Selasa, 03 Desember 2013

Syariah, Perlukah Diformakan?



Oleh Muhammad Nashirulhaq (XI D)[1]
       Akhir-akhir ini masyarakat Kudus mulai banyak memperbincangkan Perda Syari’ah. Hal ini tak lepas dari adanya rancangan Perda mengenai penertiban hiburan malam di Kabupaten ini, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai Perda Syari’ah Islam (selanjutnya disebut Perda SI) karena di Kabupaten tetangga seperti daerah Pati, hiburan malam ini dilegalkan[2].
       Selain itu, sebelumnya pada tahun 2004, Kabupaten Kudus juga dianggap sudah memiliki Perda Syari'ah dengan Perda no.12 tahun 2004 tentang larangan Perdagangan miras. Tapi sebenarnya apakah Perda Syari'ah itu?
       Perda Syari’ah atau yang lebih tepat disebut Perda bernuansa syari’ah sebenarnya bukanlah suatu jenis perundang-undangan ter-sendiri. Istilah ini sendiri muncul sebagai tanggapan atas kemunculan Perda-Perda yang “disinyalir” dibuat berdasar syari’at Islam atau sesuai dengan hukum-hukun syari’at meskipun dalam faktanya tidak digunakan kata-kata syari’at dalam Perda tersebut.
       Sebelumnya, yang mungkin jadi pertanyaan adalah, “Apa pentingnya Negara yang dalam hal ini pemerintah Indonesia mengatur masalah keagamaan ?”
Menurut Prof. Dr. Nasaruddin Umar, hal ini tak bisa dilepaskan dari status Indonesia sebagai negara Pancasila, bukan negara sekuler ataupun agama. Pemisahan urusan negara dan urusan agama tidak otomatis menjadikan negara itu negara sekuler. Sebaliknya, keterlibatan negara didalam mengurus agama tidak otomatis pula menjadikan negara itu sebagai negara agama. Negara Republik Indonesia menempatkan substansi dan nilai-nilai agama di kehidupan bernegara, sebagaimana tercantum di dalam sila pertama Pancasila dan di dalam alenia-alenia Pembukaan UUD 1945.[3]
Latar belakang dari munculnya fenomena Perda syari’ah ini  sebenarnya adalah kemunculan UU No 22/1999 tentang otonomi daerah. UU tersebut menyerahkan setidaknya 11 kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.[4] Meskipun dalam UU itu dijelaskan ada lima bidang yang tetap menjadi wewenang pemerintah pusat,[5] antara lain urusan agama, tetapi dalam UU tersebut juga dinyatakan bahwa proses legislasi dalam bentuk Perda tidak lagi harus disahkan oleh pemerintah pusat, asal tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Belakangan, UU itu memang telah direvisi oleh UU No. 32/2004 yang menyatakan bahwa sebuah Perda harus mendapatkan pengesahan pusat atau bagi Perda di tingkat kabupaten harus mendapatkan pengesahan pemerintahan tingkat provinsi, kecuali tentu saja Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang diberikan kekhususan terutama lewat UU No. 11/2006 tentang pemerintahan Aceh[6]. Otonomi daerah tersebut sebenarnya tidak diberi wewenang untuk mengatur bidang peradilan dan agama. Tapi, realitanya Perda-Perda itu menyentuh persoalan agama dan quasi-peradilan.[7]

Substansi Perda SI
       Secara umum, isi Perda bernuansa syari’ah (kecuali di NAD) berkutat pada isu moralitas (seperti Perda anti pelacuran dan perzinahan ), ketrampilan beragama (seperti keharusan pandai baca tulis Al-Quran), pemungutan dana sosial dan pengelolaannya (seperti tentang pemungutan dan pengelolaan zakat, infaq, dan shodaqoh) dan yang berkaitan dengan tata cara berpakaian (seperti tentang pengaturan berbusana).[8] (Untuk beberapa contoh Perda bernuansa syari’ah bisa dilihat di halaman 6)
       Dari sekian Perda-Perda syari’ah atau bernuansa syari’ah itu, Perda yang berisi larangan atau penertiban minuman keras, pelacuran, dan perjudian merupakan Perda mainstream. Hanya saja, kandungan yang memuat ketiga isu tersebut sama sekali tidak mencerminkan syariah. Bentuk hukuman atau sanksi dalam Perda tersebut, misalnya, tidak sesuai dengan bentuk hukuman seperti yang diatur syariah, kecuali Bireun atau kabupaten lainnya di Aceh. Dilihat dari sisi ini, untuk Perda yang memuat 3 hal tersebut, penamaannya dengan Perda syari’ah tampaknya merupakan simplikasi, bahkan keliru. Hal ini sebagaimana dikatakan pula oleh Prof Dr. Jan Michiel Otto, Direktur van Vollernance Institute for Law, Governance, and Development, Universitas Leiden, Belanda. Baginya, sepanjang Perda yang disebut-sebut syariah itu mengandung larangan perjudian, pelacuran, dan minuman keras, sebetulnya tidak ada bedanya dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), karena 3 hal ini sudah diatur KUHP sejak pemerintahan Orde Baru.[9] Karenanya, Perda yang memuat 3 isu tersebut bisa saja dikatakan sebagai Perda penguatan KUHP dan bisa juga disebut Perda yang menjadikan living norm sebagai living law. Argumennya karena nilai-nilai lokal (adat) dan agama di masyarakat juga menganggap bahwa perbuatan judi, meminum minuman keras, dan prostitusi adalah perbuatan tercela secara moralitas adat dan agama.[10]
Namun, untuk Bireun dan juga kabupaten lainnya di Aceh, syariah Islam yang diterapkan sudah sampai pada tarap jinâyah/pidana Islam. Meski demikian, pidana Islam yang diterapkan di Aceh masih terbatas pada aspek tertentu saja yang umumnya berbasis ta’zir (hukuman yang ditentukan oleh ijtihâd hakim), bukan hudud (yang ditentukan langsung oleh al-Qur’an atau hadits secara harfiah). Yaitu: (1) Lewat Qanun No. 13/2003, Aceh telah menerapkan larangan maisir (perjudian) yang pelakunya diancam hukuman cambuk minimal enam kali dan maksimal dua belas kali. Pelanggaran yang dilakukan institusi diancam denda minimal 12 juta rupiah, maksimal 35 juta rupiah. (2) lewat Qanun No. 14/2003 Aceh telah menerapkan larangan khalwat/mesum (laki-laki dan perempuan dewasa berdua-duaan di tempat sepi dengan melakukan tindakan yang mengarah pada zina). Berdasrkan Perda ini pelakunya dikenai hukum cambuk minimal tiga kali, maksimal 9 kali dan/atau denda minimal 2,5 juta rupiah dan maksimal 10 juta rupiah. Dan (3) lewat Qanun No. 12/2003, Aceh juga telah menerapkan larangan minuman keras dan pelakunya diancam hukuman cambuk empat puluh kali sesuai syari’ah tradisional. Secara perundangan, berlakunya sebagian hukum pidana syari’ah tertentu ini dimungkinkan, karena dilindungi Undang-Undang (UU) No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh pasal 3 dan 4, UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Aceh, dan dan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Gagasan Formalisasi Syari’ah.
Sudah jamak kita ketahui, bahwa merancang dan mengesahkan Perda bernuansa syari’ah merupakan sebuah upaya memformalkan syari’at Islam. Sementara itu, tidak semua pihak setuju dengan adanya hal ini. Secara umum dapat diklasifikasi beberapa kelompok dalam tanggapannya mengenai hubungan Negara dan agama, terutama dalam konteks formalisasi hukum Islam.
Pertama, kelompok yang menghendaki hukum Islam sebagai kultur masyarakat Indonesia untuk mengatur pemeluknya. Kelompok ini didukung para ulama tradisional yang berafiliasi pada paham ideologi politik konservatisme-tradisional dan berpengaruh besar terhadap akar rumput (grass root). Kelompok ini berpandangan bahwa agama dan negara tidak terpisah serta Islam merupakan agama yang lengkap. Mereka menyatakan bahwa “Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan”. Islam diyakini sebagai agama yang kāffah meliputi dīn, agama; dunya, dunia; dan dawlah, negara[11].
Menurut Bapak Mudzakir, M. Ag yang kami wawancarai, kelompok ini hanya ingin mengintegrasikan dan meng-internalisasikan nilai-nilai Islam kedalam kehidupan sehari-hari dengan cara kedamaian dan perlahan. Tetapi yang kemudian menjadi kekurangan kelompok ini, mereka cenderung permisif terhadap persoalan besar Negara, seperti korupsi, suap, dan lainnya. Mereka hanya mengecap dan menceramahi para koruptor misalnya, dengan dalil-dalil agama tanpa ada tidakan yang lebih nyata. Hal ini tak lain karena ideologi kelompok ini yang konservatif-tradisionalis, sehingga mereka tidak mau terlibat aktif dalam percaturan politik secara langsung.
Kedua, kelompok moderat-konstitusional yang menginginkan adanya kesatuan dan keseragaman hukum. Agama merupakan salah satu sumber hukum dalam pembentukan hukum nasional[12]. Paradigma berpikir kelompok ini adalah menjaga hubungan yang seimbang antara syari’ah dan negara. Pada kondisi tertentu perlu dilakukan formalisasi hukum Islam dalam perundang-undangan negara, pada saat yang lain Islam diposisikan sebagai sumber etika-moral.
Ketiga, kelompok liberal-sekularistik yang tidak menginginkan berlakunya hukum Islam secara terlembaga dan bahkan ada kecenderungan menyingkirkan hukum Islam. Kelompok ini dimotori oleh orang-orang Islam yang memiliki paham nasionalis-sekuler dan didukung oleh orang-orang non-muslim[13].
Kemudian yang keempat adalah kelompok fundamentalis-skriptualis dengan gerakan purifikasi dan reformasi yang awal mulanya dimotori oleh kaum Padri di Tanah Minangkabau dengan jargon “gerakan kembali ke syari’at”.[14] Mereka berusaha membasmi praktik-praktik keagamaan yang dianggap bid’ah, khurafat dan bertentangan dengan Islam. “Praktik-praktik semacam itu harus diluruskan, atau bahkan jika diperlukan, harus diperangi dengan jalan kekerasan”.[15] Bersama dengan keloimpok lain yang sealiran, berusaha mendirikan negara Islam “Khilafah Islamiyyah” dengan syari’ah Islam sebagai hukum positifnya.
 Kebanyakan dari mereka, menggunakan dalil Surat al-Maidah ayat 14 :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُون
Barang siapa memutuskan hukum tidak bedasarkan hukum Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”.
      
Bagaimana Dengan Kudus?
         Dari hasil wawancara kami dengan Bapak Ali Ihsan S, Ag., salah seorang anggota komisi A DPRD Kudus, Kabupaten Kudus sebenarnya tidak bermaksud menerapkan Perda Syari'ah bagi penduduknya. Aturan-aturan yang dianggap sebagai Perda Syari'ah sepertai larangan hiburan malam dan larangan miras dibuat berdasarkan nilai-nilai moral dan adat masyarakat Kudus sendiri. Selain itu, sebenarnya seluruh agama memang mengharamkan hal-hal yang tidak baik dan "menjijikkan" tersebut. Dan tentu saja hal ini sesuai dengan semangat-semangat nasionalisme.
       Selain itu –dalam kapasitasnya sebagai warga nahdliyyin-, beliau juga menyatakan bahwa, sebenarnya prinsip-prinsip ini -dalam arti tidak mengatasnamakan agama tertentu dalam suatu hal yang mengakibat-kan kecemburuan agama lain- sudah lama ditanamkan oleh para founding father NU. Yaitu melalui prinsip tasamuh, tawazun, dan sebagainya.
       Oleh sebab itu, beliau tidak ingin ikut-ikutan  dalam penerapan Perda syari’ah ini, dalam arti Perda Syari’ah yang memang jelas-jelas “Islami” seperti kewajiban berjilbab dan sebagainya.


[1] Tulisan ini dimuat di majalah tersebut, diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Qudsiyyah (PPQ) Kudus periode 2011/2012
[2] Hasil wawancara dengan Bapak Ali Ihsan S, Ag., salah seorang anggota komisi A DPRD Kudus.
[3] Nasaruddin Umar, makalah "Antara Negara & Agama Negara", bisa diakses di situs www.depag.go.id.
[4] Yaitu bidang pertanahan, pertanian, pendidikan dan kebudayaan, tenaga kerja, kesehatan, lingkungan, pekerjaan umum, transportasi, perdagangan dan industri, investasi modal, dan koperasi.  
[5] Bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, kebijakan moneter dan fiskal, serta agama
[6] Sukron Kamil, makalah "Perda Syari’ah Di Indonesia: Dampaknya terhadap Kebebasan Sipil dan Minoritas Non Muslim", Disampaikan dalam Diskusi Serial Islam dan HAM yang Diselengarakan Pusat Studi HAM UII di Hotel Santika Yogyakarta, Rabu 13 Agustus 2008, hal. 2.  
[7] Lihat: Mudzakir, makalah “Perda Bernuansa Syariah- Merespon Polemik Formalisasi Hukum Islam, 2011, hlm. 2.
[8] Lihat: Mudzakir, Ibid., hlm. 4.
[9] Koran Kompas, 16 Agustus 2007, h. 45
[10] Sukron Kamil, loc cit, hal.3
[11] M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), hlm. x
[12] Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, (london and New York: Routlegde, 1991), hlm. 63-64
[13]Abdul Halim,  Politik Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008), hlm. 8-10.
[14] http.//1.bp.blogspot.com, dikutip tg 30 Januari 2012
[15]KH. Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam – Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institut, 2009), hlm. 76-77

Tidak ada komentar: