Oleh : M. ZIDNI NAFI’ XI D[1]
Penurunan perolehan suara partai-partai Islam bisa
membangkitkan kembali etos jihad dengan alasan penyusutan perolehan suara itu
sebagai akibat konspirasi jahat kekuatan
anti-Islam. Dengan alasan serupa
“kekalahan” kelompok Islam dalam rumusan
Undang-Undang Dasar 1945 antara lain melahirkan gerakan pemberontakan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yeng memproklamsikan Negara Islam.
Kasus ini terus menjadi wacana yang tak pernah kering memberi inspirasi
dinamika gerakan Islam Indonesia. Di sini kaum santri walaupun sebagai
minoritas dalam tubuh pemeluk Islam,
mendominasi wacana Islam dalam kaitan dengan kehidupan politik kenegaraan.
Wacana paling panas sepanjang sejarah politik di
Indonesia yang selalu muncul kembali adalah posisi Islam dalam bangunan
negara-bangsa. Dalam pergulatan politik menjelang kemerdekaan itu, tujuh kata
yang tertuang dalam piagam Jakarta kemudian dihapus untuk sampai pada
kesempatan mengenai ususnan Undang-Undang Dasar 1945. Persoalan ini berkaitan
dengan gagasan negara Islam dan
penegakan syari’at bagi umat Islam yang kemudian membuka kemunculan wacana tentang konspirasi
kekuatan anti-Islam di dalam negeri dan
asing. Ide tentang negara Islam dan penegakan
syari;at ini pula yang selalu menjadi masalah krusial selalu mencul disaat-saat
tertentu dalam perjalanan negeri ini. Dan, masalah ini pula yang kemudian
memicu pemberontakan DI/TII yang akhirnya memproklamasikan Negara Islam
Indonesia.
Proklamasi
NII pada tanggal 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya, Jawa Barat, oleh Kartosoewirjo
banyak berkaitan dengan anggapan bahwa pengesahan UUD 1945 merupakan bukti
kegagalan Piagam Jakarta sekaligus bukti “kekalahan kelompok Islam” yang biasa
dikenal konservatif.
Sepanjang sejarah Nusantara, konflik paling sering
kali berkaitan dengan ide negara Islam dan negara sekuler. Dalam suatau masa
bahkan muncul gerakan separatis yang oleh sebagian umat Islam dipandang sebagai
kelanjutan jihad melawan pemerintah kolonial pada masa penjajahan belanda. Kategorasi kekafiran ini pula yang menjadi
landasan teologis berbagai konflik dan kekerasan atas nama agama dari mereka
yang merasa terpanggil untuk melakukan jihad.
Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
menjadi perdebatan ketika isu Negara Islam Indonesia kembali muncul dalam
pentas wacana nasional. Patut menjadi catatan, diskursus perihal korelasi Islam
dan negara telah lama diperdebatkan, akan tetapi tetap belum terpecahkan secara
tuntas, bahkan cenderung dalam titik buntu. Indonesia yang modern saat ini
masih berproses pencarian pola hubungan antara Islam dan negara.
Istilah negara memiliki banyak teori yang
mendiskripsikannya. Secara bahasa, negara berarti organisasi dalam suatu
wilayaha yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat,
atau kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang
dioragnisasi dibawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai
kekuasaan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.
Sementara berdasarkan pendekatan teoritis ada beberapa macam pengertian negara.
Lalu bagaimana fiqh memandang pendirian negara? Ulama
sunni, syiah, mu’tazilah dan murji’ah sepakat bahwa mendirikan negara hukumnya
wajib. Dalil yang digunakan adalah
اذاخرج ثلاثة في
سفر فليؤمروا احدهم
“Ketika ada tiga orang yang keluar rumah, hendaknya salah satu
dari mereka memimpin”
Mengenai kewajiban tersebut terjadi perbedaan
pendapat. Mayoritas ulama (Sunni dan Mu’tazilah) berpendapat bahwa kewajiban mendirikan
negara bersifat syar’i karena berlandasan pada dalil syar’i. Sementara Syi’ah
menganggapnya sebagai kewajiban aqli, karena soal negara sesungguhnya
berasal bari kesepakatan bersama, bukan soal ada tidaknya dalil.
Imam Ghazali mengatakan bahwa dunia adalah ladang
bagi akhirat. Agama tidak akan sempurna tanpa dunia. Negara dan agama ibarat
dua anak kembar. Agama ibarat batang pohon, sedangkan kepala negara ibarat
penjaganya. Sesuatu tanpa batang akan tumbang, dan sesuatu tanpa penjaga akan
hilang terlantar, negara dan peraturan tidak akan terlaksana tanpa adanya
pemerintahan. (Ihya’ Ulum ad-din,I, 22)
Selanjutnya bagaimana tentang bentuk negara yang
harus didirikan oleh umat Islam? Negara Islam, negara monarki, republik ataukah
negara madinah? Sampai saat ini negara mengklaim dirinya sebagai negara Islam
adalah negara Pakistan, Iran dan Arab Saudi. Istilah negara Islam (daulah
Islamiyyah) lebih merupakan suatu fenomena modern, hasil perjumpaan antara
dunia Islam dengan kolonialisme barat.
Deklarasi formal mengenai negara Islam tidak pernah
ada selama periode Islam salaf dan Islam abad pertengahan. Istilah negara
Islam, sebagaimana yang perkenalkan Pakistan dan Iran, tidak memiliki dasar
pijakan dalam sejarah politik umat
Islam. Dalam wacana tarikh dan fiqh (siyasah), perbincangan politik umat Islam
hanya mengenal Daulah Abbasiyyah dan Daulah Umayyah. Pada periode Turki Usmani,
istilah daulah digunakan untuk
merujuk pada makna giliran. Artinya diposisikan sebagai gagasan mengontrol
kekuasan atau wewenang.
Relasi Agama dan Negara
Kendatipun telah terdapat jaminan
yuridis-konstitusiinal yan cukup kuat, masih menyisakan pertanyaan mengapa pada
realistas sosial maish cukup diwarnai oleh konflik. Konflim ini dapat
melibatkan antara otoritas negara versus warga negara, dan konflik antar warga
negara. Persoalan ini dapat diruntut dari bagaimana relasi antar agama dengan
negara, serta pandangan masyarakat terhadap agama dan negara. Relasi antar
agama dan negara memiliki beberapa kecenderungan.
Pertama, negara berdasar agama. Pada negara ini
bersatunya pemegang otoritas negara dan agama. Negara dan pemegang otoritas
negara dijalankan berdasarkan agama tertentu. Pada model negara ini terdapat
dua kemungkinan, yaitu warga negara diwajibkan memeluk agama resmi negara dan kemungkinan
lainnya warga diberi kebebasan untuk memelukn agama sesuai keyakinannya.
Kedua, agama sebagai spirit bernegara. Pada model
ini negara tidak secara formal menganut agama tertentu, namun nulai-nilai agama
menjadi spirit penyelenggara, penyelenggaraan negara, dan terdapat jaminan dari
negara terhadap warga negara untuk memeluk agama tertentu dan beribadat
berdasarkan keyakinan agamanya itu.
Ketiga, negara sekuler. Pada negara model ini
terdapat pemisahan antara otoritas negara dan agama, atau secara ekstrem negara
tidak mengurus agama dan demikian juga agama tidak berkaitan dengan negara.
Dengan mengacu pada ketiga paradigma di atas, fiqh
salaf cenderung ke paradigma kedua. Indonesia tidak menganut kepada agama
tertentu, namun negara berdasarkan prinsip ketuhanan dan negara memberikan jaminan kebebasan beragama
kepada warganya. Hal ini tampak misalnya dalam pembahasan darul Islam
dan darul harb. Adapun darul Islam memiliki lima karakteristik.
1.
Negara yang dapat menjalankan
hukum-hukum Islam dan juga melaksanakan aturan-aturan dengan dasar syari’at Islam
sebagai kebijakan negara.
2.
Negara yang berpenduduk muslim
dapat menghidupkan hukum-hukum Islam di dalamnya.
3.
Negara yang mayoritas atau
penduduknya beragama Islam.
4.
Negara yang pemerintahannya
dikuasai oleh kaum muslimin, walaupun
sebagaian besar penduduknya tidak terdiri dari kaum muslimin.
5.
Negara yang dikuasai oleh kaum
non-muslim, akan tetapi kaum muslim dapat mengamalkan hukum Islam di dalamnya.
Berangkat dari
karakteristik tersebut, dapatkah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dapat dikatakan darul Islam? Tidak mudah untuk menjawab ini, karena seringkali pijakan hukum Indonesia belum mampu terima oleh
sebagian kalangan bahwa Pancasila sebagai dasar hukum yang selaras dengan
Islam. Padahal bila dicermati lagi, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
merupakan hasil pemikiran matang-matang oleh para ulama pejuang kemerdekaan.
Berikut analisanya:
• Ketuhanan Yang
Maha Esa (Tauhid), sebagai landasan spiritualnya
• Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab (Karamatul Insan) sebagai acuan moralnya.
• Persatuan
Indonesia (Ukhuwah), sebagai acuan sosialnya.
• Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah,
kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan (Syura bainahum)
sebagai acuan demokrasi.
• Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia (Al-adalah) sebagai tujuannya.
Dari uraian di
atas, relasi antara agama dan pancasila sangat nampak sebagai dasar hukum di
Indonesia. Jadi tak perlu dipersoalkan kedudukan Pancasila sebagai asas
pemerintahan.
Dalam
perkembangannya, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai oraganisasi Islam terbesar di
Indonesia dalam mengambil keputusan lebih berdasarkan kepada hukum fiqh. Ada
beberapa kasus yang menunjukkan bahwa keputusan politik NU didasarkan kepada kajian
fiqh.
Pertama, Muktamar XI NU
di Banjarmasin tahun 1936 di antaranya memutuskan bahwa wilayah Hindia-Belanda
sebagai dar al-islam. Keputusan ini didasarkan pada dua
pertimbangan. Pertama, sebelum kedatangan penjajah Belanda, mayoritas
penduduk di wilayah Nusantara beragama Islam, dengan demikian ia bersetatus
sebagai dar al-islam. Walaupun demikian status Hindia-Belanda berada di
bawah pemerintahan kolonial Belanda yang beragama Islam, kondisi ini tidak
merubah yang beragama Kristen, namun praktek keagamaan berdasar Islam di
Nusantara tetap boleh berlangsung, maka Nusantara tetap sebagai dar al-islam.
Kedua, setelah
Indonesia mempertahankan diri sebagai negara merdeka dan berdaulat, NU
mengeluarkan statemen politik yang dikenal dengan “Resolusi Jihad”. Resolusi
jihad ini dikumandangkan pada tangal 22 Oktober 1945, dan dikukuhkan dalam
Muktamar XVI NU di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946. Resolusi jihad melawan penjajah
hukumnya adalah fardhu ain. Hal tersebut menegaskan sikap NU untuk membela
kemerdekaan dari upaya kolonial yang akan merebut kembali kemerdekaan
Indonesia.
Ketiga, keputusan
politik NU untuk memberikan gelar kepada Presiden Soekarno sebagai waliy
al-amry al-daruri bi al-syaukah (pemegang kekuasan temporer yang secara de
facto (memegang kekuasaan) diprakarsai oleh Menteri Agama (1953-1954) yaitu
K.H Masjkur yang menggelar pertemuan ulama nasional dan banyak dihadiri oleh ulama
yang berafeliasi dengan NU dan Perti. Pemberian gelar ini berkaitan dengan
didirikannya Pengadilan Agama di Sumatera Barat, dan keputusan Menteri Agama
mengenai pengangkatan (tauliyah) wali hakim bagi perkawinan wanita yang tidak
mempunyai wali (nasab) sendiri. Status penguasa negara Indonesia sebagai
penguasa Islam sangat menentukan keabsahan
legitimasi Islam bagi wali hakim di Pengadilan Agama nantinya. Di sisi
lain, pemberian gelar Presiden kepada Soekarno ini mempunyai implikasi politik,
yaitu dengan gelar waliy al-amry ini pada saat yang bersamaan
mendelegitimasi kekuasaan Kartosuwirjo (pemimpin pemberontakan DI/TII) yang
mendeklarasikan dirinya sebagai “imam” dar al-islam Indonesia.
Berdasarkan
keterangan tersebut, terlihat bahwa NU dapat bersikap fleksibel dan tegas
sekaligus dalam mengambil keputusan. Sikap NU ini sangat dipengaruhi oleh
karakter fiqh yang dianut NU dalam mengambil keputusan.
Keempat, Muktamar ke-27 NU
di Situbondo tahun 1984 ini memiliki nilai strategis karena beberapa hal. Pertama,
pada Muktamar ini NU mengambil sikap untuk kembali kepada orientasi awal pendirian
NU yaitu sebagai Jam’iyyah diniyyah yang memiliki keprihatinan kepada masalah
sosial-keagamaan. Kedua, pada Muktamar kali ini mulai dilakukan
regenerasi dalam kepengurusan NU. Ketiga, dalam Muktamar ini dikukuhkan
hasil keputusan Munas Alim Ulama Situbondo1983 tentang hubungan NU dan
Pancasila.
Keputusan yang
paling penting adalah mengenai hubungan NU dan Pancasila. Berdasarkan
pertimbangan keagamaan yang diyakini oleh para ulama NU, NU mengambil sikap
secara tegas tidak mempersoalkan penerimaan Pancasila sebagai asa organisasi.
Pertimbangan penerimaan Pancasila ini didasarkan kepada pertimbangan agama: pertama,
bahwa Pancasila dapat diterima sebagai asas organisasi sepanjang tidak
mengubah fungsi Pancasila menjdi agama. Kedua, prinsip prinsip ketuhanan
yang terkandung dalam Pancasila, menurut NU, sama dengan prinsip tauhid dalam
Islam. K.H. Achmad Siddiq secara tegas menyebutkan bahwa Pancasila adalah
sebagai kalimatin sawain bagi bangsa Indonesia. Dengan demikian, menurut
NU, tidak ada alasan untuk mempertentangkan antara Islam dan Pancasila sebagai
bentuk final. NU tidak lagi mempersoalkan antara negara Pancasila dengan negara
Islam.
Kelima, pidato Khutbah Iftitah
Rais Am Syuriyah PBNU K.H. Achmad Siddiq pada pembukaan Munas Alim Ulama NU
tahun 1987 di Cilacap. Pada saat itu K.H. Achmad Siddiq menyatakan sikap
persaudaraan yang dikembangkan di lingkungan warga NU adalah persaudaraan Islam
(ukhuwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathoniyah)
dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah). Pandangan ini
menunujukkan bahwa konsep persaudaraan yang dianut NU sangat luas, tanpa
memandang agama dan bangsa, bahkan mencakup persaudaraan kemanusiaan.
Keenam, salah satu
keputusan penting dalam Muktamar NU di Makassar Maret 2012 lalu adalah forum
bahsul masail yang selama ini membahas masalah kasus-kasus keagamaan tertentu (bahsul
masail diniyyah waqiiyyah), akan
menambah forum baru yang melakukan tinjauan keagamaan terhadap
perundang-undangan di Indonesia (bahsul masail diniyyah qanuniyyah).
Atas dasar-dasar
di atas, Indonesia dapat dikatakan sebagai Darul Islam. Mengenai DI/TII
dengan NNI-nya yang dalangi proklamator negara Islam oleh Sekarmadji Maridjan
Kartosuwiryo, Ulama NU memberikan fatwa hukum bughat (pemberontak)
kepada negara yang sah.
Daftar Pustaka
Ihya’ Ulumuddin
Masalah
Keagamaan; Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu-1926 s/d Kedua
Puluh Sembilan 1994.Abdul Munir Mukhan &
Bolveer Singh. 2011. Demokrasi di Bawah Bayangan Mimpi N-11. Jakarta:
Kompas.
Asy’ari, Hasyim
(Dosen Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro). 2011. Menziarahi Sunan Kudus Dan Spirit Kerukunan Beragama. Proseding
Seminar oleh Maqdis Foundation Kerja Saama dengan Puslitbang Kehidupan Beragama
Balitbang Kementerian Agama Republik Indonesia, Kudus, 9 Agustus 2011
Mas’udi, Masdar Farid (Rois Syuriah PBNU). 2011. Negara
Islam vs Negar Pancasila. Proseding
Seminar oleh Nurul Maiyyah, Kudus, 11 Desember 2011.
[1]
Tulisan ini dimuat di majalah tahunan “EL_QUDSY” edisi 20/2012, diterbitkan
oleh Persatuan Pelajar Qudsiyyah (PPQ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar