Minggu, 24 November 2013

Maraknya Perda Berbasis Syariah; Eksistensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia



Oleh: Saifuddien Djazuli, S.H.I[1]
Peraturan daerah (perda) merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang muncul belakangan seiring dengan munculnya era otonomi daerah. Pasca reformasi konsep desentralisasi pemerintahan sangat terasa ketika muncul Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian disusul dengan ditetapkannya TAP MPR No. III/MPR/2000 yang didalam mengatur tentang pengakuan peraturan daerah sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kemudian peraturan diatas diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Table.1 Perubahan Hirarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

TAP MPRS No.   XX/MPRS/1966
TAP MPR No. III/MPR/2000
UU No. 10 TAHUN 2004
UU No. 12 TAHUN 2011
UUD 1945
UUD 1945
UUDNRI TH 1945
UUDNRI TH 1945
TAP MPR
TAP MPR
--
TAP MPR
UU/PERPU
UU
UU/PERPU
UU/PERPU
PP
PERPU
PP
PP
KEPPRES
PP
PERPRES
PERPRES
Peraturan Pelaksana lainnya: PERMEN, INMEN
KEPPRES
PERDA (Prov, kab/ kota dan Perdes)
PERDA PROVINSI

PERDA

PERDA KAB/KOTA

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[2] Dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, salah satu kewajiban pemerintah daerah di era otda adalah membentuk peraturan daerah sesuai ruang lingkup kewenangannya.
Kalau melihat perkembangan perda, perda banyak bermunculan mulai tahun 2004, begitu juga dengan perda bernuansa syariat islam. Secara historis-yuridis, landasan hukum yang dipakai dalam pembentukan perda bernuansa syariat islam ini adalah UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 10 Tahun 2004 yang pada saat sudah diganti dengan UU No.12 Tahun 2011. Pada tahun 2004 ada sekitar 17 perda bernuansa syariah yang muncul di berbagai wilayah, NAD, Sumbar, Lampung, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Hal ini merupakan sebuah bukti nyata bahwa era otda memberikan ruang yang begitu luas bagi pemerintah daerah dalam mengatur kehidupan wilayahnya, termasuk kehidupan beragama.
Secara konstitusional, Peraturan daerah bernuansa syariat islam pada dasarnya tidak ada yang perlu dipersoalkan. Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008 juga menetapkan bahwa perda yang bernuansa syariat tidak inkonstitusional. Akan tetapi yang menjadi persoalan dan perdebatan di berbagai kalangan adalah dari segi teori hukum, materi muatan peraturan, system hirarki perundang-undangan.

Teori Hukum
Penerapan hukum agama ke dalam hukum positif sebuah Negara sudah berlangsung lama sejak dulu. Sejarah hukum pada abad IX menggolongkan beberapa aliran hukum, aliran hukum kodrat dan aliran positivism hukum. aliran hukum kodrat menguji validitas hukum buatan manusia dimana standar regulasinya adalah kitab suci dari agama samawi, sedangkan positivisme hukum yang walaupun melakukan juga uji validitas hukum akan tetapi standar regulasinya adalah juga undang-undang yang lebih tinggi yang disebut konstitusi. Kemudian aliran positivism hukum dikembangkan oleh Hans Kelsen dengan staatsgurndnorm dan Hans Nawiasky dengan staatsfundamentalnorm.
Perkembangan teori di atas sampai di Indonesia pada abad XIX dalam bentuk teori receptie incomplexu oleh Van den Berg, teori receptive oleh van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje, dan teori receptie balik (receptie a contrario) oleh Hazairin dan Sajuti Thalib. Ketiga teori inilah yang mempengaruhi proses akulturasi dan asimilasi norma-norma hukum Islam menjadi sebuah hukum positif atau hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Teori receptie a contrario telah melahirkan produk UU bernuansa syariat Islam antara lain UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Perbankan Syariah, UU Pelaksanaan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat dan sebagainya. Puncaknya adalah lahirnya Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang memberi jaminan hukum tentang pelaksanaan Syariat Islam sebagai hukum materiil yang digunakan di Aceh, mengembangkan dan mengatur pendidikan sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan dan menyelenggarakan kehidupan adat dan peran serta kedudukan ulama dalam penerapan kebijakan daerah. Apalagi kemudian diperkuat lagi dengan Undang-Undang nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan keleluasaan kepada Aceh untuk membuat qanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam.
Konsekwensi logis dari teori receptie a contrario adalah adanya personalitas keagamaan. Dengan kewajiban, dimana bagi penganut agama tertentu hanya berlaku hukum agama mereka, tidak ada paksaan kepada penganut agama lain untuk mengikuti hukum yang bukan hukum agama mereka. Dalam bahasa yang sederhana, hukum Islam untuk umat Islam, hukum Budha untuk umat Budha dll. Dalam konteks ini, seperti perda wajib bisa membaca al-Qur’an, menutup aurat dan membayar zakat atau infaq, hanya wajib dilaksanakan oleh umat Islam yang berdomisili di daerah yang memberlakukannya, sementara umat agama lain tidak wajib untuk itu meskipun bertempat tinggal di wilayah perda tersebut diberlakukan. Hal ini senada dengan Perda di Bali yang mengatur tentang Perayaan Nyepi dan Perda tentang cara Pembakaran Mayat di Toraja, dimana perda-perda ini hanya berlaku untuk umat agama yang bersangkutan.
Apakah teori receptie a contrario akan terus digunakan dan berkembang atau sebaliknya? Karena latar belakang adanya teori ini adalah respon dari teori receptive. Selain itu, apakah teori ini akan terus bertahan seiring dengan perkembangan teori hukum positif yang sesuai dengan system hukum Indonesia, eropa continental.

Materi Muatan Peraturan Daerah
Dalam pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 menjelaskan bahwa Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugaspembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Berbeda dengan UU No. 10 Tahun 2004, dalam UU No. 12 Tahun 2011 pasal 15 menjelaskan bahwa materi muatan sebuah perda dalam mencantumkan ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Menurut Dr. Rumadi, MA, perda bernuansa syariat Islam dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu pertama, perda yang terkait isu moralitas masyarakat secara umum. Kedua, perda yang terkait fashion dan mode pakaian. Ketiga, perda yang terkait “keterampilan beragama”. Keempat, perda yang terkait pemungutan dana sosial dari masyarakat, yaitu perda zakat, infak dan shadaqah. Dari keempat kategori di atas yang menjadi perdebatan dalam ranah system hukum di Indonesia adalah perda yang terkait fashion dan mode pakaian. dan “keterampilan beragama”.
            Persoalan yang menjadi pro-kontra terkait materi muatan perda bernuansa syariat antara lain sebagai berikut, pertama, materi muatan perda bernuansa syariat islam dinilai eksklusif dan mengkikis nilai islam yang rahmatan lil ‘alamin serta tidak sejalan dengan semangat ideology bangsa Indonesia. Kedua, materi muatan perda bernuansa syariat Islam bertentangan dengan beberapa asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang tertuang dalam pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011, yaitu kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, kesamaan kedudukan dalam hukum dan Pemerintahan. Ketiga, lahirnya sebuah perda yang bernuansa syariat Islam dinilai sebagian kalangan sebagai eforia politik lebih parah lagi menjadi komoditas politik, khususnya pencitraan.
            Dengan bertambahnya materi muatan perda, yaitu ancaman pidana dan denda, hal ini dapat memberikan peluang lebih besar dalam intervensi pelaksanaan perda bernuansa syariat Islam kepada masyarakat. Padahal selama ini, dalam pelaksanaannya perda bernuansa syariat Islam masih menuai kontroversi, kurangnya pengawasan, munculnya diskriminasi, tidak diakomodirnya kaum minoritas dan sebagainya. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan anomaly terhadap hukum Islam dan Islam itu sendiri.

Epilog
            Peraturan Daerah sebagai bentuk peraturan perundang-undangan paling bawah dalam hirarki peraturan perundang-undangan, sudah sepatutnya menerapkan asas hukum lex supperiori derogat lex inferiori (hukum yang ada di bawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang di atasnya). Sama halnya posisi Ijma’ dalam hirarki hukum Islam, Ijma’ tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Apabila kita lihat dari sisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sendiri, terbitnya perda syariat Islam justru telah menabrak kewenangan Pemerintah Pusat. Dalam pasal 10 ayat 3 huruf f menjelaskan bahwa masalah agama menjadi otoritas pemerintah pusat, bukan kewenangan pemerintah daerah. Otonomi daerah perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang atau peraturan sendiri yang tidak memiliki landasan peraturan lebih tinggi. Sebagai contoh perda yang sesuai dengan peraturan di atasnya adalah perda tentang pengelolaan zakat.
Paradigma pembaharuan hukum Islam harus disikapi secara arif dan bijaksana, perda bernuansa syariat islam tidak dipungkiri akan terus bermunculan, sebagai konsekwensi adanya Undang-undang bernuansa syariat Islam, UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Pengelolaan Zakat dan sebagainya. Proses pengawasan perda dengan executive review dan judicial rivew harus terus dilaksanakan. Meskipun perda bernuansa Islam ini berdampak positif bagi sebuah daerah, tetapi juga menuai pro-kontra terlebih dalam tataran praktis dan pelaksanaannya. Oleh karena itu penerapan perda bernuansa syariat Islam saat ini di berbagai daerah perlu dikaji kembali dan eksistensi hukum islam tidak harus melalui legislasi dalam peraturan perundang-undangan. Living law of Islamic law better than legislation of Islamic law.


[1] Alumni Madrasah Qudsiyyah angkatan tahun 2004. Tulisan ini dimuat di majalah tahunan “EL_QUDSY” edisi 20/2012, diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Qudsiyyah (PPQ)


[2] Pasal 1 UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Tidak ada komentar: