Rabu, 18 Desember 2013

Penyadapan Menurut Pandangan Fiqh

Akhir-akhir ini, penyadapan menjadi salah satu kunci keberhasilan membongkar sebuah kasus, terutama kasus korupsi. Bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),  penyadapan dalam hal tindak pidana korupsi, khususnya dengan delik suap, merupakan front-gate untuk membuka tabir bentuk perbuatan korupsi, seperti halnya penyalahgunaan wewenang dari aparatur negara atau pejabat publik. Kasus penyadapan telepon terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana memang beberapa kali diungkap ke publik. Sebut saja kasus yang menyeret Artalyta Suryani yang menyuap Jaksa Urip Tri Gunawan atas dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus BLBI oleh Kejaksaan Agung (Kejakgung). Belum lagi bagaimana dari hasil penyadapan telepon yang dilakukan, KPK berhasil membongkar kasus suap yang dilakukan beberapa angota DPR, seperti Al Amin Nasution, Bulyan Royan, dan sebagainya.

Berpijak dari deskripsi persoalan di atas, Bagaimana tanggapan fiqh menyikapi tentang penyadapan telepon tersebut? Bagimana pula jika hasil penyadapan itu disebarluaskan ke publik?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sadap diartikan sebagai mendengarkan, merekam informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya. Dalam istilah fiqih ada istilah yang mirip dengan penyadapan yaitu istima’ yang artinya mencuri dengar perkataan orang lain. Istima’ hukum asalnya adalah haram. Dalam sebuah hadist, Rasulullah bersabda:
من استمع الى حديث قوم وهم له كارهون صبّ في اذنيه الانك
Barang siapa mencuri dengar pembicaraan sekelompok orang, sementara mereka tidak suka pembicaraannya didengar, niscaya dua telinga orang (yang mencuri dengar) tadi akan dituangi dengan timah yang meleleh”.(Faidhul Qodir, VI, 59).

Dalam hadist ini, secara umum Rasulullah melarang perbuatan istima’, terlepas dari motif yang melatar belakanginya. Oleh karena itu, sangat cocok dengan pernyataan di atas bahwa hukum asal istima’ adalah haram.

Kemudian, hukum istima’ terperinci lagi tergantung pada motif yang melatarinya.Ada beberapa penjelasan. Pertama, penyadapan telepon dengan motif amar ma’ruf nahi munkar dan untuk mendidik. Penyadapan telepon dengan motif seperti ini, akan berpengaruh kepada hukum istima’ yang diharamkan. Istima’ di sini menjadi boleh karena motif tersebut. Dasarnya adalah saddud dzari’ah, menutup jalan yang mengakibatkan pada kerusakan.

Kedua, motif jahat. istima’ dengan motif kejahatan adalah haram hukumnya. Oleh karena itu, penyadapan telepon oleh orang dengan maksud busuk adalah haram.
Dua motif di atas didasarkan pada pertimbangan tujuan. Jika tujuannya baik dan membawa maslahah, istima’ diperbolehkan bahkan bisa menjadi sunnah atau wajib. Sebaliknya, jika maksud dan tujuan istima’ jelek dan selalu mengakibatkan mafsadah, maka istima’ hukumnya haram. (Sirojul Munir, III, 329; Azzawajir ‘an Iqtirafi al-Kabair, III, 164).

Ini sesuai dengan firman Allah yang telah difirmankan dalam Al-Qur’an yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu ber-tajassus (mencari cari kesalahan orang lain”. (QS. Al-Hujarat, 12).

Dalam ayat di atas, dapat kita tarik pengertian bahwa tajassus yang menurut sebagian ulama’ disamakan dengan tahassus berarti mencari-cari aib orang lain sekaligus membeberkan rahasia aib tersebut. (Is’adur Rafiq, 96; Al-Bahrul Muhit, VIII, 113).

Dari penjelasan di atas, bahwa motif tajassus selalu jelek. Padahal istima’ termasuk bagian dari tajassus, mencari cari aib orang lain. Karena itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa yang diharamkan adalah istima’ yang bermotif mafsadah (termasuk mencari aib orang lain). Bukan istima’ yang membawa maslahah.

Kembali pada topik permasalahan, kemudian bagaimana dengan penyadapan oleh KPK sekaligus kemudian meng-ekspose (menyebarluaskan pada khalayak umum lewat media massa)?
Kita perlu melihat dulu, motif di balik penyadapan oleh KPK tersebut. Bahwa motif KPK menyadap perbincangan sesorang adalah untuk kepentingan pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar disertai adanya gholabatuzh zhan (dugaan kuat) atas terjadinya tindakan korupsi disertai dengan sudah ada beberapa kejadian yang patut dicurigai. Melihat motif dan tujuan yang dilakukan KPK, penyadapan tersebut lebih mendekati bahkan termasuk ke dalam motif maslahah. Maka hukum menyadap (tajassus) dapat diperbolehkan. Bahkan ada yang berpendapat dengan tegas bahwa tajassus dalam kasus seperti al-lusus (korupsi) hukumnya diperbolehkan, bahkan bisa menjadi wajib jika tidak ada cara yang lain. (Asnal Mathalib Sharkhu Raudlatu ath-Thalib, XX, 313; at-Tahrir wa at-Tanwir, XIV, 27)

Dalam kacamata fiqh, ekspose, adalah sama dengan ghibah. Dipandang sama karena kedua hal ini karena masing-masing mengandung unsur memberitakan sesuatu hal. Tetapi sejatinya ada perbedaan karena memandang bahwa isi atau muatan ekspos lebih bersifat obyektif. Lain halnya dengan ghibah yang identik bernada negatif.

Ekspos sebagaimana ghibah pada dasarnya juga dilarang.  namun, tidak semua ghibah dilarang. Ada beberapa pengecualian dimana ghibah menjadi boleh. Diantaranya; Pertama, al-tadzallum, al-madzlum (orang yang didzalimi) yang menuturkan kejelekan orang yang mendzaliminya untuk menghilangkan kedzaliman itu. Kedua, al-isti’anah ‘ala taghyir al-munkar, menuturkan suatu kemungkaran dengan tujuan agar kemungkaran itu ditinggalkan. Ketiga, al-istifta, menuturkan aib seseorang kepada ahli hukum (mufti) untuk mengerti hukumannya. Keempat, menuturkan seseorang yang dengan terang terangan berbuat munkar. Kelima, untuk mewaspadakan umat agar tidak turut melakukan aib yang dighibahi. (Ihya’ Ulumuddin, III, 161-162; Iqna’, II, 127).

Kalau alur berfikir kita teruskan dan diperkuat dengan konteks pers di Indonesia yang menyatakan bahwa yang termasuk dalam kategori pertama (yang boleh diekspos) adalah pemberitaan tentang korupsi, kolusi, manipulasi, perampokan, pencurian, tindakan sewenang-wenang penguasa, monopoli dan berita seputar persoalan rakyat banyak, dan seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa korupsi juga merupakan suatu perbuatan yang munkar dan secara otomatis termasuk ke dalam ghibah yang diperbolehkan. Maka dari itu, hukum mengekspos tindakan korupsi ke dalam media massa hukumnya boleh. (Hawasyi as-Syarwani, IX, 219).

Dengan kata lain, menindak dan mengungkap kasus korupsi diperbolehkan bahkan diharuskan untuk dilaksanakan meskipun itu menyangkut privasi terhadap oknum-oknum tertentu. Karena tujuan (gharad) yang dimaksud adalah menegakkan keadilan dan memberikan contoh kepada masyarakat untuk selalu bersikap tegas terhadap segala bentuk penyelewengan. [eLFa]

BULETIN EL-FAJR MA’HAD QUDSIYYAH KUDUS, Edisi 36/15 Februari 2013

Tidak ada komentar: