By: Abdul Jalil, M.E.I [1]
Entrepreneurship berasal dari bahasa Perancis entrepreneur,
yang secara harfiah mempunyai arti perantara. Dalam bahasa Indonesia, dikenal dengan istilah
wirausaha yang merupakan gabungan dari kata wira (gagah berani, perkasa) dan
kata usaha, sehingga wirausaha berarti seseorang yang mampu memulai dan atau
menjalankan usaha secara gagah berani. Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia,
Entrepreneur diartikan sebagai “Orang yang pandai atau berbakat mengenali
produk baru, menetukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan
produk baru, memasarkannya serta mengatur permodalan operasinya”[2]
Joseph Schumpeter (1934)
menyatakan bahwa entrepreneur adalah seorang inovator yang mengimplementasikan
perubahan-perubahan di dalam pasar melalui kombinasi-kombinasi baru. Kombinasi
yang dimaksud adalah memperoleh bahan baku baru, memperkenalkan produk baru,
menemukan metoda produksi baru, membuka
pasar baru, atau mengelola sebuah industry dengan organisasi baru.[3]
Dengan kata lain, entrepreneurship adalah sebuah
proses yang menyertai sebuah usaha
dimana sang entrepreneur menanggung segala resiko utama, baik itu berupa resiko
modal, waktu, dan atau komitmen karier dalam hal menyediakan nilai untuk produk
atau jasa tertentu dengan mengutamakan manajemen yang baik.
Jiwa entrepreneurhip bukanlah monopoli masalah
ekonomi karena dapat dijumpai pada semua profesi, misalnya dalam bidang
pendidikan, kedokteran, bidang arsitektur, bidang enginering, bidang pekerjaan
sosial, dan bidang lainya. Oleh karena itu, lalu muncul beberapa istilah baru
yang berhubungan dengan entrepreneurship, yaitu Intrapreneurship dan Entrepreneurial.
Intrapreneurship diartikan sebagai entrepreneurship yang terjadi di
dalam organisasi yang merupakan jembatan kesenjangan antara ilmu dengan
keinginan pasar. Sedangkan Entrepreneurial adalah kegiatan dalam menjalankan
usaha atau berentrepreneur. Dengan demikian, masalah kewirausahaan dan
wirausaha memiliki banyak variable yang terkait dengan sikap dan perilaku.
Antara lain: Pertama, wirauasaha memiliki kaitan erat dengan partumbuhan
dan kapitalisasi; Kedua, wirausaha terkait dengan peluang potensial; Ketiga, masalah kewirausahaan juga
terkait dengan organisasi baru; dan Keempat,
wirausaha berkaitan dengan inovasi dan kreativitas dalam rangka menemukan
produk dan pasar baru.[4]
Entrepreneuship dalam Islam
Dalam Islam, tidak ditemukan kata
yang secara eksplisit semakna dengan kewirausahaan. Yang banyak ditemukan
adalah kata yang menunjukkan arti bekerja, seperti al-‘amal, al-kasb,
al-sa’yu, al-nashru, al-hirfah dan lain-lain. Deretan kata ini
secara umum berarti berkerja, mencari rizki, dan menjelajah (untuk bekerja). Sejarah Islam juga mencatat bahwa Muhammad,
istrinya dan sebagian besar sahabatnya adalah para entrepreneur. Oleh
karena itu, sebenarnya tidaklah mengada-ada jika dikatakan bahwa mental entrepreneurship inheren dengan jiwa umat Islam itu
sendiri. Secara implisit unsur-unsur yang ada dalam
kewirausahaan ada dalam Islam. Unsur-unsur tersebut adalah:
1)
Kerja
keras
Karakter
soerang muslim adalah aktif, pekerja keras, dan memiliki etos kerja tinggi. Islam lebih
menghargai, bahkan mengistimewakan, para pekerja keras. dalam surat al-Taubah, Allah SWT berfirman:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا
كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (التوبه :105)
"Dan
katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah)
Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada
kamu apa yang telah kamu kerjakan"
Dalam
Hadith, Nabi juga bersabda:
سُئِلَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَفْضَلِ الْكَسْبِ فَقَالَ بَيْعٌ
مَبْرُورٌ وَعَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ (رواه احمد)
"Nabi ditanya tentang
pekerjaan yang lebih utama. Kemudian Beliau bersabda: Jual beli yang dilakukan secara jujur dan pekerjaan hasil kerja
kerasnya sendiri"
2)
Produktif
Secara teoritik, terdapat
banyak pengertian tentang produktivitas, Namun secara sederhana dapat dikatakan
bahwa produktivitas merupakan interaksi terpadu secara serasi dari tiga faktor
esensial, yaitu investasi, manajemen dan tenaga kerja. [5] Senyatanya,
produktivitas bukanlah barang baru dalam Islam. Dalam surat al-Mulk Allah
dengan tegas menyatakan:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ
أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ (2(
“Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”
3) Inovatif
Banyak
definisi mengenai apa itu kreatif. Namun secara umum disebutkan bahwa
karakteristik orang yang kreatif adalah selalu melihat segala sesuatu dengan
cara berbeda dan baru, dan biasanya tidak dilihat oleh orang lain. Orang yang
kreatif, pada umumnya mengetahui permasalahan dengan sangat baik dan disiplin,
dan dapat melakukannya dengan cara menyimpang dari cara-cara tradisional.
Proses kreativitas melibatkan adanya ide-ide baru, berguna, dan tidak terduga,
tetapi dapat diimplementasikan, setelah melalui tahap exploring, Inventing,
dan Choosing.
Dengan
memahami makna kreatif inovatif di atas, maka dalam Islam ditemukan beberapa
turath yang mendorong ke arah tersebut. Antara lain adalah dalam kasus membuka
lahan baru (Ihya’ al-Mawat).[6]
Dalam hadith lain disebutkan bahwa:
َقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"يُحِبُّ اللَّهُ لِلْعَامِلِ إِذَا عَمِلَ أَنْ
يُحْسِنَ".[7]
“Allah
menyukai pekerja yang sangat baik ketika bekerja”
Dalam
konteks hadith inilah muncul tokoh entrepreneur Islam Abdurrahman bin ‘Auf.
Disebutkan bahwa saat muhajirin tiba di Madinah, Nabi mempersaudarakan
muhajirin dengan Anshar. Saat itu Abdurrahman Bin Auf dipersaudarakan dengan
Sa’ad bin Rabi’. Sa’ad menawarinya separuh harta ditambah satu orang istrinya.
Tapi dia menolak. Dia hanya minta ditunjukkan pasar. Hari pertama di pasar,
Abdurrahman bin auf bekerja sebagai kuli panggul. Sambil bekerja beliau
mengamati kondisi pasar mulai dari komoditas barang yang diperdagangkan,
kondisi persaingan antar pedagang, perilaku konsumen, system distribusi barang
(supply chain) dan peluang pasar yang masih terbuka.
Hari
kedua, Abdurrahman bin Auf sudah beralih dari kuli panggul menjadi “broker”
dari salah satu pemasok barang dagangan pasar. Berkat kepiawaiannya dalam
berdagang yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam terutama dalam menjaga
kepuasan pelanggan (customer satisfaction), tidak butuh waktu lama
beliau sudah mampu mengelola usahanya dengan menggunakan modalnya sendiri.
Sebulan
kemudian Abdurrahman bin Auf menghadap rasulullah dengan membawa emas sebesar
biji kurma untuk meminang seorang gadis. Setahun kemudian, beliau sudah mampu
mengeluarkan infak yang jumlahnya sangat fantastis, 1000 dinar (apabila
dikurskan dalam rupiah nilai nominalnya sebesar Rp. 5.2 milyard)[8]
Dalam
konteks itulah Rasulullah bersabda:
َاْلأَسْوَاقُ مَوَائِدُ اللهِ تعالى
فَمَنْ أَتاَهَا أَصَابَ مِنْهَا
“Pasar-pasar itu hidangan
Allah, maka barang siapa mendatanginya maka ia mendapatkan dari padanya.[9]
Dalam
kesempatan lain, Rasulullah juga bersabda:
“Hendaklah
kalian berdagang, karena didalamnya ada 90% rizki”
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 1130.
[3]Aldrich Howard, “Entrepreneurship” dalam The Handbook Of Economic Sosiology (New Yersey: Pricetown
University Press, 2005), 452
[4] Soebroto
Hadisoegondo, “Upaya
Penumbuhan Wirausaha Baru: Masalah dan Pendekatannya”, dalam Jurnal Infokop Nomor 29 Tahun XXII, 2006
[5] Purwatiningsih, Manajemen Sumber Daya Manusia (Semarang:
Stikubank: 1992), 54
[6] Imam al-Kasani, Bada’I’ al-Fawa’id, vol. VI, (Beirut: Dar
al-Fikr, tt), 194.; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, vol. V, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadithah,
tt), 514.
[7] Mu’jam Thabrani, 14:81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar