Rabu, 18 Desember 2013

Kurikulum Dalam Berbagai Perspektif

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwasanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan melakukan perubahan kurikulum untuk tahun ajaran 2013-2014. Perubahan tersebut (menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) sudah seharusnya diaplikasikan guna memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia yang selalu mengalami kemerosotan dan keterpurukan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan perubahan kurikulum pendidikan perlu dilakukan karena tuntutan zaman yang terus berkembang agar peserta didik mampu bersaing di masa depan.
Memang masih terjadi banyak perdebatan tentang layak tidaknya perubahan kurikulum dalam pendidikan di Indonesia. Alasan yang jelas dan tepat belum mampu dipaparkan sehingga polemik tersebut masih menjadi isu yang sedang aktual.
Semakin maraknya tawuran antar pelajar, pergaulan bebas dan dekadensi moral pelajar di Indonesia disinyalir menjadi penyebab perlunya pembenahan dalam sistem pendidikan terutama kurikulum yang harus diterapkan di masing-masing sekolah di seluruh Indonesia. Penambahan mata pelajaran yang menekankan nilai-nilai akhlak dan pendidikan karakter agaknya perlu diimplementasikan. Sehingga dengan lebih banyaknya mata pelajaran yang bermuatan agamis diharapkan mampu mengatasi kasus dan problematika pelajar dewasa ini.
Masih menurut kemendikbud, perubahan karakter harus dimulai dari TK hingga SMA, sedangkan perguruan tinggi bersifat otonom. Intinya, perubahan kurikulum pendidikan itu akan menyederhanakan sejumlah mata pelajaran. Penyederhanaan itu diperuntukkan bagi mata pelajaran yang bersifat umum ke dalam Ilmu Pengetahuan Umum, sedangkan ilmu sains (MIPA) dan ilmu sosial yang merupakan “basic” ilmu pengetahuan akan tetap ada. Jadi, kurikulum pendidikan yang baru nanti akan mengubah mindset pendidikan yang bersifat akademik menjadi dua paradigma yakni akademik dan karakter, bahkan pendidikan karakter akan lebih banyak di tingkat pendidikan dasar atau TK dan SD, karena karakter itu merupakan pondasi pendidikan.
Pendidikan karakter itu juga tidak harus berupa mata pelajaran tersendiri.Mata pelajaran Biologi yang memberikan penugasan observasi/penelitian secara berkelompok itu akan mengajarkan cara kerja sama, leadership, komunikasi melalui presentasi hasil penelitian, kompetisi melalui persaingan antarkelompok, dan seterusnya. Semua itu termasuk pendidikan karakter. Perubahan kurikulum dimaksudkan untuk mencetak sumberdaya manusia yang profesional secara akademik dan tangguh atau kreatif secara karakter.Yang jelas, perubahan kurikulum itu memang akan membuat mata pelajaran lebih sedikit dari sebelumnya. Mata pelajaran yang bersifat hafalan juga berkurang, karena banyak praktik lapangan dan studi kasus, sehingga teknik pembelajaran akan mengarahkan siswa menjadi inovatif, kreatif, dan kompetitif.
Terlepas dari deal tidaknya perubahan kurikulum dalam tahun ajaran 2013-2014, maka sudah selayaknya kita mempersiapkan diri guna mengatasi permasalahan pelajar yang semakin kompleks. Oleh karena itu setiap satuan pendidikan harus mampu mengkover dan mengarahkan pelajarnya masing-masing guna menatap masa depan yang progresif.

Definisi kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata-mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Anggapan ini telah ada sejak zaman Yunani Kuno, dalam lingkungan atau hubungan tertentu pandangan ini masih dipakai sampai sekarang.[1] Banyak orang tua bahkan juga guru-guru, kalau ditanya tentang kurikulum akan memberikan jawaban sekitar bidang studi atau mata-mata pelajaran. Lebih khusus mungkin kurikulum hanya sebagai isi pelajaran.
        Pendapat-pendapat yang muncul selanjutnya telah beralih dari menekankan pada isi menjadi lebih memberikan tekanan pada pengalaman belajar. Diantara penganut pendapat ini adalah Caswel dan Campbell dalam buku mereka yang terkenal Curriculum Development (1935) dan Ronald C. Doll (1974). Definisi Doll tidak hanya menunjukkan adanya perubahan penekanan dari isi kepada proses, tetapi juga menunjukkan adanya perubahan lingkup, dari konsep yang sangat sempit kepada yang lebih luas. Apa yang dimaksud dengan pengalaman siswa yang diarahkan atau menjadi tanggung jawab sekolah mengandung makna yang cukup luas. Pengalaman tersebut dapat berlangsung di sekolah, di rumah ataupun di masyarakat, bersama guru atau tanpa guru, berkenaan langsung dengan pelajaran ataupun tidak. Definisi tersebut juga mencakup berbagai upaya guru dalam mendorong terjadinya pengalaman tersebut serta berbagai fasilitas yang mendukungnya.[2]
Perubahan Kurikulum di Indonesia
1. Segi Politik
Diakui ataupun tidak, dunia politik di Indonesia semakin menunjukkan titik nadir yang mengarah pada keterpurukan bangsa Indonesia. Pengadaan proyek-proyek sering disalahgunakan demi meraih keuntungan dan kepentingan satu golongan. Fenomena ini juga telah merambah di dunia pendidikan dalam hal ini adalah kementerian pendidikan dan kebudayaan.
Adanya perubahan kebijakan dan sistem pendidikan sering kali dijadikan kedok untuk mendapatkan proyek dengan anggaran dana yang super besar. Pengungkapan kasus korupsi di berbagai instansi pemerintahan menunjukkan betapa buruk dan bobroknya para pemimpin Indonesia. Memang sangat disayangkan jika dana pendidikan yang begitu besarnya tidak dapat disalurkan kepada masyarakat khususnya pelajar di seluruh Indonesia.
Banyak kalangan yang menanyakan substansi dari perubahan kurikulum dari waktu ke waktu. Ada anggapan bahwa setiap ada pergantian kabinet pasti ada pergantian kebijakan tak terkecuali dunia pendidikan. Kurikulum periode sebelumnya belum maksimal dilaksanakan sudah ada opini pergantian atau perubahan. Jika hal ini berjalan terus-menerus besar kemungkinan masyarakat semakin tidak percaya kepada pemerintah.
2. Segi Agama (Syari’at)
Salah satu konsep terpenting untuk maju adalah “melakukan perubahan”, tentu yang kita harapkan adalah perubahan untuk menuju keperbaikan. Sebuah perubahan selalu disertai dengan konsekuensi-konsekuensi yang sudah selayaknya dipertimbangkan agar tumbuh kebijakan-kebijakan yang lebih signifikan.
Jika perubahan kurikulum tersebut membawa kebaikan (maslahat) maka sudah selayaknya untuk diterapkan. Namun jika perubahan kurikulum tersebut hanya sekedar perubahan image atau demi kepentingan satu golongan, maka hal itu merupakan suatu kemunduran dunia pendidikan. Dalam syariat (fikih) kemaslahatan ada tiga macam : kemaslahatan yang bersifat wajib, kemaslahatan yang bersifat sunnah, dan kemaslahatan yang bersifat mubah/boleh.[3]
Maslahat juga dibagi menjadi tiga :[4]
1.      Kemaslahatan Ukhrowi
Kemaslahatan Ukhrowi yaitu kemaslahatan (kebaikan) yang dicapai di akhirat saja. Kemaslahatan Ukhrowi sangat diharapkan hasilnya karena setiap orang tidak tahu akhir hidupnya (khusnul khotimah atau su’ul khotimah). Seandainya mereka tahu maka belum bisa dipastikan apakah amal ibadahnya diterima Allah swt atau tidak. Dan seandainya dipastikan diterima oleh Allah maka belum bisa dipastikan hasil pahala dan kebaikan akhiratnya karena bisa saja hilang ketika ditimbang dan ketika diambil balasannya (diqishos).
2.      Kemaslahatan Duniawi
Kemaslahatan Duniawi yaitu kemaslahatan (kebaikan) yang dicapai di dunia saja. Kemaslahatan ini dibagi menjadi dua :
a.         Pasti hasilnya
Seperti kemaslahatan makanan, minuman, pakaian, pernikahan, perumahan, dan sarana transportasi.
b.         Diharapkan hasilnya
Seperti berdagang untuk menghasilkan keuntungan sebagaimana menjalankan harta anak yatim demi memperoleh keuntungan, mengajarinya berdagang dan menyekolahkannya demi kebaikan mereka di masa datang. Membangun rumah, bercocok tanam, dan berkebun merupakan kemaslahatan yang sangat diharapkan hasilnya.
3.      Kemaslahatan Duniawi dan Ukhrowi
Kemaslahatan Duniawi dan Ukhrowi yaitu kemaslahatan (kebaikan) yang bisa dicapai di dunia dan di akhirat. Seperti membayar kifarat dan ibadah maliyyah (misal zakat dan sebagainya). Kemaslahatan duniawi bagi si penerima, sedangkan kemaslahatan ukhrowi bagi si pemberi. Kemaslahatan duniawi bersifat pasti, sedangkan kemaslahatan ukhrowinya masih bersifat harapan.
Perubahan kurikulum pendidikan merupakan masalah duniawi dan mungkin juga termasuk masalah ukhrowi. Terlepas dari ada tidaknya kemaslahatan dalam perubahan kurikulum tersebut, sudah selayaknya jika perubahannya tidak serta-merta mengganti. Namun lebih bersifat merevisi dan menambah sistem yang lebih baik serta masih mempertahankan sistem lama yang masih baik. Sebagaimana kaidah :
“Almukhafadhatu alal qodim assholih wal akhdu bil jadid al aslah”
Menjaga sistem lama yang masih layak dan mengambil sistem baru yang lebih kompetitif.
Adanya perubahan kurikulum dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa penerapan pembaharuan pendidikan di Indonesia tidak selalu berjalan dengan mulus seperti yang diharapkan. Inovasi-inovasi yang coba diterapkan oleh kemendikbud selaku otoritas yang membawahi pendidikan di Indonesia tidak bisa diterima oleh sekelompok masyarakat. Menurut Rogers (dalam Ibrahim, 1988) mengemukakan bahwa karakteristik inovasi yang dapat mempengaruhi cepat lambatnya penerimaan inovasi tersebut harus memiliki unsur-unsur berikut :[5]
1.                          Keunggulan relatif, yaitu sejauh mana inovasi dianggap menguntungkan bagi penerimanya.
2.                          Kompatibilitas, yaitu tingkat kesesuaian inovasi dengan nilai (value), pengalaman masa lalu, dan kebutuhan penerima.
3.                          Kompleksitas, yaitu tingkat kesukaran untuk memahami dan menggunakan inovasi bagi penerima.
4.                         Trialabilitas, yaitu dapat dicoba atau tidaknya suatu inovasi oleh penerima.
5.                         Dapat diamati (observability) yaitu mudah tidaknya diamati suatu hasil inovasi.
Jika inovasi kurikulum yang ditawarkan oleh kemendikbud telah mampu diterima oleh masyarakat selanjutnya proses pengajaran juga harus lebih bervariasi. Kemajuan di bidang teknologi dan informatika harus bisa dimanfaatkan seefisien mungkin. Pemanfaatan laboratorium, komputerisasi, internet, digital library dan sebagainya harus bisa digunakan semaksimal mungkin.
Kegiatan pengajaran memang sering kali dipandang sama dengan mengajar. Dalam konteks ini mengajar merupakan  kegiatan yang dilakukan seseorang yang memiliki profesi sebagai pengajar. Memberikan kuliah adalah salah satu penerapan strategi atau teknik pengajaran, dan termasuk komponen sistem pengajaran. Tanggapan seperti itu tidak tepat, sebab kegiatan pengajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada sekedar mengajar, yaitu cara yang dipakai oleh pengajar, ahli kurikulum, perancangan bahan pelajaran, perancangan media, dan sebagainya yang ditujukan untuk mengembangkan rencana yang terorganisir guna keperluan belajar (Gagne dan Briggs, 1978).[6]
Jika kurikulum dan sistem pengajaran telah berjalan dengan baik maka diharapkan mampu menciptakan pelajar yang berkualitas. Pelajar yang mampu menghadapi perkembangan serta mampu bersaing di masa depan. Semoga dengan adanya perubahan kurikulum tahun ajaran 2013-2014, sistem pendidikan di Indonesia bisa lebih maju. Semoga bermanfaat.
M. Isbah Kholili, Alumni Qudsiyyah tahun 2006, Guru MTs Qudsiyyah Kudus
Tulisan ini dimuat dalam majalah El-Qudsy, Edisi 21 Tahun 2013

[1]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktek, (PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999), Hal.4.
[2]Ibid
[3]Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam, Qowa’idul Ahkam Fi Mashalihil Anam, (Darul Ma’arif, Bairut Libanon), Juz 1 hal. 36
[4]Ibid. Hal 37
[5]M. Sulthon Masyhud dkk, Manajemen Pondok Pesantren, (Diva Pustaka, Jakarta, 2003), hal. 71
[6] Nana Sudjana dan Ahmad Rivai, Teknologi Pengajaran, (Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2003), hal. 44

Penyadapan Menurut Pandangan Fiqh

Akhir-akhir ini, penyadapan menjadi salah satu kunci keberhasilan membongkar sebuah kasus, terutama kasus korupsi. Bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),  penyadapan dalam hal tindak pidana korupsi, khususnya dengan delik suap, merupakan front-gate untuk membuka tabir bentuk perbuatan korupsi, seperti halnya penyalahgunaan wewenang dari aparatur negara atau pejabat publik. Kasus penyadapan telepon terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana memang beberapa kali diungkap ke publik. Sebut saja kasus yang menyeret Artalyta Suryani yang menyuap Jaksa Urip Tri Gunawan atas dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus BLBI oleh Kejaksaan Agung (Kejakgung). Belum lagi bagaimana dari hasil penyadapan telepon yang dilakukan, KPK berhasil membongkar kasus suap yang dilakukan beberapa angota DPR, seperti Al Amin Nasution, Bulyan Royan, dan sebagainya.

Berpijak dari deskripsi persoalan di atas, Bagaimana tanggapan fiqh menyikapi tentang penyadapan telepon tersebut? Bagimana pula jika hasil penyadapan itu disebarluaskan ke publik?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sadap diartikan sebagai mendengarkan, merekam informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya. Dalam istilah fiqih ada istilah yang mirip dengan penyadapan yaitu istima’ yang artinya mencuri dengar perkataan orang lain. Istima’ hukum asalnya adalah haram. Dalam sebuah hadist, Rasulullah bersabda:
من استمع الى حديث قوم وهم له كارهون صبّ في اذنيه الانك
Barang siapa mencuri dengar pembicaraan sekelompok orang, sementara mereka tidak suka pembicaraannya didengar, niscaya dua telinga orang (yang mencuri dengar) tadi akan dituangi dengan timah yang meleleh”.(Faidhul Qodir, VI, 59).

Dalam hadist ini, secara umum Rasulullah melarang perbuatan istima’, terlepas dari motif yang melatar belakanginya. Oleh karena itu, sangat cocok dengan pernyataan di atas bahwa hukum asal istima’ adalah haram.

Kemudian, hukum istima’ terperinci lagi tergantung pada motif yang melatarinya.Ada beberapa penjelasan. Pertama, penyadapan telepon dengan motif amar ma’ruf nahi munkar dan untuk mendidik. Penyadapan telepon dengan motif seperti ini, akan berpengaruh kepada hukum istima’ yang diharamkan. Istima’ di sini menjadi boleh karena motif tersebut. Dasarnya adalah saddud dzari’ah, menutup jalan yang mengakibatkan pada kerusakan.

Kedua, motif jahat. istima’ dengan motif kejahatan adalah haram hukumnya. Oleh karena itu, penyadapan telepon oleh orang dengan maksud busuk adalah haram.
Dua motif di atas didasarkan pada pertimbangan tujuan. Jika tujuannya baik dan membawa maslahah, istima’ diperbolehkan bahkan bisa menjadi sunnah atau wajib. Sebaliknya, jika maksud dan tujuan istima’ jelek dan selalu mengakibatkan mafsadah, maka istima’ hukumnya haram. (Sirojul Munir, III, 329; Azzawajir ‘an Iqtirafi al-Kabair, III, 164).

Ini sesuai dengan firman Allah yang telah difirmankan dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu ber-tajassus (mencari cari kesalahan orang lain”. (QS. Al-Hujarat, 12).

Dalam ayat di atas, dapat kita tarik pengertian bahwa tajassus yang menurut sebagian ulama’ disamakan dengan tahassus berarti mencari-cari aib orang lain sekaligus membeberkan rahasia aib tersebut. (Is’adur Rafiq, 96; Al-Bahrul Muhit, VIII, 113).

Dari penjelasan di atas, bahwa motif tajassus selalu jelek. Padahal istima’ termasuk bagian dari tajassus, mencari cari aib orang lain. Karena itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa yang diharamkan adalah istima’ yang bermotif mafsadah (termasuk mencari aib orang lain). Bukan istima’ yang membawa maslahah.

Kembali pada topik permasalahan, kemudian bagaimana dengan penyadapan oleh KPK sekaligus kemudian meng-ekspose (menyebarluaskan pada khalayak umum lewat media massa)?
Kita perlu melihat dulu, motif di balik penyadapan oleh KPK tersebut. Bahwa motif KPK menyadap perbincangan sesorang adalah untuk kepentingan pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar disertai adanya gholabatuzh zhan (dugaan kuat) atas terjadinya tindakan korupsi disertai dengan sudah ada beberapa kejadian yang patut dicurigai. Melihat motif dan tujuan yang dilakukan KPK, penyadapan tersebut lebih mendekati bahkan termasuk ke dalam motif maslahah. Maka hukum menyadap (tajassus) dapat diperbolehkan. Bahkan ada yang berpendapat dengan tegas bahwa tajassus dalam kasus seperti al-lusus (korupsi) hukumnya diperbolehkan, bahkan bisa menjadi wajib jika tidak ada cara yang lain. (Asnal Mathalib Sharkhu Raudlatu ath-Thalib, XX, 313; at-Tahrir wa at-Tanwir, XIV, 27)

Dalam kacamata fiqh, ekspose, adalah sama dengan ghibah. Dipandang sama karena kedua hal ini karena masing-masing mengandung unsur memberitakan sesuatu hal. Tetapi sejatinya ada perbedaan karena memandang bahwa isi atau muatan ekspos lebih bersifat obyektif. Lain halnya dengan ghibah yang identik bernada negatif.

Ekspos sebagaimana ghibah pada dasarnya juga dilarang.  namun, tidak semua ghibah dilarang. Ada beberapa pengecualian dimana ghibah menjadi boleh. Diantaranya; Pertama, al-tadzallum, al-madzlum (orang yang didzalimi) yang menuturkan kejelekan orang yang mendzaliminya untuk menghilangkan kedzaliman itu. Kedua, al-isti’anah ‘ala taghyir al-munkar, menuturkan suatu kemungkaran dengan tujuan agar kemungkaran itu ditinggalkan. Ketiga, al-istifta, menuturkan aib seseorang kepada ahli hukum (mufti) untuk mengerti hukumannya. Keempat, menuturkan seseorang yang dengan terang terangan berbuat munkar. Kelima, untuk mewaspadakan umat agar tidak turut melakukan aib yang dighibahi. (Ihya’ Ulumuddin, III, 161-162; Iqna’, II, 127).

Kalau alur berfikir kita teruskan dan diperkuat dengan konteks pers di Indonesia yang menyatakan bahwa yang termasuk dalam kategori pertama (yang boleh diekspos) adalah pemberitaan tentang korupsi, kolusi, manipulasi, perampokan, pencurian, tindakan sewenang-wenang penguasa, monopoli dan berita seputar persoalan rakyat banyak, dan seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa korupsi juga merupakan suatu perbuatan yang munkar dan secara otomatis termasuk ke dalam ghibah yang diperbolehkan. Maka dari itu, hukum mengekspos tindakan korupsi ke dalam media massa hukumnya boleh. (Hawasyi as-Syarwani, IX, 219).

Dengan kata lain, menindak dan mengungkap kasus korupsi diperbolehkan bahkan diharuskan untuk dilaksanakan meskipun itu menyangkut privasi terhadap oknum-oknum tertentu. Karena tujuan (gharad) yang dimaksud adalah menegakkan keadilan dan memberikan contoh kepada masyarakat untuk selalu bersikap tegas terhadap segala bentuk penyelewengan. [eLFa]

BULETIN EL-FAJR MA’HAD QUDSIYYAH KUDUS, Edisi 36/15 Februari 2013

Beberapa Hukum Fiqh Berkaitan Dengan Mushaf

Makin banyak percetakan, makin banyak pula produksinya. Dari tahun ke tahun, selalu ada buku baru yang lahir. Mulai dari jenis majalah, novel, komik, karya ilmiah, dan sebagainya. Tapi ada satu yang sangat istimewa dan tidak ada bandingannya di dunia ini, yaitu al-Qur’an al-karim.
Al-Qur’an ialah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril sebagai mukjizat walaupun dengan salah satu suratnya. Ada juga ulama yang menambahkan pengertian lain, yaitu dihitung ibadah jika membacanya. Sedangkan Mushaf ialah apapun yang ada tulisan al-Qur’annya, walaupun berupa kertas, papan, daun, dll, yang ditujukan untuk dibaca (dirasah). Sebenarnya, al-Qur’an dan mushaf itu sama. Hanya saja, al-Qur’an itu identik dengan bacaan, sedangkan mushaf cenderung dengan tulisan atau kertasnya. Yang banyak ditemui, al-Qur’an sering disandari (mudhaf ilaih) kata membaca (qiroatul quran), dan mushaf sering disandari kata membawa atau memegang (massul mushaf wa hamluhu). (Hasyiyah al-Bujairomy Alal Manhaj, I, 201; Faidlul Qadir, IV, 615; Kasyifatus Saja, 28)
Dari definisi tersebut, maka Hadits Qudsy bukan termasuk al-Qur’an karena disampaikan kepada Nabi bukan sebagai mukjizat. Juga mengecualikan Taurat, Injil, dan Zabur, karena tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad. (Faidlul Qadir, IV, 615)
Al-Qur’an merupakan kitab yang paling mulia di antara kitab-kitab lainnya, apalagi buku-buku biasa. Hal ini termaktub dalam al-Qur’an pada surat Fusshilat ayat 41-42,:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari al-Qur’an ketika al-Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya al-Quran itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.(QS. Fusshilat, 41-42)
Dalam hal ini pun Nabi Muhammad juga pernah bersabda bahwa al-Qur’an jika dibandingkan dengan kalam lain, sama dengan Allah dibandingkan dengan lainnya.
فضل كلام الله عز وجل على سائر الكلام كفضل الله على غيره
Keutamaan kalam Allah ‘Azza wa Jalla di atas kalam yang lain seperti keutamaan Allah dibandingkan dengan yang lain. (Fadhoilul Qur’an Wa Tilawatuhu Lir Rozy, I, IX)
Mengenai sisi kebahasaan, al-Qur’an hanya menggunakan satu bahasa saja, yaitu bahasa Arab. Namun terkadang ada kata yang kebetulan sama dengan bahasa ajam (selain Arab) dan lebih dikenal dalam bahasa ajam itu. Walaupun begitu, kata tersebut tetap dianggap sebagai bahasa Arab, bukan ajam. Untuk itu, dalam pembacaannya dilarang menggunakan bahasa ajam sebagai contoh lafadz ‘alamin dibaca ngalamin. Sedangkan untuk penulisan al-Qur’an yang menggunakan bahasa ajam, maka diperbolehkan dan juga masih dianggap sebagai mushaf. Sehingga hukum memegang dan membawanya pun disamakan dengan hukum memegang dan membawa al-Qur’an yaitu tidak diperbolehkan bagi orang yang sedang berhadats. Hikmah dari kebolehan menulis ini adalah karena dimungkinkan adanya orang yang membaca al-Qur’an tulisan ajam tapi dengan bahasa Arab. (al-Lughat Fil Qur’an, I, 1; Tuhfatul Habib Ala Syarhil Khathib, I, 551; Hasyiyah al-Bujairimi Alal Khatib, III, 317)
Sedangkan cara membaca al-Qur’an yang baik adalah dengan cara tartil. Untuk pengertian tartil, Sayyidina Ali pernah menjelaskannya, yaitu membaca yang disertai dengan menggunakan tajwid dan mengetahui di mana letak-letak waqof (berhenti). (Tanbihul Ghafilin Wa Irsyadul Jahilin, I, 54)
Metode bacaan tartil memiliki ukuran cara yang paling ‘bawah’ dan juga cara yang paling sempurna. Batas yang paling bawah dalam tartil ialah melafadzkan huruf-huruf dengan jelas walapun pembacaannya cepat. Sedangkan cara yang sempurna ialah berwaqof pas sesuai dengan tempatnya. Tidak melebihi dan tidak kurang. Lebih sempurna lagi jika saat membacanya disertai dengan ekspresi yang sesuai dengan yang dibaca. Misalnya waktu membaca ayat duka, menampilkan wajah dan nada duka. Ketika membaca ayat kemenangan Islam, menunjukkan wajah yang gembira. (al-Burhan Fi ‘Ulumil Quran, I, 449)
Allah berfirman:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً
Dan bacalah al-Qur’an dengan tartil. (QS. al-Muzzammil, 4)
Perintah yang terkandung dalam ayat tersebut bukanlah bersifat wajib, melainkan hanya bersifat sunnah. Dengan bukti bahwa para ulama sepakat hukum membaca al-Qur’an dengan tartil adalah sunah. Para ulama juga selain menggunakan literatur dari surat al-Muzammil tadi, juga menggunakan literatur dari hadits yang diambil dari keterangan Ummu Salamah ketika menyifati bacaan Nabi yaitu bahwa bacaan Nabi itu bisa ditafsirkan satu huruf demi satu huruf. Bacaan tartil memiliki hikmah agar qari’ bisa menghayati makna-maknanya dan terhanyut dalam bacaanya, juga merupakan salah satu simbol memuliakan al-Quran. (at-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an, I, 88)
Sopan santun seseorang muslim saat dilantunkan ayat-ayat al-Qur’an adalah dengan cara diam dan mendengarkan dengan seksama.
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan ketika al-Qur’an dibaca, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat. (QS. al-A’raf, 204)
Dhohir ayat ini menunjukkan bahwa amar adalah lil wujub. Ada yang mengatakan bahwa ayat ini turun sebagai dalil keharaman berbicara saat shalat, yang mana pada permulaan Islam hal itu (berbicara saat shalat) diperbolehkan. Ada yang mengatakan untuk dalil keharaman jahr (bersuara keras) ketika menjadi makmum. Ada lagi yang berpendapat kalau ayat ini untuk keharaman berbicara saat khatib sedang menyampaikan khutbahnya. Tapi pendapat yang rajih (unggul), ayat ini untuk bacaan imam di dalam shalat. Dengan alasan keumuman lafadz ini, dan ayat ini adalah ayat makkiyyah, sedangkan khutbah baru disyariatkan ketika di Madinah. (al-Wajiz Lil Wahidi, I, 258; al-Bahrul Madid, II, 329)
Untuk orang yang sedang hadats (muhdits), diharamkan memegang maupun membawa mushaf. Tapi, mushaf yang haram dipegang atau dibawa hanyalah yang digunakan untuk bacaan (dirasah), walau dengan tulisan ajam. Al-Qur’an yang digunakan untuk hiasan kaligrafi, jimat, atau tabarruk, hukum memegangnya boleh bagi muhdits. Al-Qur’an yang terdapat dalam kitab tafsir, juga boleh memegangnya dengan syarat teks al-Qur’annya lebih sedikit dibanding tafsirnya. (Raudlatut Thalibin Wa Umdatul Muftin, I, 26) [eLFa]

Fiqh Pendidikan

Menjelang tahun ajaran baru, orang tua memiliki kesibukan tambahan. Yang biasanya hanya sibuk dengan masalah pekerjaan kantor, pertokoan, dan sebagainya, kini akan meluangkan waktu guna memberi perhatian khusus kepada anaknya soal pendidikan. Mulai dari membelikan peralatan sekolah, seragam, bahkan mencarikan sekolah baru. Tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengatakan, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Pendidikan itu sangat penting. Tanpa pendidikan, manusia seperti layaknya hewan. Karena hanya mengetahui hukum-hukum alam saja seperti makan, minum, dan tidur. Maka dari itu, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang layak sebagaimana tertuang pada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Islam, pendidikan bukan sekadar hak, tapi suatu kewajiban. Hadits Nabi: طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ Mencari ilmu itu wajib bagi seluruh muslim. (Sunan Ibni Majah, I, 260) Yang dimaksud dalam lafadz “muslim” bukan hanya orang Islam lelaki saja, melainkan mencakup seluruh orang mukallaf, baik laki-laki maupun perempuan. (Hasyiyatus Sanadiy ‘Ala Ibni Majah, I, 208) Lalu bagaimana soal pembiayaan, khususnya oleh anak-anak? Biaya untuk menopang kehidupan anak disebut dengan ‘nafkah’. Sedangkan perbuatan mengeluarkan dan menyerahkan nafkah kepada yang berhak disebut dengan ‘infaq’. (I’anatuth Thalibin, IV, 60) Sedangkan sebab-sebab kewajiban memberikan nafkah bagi seseorang itu ada tiga. Pertama, karena pernikahan, yaitu nafkah sorang suami kepada istri. Kedua, karena kepemilikan, yaitu seperti budak dan hewan peliharaan. Dan yang ketiga, karena hubungan kekerabatan. Kekerabatan yang dimaksud di sini adalah orang tua atau anak, tidak yang lainnya seperti saudara, paman, dan bibi. (Mughnil Muhtaj, XIV, 458; Hasyiyah Qolyubi Wa ‘Umairoh, XIII, 463) Sementara definisi anak sendiri memiliki banyak arti yang beragam. Jika dalam pembahasan di sini, anak adalah generasi kedua (anak) dan juga generasi-generasi berikutnya (cucu dan seterusnya). (al-Umm, V, 100) Nafkah meliputi segala sesuatu yang berguna untuk kelangsungan hidup anak. Seperti makan minum, pakaian, pengobatan, termasuk juga pendidikan. Sebenarnya, untuk nafkah pendidikan anak itu bisa diambilkan dari harta si anak, jika anak itu memiliki kekayaan. Tetapi jika tidak punya, maka ditanggungkan kepada orang yang terbeban menafkahinya, yaitu orang tua. Orang tua diwajibkan menjamin pendidikan anaknya sampai anak itu baligh sebagaimana orang tua wajib menafkahinya sampai ia aqil baligh. Jika dalam hubungan suami istri, maka ayahlah yang wajib menafkahi anak. Dan jika si anak tidak memiliki seseorang pun untuk menafkahinya, maka nafkahnya dikembalikan bagi orang yang berkenan memberi nafkah kepadanya. (Hasyiyah Bujairomy ‘Alal Khatib, XI, 430; al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, I, 26; Asnal Mathalib Syarh Roudlit Thalib, XII, 126) Orang tua berkewajiban untuk menafkahi anak jika memenuhi salah satu dari tiga kriteria. Pertama, anak masih kecil disertai dengan fakir. Jadi, jika si anak sudah baligh dan sudah memiliki pekerjaan, maka orang tua tidak wajib menafkahinya. Jika si anak tidak bekerja dikarenakan si anak sibuk mencari ilmu, serta si anak pun dimungkinkan membuahkan hasil dalam mencari ilmunya maka orang tua masih berkewajiban untuk menafkahinya. Dua, lumpuh yang disertai dengan fakir. Dan yang ketiga, gila yang disertai fakir. Untuk kriteria yang dan ketiga ini disebabkan karena mereka tidak mampu mencari nafkah sendiri. (Hasyiyah Bujayromy ‘Alal Khotib, XI, 350 dan 352) Dalam hal ini, al-Qur’an menandaskan: وَعلَى المولود لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma'ruf. (QS. Al-Baqarah, 233) Dan ternyata, dari ayat tersebut, orang tua yang mendapat beban nafkah adalah sang ayah. Karena anak itu sebenarnya adalah milik ayah. Buktinya, anak itu dinasabkan pada ayah, bukan pada ibu. (Tafsir al-Khozin, I, 239) Nah, sekarang pendidikan apa sajakah yang wajib diberikan orang tua kepada anaknya? Pendidikan yang harus diberikan orang tua kepada anaknya adalah semua yang nantinya akan menjadi bekal kehidupan ketika anak itu menginjak baligh, yaitu dalam bab bersuci, sholat, puasa, dan sebagainya, yang merupakan taklif. Serta memberikan pengetahuan tentang haramnya melakukan perbuatan yang haram seperti perbuatan zina, mencuri, berbohong, dan lain sebagainya. Orang tua juga harus memberikan pengetahuan kepada si anak bahwa baligh merupakan fase mulai berlakunya hukum taklif. (al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, I, 26) Intinya, semua yang akan diamalkan itu wajib diketahui ilmunya. Contohnya jika akan melakukan transaksi jual-beli maka hukumnya wajib mempelajari fiqh bab Muamalah, atau jika sudah berhubungan suami-istri maka wajib mengetahui seputar hukum-hukum yang bersangkutan, ketika kita akan menunaikan ibadah haji, kita wajib mengetahui ilmu tentang ibadah haji, dll. (at-Taisir Bi Syarhil Jami’is Shaghir Lil Munawi, I, 329) Kewajibnya memberikan pendidikan kepada anak yang masih belum baligh juga tersebut pada al-Qur’an: يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (QS. at-Tahrim, 6) Mengenai makna dari ayat ini, Sayyidina Ali, Mujahid, dan Qatadah berpendapat sama, yaitu memaknainya cukup dengan makna dlahir saja. Artinya kita disuruh untuk mengajarkan apapun yang dapat menyelamatkan diri kita sendiri dan keluarga dari api neraka. (al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, I, 26). Wallahu A’lam. [eLFa]

Kepemimpinan Wanita, Bagaimana Fiqh Memandangnya?

Bulan April identik dengan peringatan lahirnya seorang tokoh wanita kelahiran Mayong Jepara, Raden Ajeng Kartini, pelopor gender equality atau lebih populer disebut emansipasi wanita. Tokoh ini dikenal karena upaya kerasnya untuk meningkatkan derajat kaum wanita pribumi. Emansipasi merupakan sebuah usaha yang sangat besar demi menyetarakan derajat, harkat, dan martabat kaum perempuan dengan kaum laki-laki. Karena dulu, lebih-lebih zaman kolonialis, sebelum berkembangnya gerakan emansipasi, kaum wanita adalah kaum yang termarjinalkan. Kerjanya di rumah mengurusi urusan rumah tangga. Perjuangan RA Kartini ini, salah satunya diwujudkan melalui tulisan-tulisan dan korespondensinya yang kemudian dicetak ke dalam buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Sampai hari ini, gerakan emansipasi masih terus berkembang dan berkelanjutan. Karena, belum sepenuhnya usaha penyetaraan sampai hari ini, belum sepenuhnya sukses seratus persen.
Bagaiman Islam memandang hal ini?
Mungkin dalam dunia Islam kita sudah akrab dengan keterangan satu laki-laki sama dengan dua perempuan. Salah satunya bisa ditemukan dalam bab persaksian. Persaksian seorang laki-laki sebanding dengan dua perempuan. Perbandingan ini didasarkan dengan keterangan bahwa perempuan mempunyai akal yang lebih lemah daripada laki-laki. Sehingga apa yang dilakukannya cenderung didasarkan pada perasaan dan bukan menggunakan logika. 
Nabi pernah berkata:
أَ لَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا
Bukankah persaksian wanita itu seperti setengah persaksian seorang laki-laki? Mereka (para wanita) menjawab, ya. Rasul berkata, itulah termasuk kekurangan akalnya. (Shahih Bukhari, 9, 142)
Hadits ini menuliskan bahwa persaksian seorang wanita adalah seperti separuh persaksian laki-laki. Tapi, hal itu tidak bisa menjadi rumusan atau kiasan untuk semua persaksian ataupun dalam semua kasus. Buktinya dalam kitab-kitab fiqh, misalnya bab rukyah hilal untuk menentukan Ramadlan diharuskan saksinya adalah minimal seorang laki-laki, tidak boleh perempuan. Kalaupun satu laki-laki banding dengan dua perempuan adalah rumus paten, mestinya dalam rukyah hilal diperbolehkan saksi dua perempuan. Begitupun dalam bab-bab yang lain.
Dalam al-Qur’an juga menyebutkan:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki adalah penanggung jawab atas kaum perempuan, sebab Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta-harta mereka. (QS. An-Nisa’, 34)
Kata qowwam dari ayat di atas dapat diartikan menguasai. Kaum laki-laki yang mempunyai kuasa atas perempuan. Perempuan tidak memiliki kuasa kecuali telah diijinkan oleh laki-laki. Hal ini disebabkan kaum perempuan secara naluriah lebih lemah daripada laki-laki. Sebagian ulama mengatakan bahwa akal perempuan hanya satu dan nafsunya sembilan. Sementara akal laki-laki adalah sembilan dan nafsunya cuma satu. (Tafsir al-Kabir, X, 91-92; al-Kassyaf, I, 523; Tafsir al-Mizan, IV, 351)
Kelebihan laki-laki banyak tertulis dalam teks kitab salaf, terutama dari tafsiran ayat tersebut. Salah satu contohnya adalah dalam kitab tafsir al-Lubab yang menerangkan bahwa ada banyak kelebihan laki-laki dibandingkan dengan wanita dalam pandangan fiqh. Yaitu laki-laki mendapat bagian harta warisan dua kali lebih banyak daripada perempuan, laki-laki bisa menjadi wali nikah, hak talak, hak rujuk, intisab anak, dll. (Tafsir al-Lubab Libni ‘Adil, V, 157)
Kalau soal wanita jadi pemimpin?
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abi Bakrah, berbunyi:
لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
Sungguh Allah telah memberi manfaat padaku lantaran kalimat yang saya dengar dari Rasulullah pada perang Jamal, ketika saya terjebak ikut perang Jamal. (selanjutnya) ia berkata, ketika berita bahwa bangsa Persia telah mengangkat putri kaisar sebagai ratu, Rasulullah bersabda, tidak akan sejahtera sebuah bangsa yang menyerahkan urusannya pada wanita. (Shahih Bukhari, XIII, 337)
Hampir seluruh fuqaha mengambil hadits ini sebagai dasar larangan keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan. Selain itu, mereka juga menambah argumen penguat bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah akalnya, tidak kuat fisiknya, dan labil mentalnya. Seperti yang pernah kami singgung di atas. Sehingga ditutup peluang bagi wanita untuk menempati jabatan pimpinan pada segala bidang, kecuali Imam Abu Hanifah yang membolehkan wanita menjabat sebagai hakim. Itu pun dalam urusan perdata, bukan pidana. Hanya Imam Jarir at-Thabari yang membolehkan wanita menjadi pimpinan di segala bidang. (al-Fahrur Rozy, V, 91; Faidlul Qodir, V, 303; al-Ahkamus Sulthaniyyah, 65)
Jika dipandang dari asbabul wurud-nya (sebab-sebab kemunculan hadits), hadits ini dimunculkan ketika seorang Raja Persia meninggal, kemudian kekuasaan tahta diserahkan kepada putrinya. Maka, hadits ini dipakai hanya untuk golongan tertentu yaitu golongan Persia pada waktu itu. Hadits ini tidak bisa dipakai secara umum. Walaupun lafal qoumun adalah ‘am, namun kaidah yang cocok digunakan pada kata itu adalah kaidah yang menyatakan bahwa “yang dilihat adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafal”. Sebab dengan cara ini, nash akan lebih cocok dengan fakta yang ada. Dalam kenyataannya, ada banyak sekali organisasi dan sebagainya yang dipimpin oleh perempuan dan ternyata sukses. Jikalau hadits ini bersifat umum, kenapa ada pimpinan perempuan yang menuai sukses besar? (Jam’ul Jawami’, II, 38; Taqrirat asy-Syarbini, II, 38)
Untuk menetapkan hukum haram setidaknya nash harus memuat beberapa hal. Pertama, redaksi secara eksplisit mengatakan haram. Kedua, nash berbentuk nahi. Ketiga, nash disertai dengan ancaman (uqubah). Keempat, menggunakan redaksi lain yang menurut tata bahasa arab menunjukkan bahwa redaksi tersebut merupakan tuntutan yang harus dilaksanakan. Maka dalam hadits ini, tidak bisa kita arahkan pada larangan wanita untuk menduduki jabatan sebagai pemimpin. (Jam’ul Jawami’, I, 80)
Kalau yang dijadikan alasan adalah asumsi bahwa wanita memiliki nalar di bawah laki-laki, maka bisa dimengerti oleh sebab wanita pada masa itu kemungkinan besar minim akses informasi, akibatnya wanita tidak dapat mengetahui masalah dan persoalan secara luas dan mendalam. Pada saat masa kitab-kitab salaf dianggit, kemungkinan para perempuan cenderung tidak punya wawasan luas serta akses yang luas layaknya laki-laki. Berbeda ketika kondisi pada awal Islam, ketika para sahabat wanita dapat memperoleh ilmu dan bimbingan dari Rasul secara langsung, sehingga Siti A’isyah mampu meriwayatkan hadits yang tak kalah banyak ketimbang sahabat laki-laki. Dan kini, tatkala globalisasi telah merambah, kondisi seperti pada awal Islam tersebut kembali lagi. Wanita pada masa kini tingkat akses memperoleh informasi sama dengan laki-laki dalam segala bidang dan ilmu pengetahuan. Sehingga pernyataan bahwa wanita memiliki pengetahuan yang sedikit merupakan alasan yang tidak bisa dipakai. (al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu, VI, 486)
Dari gambaran di atas, sebenarnya ada peluang bagi kaum perempuan untuk menyetarakan kedudukannya dengan laki-laki, tergantung kualitas dan bagaimana perempuan memanfaatkan peluang tersebut. Andai saja perempuan memiliki tingkat pengetahuan dan wawasan yang sederajat atau lebih dengan laki-laki, tentu status dan derajat sosialnya bisa disamakan. Sebagaimana pendapat sebagian mufassir pada firman Allah dalam ayat di atas, “fadldlolallahu ba’dlohum ‘ala ba’dlin” (melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain), bukan secara jelas “fadldlolahum allahu alaihinna” (melebihkan laki-laki atas perempuan). (Ruhul Ma’ani, V, 23)
Jadi, bisa diterima adanya kesejajaran derajat antara laki-laki dan perempuan. Namun, kesejajaran ini tidaklah mutlak. Kecuali dalam beberapa urusan yang telah ditetapkan oleh Islam dan tidak bisa dinego lagi.
Memang, wanita juga harus ikut andil dan berpartisipasi dalam memajukan dan mengembangkan prestasi bangsa. Sedangkan zaman yang serba global ini adalah masa-masa perlombaan dalam bersaing dengan negara-negara lain dalam banyak hal.Karena itu bagi kaum Hawa, janganlah merasa bahwa dirinya rendah, karena Islam menjunjung tinggi martabat kalian. sebagai contoh hadits yang sudah sangat populer, “Surga berada di bawah telapak kaki ibu”, dan masih banyak lagi literatur yang lain. Sungguh salah bagi orang yang mengatakan bahwa wanita hanyalah pengurus ‘pawon’ dan tak tahu apa-apa! [eLFa]
  
*Tulisan ini dimuat di buletin fiqh mingguan "EL-FAJR" edisi 23 minggu kedua Maret 2012. diterbitkan oleh Persatuan Santri Ma'had Qudsiyyah (PSMQ) periode 2011-2012 

Demonstrasi Dalam Kacamata Fiqh

Kendati harga BBM tak jadi naik per 1 April 2012, masih banyak saja aksi unjuk rasa di berbagai kalangan di negeri ini. Beribu tanggapan dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, buruh, ormas, dan lain sebagainya, bersatu padu untuk melakukan demonstrasi jauh-jauh hari setelah pemerintah merencanakan adanya kenaikan BBM pada 1 April. Setiap hari, aksi itu selalu menghiasi setiap lembar surat kabar, dan setiap layar kaca televisi. Kontra ini menimbulkan dampak yang luar biasa. Rusuh, ricuh, ribut, dan kacau, terlihat di beberapa tempat tertentu.

Protes ini, menuntut pemerintah agar berhenti menyengsarakan ‘wong cilik’. Rakyat miskin seharusnya diberi tempat yang nyaman dan sejahtera agar bisa hidup tersenyum di Negara Indonesia ini. Tidak diberi beban yang berat dan diberatkan lagi. Beban ini tentu semakin menanjak bila BBM jadi dinaikkan yang tentu saja diikuti kenaikan barang-barang kebutuhan dan jasa lainnya.

Sementara versi pemerintah, demi menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), harga BBM harus segera dinaikkan, seiring dengan laju kenaikan harga minyak mentah dunia. Jika tidak, kas negara akan lebih banyak terserap untuk menyuplai subsidi BBM. Konsumsi BBM sendiri, dalam hitung-hitungan pemerintah, banyak dilakukan oleh kalangan menengah ke atas. Sehingga, subsidi yang semestinya dinikmati rakyat kecil, justru banyak terserap ke yang lain. Pemerintah juga telah menyiapkan skenario Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) untuk konpensasi secara langsung kepada masyarakat miskin akibat kenaikan harga BBM.

Kembali ke pokok persoalan, demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. Dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, menyebutkan, demonstrasi merupakan salah satu cara untuk menyampaikan aspirasi, selain pawai, rapat umum, dan mimbar bebas. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan berlandaskan pada asas musyawarah dan mufakat. Hal ini tertulis dalam pasal 3.

Dalam bernegara, Islam juga mengajarkan asas musyawarah (as-syura). Prinsip ini merupakan prinsip yang sangat dikedepankan oleh Islam. Dalam al-Qur’an disebutkan:

وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imran, 159)

Dalam hal ini, kita bisa melihat sendiri dari diri Rasulullah yang ketika menyusun strategi menghadapi perang, Rasulullah selalu mengumpulkan para sahabat terlebih dahulu, kemudian dimintai pendapat. Misalnya ketika memilih lokasi untuk pasukan beberapa saat sebelum perang badar, Khubab ibnu al-Mundzir ibnu al-Jamuh yang memiliki pandangan berbeda mengajukan pendapat, yang didahului dengan pertanyaan apakah pendapat Nabi itu merupakan wahyu Allah (yang tidak bisa ditentang) atau sebagai pendapat pribadi, “Apakah ini adalah dari Allah ataukah pendapat Anda sendiri, strategi perang, dan tipu muslihat?” Rasulullah menjawab, “Ini adalah pendapatku sendiri, strategi perang, dan tipu muslihat.” (Uyunul Atsar, I, 332)

Jadi, demonstrasi merupakan salah satu tindak musyawarah menyampaikan pendapat menyikapi tentang rencana atau keputusan pemerintah. Demonstrasi merupakan salah satu etos warisan nilai-nilai Islam Rasulullah yang relevan untuk digunakan dalam bernegara.

Lalu, hal-hal apa saja yang patut didemo?

Jika yang didemo adalah sebuah penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah maka demonstrasi adalah bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar.Dan karena termasuk amar ma’ruf nahi munkar, maka hukumnya fardlu kifayah. Coba tengok hadits Nabi:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

Barangsiapa yang melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, maka dengan lisannya. Jika tidak bisa, maka dengan hatinya, dan demikian itu ialah selemah-lemahnya iman. (Shahih Muslim, I, 167)

Tapi ketika nahi munkar dihadapkan pada pemerintah, tidak semena-mena menggunakan hadits ini. Penolakan terhadap pemerintah tidak boleh berbentur fisik, harus dengan cara yang baik. (Ihya’ Ulumid Din, II, 177)

Lalu bagaimana dengan demonstrasi yang anarkis dengan merusak pagar, membakar mobil polisi, atau merusak pos polantas?

Langkah-langkah tersebut bukanlah jalan yang baik dan sehat. Semuanya merugikan pihak lain. Maka dengan tegas fiqh menetapkan bahwa hukumnya haram. Menurut kaidah fiqh:

الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ

Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain.

Karena, jika bahaya dihilangkan dengan bahaya yang lain, maka sama saja tidak menghilangkan bahaya. Padahal, kaidah pokoknya adalah, “Bahaya itu harus dihilangkan”. Ini merupakan perkataan ibnu as-Subuky. (al-Asybah Wan Nadhair, I, 158)

Seharusnya, pengunjuk rasa menyampaikan aspirasinya dengan tertib dan teratur. Bukannya malah dengan cara membuat kerusuhan yang menimbulkan korban, atau merusak benda dan bangunan yang telah dibangun oleh Negara.

Apa yang harus dilakukan aparat kepolisian?

Jika memang para demonstran masih ngotot berbuat rusuh, maka para aparat polisi dibenarkan untuk meredakan para demonstran dengan cara tegas. Jika memang Negara terancam dan tak ada cara lain, sedangkan hanya itulah satu-satunya usaha yang bisa digunakan untuk menenangkan situasi. Namun, aparat polisi harus berusaha untuk meminimalkan adanya ‘pertumpahan darah’. Karena dalam keadaan ini, para demonstran tersebut bisa disamakan dengan shoil (orang yang menyerang). Polisi harus melawan dengan senjata yang paling ringan efek melukainya. Jika bisa ditolak menggunakan pentungan, maka tidak boleh menembaknya. (Fathul Mu’in, IV, 196)

Lalu bagaimana bila demo tersebut adalah “pesanan”?

Di balik demonstrasi, terkadang ada juga pihak-pihak tertentu yang “memesan” untuk menggerakkan aksi unjuk rasa. Mereka tak tanggung-tanggung membiayai serta memberi ‘sangu’ pada mereka para demonstran agar mau gembar-gembor berkata sesuai pesanannya. Apakah itu menentang, atau mendukung kebijakan tertentu. Pastinya pihak-pihak tersebut mempunyai ‘udang di balik batu’, maksud untuk mengalahkan lawan politik atau memang ingin memperkeruh suasana.

Bagaimana menyikapi persoalan ini?

Tujuan politik hanya semata-mata untuk menjatuhkan lawan, tentu adalah hal yang buruk. Kalau memang hanya untuk menjatuhkan, perbuatan semacam itu tidak diperbolehkan. Karena itu merupakan perbuatan yang mengacu pada kemaksiatan. Menerima “upah” tersebutpun tidak diperbolehkan, karena merupakan sebuah pilihan untuk membantu kemaksiatan tersebut. Kaidah fiqh berkata:

مَا حَرُمَ عَلَى الْآخِذِ أَخْذُهُ حَرُمَ عَلَى الْمُعْطِى إعْطَاؤُهُ

Apa yang haram atas pengambil mengambilnya, haram pula atas pemberi memberikannya. (al-Mantsur Fil Qawaid, III, 165)

Jadi, silahkan berunjuk rasa dengan tertib dan tidak merusak apa yang telah dibangun! [eLFa]

*Tulisan ini dimuat di buletin fiqh mingguan "EL-FAJR" edisi 26 minggu pertama April 2012. diterbitkan oleh Persatuan Santri Ma'had Qudsiyyah (PSMQ) periode 2011-2012