Sebagaimana
telah kita ketahui bersama bahwasanya Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) akan melakukan perubahan kurikulum untuk tahun
ajaran 2013-2014. Perubahan tersebut (menurut Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan) sudah seharusnya diaplikasikan guna memperbaiki sistem
pendidikan di Indonesia yang selalu mengalami kemerosotan dan
keterpurukan. Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan perubahan kurikulum
pendidikan perlu dilakukan karena tuntutan zaman yang terus berkembang
agar peserta didik mampu bersaing di masa depan.
Memang
masih terjadi banyak perdebatan tentang layak tidaknya perubahan
kurikulum dalam pendidikan di Indonesia. Alasan yang jelas dan tepat
belum mampu dipaparkan sehingga polemik tersebut masih menjadi isu yang
sedang aktual.
Semakin
maraknya tawuran antar pelajar, pergaulan bebas dan dekadensi moral
pelajar di Indonesia disinyalir menjadi penyebab perlunya pembenahan
dalam sistem pendidikan terutama kurikulum yang harus diterapkan di
masing-masing sekolah di seluruh Indonesia. Penambahan mata pelajaran
yang menekankan nilai-nilai akhlak dan pendidikan karakter agaknya perlu
diimplementasikan. Sehingga dengan lebih banyaknya mata pelajaran yang
bermuatan agamis diharapkan mampu mengatasi kasus dan problematika
pelajar dewasa ini.
Masih menurut kemendikbud, perubahan
karakter harus dimulai dari TK hingga SMA, sedangkan perguruan tinggi
bersifat otonom. Intinya, perubahan kurikulum pendidikan itu akan
menyederhanakan sejumlah mata pelajaran. Penyederhanaan itu diperuntukkan bagi mata pelajaran yang bersifat umum ke dalam Ilmu Pengetahuan Umum, sedangkan ilmu sains (MIPA) dan ilmu sosial yang merupakan “basic” ilmu pengetahuan akan tetap ada. Jadi, kurikulum pendidikan yang baru nanti akan mengubah mindset
pendidikan yang bersifat akademik menjadi dua paradigma yakni akademik
dan karakter, bahkan pendidikan karakter akan lebih banyak di tingkat
pendidikan dasar atau TK dan SD, karena karakter itu merupakan pondasi
pendidikan.
Pendidikan karakter itu juga tidak harus berupa mata pelajaran tersendiri.Mata
pelajaran Biologi yang memberikan penugasan observasi/penelitian secara
berkelompok itu akan mengajarkan cara kerja sama, leadership,
komunikasi melalui presentasi hasil penelitian, kompetisi melalui
persaingan antarkelompok, dan seterusnya. Semua itu termasuk pendidikan karakter. Perubahan kurikulum dimaksudkan untuk mencetak sumberdaya manusia yang profesional secara akademik dan tangguh atau kreatif secara karakter.Yang jelas, perubahan kurikulum itu memang akan membuat mata pelajaran lebih sedikit dari sebelumnya. Mata
pelajaran yang bersifat hafalan juga berkurang, karena banyak praktik
lapangan dan studi kasus, sehingga teknik pembelajaran akan mengarahkan
siswa menjadi inovatif, kreatif, dan kompetitif.
Terlepas
dari deal tidaknya perubahan kurikulum dalam tahun ajaran 2013-2014,
maka sudah selayaknya kita mempersiapkan diri guna mengatasi
permasalahan pelajar yang semakin kompleks. Oleh karena itu setiap
satuan pendidikan harus mampu mengkover dan mengarahkan pelajarnya
masing-masing guna menatap masa depan yang progresif.
Definisi
kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik
pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan
yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan
mata-mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh
siswa. Anggapan ini telah ada sejak zaman Yunani Kuno, dalam lingkungan
atau hubungan tertentu pandangan ini masih dipakai sampai sekarang.[1]
Banyak orang tua bahkan juga guru-guru, kalau ditanya tentang kurikulum
akan memberikan jawaban sekitar bidang studi atau mata-mata pelajaran.
Lebih khusus mungkin kurikulum hanya sebagai isi pelajaran.
Pendapat-pendapat
yang muncul selanjutnya telah beralih dari menekankan pada isi menjadi
lebih memberikan tekanan pada pengalaman belajar. Diantara penganut
pendapat ini adalah Caswel dan Campbell dalam buku mereka yang terkenal Curriculum Development (1935)
dan Ronald C. Doll (1974). Definisi Doll tidak hanya menunjukkan adanya
perubahan penekanan dari isi kepada proses, tetapi juga menunjukkan
adanya perubahan lingkup, dari konsep yang sangat sempit kepada yang
lebih luas. Apa yang dimaksud dengan pengalaman siswa yang diarahkan
atau menjadi tanggung jawab sekolah mengandung makna yang cukup luas.
Pengalaman tersebut dapat berlangsung di sekolah, di rumah ataupun di
masyarakat, bersama guru atau tanpa guru, berkenaan langsung dengan
pelajaran ataupun tidak. Definisi tersebut juga mencakup berbagai upaya
guru dalam mendorong terjadinya pengalaman tersebut serta berbagai
fasilitas yang mendukungnya.[2]
Perubahan Kurikulum di Indonesia
1. Segi Politik
Diakui
ataupun tidak, dunia politik di Indonesia semakin menunjukkan titik
nadir yang mengarah pada keterpurukan bangsa Indonesia. Pengadaan
proyek-proyek sering disalahgunakan demi meraih keuntungan dan
kepentingan satu golongan. Fenomena ini juga telah merambah di dunia
pendidikan dalam hal ini adalah kementerian pendidikan dan kebudayaan.
Adanya
perubahan kebijakan dan sistem pendidikan sering kali dijadikan kedok
untuk mendapatkan proyek dengan anggaran dana yang super besar.
Pengungkapan kasus korupsi di berbagai instansi pemerintahan menunjukkan
betapa buruk dan bobroknya para pemimpin Indonesia. Memang sangat
disayangkan jika dana pendidikan yang begitu besarnya tidak dapat
disalurkan kepada masyarakat khususnya pelajar di seluruh Indonesia.
Banyak
kalangan yang menanyakan substansi dari perubahan kurikulum dari waktu
ke waktu. Ada anggapan bahwa setiap ada pergantian kabinet pasti ada
pergantian kebijakan tak terkecuali dunia pendidikan. Kurikulum periode
sebelumnya belum maksimal dilaksanakan sudah ada opini pergantian atau
perubahan. Jika hal ini berjalan terus-menerus besar kemungkinan
masyarakat semakin tidak percaya kepada pemerintah.
2. Segi Agama (Syari’at)
Salah satu konsep terpenting untuk maju adalah “melakukan perubahan”, tentu yang kita harapkan adalah perubahan untuk menuju keperbaikan. Sebuah perubahan selalu disertai dengan konsekuensi-konsekuensi yang sudah selayaknya dipertimbangkan agar tumbuh kebijakan-kebijakan yang lebih signifikan.
Jika perubahan kurikulum tersebut membawa kebaikan (maslahat) maka sudah selayaknya untuk diterapkan. Namun jika perubahan kurikulum tersebut hanya sekedar perubahan image atau demi kepentingan satu golongan, maka hal itu merupakan suatu kemunduran dunia pendidikan. Dalam syariat (fikih) kemaslahatan ada tiga macam : kemaslahatan yang bersifat wajib, kemaslahatan yang bersifat sunnah, dan kemaslahatan yang bersifat mubah/boleh.[3]
Maslahat juga dibagi menjadi tiga :[4]
1. Kemaslahatan Ukhrowi
Kemaslahatan Ukhrowi yaitu kemaslahatan (kebaikan) yang dicapai di akhirat saja. Kemaslahatan Ukhrowi sangat diharapkan hasilnya karena setiap orang tidak tahu akhir hidupnya (khusnul khotimah atau su’ul khotimah).
Seandainya mereka tahu maka belum bisa dipastikan apakah amal ibadahnya
diterima Allah swt atau tidak. Dan seandainya dipastikan diterima oleh
Allah maka belum bisa dipastikan hasil pahala dan kebaikan akhiratnya
karena bisa saja hilang ketika ditimbang dan ketika diambil balasannya (diqishos).
2. Kemaslahatan Duniawi
Kemaslahatan Duniawi yaitu kemaslahatan (kebaikan) yang dicapai di dunia saja. Kemaslahatan ini dibagi menjadi dua :
a. Pasti hasilnya
Seperti kemaslahatan makanan, minuman, pakaian, pernikahan, perumahan, dan sarana transportasi.
b. Diharapkan hasilnya
Seperti berdagang
untuk menghasilkan keuntungan sebagaimana menjalankan harta anak yatim
demi memperoleh keuntungan, mengajarinya berdagang dan menyekolahkannya
demi kebaikan mereka di masa datang. Membangun rumah, bercocok tanam,
dan berkebun merupakan kemaslahatan yang sangat diharapkan hasilnya.
3. Kemaslahatan Duniawi dan Ukhrowi
Kemaslahatan Duniawi dan Ukhrowi yaitu kemaslahatan (kebaikan) yang bisa dicapai di dunia dan di akhirat. Seperti membayar kifarat dan ibadah maliyyah (misal zakat dan sebagainya). Kemaslahatan duniawi bagi si penerima, sedangkan kemaslahatan ukhrowi bagi si pemberi. Kemaslahatan duniawi bersifat pasti, sedangkan kemaslahatan ukhrowinya masih bersifat harapan.
Perubahan kurikulum pendidikan merupakan masalah duniawi dan mungkin juga termasuk masalah ukhrowi. Terlepas dari ada tidaknya kemaslahatan dalam
perubahan kurikulum tersebut, sudah selayaknya jika perubahannya tidak
serta-merta mengganti. Namun lebih bersifat merevisi dan menambah sistem
yang lebih baik serta masih mempertahankan sistem lama yang masih baik.
Sebagaimana kaidah :
“Almukhafadhatu alal qodim assholih wal akhdu bil jadid al aslah”
Menjaga sistem lama yang masih layak dan mengambil sistem baru yang lebih kompetitif.
Adanya
perubahan kurikulum dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa penerapan
pembaharuan pendidikan di Indonesia tidak selalu berjalan dengan mulus
seperti yang diharapkan. Inovasi-inovasi yang coba diterapkan oleh
kemendikbud selaku otoritas yang membawahi pendidikan di Indonesia tidak
bisa diterima oleh sekelompok masyarakat. Menurut Rogers (dalam
Ibrahim, 1988) mengemukakan bahwa karakteristik inovasi yang dapat
mempengaruhi cepat lambatnya penerimaan inovasi tersebut harus memiliki
unsur-unsur berikut :[5]
1. Keunggulan relatif, yaitu sejauh mana inovasi dianggap menguntungkan bagi penerimanya.
2. Kompatibilitas, yaitu tingkat kesesuaian inovasi dengan nilai (value), pengalaman masa lalu, dan kebutuhan penerima.
3. Kompleksitas, yaitu tingkat kesukaran untuk memahami dan menggunakan inovasi bagi penerima.
4. Trialabilitas, yaitu dapat dicoba atau tidaknya suatu inovasi oleh penerima.
5. Dapat diamati (observability) yaitu mudah tidaknya diamati suatu hasil inovasi.
Jika
inovasi kurikulum yang ditawarkan oleh kemendikbud telah mampu diterima
oleh masyarakat selanjutnya proses pengajaran juga harus lebih
bervariasi. Kemajuan di bidang teknologi dan informatika harus bisa
dimanfaatkan seefisien mungkin. Pemanfaatan laboratorium, komputerisasi,
internet, digital library dan sebagainya harus bisa digunakan
semaksimal mungkin.
Kegiatan pengajaran memang sering kali dipandang sama dengan mengajar. Dalam konteks ini mengajar merupakan kegiatan
yang dilakukan seseorang yang memiliki profesi sebagai pengajar.
Memberikan kuliah adalah salah satu penerapan strategi atau teknik
pengajaran, dan termasuk komponen sistem pengajaran. Tanggapan seperti
itu tidak tepat, sebab kegiatan pengajaran mempunyai makna yang lebih
luas daripada sekedar mengajar, yaitu cara yang dipakai oleh pengajar,
ahli kurikulum, perancangan bahan pelajaran, perancangan media, dan
sebagainya yang ditujukan untuk mengembangkan rencana yang terorganisir
guna keperluan belajar (Gagne dan Briggs, 1978).[6]
Jika
kurikulum dan sistem pengajaran telah berjalan dengan baik maka
diharapkan mampu menciptakan pelajar yang berkualitas. Pelajar yang
mampu menghadapi perkembangan serta mampu bersaing di masa depan. Semoga
dengan adanya perubahan kurikulum tahun ajaran 2013-2014, sistem
pendidikan di Indonesia bisa lebih maju. Semoga bermanfaat.
M. Isbah Kholili, Alumni Qudsiyyah tahun 2006, Guru MTs Qudsiyyah Kudus
Tulisan ini dimuat dalam majalah El-Qudsy, Edisi 21 Tahun 2013
[1]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktek, (PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999), Hal.4.
[2]Ibid
[3]Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam, Qowa’idul Ahkam Fi Mashalihil Anam, (Darul Ma’arif, Bairut Libanon), Juz 1 hal. 36
[5]M. Sulthon Masyhud dkk, Manajemen Pondok Pesantren, (Diva Pustaka, Jakarta, 2003), hal. 71
[6] Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, Teknologi Pengajaran, (Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2003), hal. 44