Meskipun debat sekitar hubungan Islam dengan Negara tampaknya
‘dimenangkan’ oleh kelompok yang menganggap Islam tidak menentukan satu
pola bernegara yang permanen, namun menyatakan bahwa Islam sama sekali
apriori terhadap persoalan kenegaraam adalah sikap yang tak kalah
ahistoris. Ali Abdul Raziq, yang ‘ngotot’ bahwa Islam tidak mengatur
masalah kenegaraan pun masih harus mengakui bahwa nabi sendiri memang
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan seorang kepala Negara.
Bagi sebagian kalangan (baca: Sunni & Syi'i secara umum, red), apabila ditelusuri sejarah, memang diakui bahwa Islam
sangat erat dengan persoalan-persoalan politik kenegaraan, sejak masa Rasulullah SAW. Ini karena masyarakat muslim tumbuh sebagai suatu
masyarakat baru dengan membawa nilai-nilai yang baru pula. al-Qur’an
sebagai sumber ajaran menuntun masyarakat bagaimana hubungan sosial
(selain hubungan vertikal) seharusnya terjadi. Karena itu, persoalan
masyarakat seperti pembiayaan sosial (zakat/pajak), hubungan dengan
kalangan non-muslim, persoalan militer dan harta rampasan, perbudakan
serta masalah lain-lain diatur (kadang-kadang sangat rinci) oleh Islam.
Akan tetapi, persoalan kepemimpinan justru tidak mendapatkan penjelasan
yang ‘seharusnya’, mengingat isu ini sangat penting dan rentan. Dan ini
terbukti segera setelah Nabi wafat. Selain perselisihan antara Muhajirin
dan Anshar, juga Muhajirin dengan pengikut 'Ali (syi’atu 'Ali). Kaum Anshar berpendapat bahwa mereka lebih berhak atas kepemimpinan pasca
nabi sementara kaum Muhajirin berpedoman pada hadits ‘para imam berasal
dari suku Quraisy’. Namun keduanya mengartikan kepemimpinan ini terbatas
pada kepemimpinan politik (dunia) semata. Sementara itu para pengikut 'Ali memiliki konsep tersendiri mengenai masalah kepemimpinan ini yang
meliputi pula kepemimpinan agama. (Islam Syi’ah; Ahmad Thabathaba’i, al-Ahkam as-Sulthaniyyah li al-Mawardi; hlm 6)
Tulisan ini akan membahas mengenai persoalan kepemimpinan ini, khususnya
istilah-istilah teknis yang digunakan, yaitu imam (imamah). Term
tersebut secara literal memiliki arti yang dekat, meski kemudian bisa
berbeda sama sekali.
Secara bahasa, imamah berasal dari kata (أم-يؤم-القوم إمامة), “ia
memimpin (menjadi pemuka) suatu kaum”. Imamah bararti ‘kepemimpinan’,
sedang imam berasal dari kata (أأممة) yang berarti ‘pemimpin’, ‘orang
yang mengatur kemaslahatan tertentu’, ‘pemimpin pasukan’, serta untuk
oramg dengan fungsi serupa. Karena itulah pemimpin sholat disebut imam.
Imam juga sering digunakan untuk orang alim yang ahli dalam masalah
keagamaan, seperti Imam Ghazali, Imam Syafi’i, dan lain-lain. Bentuk
jamaknya adalah (أئمة) dan dari kata ini pula lahir kata ‘ummat’ (أمة)
untuk menunjukkan sekelompok manusia. (Louis Ma’luf; al-Munjid Fi
al-Lughat wa al-A’lam, Ibnu Manzhur al-Afriqiy; Lisan Al-Arab)
Dalam al-Qur’an, kata ‘imamah’ tidak disebutkan secara eksplisit. Yang
ada adalah kata ‘imam’ (seperti dalam al-Baqarah: 124) dan bentuk pluralnya,
‘a'immah’ (seperti dalam al-Anbiya'; 73, at-Taubah; 12). Pada ayat-ayat
tersebut, kata imam memiliki arti yang umum, yakni pemimpin umat, baik
secara moral (panutan) maupun pemimpin politik.
Dalam tradisi Sunni, semula khalifah adalah imam Negara, yaitu pemimpin
kenegaraan (duniawi). Khilafah berasal dari kata (الخلف) yang berarti
‘lawan kata depan’ (belakang). Sedangkan kata kerjanya adalah (خلف-يخلف-خلفة)
yang berarti ‘datang kemudian’ (belakangan) dan menempati posisi orang
yang sudah lebih dahulu. Meski tetap memiliki otoritas religius, namun
otoritas khalifah/imam terbatas pada pelaksanaan hukum agama. Namun lama
kelamaan makna ini mengalami pergeseran, terutama karena interpretasi
dilakukan untuk menguatkan posisi mereka, khilafah akhirnya dianggap
suatu pemerintahan yang berdasarkan atas kedaulatan Tuhan dan sang
khalifah pun dengan demikian sedikit banyak memiliki sifat kekudusan.
Karena itu, beberapa ulama menyatakan bahwa seluruh dunia Islam harus
tunduk di bawah satu kekhilafan muslim, khilafah akhirnya menjadi ‘urusan
agama’ sementara interpretasi para para imam terhadap ajaran agama
tidak memiliki keistimewaan apapun di hadapan penafsiran orang lain
(ulama) yang bukan penguasa. Demikian halnya imamah sama artinya dengan khalifah, yakni
kepemimpinan.
Namun, dalam pemahaman syi’i, imamah memiliki arti tersendiri, yakni
bukan saja meliputi kepemimpinan duniawi, melainkan sampai pada masalah
agama dan bahkan persoalan eskatologi sekalipun. Menurut mereka, seorang
imam adalah pemimpin sejati (true leader) dalam komunitas muslim
sepanjang masa. Dalam urusan agama, ia diyakini sebagai satu-satunya
orang yang berhak menginterprestasikan dan menjelaskan ajaran al-Qur’an
dan al-Hadits pada saat itu. Ia adalah pewaris yang membawa ‘cahaya
muhammad’ dalam dirinya, dan dengan kapasitasnya sebagai imam, ia adalah
satu-satunya orang yang memenuhi kualifikasi wilayah (kekuasaan) dan
berhak mengisi otoritas tersebut. Seorang imam bahkan diyakini sebagai
individu yang ma’shum.
Demikian halnya imamah memiliki arti khas pula, bahkan imamah identik
dengan Syi’ah. Penulis sendiri merasa kesulitan menemukan definisi
imamah secara terminologis. Namun dapat dipastikan bahwa konsep imamah
ini lahir dalam suasana yang tidak menguntungkan kelompok Syi’i. Yaitu
ketika Abu Bakar terpilih sebagai khlifah pertama di Tsaqifah. Para
sahabat 'Ali yang menginginkan 'Ali menjadi pemimpin merasa tidak puas
oleh terpilihnya Abu Bakar. Ketidakpuasan itu, yang juga didorong oleh
keinginan untuk mengangkat Bani Hasyim, semakin menjadi-jadi tatkala 'Ali
dan keturunannya diperlakukan sacara sewenang-wenang oleh penguasa Bani Umayyah yang secara licin memperdaya 'Ali pada perang Shiffin. Dalam
situasi seperti inilah konsep imamah Syi'ah lahir dan berkembang secara
pelan-pelan.
Di antara pemikir Syi’i yang pertama menguraikan masalah imaamah
adalah Syaikh al-Shaduq (w. 381 H). Menurutnya, para imam adalah waly
al-amr, mereka adalah pintu dan jalan menuju Allah, posisi mereka adalah
sebagai pengetahuan dan penafsir wahyu-Nya. Mereka adalah pilar tauhid,
tidak pernah salah dan khilaf. Mereka bertindak atas perintah Allah.
Mencintai mereka merupakan bagian keimanan, sebaliknya membenci mereka
termasuk kekufuran. Mereka adalah pemimpin baik lahir maupun batin.
Pemikir kontemporer Syi’i kemudian berupaya merumuskan konsep imamah
ini. Hakimi, salah satu dari mereka menyatakan bahwa imamah adalah
“kelanjutan dari kepemimpinan Nabi atas umat manusia setelah beliau
wafat; kepemimpinan yang ditetapkan sendiri oleh beliau”. Sedangkan 'Allamah Thabathaba’i menyebut imamah (dan para imam) sebagai ‘sumber
cahaya ilahi yang dengannya hati orang mukmin menjadi tercerahkan’.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara sunni dan
syi’i dalam masalah imamah adalah pada cakupan otoritas serta orang yang
berhak mendudukinya. Bila menurut sunni kepemimpinan hanya terbatas
pada masalah-masalah dunia, maka imamah versi Syi’ah lebih luas
jangkauannya. Demikian pula menurut Syi’ah jabatan imam adalah hak 'Ali
dan keturunannya (dengan Fatimah), sementara Sunni tidak menganggapnya
demikian.
Akan tetapi, konsep imamah yang menjadi kekhasan aliran syi’i ini
ironisnya justru menjadi penyebab utama terpecahnya sekte ini ke dalam
sub-sub sekte yang beragam. Sekte terbesar dan masih bertahan hingga sekarang di negeri Iran adalah Syi’ah Imamiyah atau Itsna 'asysriyah. Imam pertama bagi sekte ini adalah 'Ali bin Abi Tholib, yang menurut mereka, berdasarkan berita dari
al-Qur’an dan nabi Muhammad sendiri.
Setelah itu, imam dipilih melalui penunjukan oleh imam sebelumnya. Imam
selanjutnya (menurut sekte Itsna 'Asyariyyah) adalah Hasan bin 'Ali, Husain
bin 'Ali, 'Ali bin Husain, Muhammad bin 'Ali, Ja’far bin Muhammad, Musa bin Ja’far, 'Ali bin Musa, Muhammad bin 'Ali (at-Taqi), Muhammad bin 'Ali
(al-Naqi), Hasan bin Muhammad, dan Muhammad bin Hasan (al-Mahdi). Imam
yang kedua belas ini diyakini telah menghilang sejak usia empat tahun
(ghaibah sughro, minor occultation), namun ia diyakini masih berhubungan
dengan empat wakilnya (nuwwab imam) sehingga para imam pengganti itu
tetap memiliki legitimasi politis dan agama. (Al-milal wa an-Nihal li al-Imam Muhammad
Abdul Karim Al-Syahrastani)
Setelah terjadi keghaiban besar (major occultation, ghaibah kubro),
yakni dengan wafatnya imam pengganti (nuwwab imam) ke empat, dan sambil menunggu
datangnya Imam kedua belas (al-Mahdi) inilah konsep imamah berkembang
demikian rupa sehingga pada akhirnya terwujud dalam konsep "wilayah
al-faqih" seperti yang kita saksikan di negeri Iran saat ini.
Kondisi di atas berbeda dengan perkembangan yang terjadi di kalangan Sunni. Terpilihnya Abu Bakar, 'Umar dan 'Usman jelas tidak didasarkan pada
dalil-dalil agama, meski kepemimpinan mereka sendiri didasarkan pada
dalil-dalil tersebut. Inilah sebabnya mengapa bai’at diperlukan dalam
kasus kekhalifahan mereka ini dan mereka pun tidak memiliki otoritas
untuk memonopoli penafsiran ajaran agama. Cara pengangkatan merekapun
berbeda satu sama lainnya; suatu bukti bahwa masalah kepemimpinan dalam
sunni berkembang lebih dinamik dan profane. Orang yang mengingkari
mereka bukan dikatakan kafir, melainkan baghy (pembangkang,
pemberontak).
oleh: M Nasirul Haq, Santri Ma'had Qudsiyyah
dimuat dalam buletin EL-WIJHAH Madrasah Qudsiyyah Edisi Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar