Di tengah perkembangan dunia, fashion merupakan salah satu hal yang
terus berkembang dan terus update setiap saat. Satu mode belum layak
dianggap lawas, mode lain sudah muncul. Semakin banyak trend pakaian,
mulai dari yang islami sampai model bikini. Itu adalah upaya manusia
untuk mempercantik diri agar lezat dipandang. Bukan hanya kaum Hawa,
kaum Adam pun demikian.
Karena fashion, dengan style dan ukuran yang begitu beragam, orang
kadang memandangnya dengan sebutan sok nggaya dengan alasan mubadzir
atau israf. Ini salah satunya karena begitu banyaknya komponen yang
tersusun merupakan bahan paling unggul, bahkan dipenuhi dengan
pernik-pernik dan hiasan yang super. Namun di sisi lain, pakaian yang
indah dan bagus adalah sesuatu yang mendamaikan mata.
Hemmm, seperti apa sih Islam memandangnya? Apakah hal itu termasuk
mubadzir atau israf? Atau justru malah masuk dalam suatu amaliyah yang
baik dikarenakan dapat menenteramkan pandangan?
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid. Makan & minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.(al-A’raf,
31)
Ayat ini berbicara tentang memakai pakaian, makan, dan minum. Dan semua
hal ini ada hubungannya dan saling terkait dengan israf.
Israf didefinisikan dengan suatu sikap melebih-lebihkan dalam peggunaan
sesuatu yang sudah kiranya cukup dalam memenuhi kebutuhan. Sementara
mubadzir, adalah menggunakan sesuatu (barang) yang mana penggunaannya
tidak pada haknya. Bedanya, Israf lebih cenderung dilihat dari sisi
kuantitasnya (jumlahnya), sedangkan mubadzir dilihat dari sisi
penggunaannnya. Keduanya termasuk sifat yang dilarang agama dan masuk
kategori sifat madzmumah (tercela). Tetapi sifat madzmumah mubadzir
lebih besar daripada israf Hal ini karena israf itu salah dalam
jumlahnya, tapi benar dalam penggunaannya. Sedangkan mubadzir itu salah
dalam penggunaannya. Dan mungkin akan berimbas kerugian pada diri
sendiri ataupun orang lain. (Adabu ad-Dunya Wa ad-Din, I, 448)
Batasan mubadzir dan israf itu ada selama masih dalam haknya. Pada
konteks ini kita berbicara tentang style dalam pakaian. Selama pakaian
itu digunakan sebagaimana mestinya, maka tidak mubadzir. Selama pakaian
itu tidak melebihi kebutuhan, maka tidak israf. Seperti diberitakan
dalam Harian Jawa Pos (25 September 2011) ada pengantin yang memakai
gaun dengan panjang sampai 3 Kilometer. Tidakkah hal ini berlebihan???
Tetapi ada juga, penggunaan sedikit namun dianggap israf. Yaitu makan
makanan, minum minuman, atau memakai pakaian yang diharamkan Allah
Subhanahu Wa Ta’aala. Semua itu termasuk israf walau sedikit. Seperti
makan bangkai, minum arak, memakai barang ghasab, dan lain-lain. (Syarhu
an -Nail Wa Syifau al-’Alil-Ibadhiyah, XXXII, 436)
Sebaliknya, ada juga hal berlebihan yang tidak termasuk israf. Yaitu
berlebihan dalam hal kebaikan seperti sodaqoh, memerdekakan budak,
membangun masjid, madrasah, dan yang menyerupai, semua itu tidak
termasuk dalam kategori israf ataupun mubadzir. (Raudhatu at-Thalibin Wa
‘Umdatu al-Muftin, II, 51).
Imam Haramain dan Imam Ghozali berpendapat bahwa makan makanan lezat itu
termasuk mubadzir. Tapi mayoritas ulama justru berpendapat sebaliknya,
dikarenakan harta itu ada untuk dimanfaatkan dan dinikmati. Dan makanan
tercipta untuk dinikmati. Begitu pula berpakaian bagus, memperbanyak
budak dan bersenang-senang dengan budak itu, dan sebagainya. (Raudlatu
at-Thalibin Wa ‘Umdatu al-Muftin, II, 51, Syarhu al-Wajiz, X, 284)
Lalu bagaimana dengan tajammul (berhias / tampil menawan)?
Tajammul dianjurkan ketika akan menjalani shalat, karena hakikat shalat
adalah menghadap Sang Pencipta. Di mana kita harus bertata rapi ketika
akan bertemu dengan-Nya. Keterangan ini berangkat dari mafhum kalimah
‘inda kulli masjidin yang telah termaktub di ayat di atas. Lafal
‘masjidin’ di atas bersifat umum. Tidak hanya dalam sholat, lafal itu
bisa juga dikonotasikan dengan thawaf, dan thawaf itu khusus di Masjidil
Haram. Dan tidak juga termasuk tajammul, sesuatu yang menutupi aurat.
Karena itu termasuk perintah yang wajib dilakukan (pokok). (Tafsir
al-Bakhru al-Muhith, V, 335)
Dalam hadits Arbain dikatakan :
ان تعبد الله كانك تراه وان لم تكن تراه فانه يراك
Ketika kau beribadah (sholat) menyembah Allah, seakan-akan kau
melihat-Nya dan kalau tidak bisa melihat-Nya, seakan-akan kau
dilihat-Nya.
Selain itu, apakah kita tidak malu kepada Allah, jika berpenampilan
kurang pantas di hadapan-Nya. Sedangkan kalau kita pergi ke rumah calon
mertua saja berdandan sangat necis. Maka dari itu tajammul dianjurkan,
walaupun memang Allah pasti tahu apa yang berada berada dalam balik
pakaian.
Juga ada hadits:
ان الله تعالى يحب اذا انعم على عبده نعمه ان يرى اثرها عليه
Sesungguhnya Allah ketika memberi nikmat kepada hamba-Nya, senang jika
nikmat itu diperlihatkan.(Bahr al-Fawaid al-Musamma Bi Ma’ani al-Akhyar
Li al-Kilabadzi, I, 103)
Bahkan dalam suatu hikayat, Imam Abu Hanifah pernah memakai rida’ yang
harganya sangat mahal yaitu 400 dinar (1 dinar = ± 4,5 gram emas). Ini
merupakan bentuk beliau dalam menghargai nikmat. Dan beliau juga
memerintahkan kepada pengikutnya dan seraya berkata, “Sesungguhnya
manusia melihatmu dengan mata rahmat”. (Takmilah Hasyiyah Radd
al-Mukhtar, I, 346).
Ringkas cerita, agama memperbolehkan tajammul, ataupun israf, selama
masih dalam koridor-koridor seperti yang tersebut di atas. Jadi, para
pembaca silahkan ber-style ria tapi jangan lupa perhatikan juga
syari’atnya. Masih banyak kan busana muslim/muslimah yang cocok antara
kemajuan zaman dan agama. [eLFa]
*Tulisan ini dimuat di buletin fiqh mingguan "EL-FAJR" edisi minggu
pertama Oktober 2011. diterbitkan oleh Persatuan Santri Ma'had Qudsiyyah
(PSMQ)
periode 2011-2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar