Sekarang ini
banyak dijumpai kasus hukum dimana masing-masing dari pelaku menggandeng
seseorang sebagai "penolong"nya yang biasa khalayak sebut sebagai
pengacara (baca advokat). Seperti yang tampak di media masa, para advokat itu
membela mati-matian pada kliennya dari awal sampai akhir yang berujung
kemenangan. Terlihat memang si advokat bak Hero bagi kliennya. Tapi, bagaimana
jika yang dibela itu justru yang bersalah? Haruskah dia tetap membelanya atau
sebaliknya, melaporkannya pada pihak berwajib?. Mari kita simak uraian berikut
ini!
Dalam dasar
sebuah negara yang sering didengung-dengungkan, wewenang tertinggi adalah di
tangan rakyat. Sebegitu banyaknya, tidak mungkinlah semuanya berperan dalam
mengatur sebuah kenegaraan. Oleh karena itu, dibentuklah pemerintahan yang
berdaulat sebagai wakil dari rakyat demi mengatur keseimbangan dan etiket dalam
hidup bernegara. Kemudian, agar tidak terjadi penyelewengan-penyelewengan,
dibentuklah pranata-pranata hukum sebagai sarana pengawas atau pengontrol
kekuasaan pemerintah. Salah satunya berada di bidang advokasi. Instanti
advokasi dibentuk sebagai pengawas dan pengontrol hukum yang bertujuan agar
hukum tersebut dapat berjalan sesuai ketentuan ketentuan yang ada. Dalam artian
intinya fungsi dari advokasi adalah mengupayakan masyarakat dalam mengetahui
hak-hak dasar mereka di depan hukum. Itu juga berarti bahwa advokasi berperan
dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia.
Advokat
merupakan orang yang beprofesi sebagai pemberi jasa hukum, baik di luar maupun
di dalam pengadilan yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Semua itu
sesuai yang tertera pada UU nomor 18
tahun 2003 tentang advokat. Jasa hukum yang dimaksud berupa memberikan
konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi,
membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Sedangkan yang dimaksud dengan klien adalah orang, badan hukum, atau lembaga
lain yang sebagai mengguna jasa Advokat.
Dari penjabaran
di atas, kita dapat mengetahui bahwa sungguh mulia profesi seorang sebagai
advokat. Betapa tidak, bak seorang heroik bagi rakyat jelata. Namun, muka
instansi ini mulai ternodai belakangan ini. Hal ini dikarenakan banyak
ditemukannya markus(makelar kasus) yang erat kaitannya dengan advokat atau
pengacara. Sebenarnya hal ini tidak jadi permasalahan, akan tetapi menjadi
persoalan ketika markus tersebut melenceng dari tugas semestinya –perantara
bagi penjahat dan penegak hukum- dengan
rekayasa-rekayasa sebuah perkara hukum dan tidak menempatkan etrika dan
kaidah hukum sebagaimana mestinya. Dengan adanya hal itu, dapat mengisyaratkan
bahwa para advokat itu mulai berbelok
dari ikrarnya, yaitu sebagai pemberi jasa hukum, bertindak jujur, adil dan
bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan.
Perlakuan tidak
jujur advokat itu akan tampak sekali saat dia dengan sengaja tetap bersikukuh
membela kliennya yang sudah SANGAT JELAS bersalah. Disinilah sifat subjektif
seorang advokat begitu kentara dalam perekayasaan sebuah proses peradilan.
Kesalahan seorang klien tersebut misalnya bersumber dari stigma masyarakat atau
dia sendiri(advokat) tahu persis akan kesalahan kliennya melalui pengakuan
klien.terlebih jika klien tadi jadi pemenang dalam suatu kasus, maka keberadaan
hukum menjadi tak berimbang, karena selain keputusan hukum yang dikeluarkan
tidak adil, juga berakitan merugi bagi lain pihak.
Fakta ini
menjadi menarik untuk dibahas, dalam perspektif Fiqh dan metodologinya. Lantas,
apakah dalam islam mengenal profesi sebagai advokat/pengacara? Bolehkah
pengacara membela kliennya yang jelas-jelas salah? Kalau memang boleh, sejauh
mana? Atau bolehkah pengacara tadi melaporkan kesalahan kliennya, ketika ia
tahu kliennya memang dalam posisi salah?
Berawal dari
Firman Allah yang berbunyi,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَافَابْعَثُواحَكَمًامِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا(النساء/35)
"Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah member taufik kepada suami-istri
itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal." (QS. Al-Nisa' : 35)
Dari pandangan
imam al-Alusiy, ayat ini menyatakan bahwa ketika seorang suami-istri
bersitegang tentang suatu permasalahan, maka hendaknya kedua belah pihak
mengirim seorang utusan (hakam) untuk mencari titik temu atas keduanya.
Artinya, keduanya boleh mewakilkan urusan mereka masing-masing pada seorang
yang diyakini keadilannya dan yang mereka percayai dapat menyelesaikan masalah.
Hal ini dilakukan karena kedua utusan tersebut dipandang lebih tahu untuk
menyelesaikan perkara pasutri, sehingga keduanya memperoleh kemaslahatan.
(Tafsir al-Alusiy, IV:45)
Sedang ahli
fiqh berpendapat, seorang hakim yang bijaksana hendaknya mengutus dua orang
yang terpercaya pada pasutri untuk kemudian mengundingkan penyelesaian perkara.
Kedua utusan tersebut dituntut agar memberikan keputusan terbaik bagi pasutri,
baik berupa percereaian atau damai. (Tafsir Ibnu katsir, II:296)
Berdasarkan
ayat dan tafsirnya tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai inti advokasi
memang dalam islam sudah ada. Meskipun tidak secara langsung menyebut kata
advokasi atau pengacara. Namun, pelaksanaannya sudah tersirat pada ayat di
atas, karena sejatinya, advokasi tidak hanya berkisar dalam pembelaan pada
klien, tapi juga bias berupa mewakili urusan klien, mendampingi, dan
menjalankan kuasa sebagaimana tertera pada UU no. 18 tahun 2003. Jadi, lumrah
apabila seorang pengacara terkadang disebut pula dengan "kuasa
hukum". Ia diserahi urusan oleh klien karena ia lebih paham mengenai
hukum, sehingga ia tahu apa yang terbaik bagi kliennya.
Nilai-nilai
inti advokasi juga tersirat dari pensyariatan wakalah (perwakilan) dalam Islam.
Ibnu Abi Qudamah menukil pendapat Imam Malik dan Imam Syafi'I mengenai
kebolehan mewakilkan suatu permasalahan dalam sebuah persidangan, baik pihak
asli yang bertikai hadir atau tidak. Ibnu Qudamah menyatakan bahwa Sayyidina
Ali ra. juga pernah mengutus Uqail untuk menyelesaikan perkaranya ke hadapan
Abu Bakar, sang khalifah kala itu. Ketika itu Ali ra. menyatakan, "Apa-apa
yang diputuskan oleh Uqail adalah untukku sehingga apapun keputusannya, maka
aku wajib mematuhinya." (al-Mughniy wa Syarhu al-Kabir, V:204)
Kesimpulannya,
pergerakan zaman lah yang membuat istilah orang yang mewakili urusan lain
berubah. Istilah advokat yang dipahami saat ini mungkin masih belum bias
dikategorikan sebagai hakam sebagaimana ayat di atas, Uqail juga tidak bias
disebut advokat. Namun intinya, tindakan hakam yang diutus pasutri atau Uqail
yang diutus Ali ra. merupakan implementasi sebagian fungsi dari advokat, yaitu
pemberian perintah dalam sebuah urusan persoalan. Hal ini mengindikasikan bahwa secara
substantive advokasi juga dikenal dalam Islam. Yang perlu menjadi perhatian
adalah bahwa sebagai wakil dari klien di hadapan hakim, seorang pengacara harus
berkata jujur dan tidak cari muka pada hakim. Karena prinsip dasar dari wakalah
adalah asas kejujuran dan transparansi.
Lantas,
Bagaimana jika seorang pengacara dihadapkan pada situasi yang dilematis? Di
satu sisi ia diminta untuk membela kliennya dan sisi lain ia tahu bahwa
kliennya jelas-jelas salah. Bila keadaan ini terjadi pada awal kesepakatan
dengan klien barangkali dengan mudah si pengacara bias membatalkannya. Namun,
ketika terjadi di tengah jalan, apa yang harus ia lakukan?
Rasul bersabda,
مَنْ مَشَى مَعَ ظَالِمٍ لِيُعِينَهُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ ظَالِمٌ، فَقَدْ خَرَجَ مِنَ الإِسْلام
"Barang
siapa berjalan bersama orang yang zhalim, lalu ia ikut membantunya sedang ia
tahu bahwa yang dibantunya adalah zhalim maka sungguh telah keluar dari
Islam." (al-Mu'jam al-Kabir li al-Thabraniy, I:269)
Sesuai hadits tersebut, maka diharamkanlah membantu
melancarkan kezhaliman karena ancamannya sudah jelas, keluar dari Islam. Dengan
demikian, seorang advokat diharuskan menafikan fungsi pembelaannya pada klien
ketika ia tahu bahwa si klien jelas bersalah. Selain kebenaran yang
terkalahkan, hal seperti itu akan merugikan pihak lain. Bayangkan….! Misalnya
dalam kasus korupsi, seorang pejabat telah korupsi hingga triliyunan rupiah,
tapi lantaran pengacaranya jago dalam rekayasa hukum, jadilah koruptor tadi tak
bersalah. Akhirnya rakyat merugi.
Lantas, pengacara yang demikian harus
bagaimana? Bolehkah lapor ke hakim atas kesalahan klien? Padahal dalam UU no.
10 tahun 2003 diterangkan bahwa seorang pengacara akan dikenai tindakan hukum
apabila mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya, yakni menang, baik
dalam posisi salah atau benar.
Disinilah keberlakuan konsep amar ma'ruf
nahi munkar. Maksudnya, keadaanlah yang menentukan apakah wajib melaporkan
kesalahan klien ataukah tidak, karena pada dasarnya konsep ini adalah kewajiban
kolektif (fardlu kifayah). Kalau tanpa melapor ke hakim, si klien yang bersalah
tadi akan kalah, maka ia tidak wajib lapor ke hakim, hanya saja diwajibkan
menasehati kliennya tadi. Sebaliknya, jika kekalahan si klien hanya bisa
terjadi jika pengacara/advokat tadi melaporkannya, maka wajib baginya menggemborkan
kesalahan si klien pada hakim. Karena itu adalah amanah yang harus disampaikan.
Allah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْتُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا (النساء/58)
"Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…" (QS. Al-Nisa
:58)
Selanjutnya, demi menjaga profesi advokat yang
benar-benar menjunjung tinggi kepentingan klien, maka setelah melaporkan
kesalahan klien, dia harus tetap menjalankan fungsi advokasinya, namun tidak
harus membela kliennya sampai menang, Cuma sebagai pendampingan dan pengawalan
pada klien agar vonis hakim sesuai ketentuan hukum. Dengan begitu peran advokat
masih ada, karena perlu diingat kembali bahwa advokat tak hanya sebatas
pembela, namun juga sebagai pendamping, pengawal, dan pelayan masyarakat dalam
menginformasikan pengetahuan tentang hukum.
Pengacara/advokat seperti ini lah yang
diharapkan bangsa dan agama karena ia akan memperkecil kesempatan kesalahan
terulang lagi, kebenaran berkibar, dan yang terpenting adalah terwujudnya
keseimbangan dan etiket hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar