Selasa, 03 Desember 2013

Advokasi dalam Perspektif Fiqh



Sekarang ini banyak dijumpai kasus hukum dimana masing-masing dari pelaku menggandeng seseorang sebagai "penolong"nya yang biasa khalayak sebut sebagai pengacara (baca advokat). Seperti yang tampak di media masa, para advokat itu membela mati-matian pada kliennya dari awal sampai akhir yang berujung kemenangan. Terlihat memang si advokat bak Hero bagi kliennya. Tapi, bagaimana jika yang dibela itu justru yang bersalah? Haruskah dia tetap membelanya atau sebaliknya, melaporkannya pada pihak berwajib?. Mari kita simak uraian berikut ini!

Dalam dasar sebuah negara yang sering didengung-dengungkan, wewenang tertinggi adalah di tangan rakyat. Sebegitu banyaknya, tidak mungkinlah semuanya berperan dalam mengatur sebuah kenegaraan. Oleh karena itu, dibentuklah pemerintahan yang berdaulat sebagai wakil dari rakyat demi mengatur keseimbangan dan etiket dalam hidup bernegara. Kemudian, agar tidak terjadi penyelewengan-penyelewengan, dibentuklah pranata-pranata hukum sebagai sarana pengawas atau pengontrol kekuasaan pemerintah. Salah satunya berada di bidang advokasi. Instanti advokasi dibentuk sebagai pengawas dan pengontrol hukum yang bertujuan agar hukum tersebut dapat berjalan sesuai ketentuan ketentuan yang ada. Dalam artian intinya fungsi dari advokasi adalah mengupayakan masyarakat dalam mengetahui hak-hak dasar mereka di depan hukum. Itu juga berarti bahwa advokasi berperan dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia.

Advokat merupakan orang yang beprofesi sebagai pemberi jasa hukum, baik di luar maupun di dalam pengadilan yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Semua itu sesuai yang  tertera pada UU nomor 18 tahun 2003 tentang advokat. Jasa hukum yang dimaksud berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Sedangkan yang dimaksud dengan klien adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang sebagai mengguna jasa Advokat.

Dari penjabaran di atas, kita dapat mengetahui bahwa sungguh mulia profesi seorang sebagai advokat. Betapa tidak, bak seorang heroik bagi rakyat jelata. Namun, muka instansi ini mulai ternodai belakangan ini. Hal ini dikarenakan banyak ditemukannya markus(makelar kasus) yang erat kaitannya dengan advokat atau pengacara. Sebenarnya hal ini tidak jadi permasalahan, akan tetapi menjadi persoalan ketika markus tersebut melenceng dari tugas semestinya –perantara bagi penjahat dan penegak hukum- dengan  rekayasa-rekayasa sebuah perkara hukum dan tidak menempatkan etrika dan kaidah hukum sebagaimana mestinya. Dengan adanya hal itu, dapat mengisyaratkan bahwa para advokat itu mulai  berbelok dari ikrarnya, yaitu sebagai pemberi jasa hukum, bertindak jujur, adil dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan.

Perlakuan tidak jujur advokat itu akan tampak sekali saat dia dengan sengaja tetap bersikukuh membela kliennya yang sudah SANGAT JELAS bersalah. Disinilah sifat subjektif seorang advokat begitu kentara dalam perekayasaan sebuah proses peradilan. Kesalahan seorang klien tersebut misalnya bersumber dari stigma masyarakat atau dia sendiri(advokat) tahu persis akan kesalahan kliennya melalui pengakuan klien.terlebih jika klien tadi jadi pemenang dalam suatu kasus, maka keberadaan hukum menjadi tak berimbang, karena selain keputusan hukum yang dikeluarkan tidak adil, juga berakitan merugi bagi lain pihak.

Fakta ini menjadi menarik untuk dibahas, dalam perspektif Fiqh dan metodologinya. Lantas, apakah dalam islam mengenal profesi sebagai advokat/pengacara? Bolehkah pengacara membela kliennya yang jelas-jelas salah? Kalau memang boleh, sejauh mana? Atau bolehkah pengacara tadi melaporkan kesalahan kliennya, ketika ia tahu kliennya memang dalam posisi salah?

Berawal dari Firman Allah yang berbunyi,

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَافَابْعَثُواحَكَمًامِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا(النساء/35)

"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah member taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal." (QS. Al-Nisa' : 35)

Dari pandangan imam al-Alusiy, ayat ini menyatakan bahwa ketika seorang suami-istri bersitegang tentang suatu permasalahan, maka hendaknya kedua belah pihak mengirim seorang utusan (hakam) untuk mencari titik temu atas keduanya. Artinya, keduanya boleh mewakilkan urusan mereka masing-masing pada seorang yang diyakini keadilannya dan yang mereka percayai dapat menyelesaikan masalah. Hal ini dilakukan karena kedua utusan tersebut dipandang lebih tahu untuk menyelesaikan perkara pasutri, sehingga keduanya memperoleh kemaslahatan. (Tafsir al-Alusiy, IV:45)

Sedang ahli fiqh berpendapat, seorang hakim yang bijaksana hendaknya mengutus dua orang yang terpercaya pada pasutri untuk kemudian mengundingkan penyelesaian perkara. Kedua utusan tersebut dituntut agar memberikan keputusan terbaik bagi pasutri, baik berupa percereaian atau damai. (Tafsir Ibnu katsir, II:296)

Berdasarkan ayat dan tafsirnya tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai inti advokasi memang dalam islam sudah ada. Meskipun tidak secara langsung menyebut kata advokasi atau pengacara. Namun, pelaksanaannya sudah tersirat pada ayat di atas, karena sejatinya, advokasi tidak hanya berkisar dalam pembelaan pada klien, tapi juga bias berupa mewakili urusan klien, mendampingi, dan menjalankan kuasa sebagaimana tertera pada UU no. 18 tahun 2003. Jadi, lumrah apabila seorang pengacara terkadang disebut pula dengan "kuasa hukum". Ia diserahi urusan oleh klien karena ia lebih paham mengenai hukum, sehingga ia tahu apa yang terbaik bagi kliennya.

Nilai-nilai inti advokasi juga tersirat dari pensyariatan wakalah (perwakilan) dalam Islam. Ibnu Abi Qudamah menukil pendapat Imam Malik dan Imam Syafi'I mengenai kebolehan mewakilkan suatu permasalahan dalam sebuah persidangan, baik pihak asli yang bertikai hadir atau tidak. Ibnu Qudamah menyatakan bahwa Sayyidina Ali ra. juga pernah mengutus Uqail untuk menyelesaikan perkaranya ke hadapan Abu Bakar, sang khalifah kala itu. Ketika itu Ali ra. menyatakan, "Apa-apa yang diputuskan oleh Uqail adalah untukku sehingga apapun keputusannya, maka aku wajib mematuhinya." (al-Mughniy wa Syarhu al-Kabir, V:204)

Kesimpulannya, pergerakan zaman lah yang membuat istilah orang yang mewakili urusan lain berubah. Istilah advokat yang dipahami saat ini mungkin masih belum bias dikategorikan sebagai hakam sebagaimana ayat di atas, Uqail juga tidak bias disebut advokat. Namun intinya, tindakan hakam yang diutus pasutri atau Uqail yang diutus Ali ra. merupakan implementasi sebagian fungsi dari advokat, yaitu pemberian perintah dalam sebuah urusan persoalan.  Hal ini mengindikasikan bahwa secara substantive advokasi juga dikenal dalam Islam. Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa sebagai wakil dari klien di hadapan hakim, seorang pengacara harus berkata jujur dan tidak cari muka pada hakim. Karena prinsip dasar dari wakalah adalah asas kejujuran dan transparansi.

Lantas, Bagaimana jika seorang pengacara dihadapkan pada situasi yang dilematis? Di satu sisi ia diminta untuk membela kliennya dan sisi lain ia tahu bahwa kliennya jelas-jelas salah. Bila keadaan ini terjadi pada awal kesepakatan dengan klien barangkali dengan mudah si pengacara bias membatalkannya. Namun, ketika terjadi di tengah jalan, apa yang harus ia lakukan?
Rasul bersabda,

مَنْ مَشَى مَعَ ظَالِمٍ لِيُعِينَهُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ ظَالِمٌ، فَقَدْ خَرَجَ مِنَ الإِسْلام

"Barang siapa berjalan bersama orang yang zhalim, lalu ia ikut membantunya sedang ia tahu bahwa yang dibantunya adalah zhalim maka sungguh telah keluar dari Islam." (al-Mu'jam al-Kabir li al-Thabraniy, I:269)

Sesuai hadits tersebut, maka diharamkanlah membantu melancarkan kezhaliman karena ancamannya sudah jelas, keluar dari Islam. Dengan demikian, seorang advokat diharuskan menafikan fungsi pembelaannya pada klien ketika ia tahu bahwa si klien jelas bersalah. Selain kebenaran yang terkalahkan, hal seperti itu akan merugikan pihak lain. Bayangkan….! Misalnya dalam kasus korupsi, seorang pejabat telah korupsi hingga triliyunan rupiah, tapi lantaran pengacaranya jago dalam rekayasa hukum, jadilah koruptor tadi tak bersalah. Akhirnya rakyat merugi.

Lantas, pengacara yang demikian harus bagaimana? Bolehkah lapor ke hakim atas kesalahan klien? Padahal dalam UU no. 10 tahun 2003 diterangkan bahwa seorang pengacara akan dikenai tindakan hukum apabila mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya, yakni menang, baik dalam posisi salah atau benar.

Disinilah keberlakuan konsep amar ma'ruf nahi munkar. Maksudnya, keadaanlah yang menentukan apakah wajib melaporkan kesalahan klien ataukah tidak, karena pada dasarnya konsep ini adalah kewajiban kolektif (fardlu kifayah). Kalau tanpa melapor ke hakim, si klien yang bersalah tadi akan kalah, maka ia tidak wajib lapor ke hakim, hanya saja diwajibkan menasehati kliennya tadi. Sebaliknya, jika kekalahan si klien hanya bisa terjadi jika pengacara/advokat tadi melaporkannya, maka wajib baginya menggemborkan kesalahan si klien pada hakim. Karena itu adalah amanah yang harus disampaikan. Allah berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْتُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا (النساء/58)

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…" (QS. Al-Nisa :58)

Selanjutnya, demi menjaga profesi advokat yang benar-benar menjunjung tinggi kepentingan klien, maka setelah melaporkan kesalahan klien, dia harus tetap menjalankan fungsi advokasinya, namun tidak harus membela kliennya sampai menang, Cuma sebagai pendampingan dan pengawalan pada klien agar vonis hakim sesuai ketentuan hukum. Dengan begitu peran advokat masih ada, karena perlu diingat kembali bahwa advokat tak hanya sebatas pembela, namun juga sebagai pendamping, pengawal, dan pelayan masyarakat dalam menginformasikan pengetahuan tentang hukum.

Pengacara/advokat seperti ini lah yang diharapkan bangsa dan agama karena ia akan memperkecil kesempatan kesalahan terulang lagi, kebenaran berkibar, dan yang terpenting adalah terwujudnya keseimbangan dan etiket hukum.

Tidak ada komentar: