Minggu, 24 November 2013

Entrepreneurship



By: Abdul Jalil, M.E.I [1]



Entrepreneurship berasal dari bahasa Perancis entrepreneur, yang secara harfiah mempunyai arti perantara. Dalam  bahasa Indonesia, dikenal dengan istilah wirausaha yang merupakan gabungan dari kata wira (gagah berani, perkasa) dan kata usaha, sehingga wirausaha berarti seseorang yang mampu memulai dan atau menjalankan usaha secara gagah berani. Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, Entrepreneur diartikan sebagai “Orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menetukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya serta mengatur permodalan operasinya”[2]
Joseph Schumpeter (1934) menyatakan bahwa entrepreneur adalah seorang inovator yang mengimplementasikan perubahan-perubahan di dalam pasar melalui kombinasi-kombinasi baru. Kombinasi yang dimaksud adalah memperoleh bahan baku baru, memperkenalkan produk baru, menemukan metoda produksi baru,  membuka pasar baru, atau mengelola sebuah industry dengan organisasi baru.[3]
Dengan kata lain, entrepreneurship adalah sebuah proses yang menyertai  sebuah usaha dimana sang entrepreneur menanggung segala resiko utama, baik itu berupa resiko modal, waktu, dan atau komitmen karier dalam hal menyediakan nilai untuk produk atau jasa tertentu dengan mengutamakan manajemen yang baik.
Jiwa entrepreneurhip bukanlah monopoli masalah ekonomi karena dapat dijumpai pada semua profesi, misalnya dalam bidang pendidikan, kedokteran, bidang arsitektur, bidang enginering, bidang pekerjaan sosial, dan bidang lainya. Oleh karena itu, lalu muncul beberapa istilah baru yang berhubungan dengan entrepreneurship, yaitu Intrapreneurship dan Entrepreneurial. Intrapreneurship  diartikan sebagai entrepreneurship yang terjadi di dalam organisasi yang merupakan jembatan kesenjangan antara ilmu dengan keinginan pasar. Sedangkan Entrepreneurial adalah kegiatan dalam menjalankan usaha atau berentrepreneur. Dengan demikian, masalah kewirausahaan dan wirausa­ha memiliki banyak variable yang terkait dengan sikap dan perilaku. Antara lain: Pertama, wirauasaha memiliki kaitan erat dengan partumbuhan dan kapitalisasi; Kedua, wirausaha terkait dengan peluang po­tensial;  Ketiga, masalah kewirausahaan juga terkait dengan  organisasi baru; dan Keempat, wirausaha berkaitan dengan inovasi dan kreativitas dalam rangka menemukan produk dan pasar baru.[4]


Entrepreneuship dalam Islam
Dalam Islam, tidak ditemukan kata yang secara eksplisit semakna dengan kewirausahaan. Yang banyak ditemukan adalah kata yang menunjukkan arti bekerja, seperti al-‘amal, al-kasb, al-sa’yu, al-nashru, al-hirfah dan lain-lain. Deretan kata ini secara umum berarti berkerja, mencari rizki, dan menjelajah (untuk bekerja). Sejarah Islam juga mencatat bahwa Muhammad, istrinya dan sebagian besar sahabatnya adalah para entrepreneur. Oleh karena itu, sebenarnya tidaklah mengada-ada jika dikatakan bahwa mental entrepreneurship  inheren dengan jiwa umat Islam itu sendiri. Secara implisit unsur-unsur yang ada dalam kewirausahaan ada dalam Islam. Unsur-unsur tersebut adalah:
1)     Kerja keras
Karakter soerang muslim adalah aktif, pekerja keras, dan memiliki etos kerja tinggi. Islam  lebih menghargai, bahkan mengistimewakan, para pekerja keras. dalam surat al-Taubah,  Allah SWT berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (التوبه :105)
"Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan"

Dalam Hadith, Nabi juga bersabda:
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَفْضَلِ الْكَسْبِ فَقَالَ بَيْعٌ مَبْرُورٌ وَعَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ (رواه احمد)
"Nabi ditanya tentang pekerjaan yang lebih utama. Kemudian Beliau bersabda: Jual beli yang dilakukan secara jujur dan pekerjaan hasil kerja kerasnya sendiri"

2)    Produktif
Secara teoritik, terdapat banyak pengertian tentang produktivitas, Namun secara sederhana dapat dikatakan bahwa produktivitas merupakan interaksi terpadu secara serasi dari tiga faktor esensial, yaitu investasi, manajemen dan tenaga kerja. [5] Senyatanya, produktivitas bukanlah barang baru dalam Islam. Dalam surat al-Mulk Allah dengan tegas menyatakan:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ (2(
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”

3)    Inovatif
Banyak definisi mengenai apa itu kreatif. Namun secara umum disebutkan bahwa karakteristik orang yang kreatif adalah selalu melihat segala sesuatu dengan cara berbeda dan baru, dan biasanya tidak dilihat oleh orang lain. Orang yang kreatif, pada umumnya mengetahui permasalahan dengan sangat baik dan disiplin, dan dapat melakukannya dengan cara menyimpang dari cara-cara tradisional. Proses kreativitas melibatkan adanya ide-ide baru, berguna, dan tidak terduga, tetapi dapat diimplementasikan, setelah melalui tahap exploring, Inventing, dan Choosing.
Dengan memahami makna kreatif inovatif di atas, maka dalam Islam ditemukan beberapa turath yang mendorong ke arah tersebut. Antara lain adalah dalam kasus membuka lahan baru (Ihya’ al-Mawat).[6] Dalam hadith lain disebutkan bahwa:
 َقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"يُحِبُّ اللَّهُ لِلْعَامِلِ إِذَا عَمِلَ أَنْ يُحْسِنَ".[7]
“Allah menyukai pekerja yang sangat baik ketika bekerja”
Dalam konteks hadith inilah muncul tokoh entrepreneur Islam Abdurrahman bin ‘Auf. Disebutkan bahwa saat muhajirin tiba di Madinah, Nabi mempersaudarakan muhajirin dengan Anshar. Saat itu Abdurrahman Bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi’. Sa’ad menawarinya separuh harta ditambah satu orang istrinya. Tapi dia menolak. Dia hanya minta ditunjukkan pasar. Hari pertama di pasar, Abdurrahman bin auf bekerja sebagai kuli panggul. Sambil bekerja beliau mengamati kondisi pasar mulai dari komoditas barang yang diperdagangkan, kondisi persaingan antar pedagang, perilaku konsumen, system distribusi barang (supply chain) dan peluang pasar yang masih terbuka.
Hari kedua, Abdurrahman bin Auf sudah beralih dari kuli panggul menjadi “broker” dari salah satu pemasok barang dagangan pasar. Berkat kepiawaiannya dalam berdagang yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam terutama dalam menjaga kepuasan pelanggan (customer satisfaction), tidak butuh waktu lama beliau sudah mampu mengelola usahanya dengan menggunakan modalnya sendiri.
Sebulan kemudian Abdurrahman bin Auf menghadap rasulullah dengan membawa emas sebesar biji kurma untuk meminang seorang gadis. Setahun kemudian, beliau sudah mampu mengeluarkan infak yang jumlahnya sangat fantastis, 1000 dinar (apabila dikurskan dalam rupiah nilai nominalnya sebesar Rp. 5.2 milyard)[8]
Dalam konteks itulah Rasulullah bersabda:
َاْلأَسْوَاقُ مَوَائِدُ اللهِ تعالى فَمَنْ أَتاَهَا أَصَابَ مِنْهَا
Pasar-pasar itu hidangan Allah, maka barang siapa mendatanginya maka ia mendapatkan dari padanya.[9]

Dalam kesempatan lain, Rasulullah juga bersabda:
عليكم بالتجارة فإن فيها تسعة أعشار الرزق[10]
“Hendaklah kalian berdagang, karena didalamnya ada 90% rizki”


[1] Dosen STAIN Kudus
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 1130.
[3]Aldrich Howard, Entrepreneurship dalam The Handbook Of Economic Sosiology (New Yersey: Pricetown University Press, 2005), 452
[4] Soebroto Hadisoegondo, “Upaya Penumbuhan Wirausaha Baru: Masalah dan Pendekatannya”, dalam Jurnal Infokop Nomor 29 Tahun XXII, 2006
[5] Purwatiningsih, Manajemen Sumber Daya Manusia (Semarang: Stikubank: 1992), 54
[6] Imam al-Kasani, Bada’I’ al-Fawa’id, vol. VI, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 194.; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, vol. V, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah, tt), 514.                                                                                                                                                  
[7] Mu’jam Thabrani, 14:81
[8] Khlaid Muhammad Khalid, Rijal haul Al-Rasul, (Kairo: Dar al-Mishr, 1998), 125
[9]  رويناه في الطيوريات من قول الحسن البصري ولم أجده مرفوعا
[10][10] Ihya’, juz 2, hal 62

Tidak ada komentar: