Minggu, 24 November 2013

NKRI Harga Mati (Tinjauan Seorang Santri)

Oleh : M. ZIDNI NAFI’ XI D[1]

Penurunan perolehan suara partai-partai Islam bisa membangkitkan kembali etos jihad dengan alasan penyusutan perolehan suara itu sebagai akibat  konspirasi jahat kekuatan anti-Islam. Dengan alasan  serupa “kekalahan” kelompok Islam dalam rumusan  Undang-Undang Dasar 1945 antara lain melahirkan gerakan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yeng memproklamsikan Negara Islam. Kasus ini terus menjadi wacana yang tak pernah kering memberi inspirasi dinamika gerakan Islam Indonesia. Di sini kaum santri walaupun sebagai minoritas dalam tubuh  pemeluk Islam, mendominasi wacana Islam dalam kaitan dengan kehidupan politik kenegaraan.

Wacana paling panas sepanjang sejarah politik di Indonesia yang selalu muncul kembali adalah posisi Islam dalam bangunan negara-bangsa. Dalam pergulatan politik menjelang kemerdekaan itu, tujuh kata yang tertuang dalam piagam Jakarta kemudian dihapus untuk sampai pada kesempatan mengenai ususnan Undang-Undang Dasar 1945. Persoalan ini berkaitan dengan  gagasan negara Islam dan penegakan syari’at bagi umat Islam yang kemudian  membuka kemunculan wacana tentang konspirasi kekuatan anti-Islam  di dalam negeri dan asing. Ide tentang negara Islam  dan penegakan syari;at ini pula yang selalu menjadi masalah krusial selalu mencul disaat-saat tertentu dalam perjalanan negeri ini. Dan, masalah ini pula yang kemudian memicu pemberontakan DI/TII yang akhirnya memproklamasikan Negara Islam Indonesia.

 Proklamasi NII pada tanggal 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya, Jawa Barat, oleh Kartosoewirjo banyak berkaitan dengan anggapan bahwa pengesahan UUD 1945 merupakan bukti kegagalan Piagam Jakarta sekaligus bukti “kekalahan kelompok Islam” yang biasa dikenal konservatif.

Sepanjang sejarah Nusantara, konflik paling sering kali berkaitan dengan ide negara Islam dan negara sekuler. Dalam suatau masa bahkan muncul gerakan separatis yang oleh sebagian umat Islam dipandang sebagai kelanjutan jihad melawan pemerintah kolonial pada masa penjajahan belanda.  Kategorasi kekafiran ini pula yang menjadi landasan teologis berbagai konflik dan kekerasan atas nama agama dari mereka yang merasa terpanggil untuk melakukan jihad.

Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi perdebatan ketika isu Negara Islam Indonesia kembali muncul dalam pentas wacana nasional. Patut menjadi catatan, diskursus perihal korelasi Islam dan negara telah lama diperdebatkan, akan tetapi tetap belum terpecahkan secara tuntas, bahkan cenderung dalam titik buntu. Indonesia yang modern saat ini masih berproses pencarian pola hubungan antara Islam dan negara.

Istilah negara memiliki banyak teori yang mendiskripsikannya. Secara bahasa, negara berarti organisasi dalam suatu wilayaha yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat, atau kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang dioragnisasi dibawah lembaga politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kekuasaan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Sementara berdasarkan pendekatan teoritis ada beberapa macam pengertian negara.

Lalu bagaimana fiqh memandang pendirian negara? Ulama sunni, syiah, mu’tazilah dan murji’ah sepakat bahwa mendirikan negara hukumnya wajib. Dalil yang digunakan adalah

اذاخرج ثلاثة في سفر فليؤمروا احدهم

“Ketika ada tiga orang yang keluar rumah, hendaknya salah satu dari mereka memimpin”

Mengenai kewajiban tersebut terjadi perbedaan pendapat. Mayoritas ulama (Sunni dan Mu’tazilah) berpendapat bahwa kewajiban mendirikan negara bersifat syar’i karena berlandasan  pada dalil syar’i. Sementara Syi’ah menganggapnya sebagai kewajiban aqli, karena soal negara sesungguhnya berasal bari kesepakatan bersama, bukan soal ada tidaknya dalil.

Imam Ghazali mengatakan bahwa dunia adalah ladang bagi akhirat. Agama tidak akan sempurna tanpa dunia. Negara dan agama ibarat dua anak kembar. Agama ibarat batang pohon, sedangkan kepala negara ibarat penjaganya. Sesuatu tanpa batang akan tumbang, dan sesuatu tanpa penjaga akan hilang terlantar, negara dan peraturan tidak akan terlaksana tanpa adanya pemerintahan. (Ihya’ Ulum ad-din,I, 22)

Selanjutnya bagaimana tentang bentuk negara yang harus didirikan oleh umat Islam? Negara Islam, negara monarki, republik ataukah negara madinah? Sampai saat ini negara mengklaim dirinya sebagai negara Islam adalah negara Pakistan, Iran dan Arab Saudi. Istilah negara Islam (daulah Islamiyyah) lebih merupakan suatu fenomena modern, hasil perjumpaan antara dunia Islam dengan kolonialisme barat.

Deklarasi formal mengenai negara Islam tidak pernah ada selama periode Islam salaf dan Islam abad pertengahan. Istilah negara Islam, sebagaimana yang perkenalkan Pakistan dan Iran, tidak memiliki dasar pijakan dalam  sejarah politik umat Islam. Dalam wacana tarikh dan fiqh (siyasah), perbincangan politik umat Islam hanya mengenal Daulah Abbasiyyah dan Daulah Umayyah. Pada periode Turki Usmani, istilah daulah digunakan  untuk merujuk pada makna giliran. Artinya diposisikan sebagai gagasan mengontrol kekuasan atau wewenang.

Relasi Agama dan Negara

Kendatipun telah terdapat jaminan yuridis-konstitusiinal yan cukup kuat, masih menyisakan pertanyaan mengapa pada realistas sosial maish cukup diwarnai oleh konflik. Konflim ini dapat melibatkan antara otoritas negara versus warga negara, dan konflik antar warga negara. Persoalan ini dapat diruntut dari bagaimana relasi antar agama dengan negara, serta pandangan masyarakat terhadap agama dan negara. Relasi antar agama dan negara  memiliki beberapa kecenderungan.

Pertama, negara berdasar agama. Pada negara ini bersatunya pemegang otoritas negara dan agama. Negara dan pemegang otoritas negara dijalankan berdasarkan agama tertentu. Pada model negara ini terdapat dua kemungkinan, yaitu warga negara diwajibkan memeluk agama resmi negara dan kemungkinan lainnya warga diberi kebebasan untuk memelukn agama sesuai keyakinannya.

Kedua, agama sebagai spirit bernegara. Pada model ini negara tidak secara formal menganut agama tertentu, namun nulai-nilai agama menjadi spirit penyelenggara, penyelenggaraan negara, dan terdapat jaminan dari negara terhadap warga negara untuk memeluk agama tertentu dan beribadat berdasarkan keyakinan agamanya itu.

Ketiga, negara sekuler. Pada negara model ini terdapat pemisahan antara otoritas negara dan agama, atau secara ekstrem negara tidak mengurus agama dan demikian juga agama tidak berkaitan dengan negara.

Dengan mengacu pada ketiga paradigma di atas, fiqh salaf cenderung ke paradigma kedua. Indonesia tidak menganut kepada agama tertentu, namun negara berdasarkan prinsip ketuhanan dan  negara memberikan jaminan kebebasan beragama kepada warganya. Hal ini tampak misalnya dalam pembahasan darul Islam dan darul harb. Adapun darul Islam memiliki lima karakteristik.

1.               Negara yang dapat menjalankan hukum-hukum Islam dan juga melaksanakan aturan-aturan dengan dasar syari’at Islam sebagai kebijakan negara.

2.               Negara yang berpenduduk muslim dapat menghidupkan hukum-hukum Islam di dalamnya.

3.               Negara yang mayoritas atau penduduknya beragama Islam.

4.               Negara yang pemerintahannya dikuasai oleh kaum muslimin,  walaupun sebagaian besar penduduknya tidak terdiri dari kaum muslimin.

5.               Negara yang dikuasai oleh kaum non-muslim, akan tetapi kaum muslim dapat mengamalkan hukum Islam di dalamnya.

Berangkat dari karakteristik tersebut, dapatkah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat dikatakan darul Islam? Tidak mudah untuk menjawab ini, karena seringkali  pijakan hukum Indonesia belum mampu terima oleh sebagian kalangan bahwa Pancasila sebagai dasar hukum yang selaras dengan Islam. Padahal bila dicermati lagi, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merupakan hasil pemikiran matang-matang oleh para ulama pejuang kemerdekaan. Berikut analisanya:

• Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid), sebagai landasan spiritualnya

• Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Karamatul Insan) sebagai  acuan moralnya.

• Persatuan Indonesia (Ukhuwah), sebagai acuan sosialnya.

• Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah, kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan (Syura bainahum) sebagai acuan demokrasi.

• Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Al-adalah) sebagai tujuannya.

Dari uraian di atas, relasi antara agama dan pancasila sangat nampak sebagai dasar hukum di Indonesia. Jadi tak perlu dipersoalkan kedudukan Pancasila sebagai asas pemerintahan.

Dalam perkembangannya, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai oraganisasi Islam terbesar di Indonesia dalam mengambil keputusan lebih berdasarkan kepada hukum fiqh. Ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa keputusan politik NU didasarkan kepada kajian fiqh.

Pertama, Muktamar XI NU di Banjarmasin tahun 1936 di antaranya memutuskan bahwa wilayah Hindia-Belanda sebagai dar al-islam. Keputusan ini didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, sebelum kedatangan penjajah Belanda, mayoritas penduduk di wilayah Nusantara beragama Islam, dengan demikian ia bersetatus sebagai dar al-islam. Walaupun demikian status Hindia-Belanda berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda yang beragama Islam, kondisi ini tidak merubah yang beragama Kristen, namun praktek keagamaan berdasar Islam di Nusantara tetap boleh berlangsung, maka Nusantara tetap sebagai dar al-islam.

Kedua, setelah Indonesia mempertahankan diri sebagai negara merdeka dan berdaulat, NU mengeluarkan statemen politik yang dikenal dengan “Resolusi Jihad”. Resolusi jihad ini dikumandangkan pada tangal 22 Oktober 1945, dan dikukuhkan dalam Muktamar XVI NU di Purwokerto tanggal 26-29 Maret 1946. Resolusi jihad melawan penjajah hukumnya adalah fardhu ain. Hal tersebut menegaskan sikap NU untuk membela kemerdekaan dari upaya kolonial yang akan merebut kembali kemerdekaan Indonesia.

Ketiga, keputusan politik NU untuk memberikan gelar kepada Presiden Soekarno sebagai waliy al-amry al-daruri bi al-syaukah (pemegang kekuasan temporer yang secara de facto (memegang kekuasaan) diprakarsai oleh Menteri Agama (1953-1954) yaitu K.H Masjkur yang menggelar pertemuan ulama nasional dan banyak dihadiri oleh ulama yang berafeliasi dengan NU dan Perti. Pemberian gelar ini berkaitan dengan didirikannya Pengadilan Agama di Sumatera Barat, dan keputusan Menteri Agama mengenai pengangkatan (tauliyah) wali hakim bagi perkawinan wanita yang tidak mempunyai wali (nasab) sendiri. Status penguasa negara Indonesia sebagai penguasa Islam sangat menentukan keabsahan  legitimasi Islam bagi wali hakim di Pengadilan Agama nantinya. Di sisi lain, pemberian gelar Presiden kepada Soekarno ini mempunyai implikasi politik, yaitu dengan gelar waliy al-amry ini pada saat yang bersamaan mendelegitimasi kekuasaan Kartosuwirjo (pemimpin pemberontakan DI/TII) yang mendeklarasikan dirinya sebagai “imam” dar al-islam Indonesia.

Berdasarkan keterangan tersebut, terlihat bahwa NU dapat bersikap fleksibel dan tegas sekaligus dalam mengambil keputusan. Sikap NU ini sangat dipengaruhi oleh karakter fiqh yang dianut NU dalam mengambil keputusan.

Keempat, Muktamar ke-27 NU di Situbondo tahun 1984 ini memiliki nilai strategis karena beberapa hal. Pertama, pada Muktamar ini NU mengambil sikap untuk kembali kepada orientasi awal pendirian NU yaitu sebagai Jam’iyyah diniyyah yang memiliki keprihatinan kepada masalah sosial-keagamaan. Kedua, pada Muktamar kali ini mulai dilakukan regenerasi dalam kepengurusan NU. Ketiga, dalam Muktamar ini dikukuhkan hasil keputusan Munas Alim Ulama Situbondo1983 tentang hubungan NU dan Pancasila.

Keputusan yang paling penting adalah mengenai hubungan NU dan Pancasila. Berdasarkan pertimbangan keagamaan yang diyakini oleh para ulama NU, NU mengambil sikap secara tegas tidak mempersoalkan penerimaan Pancasila sebagai asa organisasi. Pertimbangan penerimaan Pancasila ini didasarkan kepada pertimbangan agama: pertama, bahwa Pancasila dapat diterima sebagai asas organisasi sepanjang tidak mengubah fungsi Pancasila menjdi agama. Kedua, prinsip prinsip ketuhanan yang terkandung dalam Pancasila, menurut NU, sama dengan prinsip tauhid dalam Islam. K.H. Achmad Siddiq secara tegas menyebutkan bahwa Pancasila adalah sebagai kalimatin sawain bagi bangsa Indonesia. Dengan demikian, menurut NU, tidak ada alasan untuk mempertentangkan antara Islam dan Pancasila sebagai bentuk final. NU tidak lagi mempersoalkan antara negara Pancasila dengan negara Islam.

Kelima, pidato Khutbah Iftitah Rais Am Syuriyah PBNU K.H. Achmad Siddiq pada pembukaan Munas Alim Ulama NU tahun 1987 di Cilacap. Pada saat itu K.H. Achmad Siddiq menyatakan sikap persaudaraan yang dikembangkan di lingkungan warga NU adalah persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathoniyah) dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah). Pandangan ini menunujukkan bahwa konsep persaudaraan yang dianut NU sangat luas, tanpa memandang agama dan bangsa, bahkan mencakup persaudaraan kemanusiaan.

Keenam, salah satu keputusan penting dalam Muktamar NU di Makassar Maret 2012 lalu adalah forum bahsul masail yang selama ini membahas masalah kasus-kasus keagamaan tertentu (bahsul masail diniyyah waqiiyyah),  akan menambah forum baru yang melakukan tinjauan keagamaan terhadap perundang-undangan di Indonesia (bahsul masail diniyyah qanuniyyah).

Atas dasar-dasar di atas, Indonesia dapat dikatakan sebagai Darul Islam. Mengenai DI/TII dengan NNI-nya yang dalangi proklamator negara Islam oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, Ulama NU memberikan fatwa hukum bughat (pemberontak) kepada negara yang sah.



Daftar Pustaka

Ihya’ Ulumuddin

Masalah Keagamaan; Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu-1926 s/d Kedua Puluh Sembilan 1994.Abdul Munir Mukhan &  Bolveer Singh. 2011. Demokrasi di Bawah Bayangan Mimpi N-11. Jakarta: Kompas.

Asy’ari, Hasyim (Dosen Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro). 2011. Menziarahi Sunan Kudus Dan Spirit Kerukunan Beragama. Proseding Seminar oleh Maqdis Foundation Kerja Saama dengan Puslitbang Kehidupan Beragama Balitbang Kementerian Agama Republik Indonesia, Kudus, 9 Agustus 2011

Mas’udi, Masdar Farid (Rois Syuriah PBNU). 2011. Negara Islam vs Negar Pancasila.  Proseding Seminar oleh Nurul Maiyyah, Kudus, 11 Desember 2011.






[1] Tulisan ini dimuat di majalah tahunan “EL_QUDSY” edisi 20/2012, diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Qudsiyyah (PPQ)

Tidak ada komentar: