Selasa, 10 Desember 2013

Putusan MK Soal Anak di luar Perkawinan, Dibela atau Dicerca?

Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini memutuskan terobosan baru tentang status anak di luar perkawinan. Sebelumnya, status anak di luar perkawinan, menurut UU No. 1 tahun 1974, pasal 43 ayat (1) menyatakan, status anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, dan keluarga ibunya. Tetapi kemudian oleh MK pada hari Jumu’ah, 17 Februari 2012, memutuskan bahwa, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Ahmad Fadhil Sumadi, hakim konstitusi MK menyatakan, sangat tidak adil jika hukum membebaskan tanggung jawab ayah biologis dari anak yang dihasilkan di luar pernikahan. Menurutnya, secara ilmiah perempuan tidak mungkin hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa melalui hubungan seksual yang menimbulkan terjadinya pembuahan. Apalagi, sekarang ini dimungkinkan adanya pembuktian bahwa seorang anak merupakan anak pria tertentu, melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Keputusan dari MK ini, didasari oleh alasan kemaslahatan umum (al-mashlahah al-‘ammah) yaitu untuk melindungi nasib sang anak dan agar memberi efek jera pada lelaki hiudung belang, serta agar perzinaan tidak menyebar luas. Karena sebelumnya, anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, tidak ada hubungan secara perdata dengan ayah biologisnya, sehingga seringkali sang ayah biologis tidak mengakui anak tersebut dan menelantarkannya. Dengan keputusan ini sang lelaki tersebut (ayah biologis) harus bertanggung jawab terhadap nasib anak dan tidak boleh mengabaikannya.

Lalu seperti apa sudut pandang pandang fiqh?
Dalam keputusan MK tadi tertulis “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan”. Kata-kata ini masih sangatlah umum, karena anak yang dilahirkan di luar perkawinan (menurut hukum negara) itu bermacam-macam, mulai dari nikah yang tidak dicatat (nikah siri), perzinaaan dan sebagainya.

Mengenai masalah nikah siri, nikah yang tidak dicatatkan ke negara, mungkin tidak ada masalah. Ditinjau dari perspektif fiqh sah-sah saja, karena telah memenuhi syarat dan rukun nikah, yaitu sudah adanya wali, dua saksi, kedua mempelai, mahar dan ijab kabul. Intisabnya pun jelas, anak yang dihasilkan memiliki hubungan dengan ayahnya. Tapi yang menjadi persoalan adalah bagaimana dengan masalah anak hasil perzinaan?

Kalau kembali pada dasar hukumnya, intisab itu hanya bisa disebabkan oleh pernikahan. Karena, pernikahan itu adalah akad, bukan wathi (hubungan seksual). Maka, orang yang melahirkan anak di luar pernikahan (zina), intisab anaknya tidak bisa kepada ayah biologisnya (pemilik spermanya), tetapi kepada suami yang sah. Jika tidak bersuami, maka intisab anak kepada ibunya. Sedangkan nafkah anak tersebut ditanggung oleh yang orang diintisabi, yaitu bapak. Jika tidak ada maka ibu. Ini adalah pendapat empat madzhab termasuk juga pengikut Dawud Adz-Dzahiri. (I’anatut Thalibin, I, 146; Ushulus Sarkhasiy, I, 130; Hasyiyah Bujairimy ‘Alal Khatib, VI, 343 )

Mengenai hal ini, ada sebuah cerita yang terjadi pada zaman Rasulullah. Saat itu, seorang wanita yang masih memiliki suami yang sah melakukan perzinaan dengan lelaki lain. Ternyata, tanpa diduga sebelumnya, hasil perselingkuhan itu menghasilkan buah hati. Hingga akhirnya mereka saling merebutkan anak itu. Singkat cerita, akhirnya mereka membawa masalah ini kepada Rasulullah. Dan Rasulullah pun menjawab:

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ


Anak itu disebabkan karena pernikahan, sedangkan bagi pezina adalah batu (rajam). (Shahih Bukhari, XIII, 200)

Hadits ini dengan sharih mengatakan bahwa anak hasil zina itu intisab pada bapak dari perkawinan sah. Sedangkan untuk yang berzina adalah rajam (jika sudah punya pasangan) atau jilid (jika belum punya pasangan). Karena itu, keluarlah syari’at hifdzun nasl (menjaga keturunan) yang di dalamnya ada syari’at nikah dan keharaman zina. Yaitu untuk menjaga nasab agar tidak putus dengan ayahnya. (Hasyiyah Bujairimy ‘Alal Khatib, VI, 343)

Kalau kita ikuti pendapat ini, bagaimana dengan nasib sang anak?
Memang benar, kalau kita ikuti pendapat ini, pastilah anak “hasil karya” mereka akan mudah terlantar karena hanya dalam tanggung jawab ibunya tidak dalam tanggung jawab ayah biologinya. Karena itu, untuk menghindari keterlantaran anak itu, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa anak yang dihasilkan dari perzinaan itu bisa intisab kepada ayah biologisnya. Pendapat tersebut diusung oleh Imam Hanafi berdasarkan logika bahwa hakikat anak itu adalah dari sperma ayah biologisnya. Yang menumpahkan ‘air’, berarti dia yang bertanggung jawab. Bagaimana bisa seorang ayah tidak mempunyai hubungan, sedangkan anak berasal dari spermanya? Beberapa ulama juga ada yang berpendapat sama dengan pendapat ini, di antaranya ialah Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Hasan Bashriy.

Banyak lagi argumen yang membantu pandapat ini. Di antaranya adalah mengqiyaskan ayah kepada ibu. Sebab anak adalah buah karya dari perzinaan mereka berdua, yang mana bapak adalah salah satunya. Anak dinasabkan pada ibu karena ibulah yang melahirkan, tentu saja anak harus bernasab pada bapak karena bapak juga melahirkan (spermanya).

Juga untuk menutupi aib kedua pezina, memberi peluang pada mereka untuk bertaubat, anjuran pada mereka untuk menikah, dan menjaga identitas sang anak agar tidak ada ejekan bahwa ini adalah anak haram, anak zina, dan sebagainya. Karena haqqullah lebih baik disembunyikan. Dan jika tidak ada hukum seperti ini, maka akan timbul perzinaan di mana-mana. (Hukmu Nisbatil Maulud Ila Abihi Minal Madkhuli Bihaa Qoblal ‘Aqdi, I, 13)

Meskipun ada pendapat ini, namun perlu diingat, bahwa pendapat ini dimaksudkan sebagai langkah darurat untuk melindungi. Anak bisa bernasab ke ayah bilogisnya, tapi tidak secara mutlak seperti yang dilahirkan dari pernikahan sah. Ia tidak mendapat waris. (Fiqhul Islami, VIII, 431)

Kemudian, untuk menyikapi putusan MK yang diusung atas dasar al-mashlahah al-‘ammah yang bertolak belakang dengan nash hadits di atas, timbul suatu pertanyaan, manakah yang dimenangkan antara keduanya?

Dalam istilah fiqh, kepentingan umum adalah al-mashlahah al-‘ammah, ada 5 kriteria al-mashlahah al-‘ammah yang dipatok oleh para ulama. Pertama, al-mashlahah al-‘ammah adalah sesuatu yang manfaatnya dirasakan oleh seluruh atau sebagian besar masyarakat. Bukan oleh kelompok tertentu apalagi orang tertentu. Kedua, selaras dengan tujuan syari’at yang terangkum dalam al-kulliyyat al-khams. Tiga, manfaat yang dimaksud harus nyata (haqiqi) bukan sebatas perkiraan (wahmi). Keempat, tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Kelima, tidak boleh dilaksanakan dengan mengorbankan kepentingan orang lain yang sederajat, apalagi yang lebih besar. (Ushul Fiqh Al-Islamy, II, 1028; Dlawabitul Maslahah, 254; Ilmu Usul Fiqh Kholaf, 86; Usul Fiqh Abu Zahrah, 278; al-Mustashfa, I, 444)

Jadi, anak hasil perzinaan tidak bisa intisab kepada ayah biologisnya. Meskipun ada maslahat umum seperti keterangan di atas. Tidak pula bisa berintisab walau dengan pembuktian ilmu pengetahuan dan teknologi secanggih apapun, contohnya dengan menggunakan tes DNA (Deoxyrebose Nucleic Acid).

Jika mengikuti pendapat yang menyatakan anak zina bisa intisab kepada ayah biologis, terkadang akan memunculkan suatu problem, yaitu ketika bukan hanya satu lelaki yang menyumbangkan sperma, mana yang menjadi ayah? Tak jelas. Kemudian persoalan lain jika kita ikuti pendapat ini, maka bisa-bisa malah ayah biologis tersebut boleh dijadikan wali nikah yang akan memengaruhi keabsahan nikah, padahal tidak boleh.

Sekarang, jika kita mengikuti pendapat yang pertama (anak zina tidak bisa intisab), lalu bagaimana nasib si anak (hasil) zina tersebut?
Seperti telah disinggung di atas, anak zina berintisab kepada ibu kandungnya atau bisa juga berintisab kepada orang yang menikahi ibunya, dengan syarat adanya pengakuan dari orang tersebut. Dan si anak pun menjadi tanggung jawabnya, bisa mewaris, nafkah, dan lain-lain sebagaimana anaknya asli.

Syarat pengakuan dari si suami sah ini sangat penting, karena konsekwensi yang didapat jika tidak adanya pengakuan adalah beban anak ini bisa terlepas darinya, yaitu dengan cara si suami bersumpah li’an dengan mengucapkan, “Jika aku berdusta atas pengakuanku, maka aku akan dilaknati Allah”. Li’an ini akan menafikan hubungan nasabnya dengan anak itu, dan merembet ke nafkah dan waris. Li’an ini juga bisa diperkuat dengan bukti bahwa dia belum pernah berhubungan intim dengan istrinya, atau pernah tapi selang waktu antara hubungan intimnya dengan kelahiran anak tadi tidak kurang dari 6 bulan atau lebih dari 4 tahun. Ketentuan ini berdasarkan istiqro’ (penelitian) Imam Syafi’i yaitu angka minimalnya waktu hamil adalah enam bulan, sedangkan maksimalnya adalah empat tahun. Dan sumpah li’an juga akan berdampak putusnya ikatan perkawinan antara suami istri. Namun, sumpah li’an dalam kasus ini tidak menyebabkan haddul qodzaf. (Fathul Wahhab, II, 172; Rawai’ul Bayan, II, 76; Hasyiyatul Jamal, XIX, 110; Raudlatut Thalibin Wa ‘Umdatul Muftin, III, 224)

Kesimpulannya, seorang anak hanya bisa bernasab dengan pernikahan, dan bukan hanya dari hubungan intim saja, walaupun ada qoul yang berpendapat berbeda. Jadi, anak yang dilahirkan dari hasil zina, maupun yang ditentukan dari penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat bernasab kepada ayah biologisnya. “Dan janganlah dekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.”[eLFa]


*Tulisan ini dimuat di buletin fiqh mingguan "EL-FAJR" edisi 23 minggu kedua Maret 2012. diterbitkan oleh Persatuan Santri Ma'had Qudsiyyah (PSMQ) periode 2011-2012

Tidak ada komentar: