James A. Mackay, seorang ahli sejarah Skotlandia, dipaksa menarik
kembali semua buku biografi Alexander Graham Bell yang ditulisnya pada
1998 karena ia dituduh menyalin dari sebuah buku dari tahun 1973. Ia
juga dituduh memplagiat biografi Mary Queen of Scots, Andrew Carnegie,
dan Sir William Wallace. Pada 1999, ia harus menarik biografi John Paul
Jones tulisannya dengan alasan yang sama.
Kasus di atas adalah sedikit dari banyak kasus plagiarisme yang pernah
terjadi di muka bumi ini. Plagiarisme atau sering disebut plagiat adalah
penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari
orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri.
Sebagai contohnya adalah video, film, buku, merk, makalah, software, dan
skripsi.
Zaman sekarang, kasus plagiat sangat marak terjadi. Lebih-lebih dengan
adanya internet, seseorang akan dengan mudah copy-paste dari sebuah
situs dengan sesuka hati, bahkan di bidang akademis sekalipun. Menurut
survei yang dilakukan College Cures, Jumat (23/3/2012) menunjukkan bahwa
71% siswa di Amerika Serikat (AS) tidak percaya bahwa meng-copy
material dari internet adalah "aksi mencontek yang cukup serius", dan
hanya 29 persen siswa berpikir bahwa menyalin dari website adalah
"mencontek yang sangat serius". Ini menunjukkan bahwa budaya ‘njiplak’
sudah membudidaya di penjuru dunia. Seolah hal itu bukanlah tindakan
yang buruk.
Nah, sekarang bagaimanakah kacamata Islam memandang tentang kasus plagiat ini?
Plagiat, pembajakan atau penjiplakan, dalam dunia Islam bisa dimasukkan
ke dalam koridor ghasab. Karena pengertian ghasab sendiri adalah
menguasai hak orang lain dengan jalan tidak benar dan dzalim. Hak bisa
mencakup harta (mal), atau selain harta (seperti anjing, kotoran
binatang, dan kulit bangkai). Sang plagiator telah mengambil dan
menggagahi hak milik, hak cetak, ataupun hak distribusi yang dimiliki
oleh yang berhak. Karena telah menggashab, maka hukuman bagi si
plagiator adalah wajib mengembalikan apa yang telah diambilnya.
(Hasyiyah Bujayromy ‘Alal Khathib, VIII, 348; Nihayatuz Zain, 264)
Namun, jika plagiator tadi tidak hanya mengambil, tapi juga mangakui
bahwa yang diambil tadi adalah miliknya, maka perbuatan tersebut masuk
dalam kategori mencuri (sariqah). Karena dalam definisinya, mencuri
adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam dari tempat
penyimpannya. Tidak hanya menguasai hak, tapi juga menjadikan hak itu
adalah miliknya. (Kifayatul Akhyar, II, 151)
Kata ”harta” yang tertera di sini bukanlah khusus terhadap benda saja,
tetapi juga hak. Pendapat ini didasarkan pada pendapat jumhurul ulama
yang mendefinisikan harta (mal) adalah semua hal yang mempunyai nilai
dan bagi siapapun yang merusakkan wajib menggantinya. Merk, ilmu,
gagasan, atau pemikiran termasuk dalam mal, walaupun tidak berwujud
kongkret. (al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, IV, 42)
Mengenai larangan ini, Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 29, yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil. (an-Nisa’, 29)
Ayat ini jika diartikan secara kasar, jelas menunjukkan tentang larangan
menggunakan harta milik orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan
secara syara’. Teks yang tertera adalah larangan ‘memakan’, tapi atas
dasar qiyas, yang dimaksud adalah semua bentuk tindakan menghabiskan
harta orang lain. Dan yang dimaksud ‘bathil’ adalah tidak halal menurut
syara’. (Tafsir al-Alusi, IV, 29; Zadul Masir, II, 19)
Ada ayat lain yang juga menerangkan tentang hal yang serupa:
وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu
merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan. (as-Syuaro’, 183)
Lalu bagaimana status barang hasil plagiat tersebut?
Jika harta tersebut diperjualbelikan, maka hukumnya haram bagi si
penjual (plagiator) dan tetap sah bagi si pembeli karena pembeli
memilikinya dengan cara yang sah dan benar. Kecuali jika si pembeli
mengetahui tentang haramnya barang tersebut atau membeli dengan perkara
yang haram. Maka si pembeli juga terkena hukum haram. (al-Umm, III, 32)
Tidak semua kegiatan plagiat itu diharamkan menurut syara’. Karena
hubungannya dengan sesama makhluk (haqqul adami), maka dalam bab ghasab
tinggal lihat objeknya saja. Pihak yang bersangkutan rela atau tidak.
Rela atau tidaknya bisa dengan lewat keyakinan dari orang yang
menggashab. Tapi keyakinan ini tak boleh dibuat-buat, sehingga menjadi
alasan untuk melakukan tindakan ini. (Hawasyi asy-Syarwani, IV, 238)
Sebagai contoh ketika plagiat tersebut tidak merugikan atau malah justru
menguntungkan bagi yang bersangkutan. Sebagai contoh dalam kitab-kitab
salaf yang pengarangnya sudah wafat. Dalam proses pengarangannya, para
mushannif berniat ikhlas agar ilmunya bermanfaat bagi khalayak umat
Islam, tidak ada unsur bisnis yang terkandung di dalamnya. Oleh karena
itu, semakin kita banyak mangambil kemanfaatan dari kitab itu, maka akan
semakin kita menguntungkan beliau. Dan penjiplakan yang seperti inilah
yang diperbolehkan dalam agama. (Bughyatul Mustarsyidin, 180)
Untuk kategori mencuri, seorang plagiat mendapat hukuman
mengembalikannya, selain juga diancam hukum potong tangan jika telah
melampaui syarat tertentu. Karena, mencuri termasuk perbuatan yang
hubungannya dengan haqqullah di satu sisi, dan haqqul adami di sisi yang
lain. Haqqullah berbentuk hukuman potong tangan, dan haqqul adami
berbentuk pengembalian barang yang dicuri. (Mukhtashar al-Muzanni, I,
118)
Indonesia memiliki aturan-aturan dalam pengambilan dan yang berhubungan
dengan hak cipta. Karena Indonesia adalah negara yang memiliki
keanekaragaman etnik/suku bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang
seni dan sastra dengan pengembangan-pengembangannya yang memerlukan
perlindungan Hak Cipta terhadap kekayaan intelektual yang lahir dari
keanekaragaman tersebut. Dan undang-undang ini pun dalam perkembangannya
juga selalu mengalami update agar sesuai dengan keadaan yang
berkembang. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang
kemudian diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, kemudian
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 dan terakhir diubah dengan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. . Ini menunjukkan bahwa Negara kita
ini juga sangat menghargai sebuah hak milik seseorang.
Kesimpulnnya, plagiat bisa masuk dalam kategori ghasab dan juga bisa
masuk dalam kategori mencuri. Dan kedua-duanya hukumnya adalah haram.
Karena dalam pelaksanaannya plagiat itu mengambil sesuatu yang bukan
miliknya yang kebanyakan terjadi adalah dalam hal hak cipta.
Kita sebagai manusia yang hidup dengan orang banyak, haruslah juga
memahami tentang kode etik orang lain. Dan tidak hanya mementingkan kode
etik diri sendiri. Dan ingatlah, sifat egois itu hanya akan berdampak
negatif bagi diri sendiri. [eLFa
*Tulisan ini dimuat di buletin fiqh mingguan "EL-FAJR" edisi 25 minggu
ke-empat Maret 2012. diterbitkan oleh Persatuan Santri Ma'had Qudsiyyah
(PSMQ)
periode 2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar