Sudah jamak di kalangan kita, banyak acara yang bertaburan iming-iming
hadiah besar. Di televisi misalnya, banyak acara yang menyelenggaraannya
didukung dengan kuis melalui polling SMS. Semisal kontes menyanyi,
da’i, lawak, olahraga dan lain-lain. Acara ini juga menawarkan hadiah
yang menarik sehingga banyak masyarakat tergiur dengan hadiah-hadiah
tersebut. Cukup dengan mengirimkan SMS (Short Message Service), peluang
jadi jutawan sudah di ambang mata. Semakin banyak SMS yang dikirimkan
maka semakin besar peluang untuk jadi jutawan. Tapi sebaliknya, jika tak
jadi jutawan, banyak pulsa melayang. Cara yang ditawarakan dalam kuis
itupun cukup mudah, yaitu dengan mengirimkan SMS. Operator akan mengundi
nomor-nomor yang masuk, dan yang keluar itulah yang jadi pemenang dan
tak mustahil menjadi orang kaya mendadak.
Model kuis SMS pun bervariasi Ada model kuis SMS memberikan dukungan
kepada sang idola Biasanya cukup dengan mengetik nama idola yang sedang
bertarung dalam kontes menyanyi atau da’i. Kalu beruntung, nomor anda
akan keluar sebagai pemenang. Model lainnya, seperti dalam kuis dalam
olah raga. Model ini dengan cara mengacak semua nomor yang masuk,
kemudian nomor HP yang muncul akan dihubungi dan mendapatkan pertanyaan
dari pihak penyelenggara. Kalau jawabannya tepat akan diberi hadiah. Dan
masih ada juga model-model mekanisme kuis SMS berhadiah yang lain.
Lalu, bagaimana hukum kuis SMS jika dipandang dari kacamata fiqh?
Praktik semacam ini erat kaitannya dengan judi. Menurut Islam, judi
adalah permainan yang di dalamnya terdapat kebimbangan antara untung dan
rugi, sehingga membuat para audiensnya berharap-harap cemas. Dalam
kitab-kitab salaf, judi biasanya disebutkan dengan menggunakan kata
qimar atau maysir. Tapi antara qimar dan maysir tetap ada perbedaan yang
sangat tipis sekali. Berangkat dari Hadits “كل قمار ميسر”, bisa
difahami bahwa kata maysir lebih umum daripada kata qimar. Sehingga
dapat disimpulkan setiap qimar adalah maysir, tapi setiap maysir belum
tentu qimar. (Hasyiyatu al-Jamal, XXII, 269; Tafsir at-Thobari, IV, 323)
Beberapa ulama juga ada yang berpendapat bahwa maysir dan qimar itu
sama. Dan di sini kita anggap saja sama yaitu “judi”. (al-Majmu’ Syarah
Muhadzdzab, XX, 117)
Keharaman pada judi baru muncul ketika pada zaman nabi kita yaitu Nabi
Muhammad. Sedangkan pada nabi-nabi sebelumnya judi belum dilarang.
(al-Mabsuth, XIII, 52)
Al-Qur’an juga angkat bicara tentang masalah perjudian:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. (QS. al-Maidah, 90)
Ayat ini turun karena adanya perjudian yang dilakukan orang-orang Arab
Jahiliah zaman dahulu. Ada sepuluh orang pemain membeli seekor unta lalu
disembelih dan dijadikan 28 (dua puluh delapan) bagian. Kemudian
mengambil sepuluh lembar potongan kayu yang pada masing-masing lembar
ditulisi al-Fadzdz berisi 1 bagian, al-Tauam berisi 2 bagian, al-Raqiib
berisi 3 bagian, al-Hils berisi 4 bagian, al-Nafiis berisi 5 bagian,
al-Musbil berisi 6 bagian, al-Mu’alla berisi 7 bagian (jumlah 28
bagian), al-Maniih Nihil, al-Safiih Nihil dan al-Waghd Nihil. Lalu
lembaran kayu itu dikocok dan diambil oleh masing-masing pemain. Yang
mengambil Al-Maniih, Al-Safiih dan Al-Waghd adalah pihak yang kalah dan
harus membayar harga unta tersebut, sementara tujuh orang pemain lainnya
tidak berkewajiban apa-apa. Kemudian daging unta itu dibagi-bagikan
kepada fakir miskin. (Tafsir al-Maraghy, I, 139 – 140).
Semua yang mengandung taruhan itu termasuk maysir, sehingga permaianan
anak-anak pun bisa masuk dalam kategorinya. Media yang banyak digunakan
sekarang seperti kartu, dadu, domino, kelereng, catur, dan sebagainya
oleh anak-anak ataupun orang dewasa. Menurut Imam Malik, judi dibedakan
menjadi dua macam : Pertama, maysirul lahwi yaitu perjudian dengan
menggunakan alat-alat seperti dadu, catur, alat musik dan lainnya.
Kedua, maysirul qimar yaitu perjudian yang mempunyai resiko-resiko
antara rugi-untung. (al-Jami’ Li al-Ahkami al-Qur’an Li al-Qurthuby, I,
632)
Adapun perlombaan yang digambarkan oleh syara’ dalam hal ini, seperti
yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab salaf, dibagi dalam dua jenis
model. Pertama, jika sumber hadiah perlombaan berasal dari salah satu
pihak (yang mengikuti lomba). Seperti ketika seseorang berkata pada
lawan tandingannya, “Jika kamu dapat menang atasku maka kamu mendapatkan
sesuatu dariku tetapi jika aku menang darimu, aku tidak mendapat apapun
darimu”. Dan secara singkat perlombaan ini bersifat dari salah satu
pihak yang berani mempertaruhkan sesuatu yang dimilikinya.
Kedua, jika sumber hadiah pemenang berasal dari pihak yang kalah seperti
ketika seseorang menantang lawannya dan berkata,”Jika aku menang maka
aku mendapatkan sesuatu darimu dan jika kamu menang maka kamu mendapat
sesuatu dariku”. Proses semacam ini, hadiah dari kedua belah pihak,
hukumnya haram. Tapi model ini bisa jadi diperbolehkan dengan syarat
adanya muhallil (pihak netral yang menjadi penengah antara kedua belah
pihak). Disebut muhallil karena dia adalah penyebab halalnya perlombaan.
Muhallil sendiri, apabila menang mendapatkan hadiah yang berasal dari
kedua belah pihak, tetapi jika kalah maka ia tidak membayar uang (harta)
yang menjadi sumber hadiah. (al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab, XV, 150;
Nihayah al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj, XXVII, 309)
Muhallil juga disyaratkan harus memiliki kompetensi dalam bidang yang
diperlombakan. Jadi, jika muhallil diyakini pasti kalah maka hal itu
menjadikan perlombaan ini tetap tidak sah karena wujuduhu ka ‘adamihi
(wujudnya seperti tiadanya) dan keberadaanya tidak ada artinya. (Ibaanah
al-Ahkam, III, 184)
Ada sebuah hadits yang berbunyi :
مَنْ أَدْخَلَ فَرَسًا بَيْنَ فَرَسَيْنِ وَهُوَ آمِنٌ أَنْ يَسْبِقَ
فَهُوَ قِمَارٌ ، وَمَنْ أَدْخَلَ فَرَسًا بَيْنَ فَرَسَيْنِ وَهُوَ لَا
يَأْمَنُ أَنْ يَسْبِقَ فَلَيْسَ بِقِمَارٍ
Barang siapa yang memasukkan seekor kuda di antara dua kuda dan dia
merasa aman untuk menang, maka itu judi. Barang siapa yang memasukkan
seekor kuda di antara dua kuda dan dia merasa tidak aman untuk menang,
maka itu judi.
Di hadits ini, seorang muhallil (orang yang masuk antara dua orang yang
berlomba), jika ia merasa aman, artinya tidak ada usaha untuk meraih
juara (yakin kalah), maka termasuk judi. Tapi jika memungkinkan untuk
menang, maka tidak judi. (Fatawy al-Kubra, VII, 17)
Lalu bagaimana dengan SMS berhadiah yang sekarang marak terjadi? Bisakah dianggap sebagai judi?
SMS berhadiah, kadang bertarif normal, kadang juga bertarif premium
(premium call). Jika tarif SMS-nya normal, jelas tidak mungkin ada judi.
Karena tarif itu adalah biaya kirim SMS, bukan masuk ke penyelenggara.
Tapi jika tarifnya premium, bisa jadi termasuk judi, karena kelebihan
biaya pengiriman tadi dikirim ke penyelenggara untuk dikumpulkan sebagai
modal pembelian hadiah. Premium Call adalah Layanan Informasi yang
disediakan oleh Penyedia Jasa Informasi kepada pemanggil sebagai
pengguna jasa, dimana biaya pemakaian pulsa premium seluruhnya
dibebankan kepada pemanggil. Manfaatnya, bagi masyarakat mendapatkan
jasa informasi yang dibutuhan seperti konsultasi kesehatan,
infotainment, Party line, dll. Bagi service provider (penyelenggara)
memperoleh pembagian pendapatan pulsa atas layanan informasi yang
disediakan.
Bisa jadi juga tarif premium ini tidak temasuk judi, semisal tarif
premium yang masuk ke penyelenggara digunakan untuk biaya administrasi.
Dan hadiahnya bersumber dari sponsor atau penyelenggara, bukan berasal
dari seluruh audiens. Atau, jika ada muhallilnya yang ikut
berpartisipasi dalam kuis itu tanpa harus membayar sepeser pun kecuali
biaya operasional. Tapi, penyelenggara mengadakan muhallil rasanya tidak
mungkin.
Namun pada akhirnya, alangkah lebih baik jika kita tidak ikut-ikutan
kuis berhadiah itu. Alasan utamanya adalah karena tidak adanya
transparansi atau kejelasan dari penyelenggara mengenai sumber hadiah
dan ada atau tidaknya muhallil yang bisa menghalalkannya. [eLFa]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar