Minggu, 24 November 2013

Pajak; Penyelewengan dan Fatwa Pemboikotannya


Muhammad Nashirulhaq[1]

Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa negara merupakan sebuah rumah tangga, rumah tangga yang besar. Sebagaimana umumnya rumah tangga, dibutuhkan adanya pemasukan yang tentunya digunakan untuk dibelanjakan hal-hal yang diperlukan demi kelangsungan rumah tangga. Begitupun halnya dengan negara kita, Indonesia.
Sebagaimana telah diketahui bersama pula, bahwa sebagai negara berkembang yang belum mapan dan “kurang” bisa mengelola kekayaannya sendiri, pemasukan terbesar negara kita berasal dari pajak. Oleh karena itu, tidak heran kalau di negeri ini ada banyak sekali macam-macam pajak, mulai PPh, PPN, PBM, PBB, pajak kendaraan bermotor dan masih banyak lainnya.
Dari situ, tentunya sangat mengagetkan ketika muncul adanya wacana fatwa bahwa pajak tak wajib yang ditetapkan oleh Lajnah Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia, pada Munas Alim Ulama’ di Ponpes Kempek, September 2012. Meskipun pada akhirnya fatwa tersebut belum ditetapkan, tetapi kekhawatiran para penyelenggara negara akan adanya fatwa tersebut tentunya merupakan sesuatu yang tak terbantahkan.
Sebagai ormas yang membawahi setidaknya 40 juta masyarakat Indonesia, tentunya adanya fatwa ini tidak bisa dianggap remeh oleh negara. Bayangkan saja, bila setidaknya 40 juta warga Indonesia mengikuti fatwa ini dan tidak taat pajak, tentunya negara sangat kewalahan.
Sekarang yang menjadi pertanyaan, apa pertimbangan NU yang memfatwakan bahwa pajak yang se-urgen itu tidak wajib?.
Ketika kita bicara soal pajak, memang sejak awal mulanya, pajak tidak mendapat legitimasi dari hukum agama. Konsep yang mirip dengan pajak memang ada, yaitu jizyah. Namun jizyah atau aqd al-dzimmah yang lebih cocok diartikan sebagai upeti merupakan pungutan yang diambil tanpa adanya paksaan (fisik maupun intimidasi) dari orang-orang kafir sebagai imbalan dari perlindungan yang diberikan oleh pemimpin Islam dan muslimin, kepada nyawa mereka, harta mereka, dan hak-hak beragama mereka[2]. Konsep ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari keyakinan bahwa, al-Islamu ya’lu wa la yu’la alaih.
Namun, ketika pada realitanya kita hidup dibawah naungan NKRI yang merupakan harga mati, dan yang menjunjung tinggi persamaan hak dan kewajiban tanpa membeda-bedakan agama, bagaimana pandangan fiqh mengenai masalah pajak ini?. Dalam hal ini, bisa dibilang bahwa fiqh menyelesaikannya dengan melakukan pendekatan pada konsep tha’atu ulil amri. Jadi, pada intinya apabila kekuasaan negara tersebut mendapat legitimasi agama, seperti Indonesia yang dikategorikan sebagai waliyy al-amri dharuri bi as-syaukah, maka kebijakan negara tersebut, dalam hubungannya dengan kewajiban untuk ditaati atau tidak, ada beberapa perincian.
Menurut as-Syarqawi, selama kebijakan negara tersebut, berupa sesuatu yang wajib, sunnah, atau sesuatu yang mubah, tetapi mengandung maslahat, dan bukan merupakan hal-hal yang dimakruhkan atau diharamkan oleh syara’ berdasarkan mashadir al-aahkam, maka kebijakan tersebut harus ditaati.[3]
Maka kemudian harus dianalisa, kewajiban wajib pajak ini, termasuk kategori yang mana?.
Bila melihat pada kenyataannya, kewajiban pajak ini, sebenarnya bisa dikategorikan sebagai sesauatu yang aslinya mubah, namun mengandung maslahat yang sangat besar. Terutama sebagai salah satu sumber utama pemasukan negara, yang akan digunakan untuk menggerakkan roda perekonomian negara, dan menggerakkan roda pembangunan. Maka bila melihat pertimbangan ini saja, sesungguhnya kewajiban pajak harus ditaati oleh semua penduduk, terutama muslimin tentunya.
Lalu alasan apa yang menjadi pertimbangan lain NU dalam wacananya untuk memfatwakan bahwa pajak tidak wajib?.
Selain mempertimbangkan hal diatas, tentunya kita juga harus melihat sisi lain realita yang ada. Bahwa selain manfaat pajak sebagai penggerak roda perekonomian dan pembangunan, dalam pelaksanaannya banyak penyelewengan yang terjadi. Diantaranya adalah dengan adanya pengemplangan pajak oleh oknum wajib pajak, bekerjasama dengan petugas penarik pajak, juga dengan banyaknya kasus korupsi kas negara oleh para pejabat publik, dimana pajak dari masyarakat adalah sumber pemasukan terbesar kas negara tersebut. Dengan mempertimbangkan hal ini, maka kemudian pajak tidak lagi menjadi maslahat yang murni dan utuh seperti yang diharapkan sebelumnya.
Makanya tidak mengherankan juga, kalau kemudian NU melakukan ancaman akan mengeluarkan fatwa bahwa pajak tidak wajib, kalau penyelewengan-penyelewengan ini masih terus berjalan, dan tidak ada langkah penyiangan oleh negara terhadap kasus ini. Semua ini semata-mata demi tujuan terselenggaranya negara yang lebih baik pada kemudian hari.



[1]. Santri Ma’had Qudsiyyah Kudus angkatan 2013. Tulisan ini disusun sebagai tugas akhir mata pelajaran Fiqh Mu’ashirah.
[2] Taj ad-Din as-Subuki, Kifayat Al-Akhyar, juz 2, hlm 215. Juga Hasyiyataa Qalyubi Wa Amirah, juz 15, hlm 444.
[3] Abd ar-Rahman bin Muhammad, Bughyat al-Mustarsyidin, hlm 90. Perc. Al-Haramain. Surabaya. Tanpa tahun.

Tidak ada komentar: