Kejujuran, seolah menjadi barang yang sangat langka dan mahal luar biasa
di negeri ini. Drama adegan “baku hantam” politik menjadi tontonan yang
tak kunjung usai. Tak hanya di ranah politik, bahkan pada sidang
pengadilan pun kepalsuan dan kebohongan seolah mewabah. Menyedihkan.
Soal Angelina Sondakh misalnya. Saat menjadi saksi dalam kasus Wisma
Atlet dengan terdaksa M Nazaruddin pada Rabu (15/2/2012) diragukan
kebenaran kesaksiannya dan diduga ia berbohong. Kesaksian Angie bertolak
belakang dengan kesaksian Mindo Rosalina (saksi pada sidang 16/1/2012).
Angie seolah “mencari aman” dalam kesaksian tersebut, sebab dalam kasus
yang sama ia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Kesaksian Angie yang diragukan, antara lain terlihat dalam kesaksian
Mindo yang mengatakan, “Benar itu isi percakapan Blackberry Messenger
(BBM) dengan Angelina Sondakh”. Tetapi kemudian dibantah Angie dengan
mengatakan, “Saya tidak menggunakan Blackberry sebelum akhir tahun 2010.
Itu bukan percakapan saya”. Pernyataan lainnya, Mindo mengungkapkan,
“Bu Angie menyebut ketua dan bos besar. Ketua adalah ketua Komisi X DPR
dan bos besar adalah AU”. Tetapi Angie menolak dengan mengatakan, “Tidak
pernah menyebut Anas Urbaningrum dalam BBM dengan Rosa (Mindo)”
(Kompas, Kamis/16 Februari 2012).
Ulasan ini bukan untuk menghakimi siapa yang berbohong dan siapa yang
bersalah. Biarlah pengadilan di negeri ini yang bertugas memutuskan
siapa yang berbohong dan siapa yang tidak. Siapa yang bersalah dan siapa
yang bebas. Di sini hanya akan mengurai bagaimana perspektif fiqh,
bila para saksi yang dinanti keterangan kejujurannya, justru memberikan
keterangan bohong dan palsu.
Saksi, dalam kitab salaf disebutkan, sebagai orang yang mengabarkan
suatu perkara atau hal menurut apa yang dilihat atau didengarnya.
Memberikan kesaksian sendiri, hukumnya fardhu kifayah bagi orang yang
benar-benar mengetahui kejadian perkara tersebut. (al-Majmu’, XX, 286)
Tak jauh dari definisi di atas, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Pasal 1
ayat 1menyatakan, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
Di dalam al-Qur’an terdapat keterangan perintah memberikan kesaksian, yakni:
وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil. (Q.S. al-Baqarah, 282)
Dalam tata cara Fiqh, tidak sembarang orang bisa menjadi saksi.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang agar bisa menjadi saksi
adalah, [1] Islam, orang kafir tidak boleh menjadi saksi, baik untuk
orang Islam atau orang kafir. [2] Aqil (berakal), maka orang gila tidak
boleh menjadi saksi. [3] Baligh, maka anak yang belum baligh (shoby)
tidak boleh menjadi saksi. [4] Hurriyyah (merdeka), maka seorang budak
tidak boleh menjadi saksi. [5] Adil, yaitu orang yang tidak melakukan
dosa besar, atau melakukan dosa kecil yang dilakukan secara rutin, maka
di sini tidak sah persaksian orang fasik yang notabenenya adalah
kebalikan dari adil. [6] Menjaga muru’ah (harga diri), sebab orang yang
tidak menjaga muru’ah berarti dia tidak punya sifat malu, dan orang yang
tidak punya sifat malu akan melakukan apa yang diinginkan sesuai dengan
kehendaknya. [7] Tidak punya kepentingan. Misalnya kesaksian anak pada
bapaknya atau sebaliknya, istri kepada suaminya, dan semacamnya, itu
berarti saksi mempunyai kepentingan untuk membebaskan terdakwa, maka
tidak diperbolehkan. [8] Mampu bicara, maka orang yang bisu tidak
diperbolehkan menjadi saksi, sekalipun bisa dipahami bahasa isyaratnya.
[9] Sadar, sepenuhnya mengetahui tindakan berdasar dengan kesadaran
akalnya. Maka orang yang tidak sadar atau setengah sadar tidak
diperbolehkan menjadi saksi. [10] Tidak idiot. Karena orang idiot tidak
diperbolehkan melakukan transaksi. (Hasyiyatul Bujairimy ‘Alal Khatib,
XIV, 68; I’anatut Thalibin, III, 312)
Saksi, boleh saja mengajukan diri ke pengadilan untuk mengutarakan
persaksiannya. Ia bisa juga dipanggil oleh pihak pengadilan untuk
dimintai persaksian. Namun, antara keduanya, yang lebih baik adalah
mengajukan diri sendiri ke pengadilan untuk menyampaikan persaksian. Hal
ini sesuai dengan Hadits Nabi:
ألا أخبركم بخير الشهداء ؟ الذي يؤدي شهادته قبل أن يسأل عنها
Maukah kalian aku beri tahu sebaik-baik saksi? Yaitu orang yang datang
memberi saksi sebelum diminta persaksiannya.(Mushonnaf Abdur Rozaq,
VIII, 364)
Terkait soal ini, Undang-Undang pasal 224 KUHP justru menyatakan, saksi
yang telah dipanggil ke suatu pengadilan tapi dia menolak, maka dia bisa
terkena pidana. Karena menjadi saksi dalam persidangan adalah kewajiban
warga Negara yang telah dipanggil secara sah.
Kembali kepada sorotan Islam, klasifikasi mengenai jumlah saksi minimal
berbeda antara satu masalah dengan masalah lain, [a] Rukyah Hilal yaitu
untuk mengetahui awal Ramadhan yang berhubungan dengan puasa wajib. Yang
dibutuhkan adalah satu orang laki-laki, tidak boleh perempuan atau
khuntsa. [b] Zina dan anal sex, yaitu empat saksi laki-laki yang
semuanya benar-benar melihat masuknya khasyafah ke dalam farji. [c]
Masalah mal (harta), seperti jual beli, sewa, hutang, pembebasan hutang,
wakaf, gadai, hiwalah, khiyar, dll. yaitu butuh dua laki-laki atau satu
laki-laki ditambah dua perempuan atau satu laki-laki dan sumpah. [d]
Tidak berhubungan dengan harta, seperti had orang yang minum khamr,
mencuri, dakwa zina. Juga semua perihal yang jelas bagi laki-laki
seperti nikah, rujuk, mati, talak, baligh, wakalah, syirkah, dll. yaitu
dua orang laki-laki, tidak boleh perempuan. [e] Semua yang jelas bagi
wanita, seperti kelahiran, haidl, radla’, keperawanan, kejandaan, yaitu
empat orang wanita atau satu orang laki-laki ditambah dua wanita atau
dua laki-laki. (Fathul Mu’in, IV, 313-317)
Lalu bagaimana dengan masalah kebohongan saksi?
Berbohong adalah penyakit kronis yang sedikit demi sedikit akan
menggerogoti nilai-nilai Islam. Banyak alasan yang melandasi seseorang
melakukan kebohongan. Salah satu motif penyebab melakukan kebohongan
adalah kapitalisme, seperti terekam dalam sabda Nabi saw:
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ يَقْتَطِعُ بِهَا مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ هُوَ
عَلَيْهَا فَاجِرٌ لَقِيَ اللَّهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ
Barang siapa yang bersumpah yang dengannya dia mengambil harta seorang
muslim,sedangkan sumpahnya adalah palsu maka ia akan menghadap Allah
dalam keadaan Dia murka kepadanya. (Shahih Bukhari, VIII, 172)
Berbohong juga termasuk dosa yang sampai-sampai ia adalah merupakan
salah satu dari tanda-tanda orang munafik. Nabi pernah berkata:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, apabila berkata dia dusta,
apabila berjanji dia mengingkari, dan apabila diberi amanat dia khianat.
(Shahih bukhari, I, 58).
Dalam al-Qur’an menyebutkan:
وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
Dan jauhilah perkataan bohong. (al-Hajj, 30)
Kita harus benar-benar menjauhi dosa yang satu ini. Terpeleset sedikit
saja bisa memasukkan kita ke dalam neraka. Karena lisan juga bisa
memprovokasi dosa-dosa yang lain seperti pertengkaran, permusuhan, dan
sebagainya yang bisa menuntun ke neraka. Karena itu, hendaklah kita
jauhi. Semua perkataan yang keluar dari lisan kita pasti tak luput dari
pena yang dipegang Malaikat Roqib dan ‘Atid. Dalam al-Qur’an disebutkan :
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir. (Q.S. Qof, 18)
Adapun hukuman yang berhak diterima oleh orang yang bersaksi palsu
adalah dita’zir. Ta’zir bisa berupa ditahan, dipukul, pencemaran nama
baik, atau sesuatu yang bisa membuatnya jera. (al-Majmu’ Syarhul
Muhadzab, XX, 232)
Namun, saksi palsu dapat dinyatakan sebagai saksi palsu apabila: dia
sendiri mengaku (iqrar) bahwa dirinya berbohong, atau adanya bukti bahwa
ia bohong, atau jelas sekali kebohongannya, seperti bersaksi kepada
seseorang yang melakukan zina, padahal orang yang didakwa itu pada waktu
yang dituturkannya sedang berada di tempat lain. (al-Majmu’, XX, 232).
Selain itu, bila sebelum bersaksi, orang tersebut disumpah dengan nama
Allah, dan kemudian memberikan keterangan yang tidak benar, maka saksi
tersebut melanggar sumpah dan dikenakan kafarat (tebusan). Yaitu memilih
antara memerdekakan budak, memberi makan sepuluh orang miskin tiap satu
orang satu mud, atau memberi pakaian kepada orang miskin. Jika tidak
sanggup memenuhi kaffarat yang tertera tadi, maka diwajibkan berpuasa
selama tiga hari. (I’anatut Thalibin, IV, 41)
Sementara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab IX tentang
sumpah palsu dan keterangan palsu pasal 242 ayat (1) disebutkan, Barang
siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi
keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan
yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah,
baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang
khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun. Sedang ayat (2) menyatakan, jika keterangan palsu di atas
sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau
tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
Bagi kita, janganlah sesekali berteman dengan kebohongan, sekecil
apapun. Karena mulai dari kebohongan kecil itulah, sedikit demi sedikit
lama-lama menjadi gunung yang memberatkan kita. [eLFa]
*Tulisan ini dimuat di buletin fiqh mingguan "EL-FAJR" edisi 22 minggu
pertama Maret 2012. diterbitkan oleh Persatuan Santri Ma'had Qudsiyyah
(PSMQ)
periode 2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar