Muhammad
Nashirulhaq[1]
Sebagaimana
telah diketahui bersama, bahwa negara merupakan sebuah rumah tangga, rumah
tangga yang besar. Sebagaimana umumnya rumah tangga, dibutuhkan adanya
pemasukan yang tentunya digunakan untuk dibelanjakan hal-hal yang diperlukan
demi kelangsungan rumah tangga. Begitupun halnya dengan negara kita, Indonesia.
Sebagaimana
telah diketahui bersama pula, bahwa sebagai negara berkembang yang belum mapan
dan “kurang” bisa mengelola kekayaannya sendiri, pemasukan terbesar negara kita
berasal dari pajak. Oleh karena itu, tidak heran kalau di negeri ini ada banyak
sekali macam-macam pajak, mulai PPh, PPN, PBM, PBB, pajak kendaraan bermotor
dan masih banyak lainnya.
Dari situ,
tentunya sangat mengagetkan ketika muncul adanya wacana fatwa bahwa pajak tak
wajib yang ditetapkan oleh Lajnah Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama, salah satu
ormas Islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia, pada Munas Alim Ulama’ di
Ponpes Kempek, September 2012. Meskipun pada akhirnya fatwa tersebut belum
ditetapkan, tetapi kekhawatiran para penyelenggara negara akan adanya fatwa
tersebut tentunya merupakan sesuatu yang tak terbantahkan.
Sebagai ormas yang membawahi setidaknya 40 juta
masyarakat Indonesia, tentunya adanya fatwa ini tidak bisa dianggap remeh oleh
negara. Bayangkan saja, bila setidaknya 40 juta warga Indonesia mengikuti fatwa
ini dan tidak taat pajak, tentunya negara sangat kewalahan.
Sekarang yang
menjadi pertanyaan, apa pertimbangan NU yang memfatwakan bahwa pajak yang
se-urgen itu tidak wajib?.
Ketika kita
bicara soal pajak, memang sejak awal mulanya, pajak tidak mendapat legitimasi
dari hukum agama. Konsep yang mirip dengan pajak memang ada, yaitu jizyah.
Namun jizyah atau aqd al-dzimmah yang lebih cocok diartikan
sebagai upeti merupakan pungutan yang diambil tanpa adanya paksaan (fisik maupun
intimidasi) dari orang-orang kafir sebagai imbalan dari perlindungan yang
diberikan oleh pemimpin Islam dan muslimin, kepada nyawa mereka, harta mereka,
dan hak-hak beragama mereka[2].
Konsep ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari keyakinan bahwa, al-Islamu
ya’lu wa la yu’la alaih.
Namun, ketika
pada realitanya kita hidup dibawah naungan NKRI yang merupakan harga mati, dan
yang menjunjung tinggi persamaan hak dan kewajiban tanpa membeda-bedakan agama,
bagaimana pandangan fiqh mengenai masalah pajak ini?. Dalam hal ini, bisa
dibilang bahwa fiqh menyelesaikannya dengan melakukan pendekatan pada
konsep tha’atu ulil amri. Jadi, pada intinya apabila kekuasaan negara
tersebut mendapat legitimasi agama, seperti Indonesia yang dikategorikan
sebagai waliyy al-amri dharuri bi as-syaukah, maka kebijakan negara
tersebut, dalam hubungannya dengan kewajiban untuk ditaati atau tidak, ada
beberapa perincian.
Menurut
as-Syarqawi, selama kebijakan negara tersebut, berupa sesuatu yang wajib,
sunnah, atau sesuatu yang mubah, tetapi mengandung maslahat, dan bukan
merupakan hal-hal yang dimakruhkan atau diharamkan oleh syara’ berdasarkan mashadir
al-aahkam, maka kebijakan tersebut harus ditaati.[3]
Maka kemudian
harus dianalisa, kewajiban wajib pajak ini, termasuk kategori yang mana?.
Bila melihat
pada kenyataannya, kewajiban pajak ini, sebenarnya bisa dikategorikan sebagai
sesauatu yang aslinya mubah, namun mengandung maslahat yang sangat besar.
Terutama sebagai salah satu sumber utama pemasukan negara, yang akan digunakan
untuk menggerakkan roda perekonomian negara, dan menggerakkan roda pembangunan.
Maka bila melihat pertimbangan ini saja, sesungguhnya kewajiban pajak harus
ditaati oleh semua penduduk, terutama muslimin tentunya.
Lalu alasan apa
yang menjadi pertimbangan lain NU dalam wacananya untuk memfatwakan bahwa pajak
tidak wajib?.
Selain
mempertimbangkan hal diatas, tentunya kita juga harus melihat sisi lain realita
yang ada. Bahwa selain manfaat pajak sebagai penggerak roda perekonomian dan
pembangunan, dalam pelaksanaannya banyak penyelewengan yang terjadi.
Diantaranya adalah dengan adanya pengemplangan pajak oleh oknum wajib pajak,
bekerjasama dengan petugas penarik pajak, juga dengan banyaknya kasus korupsi
kas negara oleh para pejabat publik, dimana pajak dari masyarakat adalah sumber
pemasukan terbesar kas negara tersebut. Dengan mempertimbangkan hal ini, maka
kemudian pajak tidak lagi menjadi maslahat yang murni dan utuh seperti yang
diharapkan sebelumnya.
Makanya tidak
mengherankan juga, kalau kemudian NU melakukan ancaman akan mengeluarkan fatwa
bahwa pajak tidak wajib, kalau penyelewengan-penyelewengan ini masih terus
berjalan, dan tidak ada langkah penyiangan oleh negara terhadap kasus ini.
Semua ini semata-mata demi tujuan terselenggaranya negara yang lebih baik pada
kemudian hari.
[1].
Santri Ma’had Qudsiyyah Kudus angkatan 2013. Tulisan ini disusun sebagai tugas
akhir mata pelajaran Fiqh Mu’ashirah.
[2]
Taj ad-Din as-Subuki, Kifayat
Al-Akhyar, juz 2, hlm 215. Juga Hasyiyataa Qalyubi Wa Amirah, juz
15, hlm 444.
[3]
Abd ar-Rahman bin Muhammad, Bughyat
al-Mustarsyidin, hlm 90. Perc. Al-Haramain. Surabaya. Tanpa tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar