Lebih dari sepuluh tahun Reformasi, bangsa ini belum mampu tuntas
memerangi KKN. Bahkan disinyalir semakin hari, penyakit yang merongrong
negeri ini kian tumbuh varian-varian serta model baru. Publik pasti
terus mendengar kasus korupsi yang menjerat pejabat publik negeri ini.
Belum tuntas satu kasus yang menerpa satu pejabat, muncul kasus lain,
muncul "gaya" baru dalam kasus tersebut.
Tak hanya korupsi, suap pun disinyalir terus bermetamorfosis dengan
sebutan-sebutan anyar. Apakah itu uang hibah, hadiah, bahkan uang
persahabatan. Untuk sebutan paling akhir ini, publik pasti masih
terngiang-ngiang ulah M Nazaruddin yang meninggalkan segepok uang dalam
amplop pada Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK), Janedjri M Gaffar. Tak mau
kesandung masalah, lembaga yang dipimpin Mahfud MD itupun langsung
mengembalikan uang tersebut kepada Nazaruddin.
Mahfudz menyatakan, uang tersebut bukan termasuk dari suap, tetapi masuk
dalam lingkup gratifikasi. Karena, pada saat itu Nazaruddin tidak punya
perkara/kasus apapun dengannya.
Hemm, lalu, bagaimana pandangan fiqh tentang hal ini ?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) gratifikasi ialah uang hadiah
kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Dalam konsep fiqh,
segala macam pemberian disebut ‘athiyah. Sedang ‘athiyah itu ada
beberapa macam, yakni shadaqah, hadiah, dan hibah.
Shadaqoh ialah pemberian yang bertujuan untuk mendapatkan pahala. Dalam
hal ini pemberian tersebut dimaksudkan untuk taqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah. Hadiah adalah pemberian yang dimaksudkan sebagai
penghormatan atau penghargaan atas prestasi seseorang. Baik bertujuan
untuk mendapatkan pahala atau tidak. Bisa juga penghormatan ini
dikarenakan penghormatan atas ilmu atau nasab yang dimilikinya.
Sedangkan Hibah adalah pemberian kepada seseorang tanpa tendensi
(tujuan) apapun. Jadi, hibah lebih umum dibandingkan dengan shadaqah dan
hadiah. Baik shadaqah maupun hadiah, keduanya termasuk dalam kategori
hibah, tapi tidak bisa diartikan sebaliknya. Adapun hukum semua
pemberian di atas adalah sunnah. (Raudlah al-Thalibin Wa Umdah
al-Muftin, IV, 132, Hasyiyah al-Jamal, XV, 60).
Namun begitu ternyata ada juga pemberian yang diharamkan yakni risywah
(suap). Risywah adalah menyerahkan sesuatu kepada seseorang -baik hakim
dan yang lain (pemegang keputusan)-, agar memberi sebuah keputusan atau
agar si penerima melakukan sesuatu secara tidak benar sesuai dengan
kehendak si pemberi demi kepentingan individu, kelompok, maupun golongan
lain.
Dalam hal ini, baik orang yang memberi suap maupun orang yang menerima suap hukumnya haram seperti dalam hadits,
لعن الله الراشي والمرتشي في الحكم . رواه ابن حبان وغيره وصححه
Allah melaknati orang yang meyuap dan yang disuap yang banyak terjadi pada masalah hukum
Beda lagi kasusnya, bila pemberian itu dimaksudkan agar si penerima
memberi keputusan secara adil dan benar, maka dalam hal hukumnya
dirinci. Bagi si pemberi diperbolehkan, tetapi bagi yang menerima
hukumnya haram. (Asna al-Mathallib, XXII, 203, Fatawa as-Subkiy, I,
604-605).
Kemudian gratifikasi termasuk dalam kategori apa?
Secara umum gratifikasi masuk dalam kategori hibah, karena dalam hibah
tidak ada maksud apapun di dalam pemberiannya. Akan tetapi bila
pemberian (hadiah) kepada hakim atau pemegang kekuasaan, maka hukumnya
dirinci. Dalam fiqh, pemegang kekuasaan sendiri terdiri dari 3 macam,
yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam konteks Indonesia,
legislatif adalah mereka wakil rakyat mulai dari DPRD II Kabupaten, DPRD
I Provinsi hingga DPR RI. Sedang eksekutif adalah Presiden, Menteri dan
para aparatur negara mulai dari desa/kelurahan hingga pusat. Dan ketiga
yudikatif yang dipegang oleh para hakim dalam memberikan keputusan
hukum. Jadi, dalam persoalan hadiah ini, tidak hanya terbatas pada para
hakim saja, tetapi menyangkut seluruh komponen pemegang kekuasaan, baik
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. (Al-Fiqh al Islamy wa Adillatuhu,
VIII, 6137)
Adapun hukum pemberian hadiah kepada pemegang kekuasaan adalah: Pertama,
pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seseorang yang
sedang mempunyai perkara, maka hal ini haram dikarenakan pemberian
tersebut dapat membuat condongnya hati (memiliki tendensi) sang hakim
kepada si pemberi.
Kedua, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seseorang
yang tidak mempunyai perkara, sedang biasanya orang tersebut tidak
pernah memberi (ketika sebelum menjadi hakim), maka hukumnya haram.
Tetapi dalam kitab al-Kifayah dirujuk dari kitab an Nihayah dan al
Basith, mengatakan bahwa hukumnya adalah makruh. Jika pemberian ini
diharamkan, berarti si penerima tidak berhak menerima pemberian
tersebut, sehingga ia harus mengembalikan kepada si pemberi, jika tidak
memungkinkan, maka pemberian tersebut diserahkan ke baitul mal (kas
Negara).
Ketiga, pemberian kepada hakim atau pemegang kekuasaan dari seorang yang
tidak memiliki perkara/kasus dan si pemberi memang biasa memberikan
sesuatu kepada hakim atau pemegang kekuasaan sebelum menjadi pejabat,
maka dalam hal ini hukumnya halal. Sedangkan hukum menerimanya adalah
makruh dan lebih baik menolak/tidak menerimanya. Atau bisa juga si
penerima menerimanya dan kemudian membalas pemberian tersebut, atau si
penerima menerimanya kemudian pemberian tersebut dimasukkan ke dalam
baitul mal, kas negara. (Asna al-Mathallib, XXII, 204)
Memang, semua pemberian itu rawan bila ditujukan bagi orang-orang yang
memiliki jabatan. Kalau tidak hati-hati maka akan terjebak dalam
kubangan risywah. Umar bin Abdul Aziz (W. 101 H), salah satu khalifah
yang adil di masa Umayyah, mempunyai sikap kehati-hatian dalam menerima
pemberian seseorang kepada dirinya. Dia bukannya tidak mau menerima
hadiah, tapi ia masih harus berpikir ada maksud lain tidak dalam
pemberian itu. Dia merasa ada yang tidak beres dalam pemberian tersebut.
Dan itulah yang dilarang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yaitu pemberian yang mempunyai kedudukan atau jabatan dengan tujuan agar
dia bisa membantu si pemberi, untuk mencapai hal-hal yang tidak halal
untuknya.
Umar bin Abdul Aziz dengan tegas berkata:
كانت الهدية في زمن رسول الله هدية واليوم رشوة
"Hadiah pada zaman Rasulullah masih (berfungsi) sebagai hadiah tapi pada saat ini (sudah berubah menjadi) suap."
Yang dimaksud hadiah di sini adalah hadiah kepada pejabat dan pegawai pemerintahan. (Shahih Bukhari, II, 916)
Maka menjadi logis kalau hadiah bagi pejabat sangatlah rawan. Karena
akan bisa dijadikan kesempatan untuk meraih tujuan tertentu. Masalah
gratifikasi ke pejabat sendiri sudah diatur dalam Undang-undang Tipikor
(Tindak Pidana Korupsi). Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Penyampaian laporan wajib dilakukan oleh penerima
gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal gratifikasi tersebut diterima. KPK dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan
gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. Pelaporan
gratifikasi ke KPK ini dilakukan dalam rangka menjaga martabat penerima
dan pemberi jika memang perolehan dan pemberian gratifikasi tidak
melanggar aturan hukum.
Akhirnya, sebagai rakyat, jangan terlalu mudah memberikan "hadiah"
apapun terhadap para pegawai atau pejabat negara, baik itu ketika
memiliki perkara atau tidak. Pelayanan serta tugas yang dijalankan para
pejabat sudah menjadi kewajiban mereka selaku abdi Negara.
Di sisi lain, bagi para pejabat sudah menjadi kewajibannya melaporkan
segala bentuk pemberian yang dialamatkan kepadanya kepada KPK. KPK akan
memutuskan apakah pemberian tersebut daopat menjadi milik pejabat
tersebut atau justru pemberian tersebut akan masuk dalam kas Negara.
Tetapi yang paling penting, baik dari rakyat maupun pejabat hendaknya
sama-sama menyadari bahaya adanya "pemberian" yang berlebih tersebut.
Hendaknya kedua belah pihak sama-sama menjaga diri dari godaan "setan"
tersebut.
Kesadaran ini akan lebih mengena bila para pejabat yang berwenang (baik
dalam penegakan hukum dan sebagainya) mendapat kepercayaan penuh dari
masyarakat. Tentu hal ini harus dimulai dari para pejabat untuk berbuat
adil, menegakkan hukum tanpa pandang bulu dan anti menerima "pemberian"
liar. Dengan sendirinya, rakyat akan segan dan bersama-sama memerangi
suap dengan berbagai macam variannya. [eLFa]
*Tulisan ini dimuat di buletin fiqh mingguan "EL-FAJR" edisi minggu pertama Juni 2011. diterbitkan oleh Persatuan Santri Ma'had Qudsiyyah (PSMQ)
periode 2011-2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar