalisasi agama ini menjadi empat kelompok. Yaitu respon dari kelompok tradisionalis, fundamentalis, modernis, dan liberalis. Teori itu selain berlaku dalam hal respon terhadap upaya formalisasi agama, juga bisa digunakan dan diterapkan dalam respon mengenai masalah lain.

Sehingga, kemudian menjadi begini nanti, kelompok tradisionalis itu beranggapan bahwa Islam, agama Islam, termasuk hukum Islam, itu adalah bagian dari tradisi. Tradisi itu ya pemikiran, sikap perilaku masyarakat. Sehingga maunya oleh kelompok tradisionalis, hukum Islam tidak usah diformalkan, tidak usah di-Perdakan, tapi diinternalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Ya, masing-masing pihak nanti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kalau kekurangannya dari kelompok tradisionalis nanti, itu menjadi sangat permisif (terbuka), menjadi tidak terlalu peka terhadap pelanggaran.

Sekarang saya ambil contoh, tapi saya mohon jangan tersinggung dulu lho ya, karena ini kajian akademis. Ya memang akademis itu membuka fakta-fakta yang ada, terserah itu nanti mau bagaimana, itu terserah.

Saya jujur sebagai orang NU, tapi ada kelemahan mendasar dalam kelompok tradisionalis, yaitu sangat permisif terhadap adanya pelanggaran hukum. NU yang sangat banyak basis massanya, kan seperti diam terhadap adanya pelanggaran hukum. Yang harus diingat kan hukum bukan sekedar zakat, puasa, dan haji, tapi juga ada masalah korupsi, nepotisme, pelanggaran-pelanggaran konstitusi, dan masih banyak sekali.

Hari-hari ini Indonesia sangat karut marut, tapi orang NU mana perannya? Saya kadang-kadang sedih juga sebagai orang NU. Terus iki piye?, kalau ada karut marut, yang keluar  malah dalil kok. Sekarang orang didalili sudah nggak mempan kok. Apa iya, sekarang dengan adanya dalil kemudian orang jadi manut? “Oh iya, memang begitu”. Tidak, kan?

Orang nggak takut dengan dalil sekarang, yang korupsi ya tetap korupsi, yang selingkuh ya tetap selingkuh. Kan begitu? Dalilnya kan jelas padahal. Itu kelemahannya di situ.

Maka perlu ada wacana lain, kelompok modernis. Modernis memang dari sisi pemikiran banyak di Muhammadiyah, tapi sekarang orang NU yang sangat modern juga  banyak, bahkan terkadang ada yang pemikirannya melebihi orang Muhammadiyah sendiri. Jadi saya kira sekarang wadah ormas Islam tidak mampu lagi untuk mewadahi dinamika pemikiran anggotanya. Orang Muhammadiyah yang ibadahnya melebihi orang NU juga banyak sekarang ini, jadi begitu.

Maka kemudian kelompok modernis itu berpendapat bahwa, sekali tempo, melihat konteks sosiologi. Mungkin hukum Islam perlu diformalkan. Karena apa? Karena kalau sekarang dengan cara mentradisikan agama ternyata gagal, maka hukum Isalm perlu diformalkan.

Lah, kalau kelompok fundamentalis, nanti memang cenderung menginginkan formalisasi agama. Undang-Undang ya Undang-Undang Islam. Perda ya Perda syariah, Negara ya Negara Islam.

Hanya memang problemnya, saya coba menganalisis dari berbagai literatur itu kita ngotot di Perda di hukum Islam, tapi kita tidak memperhatikan dan mempersiapkan keberagamaan secara utuh.

Lah kita coba menengok sejarah Nabi, pembentukan keberagamaan oleh Rasulullah SAW di Makkah dan Madinah kan berbeda. Di Makkah itu memperkuat akidah, sedangkan di Madinah itu memperkuat kemasyarakatan. Lah kita itu ngotot untuk memperkuat masyarakat, tapi tidak mengangkat akidahnya dulu. Sehingga apa yang terjadi? Ngerti nek iki doso, ngerti nek iki haram, ngerti nek iki di larang agama, tapi ya tetep dilakoni. Karena apa? Ya karena akidahnya kurang.

Maka hukum Islam menurut saya tidak identik dengan fiqh. Hukum Islam itu harus diidentikkan dengan syariah Islam, karena dalam syariah Islam ada unsur akidahnya, ada unsur akhlaknya, ada unsur fiqhnya atau hukumnya. Jadi tidak parsial.

Sehingga kalau menegakkan syariah Islam termasuk dalam Perda, tidak cukup menata Perdanya, masalah akidah dan etikanya ditata dulu. Kalau akidahnya sudah kuat, taklif apapun, dibebani seberat apapun sudahlah. Jangankan harta, nyawapun kita siap kok.

Abu Bakar ketika diajak hijrah bersama Rasulullah, ketika sedang dalam gua, hampir ketahuan kaum kafir Quraisy, nderedek Abu Bakar. “Ini bagaimana? kita pasti mati”. Sampai Rasulullah berkata, ”Laa tahzan, inna allaha ma’anaa (Jangan takut, sesungguhnya Allah beserta kita)”. Begitu Rasulullah berkata begitu, sudahlah Abu Bakar, jangankan harta yang ditinggalkan di Makkah, tinggal saja tidak apa-apa, nyawa pun kita siap.

Ali bin Abi Thalib ketika Rasul hijrah kan sampai berkata, “Sudah, Rasulullah pergi saja tidak apa-apa, saya yang akan tidur di kamarmu, di kasurmu, nanti kalau orang kafir Quraisy ingin membunuh, biar saja saya yang terbunuh, bukan Rasulullah.” Sekarang, apa ada manusia yang seperti itu?

Lah syariah Islam itu saya maunya begitu, tidak Perda, Perda, Perda, tapi agamane masyarakat diurusi ndhisek!!!



Kalau begitu, apa kemudian sampai tidak usah diformalkan ?

Ya tergantung, kelompok-kelompok tadi mulai tradisionalis, modernis, fundamentalis, dan liberalis, sesungguhnya kalau ditanya ada yang salah nggak? kan nggak tahu?

Begini, lahirnya NU dan Muhammadiyah, sampai adanya Islam ala NU dan Islam ala Muhammadiyah kan tidak bisa dipersalahkan to? Tidak bisa kemudian mana yang lebih benar, kan? itukan lebih sulit.

Sekarang kalau itu tidak bisa dijawab, kemudian kan semuanya, mulai dari tradisionalis, modernis, liberalis, dan fundamentalis menjadi sama. Maka saya hanya melihat begini, dalam hal tertentu misalnya, terkadang pendapat fundamentalis bisa dipakai, ketika keadaan tidak memungkinkan diterapkan pendapat  tradisionalis.

Korupsi, apa kemudian bisa diberantas dengan cara tradisionalis? Mungkin perlu pola-pola fundamentalis. Ada korupsi, digrebek, kan begitu? Dia biar kapok, kan gitu? Sebab apa? Hukum Negara sekarang dipermainkan oleh aparat, oleh penegak hukum. Korupsi puluhan bahkan ratusan miliar, dihukum 2 tahun saja, kan tidak sebanding? Tapi kalau digrebek kelompok fundamentalis, kan bisa kapok. Hanya memang penggrebekan itu kurang tepat, karena kita Negara hukum. Daripada digrebek, formalkan saja. Jadi Islam itu tidak cuma mengurusi shalat, zakat, dan ibadah lain. Tapi juga masalah mu’amalah dan masalah lain yang sering terabaikan.

Ngeri saya kadang itu. Kadang saya sampai berpikir begini, “Aku mulang yah ono yah ene iki opo maknane?” Kalau melihat kenyataan seperti ini, kita bergerak sekarang juga berat. Sampean kalau tahu ada pelanggaran hukum, sampean kok lapor, ya masuk penjara dulu. Terus kita mau apa?

Sehingga perlu apa tidak, harus dianalisis secara agama atau religius, secara sosiologis, secara politis, atau mungkin bahkan secara filosofis. Tidak mungkin dari satu sisi hukumnya saja, dari sisi legal-formalnya saja. Tidak kemudian dengan adanya Perda, semuanya akan selesai, tidak bisa.

Harus ada kajian sosiologis, harus ada kajian politis. Kajian politis itu, kalau menyusun Perda, maka wakil-wakil kita di DPRD mewakili atau tidak? Mewakili tidak hanya sekedar votingnya, tidak sekedar suara banyak. Yang penting itu, kebanyakan paham atau tidak? Itu termasuk mewakili. Akeh tapi ora paham kan podo wae ngenteni duit thok. Yang penting banyak, paham, dan mereka tahu strategi, tahu materi yang harus diperjuangkan. Itu bergerak secara politik-konstitusional.

Saya kira satu-satu perlu Perda, tapi ya harus ditata. Tidak boleh hanya bergerak dari sisi legal-formalnya saja. Harus menata juga sisi agamanya, sisi akidahnya, dan sisi akhlaknya.

Contoh, sekarang itu, terjadinya orang yang selingkuh itu, sesungguhnya yang salah orang yang selingkuh saja, atau masyarakat keseluruhan ikut salah? Kan tidak bisa yang disalahkan yang bersangkutan saja. Termasuk tata busana, atau bagaimana cara berbusana. Coba sekarang mahasiswa muslim minim-minim gitu kok. Itu kan membuat nafsu birahi laki-laki, bagaimana pun yang normal kan, ya tergoda. Sebagai manusia normal pasti tergoda. Lah kalau akidahnya tidak kuat, pasti bablas. Yang akidahnya kuat saja yang bisa bertahan. Dan yang begitu jumlahnya minim sekali, kecil sekali yang mampu bertahan.

Maka kalau yang akidahnya tidak kuat itu bablas, kan tidak dia sendiri yang disalahkan. Harus ditata cara berbusana, berbusana yang Islami, cara bergaul yang benar. Maka syariah itu, ada akidahnya, ada akhlaknya. Akidah ditata, akhlak ditata, baru hukumnya. Kalau akidahnya kuat, akhlaknya kuat, sudahlah mau dibebani apapun silahkan.  Wong menurut saya, sebenarnya puasa Ramadhan itu ya berat, tapi karena akidah kita sudah kuat untuk menerimanya, ya berat seperti apapun kita jalani saja.

Maksud saya kan gitu, menata dimensi hukum, jangan dilepaskan dari dimensi akhlak, dari dimensi akidah. Kedua, ini kan Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, bagaimana kalau kemudian Islam itu masuk  ke Indonesia, yang  mana Indonesia masyaraktnya sangat heterogen, apakah kita harus bertahan pada pemahaman Islam yang hitam putih? Kan tidak? Harus menyesuaikan dengan budaya Indonesia. Cuma mana yang harus disesuaikan, dan mana yang tidak boleh disesuaikan, itu kita juga harus waspada. Karena nanti jangan sampai kita dituduh merubah sumber.



Banyak kasus dimana Perda syariah dianggap malah merugikan masyarakat dan menghambat pembangunan serta tidak memberi solusi terbaik, contohnya larangan mandi di sungai di Kalimantan dengan alasan membuka aurat dan ikhtilath, lalu  larangan wanita keluar malam di Tangerang, padahal Tangerang sendiri sebagai kota industri yang notabene selalu hidup 24 jam, bagaimana tanggapan Anda?

Itu kan pemahaman Islam yang literalis tadi, hanya memahami Islam secara tekstual.

Sekarang busana muslim, kalau ditanya definisi batasannya itu seperti apa? Kan menutup aurat. Sekarang, ada yang menutup aurat, tapi pakaiannya ketat gimana? Bukannya malah  orang yang melihat justru menjadi terbayang-bayang. Jadi, alangkah baiknya jika kemudian busana muslim itu bukan sekedar menutup aurat, tapi busana yang menjadikan orang menjadi tidak terpikat dengan auratnya.

Ya, memang biasanya yang kecenderungannya tekstual seperti itu ya, kaum tradisionalis. Kalau modernis kecenderungannya lebih bisa menerima perkembangan budaya.



Yang tak  kalah hebohnya, Perda syariah juga mengundang kecemburuan penganut agama lain, bahkan ada wacana di Bali akan ada Perda Hindu dan di Papua Barat akan ada Perda Nasrani, tanggapan Anda bagaimana?

Itu yang harus diantisipasi. Sebagai Negara dan bangsa yang plural, mestinya kita juga harus mengantisipasi itu. Artinya apa? Kita kemudian jangan menjadi kebakaran jenggot ketika ada hal-hal seperti itu.

Kan dulu ada, kebijakan yang mengatur bahwa setiap pabrik harus memiliki musala, memiliki masjid. Kalau kemudian di pabrik itu, kemudian kebanyakan karyawannya non-Islam, lalu mereka mendirikan tempat ibadah mereka, kita kan jangan kebakaran jenggot. Kalau kita menuntut hak, mereka kan juga punya hak, karena Negara kita kan Negara plural, bukan Negara milik umat Islam saja.



Lantas apa solusinya?

Nah, supaya tidak terjadi hal semacam itu, pemahaman syariat Islam itu jangan literalis, atau text book. Jadi tidak membaca syariah dalam pengertian teksnya, tapi substansinya.



Kesimpulannya apakah Perda syariah sudah mencerminkan kaidah ‘tasharruful imam ala ar-ra’iyyah manuthun bil mashlahah’ dan spirit-spiritnya?

Kalau spiritnya sudah ada, cuma ya tadi. Kaidah itu kan sebenarnya persoalannya bagaimana memahami agama, yang dimana agama itu harus menjadi bagian dari kehidupan. Tapi spiritnya sudah ada.

Sekarang sudah mulai ada gerakan pemikiran yang luar biasa dari umat Islam. Kalau Anda coba membaca berbagai literatur itu luar biasa. Sesungguhnya yang memperhatikan bagaimana sekarang ini keberagamaan menjadi karut marut, itu para pemerhati sudah luar biasa. Cuma, sayangnya masih baru dalam dataran pemikiran.

Nah, bagaimana kemudian dataran pemikiran ini yang sudah luar biasa bisa diformalisasikan. Jadi masuk ke ruang publik. Kan agama itu rahmantan lil ‘alamin, bukan rahmatan lis syakhs, bukan rahmat untuk individu. Jadi, agama harus masuk ke ruang publik.

Ya semangatnya sudah ada, cuma mungkin belum waktunya aja. Ya, ternyata menata agama itu sulitnya luar biasa. Saya kadang-kadang kalau mengajar itu mahasiswa tak marahi juga. Kita itu sebagai representasi mahasiswa muslim perguruan tinggi Islam, kenapa moralitas kita seperti ini? kok mahasiswa nggak ada yang bergerak gitu lho. Tak ithik-ithik ya diam-diam saja tuh.



Lalu kaum fundamentalis itu kan kemudian memakai dalil وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُون, itu apa? Apakah lagi-lagi tekstual atau bagaimana?

Ya tekstual, dia hanya bergerak dari sisi fiqh, dari sisi hukumnya, tapi tidak mempertimbangkan dari sisi akidah dan akhlaknya.

Cuma memang, kajian Islam itu sangat-sangat kompleks. Akidah, kita berbicara akidah, polarisasi atau perpecahan bidang akidah itu kan juga sudah dimulai sejak zaman sahabat. Kalau kita ditanya, yang salah itu kelompoknya Ali bin Abi Thalib atau kelompoknya Mu’awiyah. Ketika kaum muslimin terbunuh sekian ribu, baik di pihak Ali dalam perang Shiffin itu maupun kelompok Mu’awiyah, sing salah siang endi?, lha wong yang terbunuh orang Islam, yang membunuh juga orang Islam. Itu kan perpecahan akidah sudah mulai muncul.

Sekarang menurut saya, itu harus dilihat tidak berangkat dari akidah, tidak berangkat dari ideologi, tidak berangkat dari teologi. Karena berangkat dari situ memang kemudian sulit mendapatkan pemecahan. Harus dilihat dari kacamata sosiologi. Sehingga, ya sudahlah yang begitu, biar begitu. Kita sekarang bagaimana menghadapi problem kemasyarakatan. Jangan berangkat dari ideologi. Tapi, berangkat dari fakta bahwa kita menghadapi problem kemasyarakatan yang luar biasa.

Maka, saya kemudian mencantolkan kepada teori maslahat. Bagaimana Islam, hukum Islam melahirkan maslahat. Tinjauannya tidak hanya dari sisi teologis. Teologisnya saya singgung, sisi etiknya saya singgung, sisi politiknya saya singgung, tapi terutama sisi sosiologis yang saya lihat.



Kemudian teori maslahat sendiri kan berlaku untuk hukum yang tidak ada nash qoth’i-nya, Pak. Lalu kemudian bagaimana dengan hukum yang qoth’i tapi masih menjadi kontroversi di luar, Pak?

Memang di situ kita tidak berangkat dari ideologi tadi. Dan saya lebih cenderung, hanya ada beberapa saja di dalam Al-Qur’an yang sifatnya qoth’i. Tapi lebih banyak ayat-ayat hukum itu yang sifatnya dzanni.

Para ahli ushul fiqh sendiri jumlah qoth’i dan dzanni sendiri kan tidak sepakat. Hanya beberapa, seperti waris. Waris juga dalam kajian filosofis juga ada yang mengatakan ayat tentang waris juga tidak qoth’i. Tapi Anda jangan bantah di situ. Kalau bantah di situ, nanti menjadi ideologi lagi.

          Boleh Anda diskusikan. Nanti setelah didiskusikan, terserah Anda mau yang bagaimana. Itu filosofis. Karena apa? Karena secara filosofis, ayat-ayat Al-Qur’an adalah symbol. Dalam ushul fiqh, Al-Qur’an dan hadits itu disebut mashadir (sumber hukum). Dan ketika itu mashadir, dengan hukumnya itu sama atau tidak? Tapi ini logika filsafat, lo, kalau Anda anti-filsafat ya tidak bisa masuk.

Kita pasti harus membedakan antara mashadir dengan ketentuan hukum. Kalau mashadir-nya begini, lalu hukumnya berbeda, ya jangan disalahkan. Karena memang hukum tidak sama dengan mashadir.

Sehingga ketika waris umpamanya, ada ayat:

لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ

itu kan mashadir. Ketika hukumnya berkata berbeda, itu kan ketentuan hukum. Berbeda dengan mashadir, mashadir-nya apa? mashadir ayat itu dibaca secara sosiologis. Sosiologi masyarakat Arab pada waktu itu yang bekerja dan pemikul beban keluarga si laki-laki, dan perempuan tidak aktif bekerja mencari penghasilan.

Sekarang yang adil itu yang bagaimana? Kalau kemudian nafkah keluarga ditanggung bersama, ya boleh saja nanti kalau hukumya berbunyi, sudahlah tak apa dibagi rata, yang penting kedua belah pihak merasa adil. Tapi ini sudah modernis yang begini lho! kalau tradisionalis ya tidak mau begitu. Tapi bagi kaum tradisionalis, yang mau 2:1 yang dianggap adil ya nggak masalah. Menerapkan yang tekstual, yang modernis menerapkan yang kontekstual. Yang perlu ditekankan, yang penting kedua belah pihak merasa adil. Maka  mashadir itu adalah simbol, dan hukum adalah pelaksanaan. Modernis itu.

Apalagi yang nanti liberalis, akan menjadi berbeda lagi. Mereka berpendapat, kalau haji itu tidak harus bulan haji, bulan apa saja bisa, yang penting di sana tidak terjadi madlarat. Kalau ditentukan pada hari dan jam tertentu kemudian menjadi madlarat, kenapa ibadah kok harus mendekati madharat? Hari lain, bulan lain kenapa? Itulah liberalis.

Terlepas sepakat atau tidak sepakat, tapi pemikiran itu ada. Kalau fundamentalis itu sesungguhnya melebihi tradisionalis, maunya itu ya bunyi teks Al-Quran dan hadits, itu fundamentalis. Ya, mereka sebenarnya tidak salah dalam kacamata agama. Tapi dalam kacamata sosiologi, pendapat semacam itu tidak cocok dengan masyarakat Indonesia. Maka ketika Perda syariah yang menjadi jargon bagi kaum fundamentalis ya nggak cocok. Harus tekstual, harus berbunyi Perda syariah, undang-undang syariah, Negara Islam. Itu menjadi tidak cocok bagi kondisi Indonesia, yang secara sosiologi terdiri dari banyak paham dan aliran.



Sekarang mengenai pelaksanaannya, apakah sudah efektif dan berjalanan baik?

Saya kira bukan hanya pelaksanaan Perda syariah yang pelaksanaannya amburadul. Saya kira peraturan perundang-undangan Indonesia sudah sangat banyak dan lengkap. Tapi, masalah implementasi, mungkin 75%-80% peratutan belum bisa terlaksana dengan baik. Tidak hanya Perda syariah.

Sehingga di Aceh, apakah kemudian dengan adanya qanun syariah, tidak ada pelanggaran syariah? siapa bilang. Di sana, pelanggaran syariah masih luar biasa. Di sana korupsi, masih menjadi sumber yang luar biasa. Lo, qanun-nya bagaimana? ya satu dua mungkin terlaksana, tapi yang lain belum.

Di sisi implementasi, Indonesia sangat-sangat lemah. Kalau undang-undangnya sudah sangat-sangat lengkap, undang-undang apa saja cari di internet semua ada. Tapi masalah implementasi dan pelaksanaan hampir kalah dengan kepentingan politik.



Adakah hambatan Perda syariah? Apakah prospek ke depan Perda syariah akan semakin banyak mengatur bahkan sampai masalah ibadah atau bagaimana?

Masa depannya tergantung kita, kalau kita bisa menata keberagamaan secara utuh, dan masing-masing kelompok tadi bisa ditata secara akademik, menyadari secara akademik, bukan tidak mungkin akan semakin marak Perda syariah.

Dan untuk beberapa hal, saya setuju dengan Perda bernuansa syariah.



Alasannya apa?

Karena apabila kemudian syariah tidak bisa diterapkan semua dalam sendi-sendi kehidupan, maka jangan semua dilepas. Seperti yang tersebut dalam kaidah fiqhiyyah:

ما لا يدرك كله لا يترك كله

kan itu kemudian menjadi lebih baik, daripada tidak diterapkan sama sekali. Jadi jangan dilepaskan semua pelaksanaan syariah Islamnya.

Tapi yang perlu dicatat pelaksanaannya harus sesuai secara akademis, dengan memepertimbangkan keberagamaan secara utuh. Agama yang utuh itu adalah rahmatan lil ‘alamin. Kehadiran agama itu harus bisa menjadi rahmat bagi seluruh penghuni alam ini. Tidak bisa tidak, karena itu jargon utama diutusnya Rasulullah.

Jadi jika kemudian kehadiran agama malah menjadi problematika di tengah-tengah masyarakat, maka itu bukan agama secara utuh. Bangsa kita sekarang ini seperti itu, belum memahami agama secara utuh, masih parsial. Dan mereka tergabung dalam kelompok-kelompok, masing-masing mengklaim ‘aku lho sing paling bener, sampean salah’.

Padahal dalam setiap roda kehidupan ini, kan tidak semuanya bisa selalu sama, tidak akan mungkin, sesekali pasti berbeda. Itu adalah hal yang sangat sangat manusiawi. Yang penting, kita kan harus selalu menghargai perbedaan, kalau orang lain berbeda ya tidak apa kan? Selama itu membawa kemaslahatan.

Kita kan tidak, masing-masing ngotot, mengklain diri sendiri benar. Biasanya kalau yang satu fundamental, akan dilawan juga dengan yang fundamental. Yang satu bilang, ‘nek ora ngene salah’ dan satu pihak lagi juga bilang begitu, terus kapan mau ketemunya? Akhirnya, kan umat Islam di Indonesia menjadi cerai berai.



Kalau Kudus sendiri sudah ada atau belum, Pak, mengenai Perda syariah?

Kalau untuk Kudus sendiri, kemarin mau ada Perda mengenai penertiban hiburan malam, tapi belum jadi. Saya juga sempat mengobrol kemarin dengan DPR, tapi belum jadi, dan masih sebatas Peraturan Bupati (Perbup) saja, belum Perda.




[1] Tulisan ini dimuat di majalah tahunan “EL_QUDSY” edisi 20/2012, diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Qudsiyyah (PPQ)

Tidak ada komentar: