Kendati harga BBM tak jadi naik per 1 April 2012, masih banyak saja aksi
unjuk rasa di berbagai kalangan di negeri ini. Beribu tanggapan dari
berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, buruh, ormas, dan lain
sebagainya, bersatu padu untuk melakukan demonstrasi jauh-jauh hari
setelah pemerintah merencanakan adanya kenaikan BBM pada 1 April. Setiap
hari, aksi itu selalu menghiasi setiap lembar surat kabar, dan setiap
layar kaca televisi. Kontra ini menimbulkan dampak yang luar biasa.
Rusuh, ricuh, ribut, dan kacau, terlihat di beberapa tempat tertentu.
Protes ini, menuntut pemerintah agar berhenti menyengsarakan ‘wong
cilik’. Rakyat miskin seharusnya diberi tempat yang nyaman dan sejahtera
agar bisa hidup tersenyum di Negara Indonesia ini. Tidak diberi beban
yang berat dan diberatkan lagi. Beban ini tentu semakin menanjak bila
BBM jadi dinaikkan yang tentu saja diikuti kenaikan barang-barang
kebutuhan dan jasa lainnya.
Sementara versi pemerintah, demi menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), harga BBM harus segera dinaikkan, seiring dengan
laju kenaikan harga minyak mentah dunia. Jika tidak, kas negara akan
lebih banyak terserap untuk menyuplai subsidi BBM. Konsumsi BBM sendiri,
dalam hitung-hitungan pemerintah, banyak dilakukan oleh kalangan
menengah ke atas. Sehingga, subsidi yang semestinya dinikmati rakyat
kecil, justru banyak terserap ke yang lain. Pemerintah juga telah
menyiapkan skenario Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) untuk
konpensasi secara langsung kepada masyarakat miskin akibat kenaikan
harga BBM.
Kembali ke pokok persoalan, demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan
oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan,
tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. Dalam
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum, menyebutkan, demonstrasi merupakan salah satu
cara untuk menyampaikan aspirasi, selain pawai, rapat umum, dan mimbar
bebas. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan
berlandaskan pada asas musyawarah dan mufakat. Hal ini tertulis dalam
pasal 3.
Dalam bernegara, Islam juga mengajarkan asas musyawarah (as-syura).
Prinsip ini merupakan prinsip yang sangat dikedepankan oleh Islam. Dalam
al-Qur’an disebutkan:
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
(QS. Ali Imran, 159)
Dalam hal ini, kita bisa melihat sendiri dari diri Rasulullah yang
ketika menyusun strategi menghadapi perang, Rasulullah selalu
mengumpulkan para sahabat terlebih dahulu, kemudian dimintai pendapat.
Misalnya ketika memilih lokasi untuk pasukan beberapa saat sebelum
perang badar, Khubab ibnu al-Mundzir ibnu al-Jamuh yang memiliki
pandangan berbeda mengajukan pendapat, yang didahului dengan pertanyaan
apakah pendapat Nabi itu merupakan wahyu Allah (yang tidak bisa
ditentang) atau sebagai pendapat pribadi, “Apakah ini adalah dari Allah
ataukah pendapat Anda sendiri, strategi perang, dan tipu muslihat?”
Rasulullah menjawab, “Ini adalah pendapatku sendiri, strategi perang,
dan tipu muslihat.” (Uyunul Atsar, I, 332)
Jadi, demonstrasi merupakan salah satu tindak musyawarah menyampaikan
pendapat menyikapi tentang rencana atau keputusan pemerintah.
Demonstrasi merupakan salah satu etos warisan nilai-nilai Islam
Rasulullah yang relevan untuk digunakan dalam bernegara.
Lalu, hal-hal apa saja yang patut didemo?
Jika yang didemo adalah sebuah penyelewengan yang dilakukan oleh
pemerintah maka demonstrasi adalah bentuk dari amar ma’ruf nahi
munkar.Dan karena termasuk amar ma’ruf nahi munkar, maka hukumnya fardlu
kifayah. Coba tengok hadits Nabi:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ
أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
Barangsiapa yang melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah dengan
tangannya. Jika tidak bisa, maka dengan lisannya. Jika tidak bisa, maka
dengan hatinya, dan demikian itu ialah selemah-lemahnya iman. (Shahih
Muslim, I, 167)
Tapi ketika nahi munkar dihadapkan pada pemerintah, tidak semena-mena
menggunakan hadits ini. Penolakan terhadap pemerintah tidak boleh
berbentur fisik, harus dengan cara yang baik. (Ihya’ Ulumid Din, II,
177)
Lalu bagaimana dengan demonstrasi yang anarkis dengan merusak pagar, membakar mobil polisi, atau merusak pos polantas?
Langkah-langkah tersebut bukanlah jalan yang baik dan sehat. Semuanya
merugikan pihak lain. Maka dengan tegas fiqh menetapkan bahwa hukumnya
haram. Menurut kaidah fiqh:
الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain.
Karena, jika bahaya dihilangkan dengan bahaya yang lain, maka sama saja
tidak menghilangkan bahaya. Padahal, kaidah pokoknya adalah, “Bahaya itu
harus dihilangkan”. Ini merupakan perkataan ibnu as-Subuky. (al-Asybah
Wan Nadhair, I, 158)
Seharusnya, pengunjuk rasa menyampaikan aspirasinya dengan tertib dan
teratur. Bukannya malah dengan cara membuat kerusuhan yang menimbulkan
korban, atau merusak benda dan bangunan yang telah dibangun oleh Negara.
Apa yang harus dilakukan aparat kepolisian?
Jika memang para demonstran masih ngotot berbuat rusuh, maka para aparat
polisi dibenarkan untuk meredakan para demonstran dengan cara tegas.
Jika memang Negara terancam dan tak ada cara lain, sedangkan hanya
itulah satu-satunya usaha yang bisa digunakan untuk menenangkan situasi.
Namun, aparat polisi harus berusaha untuk meminimalkan adanya
‘pertumpahan darah’. Karena dalam keadaan ini, para demonstran tersebut
bisa disamakan dengan shoil (orang yang menyerang). Polisi harus melawan
dengan senjata yang paling ringan efek melukainya. Jika bisa ditolak
menggunakan pentungan, maka tidak boleh menembaknya. (Fathul Mu’in, IV,
196)
Lalu bagaimana bila demo tersebut adalah “pesanan”?
Di balik demonstrasi, terkadang ada juga pihak-pihak tertentu yang
“memesan” untuk menggerakkan aksi unjuk rasa. Mereka tak
tanggung-tanggung membiayai serta memberi ‘sangu’ pada mereka para
demonstran agar mau gembar-gembor berkata sesuai pesanannya. Apakah itu
menentang, atau mendukung kebijakan tertentu. Pastinya pihak-pihak
tersebut mempunyai ‘udang di balik batu’, maksud untuk mengalahkan lawan
politik atau memang ingin memperkeruh suasana.
Bagaimana menyikapi persoalan ini?
Tujuan politik hanya semata-mata untuk menjatuhkan lawan, tentu adalah
hal yang buruk. Kalau memang hanya untuk menjatuhkan, perbuatan semacam
itu tidak diperbolehkan. Karena itu merupakan perbuatan yang mengacu
pada kemaksiatan. Menerima “upah” tersebutpun tidak diperbolehkan,
karena merupakan sebuah pilihan untuk membantu kemaksiatan tersebut.
Kaidah fiqh berkata:
مَا حَرُمَ عَلَى الْآخِذِ أَخْذُهُ حَرُمَ عَلَى الْمُعْطِى إعْطَاؤُهُ
Apa yang haram atas pengambil mengambilnya, haram pula atas pemberi memberikannya. (al-Mantsur Fil Qawaid, III, 165)
Jadi, silahkan berunjuk rasa dengan tertib dan tidak merusak apa yang telah dibangun! [eLFa]
*Tulisan ini dimuat di buletin fiqh mingguan "EL-FAJR" edisi 26 minggu pertama April 2012. diterbitkan oleh Persatuan Santri Ma'had Qudsiyyah
(PSMQ)
periode 2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar