Setiap orang pasti pernah merasakan dua hal, sehat dan sakit. Kedua hal
ini saling berkaitan, satu sama lain saling melengkapi. Karena tidak ada
orang yang bisa mengatakan dirinya sehat, jika dia tidak pernah
merasakan sakit, begitu pun sebaliknya. Karena itu setiap orang yang
merasa dirinya sakit, pasti akan berusaha agar kembali menjadi sehat.
Usaha inilah biasa disebut dengan ‘pengobatan’.
Pengobatan sudah ada sejak zaman dahulu, karena pengobatan merupakan
hasil dari observasi dan pengalaman manusia untuk mencari obat bagi
penyakit yang dideritanya. Dulu, pengobatan masih menggunakan cara dan
bahan alami, yaitu menggunakan alam sebagai obatnya. Namun, seiring
perkembangan zaman yang semakin canggih dan modern, pengobatan sudah
menggunakan proses dan cara yang lebih modern. Kemasan obat pun, kini
ada dalam berbagai bentuk. Mulai dari pil, puyer, kapsul, salep, dan
lain sebagainya.
Ada juga pengobatan dengan air kencing sebagai salah satu pengobatan
alternatif untuk menyembuhkan segala macam penyakit. Katanya, urin
memiliki kegunaan dapat dipakai sebagai obat luar untuk mencegah infeksi
dan diminum untuk meredakan sakit lambung dan usus.
Lalu, bagaimana Islam menanggapi hal ini?
Dalam al-Qur’an disebutkan:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku. (as-Syu’ara, 80)
“Setiap penyakit itu pasti ada obatnya”, itulah slogan yang paling cocok
dalam agama kita. Slogan ini bukannya tak berdasar, tapi justru malah
memiliki dasar yang kuat, yaitu hadis Nabi:
إِنَّ اللَّه أَنْزَلَ الدَّاء وَالدَّوَاءلِكُلِّ دَاء دَوَاء فَتَدَاوَوْا وَلَا تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, setiap ada penyakit
pasti ada obatnya maka berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan
barang haram. (Sunan Abi Dawud, X, 371)
Dalam disiplin ilmu Ushul Fiqh, setiap lafal yang diawali dengan lafal
‘kullu’ itu bersifat umum. Karena itu, dapat disimpulkan dari hadis
tersebut bahwa semua penyakit itu pasti ada obatnya, walaupun mungkin
masih belum ditemukan oleh ahli medis. (Lubbul Ushul, 70)
Mengenai hukum berobat sendiri, hukumnya adalah sunah bagi orang yang
sakit. Sedangkan bagi orang yang sehat, tidak dianjurkan melakukan
pengobatan karena jika obat tidak bereaksi dengan penyakit justru akan
membahayakan bagi si pengguna. (Faidlul Qodir, II, 273)
Ada banyak cara untuk melakukan pengobatan, tapi ada beberapa metode
yang diajarkan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita
para umatnya. Dari berbagai hadis, Rasulullah biasanya mempergunakan
metode bekam (hijamah) untuk pengobatan. Bahkan, Rasul pun pernah
mengatakan bahwa bekam adalah pengobatan paling ideal, karena bekam
berfungsi mengeluarkan penyakit-penyakit yang terdapat dalam darah
kotor.
Mungkin memang benar, ada beribu-ribu cara seseorang melakukan
pengobatan. Termasuk yang pernah disinggung di awal pembukaan tadi
yaitu menggunakan barang najis, apakah hal ini diperbolehkan?
Menurut hadis Sunan Abi Dawud di atas, bisa dipahami bahwa tidak boleh
berobat dengan barang haram, termasuk berobat menggunakan barang najis,
baik itu digunakan untuk obat luar ataupun dalam. Kecuali jika memang
tidak ditemukan obat lain yang suci yang bisa digunakan sebagai obat.
(I’anatut Thalibin, IV, 176)
Lalu bagaimana dengan hadits:
إن الله لم يجعل شفاء أمتي فيما حُرّم عليهم
Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagi umatku yang di dalamnya terdapat barang yang diharamkan.
Mungkin jika dilihat sekilas, timbul pertentangan antara hukum di atas
tadi dengan hadits tersebut, tetapi sebenarnya, dalam konteks hadis ini
yang dimaksud ma hurrima ‘alaihim adalah arak saja, karena arak bukanlah
obat melainkan penyakit. Walaupun dalam keadaan dhorurot, arak tetap
tidak boleh diminum, arak hanya diperbolehkan sebatas sebagai obat luar
saja. Jika sampai digunakan sebagai obat dalam, maka hukumnya mutlak
haram. Begitu pula racun, tidak boleh digunakan sebagai obat dalam,
hanya obat luar. (al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an Lil Qurthuby, I, 432¬;
Tanwirul Qulub, 390)
Mengenai hal ini, Nabi pernah berkata:
إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ
Sesungguhnya arak bukanlah obat, melainkan penyakit. (Shahih Muslim, X, 191)
Zaman sekarang, penggunaan barang najis sebagai obat merupakan hal yang
jarang. Karena sekarang, sudah ada banyak macam obat-obatan yang suci
dan jumlahnya pun sudah beratus-ratus bahkan sampai beribu-ribu di dunia
ini. Hal yang masih sering terjadi adalah karena mahalnya harga obat
yang suci, maka orang-orang yang miskin seringkali tidak mampu untuk
membelinya. Masih ada banyak setok obat yang suci, tetapi ganti si sakit
yang tidak mampu untuk membelinya karena faktor ekonomi, sedangkan yang
ia mampu hanyalah obat najis.
Bagaimana jika timbul masalah demikian?
Bila demikian halnya, maka jawabannya boleh, karena orang yang tidak
mampu untuk membeli obat tersebut masuk dalam kategori dhorurot. (Lubbul
Ushul, 8)
Ada sebuah kaidah fiqh yang berbunyi:
الضرورات تبيح المحظورات
Dhorurot memperbolehkan perkara-perkara yang dilarang.
Pengertian dhorurot sendiri adalah kondisi dimana jika tidak menggunakan
suatu yang diharamkan akan dikhawatirkan jatuh pada kebinasaan atau
mendekati kebinasaan. (Idlohul Qowaidil Fiqhiyyah, 43)
Jadi, kesimpulannya, pengobatan dengan menggunakan barang najis hukumnya
tidak boleh, kecuali dengan ketentuan-ketentuan seperti yang tersebut
di atas. Yakni, jika tidak ditemukan barang suci lain sebagai obat.
Sedangkan untuk barang najis berupa khamr dan racun, sama sekali tidak
boleh digunakan untuk obat dalam (diminum) meski dalam keadaan dharurat.
Khamr dan racun hanya diperbolehkan sebagai obat luar saja.
Sangat benar, sehat itu mahal harganya. Sehat adalah hal yang sangat
penting bagi makhluk hidup. Tapi bukan berarti kita harus melakukan cara
apapun untuk mendapatkan kesembuhan saat sakit. Hal yang diharamkan
agama tetap harus kita hindari. Selain itu, terkadang sakit justru
diperlukan, karena bisaanya orang yang dalam keadan sakit lebih banyak
ingat dan dekat kepada Allah ketimbang orang yang sehat.
Dan ingatlah, Allah memberikan nikmat sehat ini kepada kita semua secara
cuma-cuma, tanpa memungut biaya sepeser pun. Maka dari itu, jagalah dan
pergunakanlah nikmat Allah ini dengan sebaik-baiknya. [eLFa]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar