Oleh Muhammad Nashirulhaq (XI D)[1]
Akhir-akhir ini masyarakat Kudus mulai banyak
memperbincangkan Perda Syari’ah. Hal ini tak lepas dari adanya rancangan Perda mengenai
penertiban hiburan malam di Kabupaten ini, yang oleh sebagian orang dianggap
sebagai Perda Syari’ah Islam (selanjutnya disebut Perda SI) karena di Kabupaten
tetangga seperti daerah Pati, hiburan malam ini dilegalkan[2].
Selain itu, sebelumnya pada
tahun 2004, Kabupaten Kudus juga dianggap sudah memiliki Perda Syari'ah dengan
Perda no.12 tahun 2004 tentang larangan Perdagangan miras. Tapi sebenarnya
apakah Perda Syari'ah itu?
Perda Syari’ah
atau yang lebih tepat disebut Perda bernuansa syari’ah sebenarnya bukanlah
suatu jenis perundang-undangan ter-sendiri. Istilah ini sendiri muncul sebagai
tanggapan atas kemunculan Perda-Perda yang “disinyalir” dibuat berdasar
syari’at Islam atau sesuai dengan hukum-hukun syari’at meskipun dalam faktanya
tidak digunakan kata-kata syari’at dalam Perda tersebut.
Sebelumnya, yang mungkin jadi pertanyaan
adalah, “Apa pentingnya Negara yang dalam hal ini pemerintah Indonesia mengatur
masalah keagamaan ?”
Menurut Prof. Dr. Nasaruddin Umar, hal ini tak bisa
dilepaskan dari status Indonesia sebagai negara Pancasila, bukan negara sekuler
ataupun agama. Pemisahan
urusan negara dan urusan agama tidak otomatis menjadikan negara itu negara
sekuler. Sebaliknya, keterlibatan negara didalam mengurus agama tidak otomatis
pula menjadikan negara itu sebagai negara agama. Negara Republik Indonesia
menempatkan substansi dan nilai-nilai agama di kehidupan bernegara, sebagaimana
tercantum di dalam sila pertama Pancasila dan di dalam alenia-alenia Pembukaan
UUD 1945.[3]
Latar belakang
dari munculnya fenomena Perda syari’ah ini sebenarnya adalah kemunculan UU No 22/1999 tentang otonomi daerah. UU
tersebut menyerahkan setidaknya 11 kewenangan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah.[4] Meskipun dalam UU itu dijelaskan
ada lima bidang yang tetap menjadi wewenang pemerintah pusat,[5] antara lain urusan agama, tetapi
dalam UU tersebut juga dinyatakan bahwa proses legislasi dalam bentuk Perda
tidak lagi harus disahkan oleh pemerintah pusat, asal tidak bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Belakangan, UU
itu memang telah direvisi oleh UU No. 32/2004 yang menyatakan bahwa sebuah Perda
harus mendapatkan pengesahan pusat atau bagi Perda di tingkat kabupaten harus
mendapatkan pengesahan pemerintahan tingkat provinsi, kecuali tentu saja
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang diberikan kekhususan terutama lewat UU No.
11/2006 tentang pemerintahan Aceh[6].
Otonomi daerah tersebut sebenarnya tidak diberi wewenang untuk mengatur bidang
peradilan dan agama. Tapi,
realitanya Perda-Perda itu menyentuh persoalan agama dan quasi-peradilan.[7]
Substansi Perda SI
Secara
umum, isi Perda bernuansa syari’ah (kecuali di NAD) berkutat pada isu moralitas
(seperti Perda anti pelacuran dan perzinahan ), ketrampilan beragama (seperti
keharusan pandai baca tulis Al-Quran), pemungutan dana sosial dan
pengelolaannya (seperti tentang pemungutan dan pengelolaan zakat, infaq, dan
shodaqoh) dan yang berkaitan dengan tata cara berpakaian (seperti tentang
pengaturan berbusana).[8] (Untuk
beberapa contoh Perda bernuansa syari’ah bisa dilihat di halaman 6)
Dari
sekian Perda-Perda syari’ah atau bernuansa syari’ah itu, Perda yang berisi
larangan atau penertiban minuman keras, pelacuran, dan perjudian merupakan Perda
mainstream. Hanya saja, kandungan yang memuat ketiga isu tersebut sama
sekali tidak mencerminkan syariah. Bentuk hukuman atau sanksi dalam Perda
tersebut, misalnya, tidak sesuai dengan bentuk hukuman seperti yang diatur
syariah, kecuali Bireun atau kabupaten lainnya di Aceh. Dilihat dari sisi ini,
untuk Perda yang memuat 3 hal tersebut, penamaannya dengan Perda syari’ah
tampaknya merupakan simplikasi, bahkan keliru. Hal ini sebagaimana dikatakan
pula oleh Prof Dr. Jan Michiel Otto, Direktur van Vollernance Institute for
Law, Governance, and Development, Universitas Leiden, Belanda. Baginya,
sepanjang Perda yang disebut-sebut syariah itu mengandung larangan perjudian,
pelacuran, dan minuman keras, sebetulnya tidak ada bedanya dengan KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana), karena 3 hal ini sudah diatur KUHP sejak
pemerintahan Orde Baru.[9]
Karenanya, Perda yang memuat 3 isu tersebut bisa saja dikatakan sebagai Perda
penguatan KUHP dan bisa juga disebut Perda yang menjadikan living norm sebagai
living law. Argumennya karena nilai-nilai lokal (adat) dan agama di
masyarakat juga menganggap bahwa perbuatan judi, meminum minuman keras, dan
prostitusi adalah perbuatan tercela secara moralitas adat dan agama.[10]
Namun,
untuk Bireun dan juga kabupaten lainnya di Aceh, syariah Islam yang diterapkan
sudah sampai pada tarap jinâyah/pidana Islam. Meski demikian, pidana
Islam yang diterapkan di Aceh masih terbatas pada aspek tertentu saja yang
umumnya berbasis ta’zir (hukuman yang ditentukan oleh ijtihâd hakim),
bukan hudud (yang ditentukan langsung oleh al-Qur’an atau hadits secara
harfiah). Yaitu: (1) Lewat Qanun No. 13/2003, Aceh telah menerapkan larangan maisir
(perjudian) yang pelakunya diancam hukuman cambuk minimal enam kali dan
maksimal dua belas kali. Pelanggaran yang dilakukan institusi diancam denda
minimal 12 juta rupiah, maksimal 35 juta rupiah. (2) lewat Qanun No. 14/2003
Aceh telah menerapkan larangan khalwat/mesum (laki-laki dan perempuan
dewasa berdua-duaan di tempat sepi dengan melakukan tindakan yang mengarah pada
zina). Berdasrkan Perda ini pelakunya dikenai hukum cambuk minimal tiga kali, maksimal
9 kali dan/atau denda minimal 2,5 juta rupiah dan maksimal 10 juta rupiah. Dan
(3) lewat Qanun No. 12/2003, Aceh juga telah menerapkan larangan minuman keras
dan pelakunya diancam hukuman cambuk empat puluh kali sesuai syari’ah
tradisional. Secara perundangan, berlakunya sebagian hukum pidana syari’ah
tertentu ini dimungkinkan, karena dilindungi Undang-Undang (UU) No. 44 tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh pasal 3 dan 4, UU No. 18 tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Aceh, dan dan UU No. 11/2006 tentang
Pemerintahan Aceh.
Gagasan Formalisasi Syari’ah.
Sudah
jamak kita ketahui, bahwa merancang dan mengesahkan Perda bernuansa syari’ah
merupakan sebuah upaya memformalkan syari’at Islam. Sementara itu, tidak semua
pihak setuju dengan adanya hal ini. Secara umum dapat diklasifikasi beberapa
kelompok dalam tanggapannya mengenai hubungan Negara dan agama, terutama dalam
konteks formalisasi hukum Islam.
Pertama, kelompok yang menghendaki
hukum Islam sebagai kultur masyarakat Indonesia untuk mengatur pemeluknya.
Kelompok ini didukung para ulama tradisional yang berafiliasi pada paham
ideologi politik konservatisme-tradisional dan berpengaruh besar terhadap akar
rumput (grass root). Kelompok ini
berpandangan bahwa agama dan negara tidak terpisah serta Islam merupakan agama
yang lengkap. Mereka menyatakan bahwa “Islam adalah sebuah totalitas yang padu
yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan”. Islam diyakini
sebagai agama yang kāffah meliputi dīn, agama; dunya, dunia; dan dawlah,
negara[11].
Menurut Bapak Mudzakir, M. Ag yang kami wawancarai,
kelompok ini hanya ingin mengintegrasikan dan meng-internalisasikan
nilai-nilai Islam kedalam kehidupan sehari-hari dengan cara kedamaian dan
perlahan. Tetapi yang kemudian menjadi kekurangan kelompok ini, mereka
cenderung permisif terhadap persoalan besar Negara, seperti korupsi, suap, dan
lainnya. Mereka hanya mengecap dan menceramahi para koruptor misalnya, dengan
dalil-dalil agama tanpa ada tidakan yang lebih nyata. Hal ini tak lain karena
ideologi kelompok ini yang konservatif-tradisionalis, sehingga mereka tidak mau
terlibat aktif dalam percaturan politik secara langsung.
Kedua, kelompok moderat-konstitusional
yang menginginkan adanya kesatuan dan keseragaman hukum. Agama merupakan salah
satu sumber hukum dalam pembentukan hukum nasional[12].
Paradigma berpikir kelompok ini adalah menjaga hubungan yang seimbang antara
syari’ah dan negara. Pada kondisi tertentu perlu dilakukan formalisasi hukum
Islam dalam perundang-undangan negara, pada saat yang lain Islam diposisikan
sebagai sumber etika-moral.
Ketiga, kelompok liberal-sekularistik
yang tidak menginginkan berlakunya hukum Islam secara terlembaga dan bahkan ada
kecenderungan menyingkirkan hukum
Islam. Kelompok ini dimotori oleh orang-orang Islam yang memiliki paham
nasionalis-sekuler dan didukung oleh orang-orang non-muslim[13].
Kemudian yang keempat adalah
kelompok fundamentalis-skriptualis dengan gerakan purifikasi dan reformasi yang
awal mulanya dimotori oleh kaum Padri di Tanah Minangkabau dengan jargon
“gerakan kembali ke syari’at”.[14] Mereka berusaha membasmi praktik-praktik keagamaan
yang dianggap bid’ah, khurafat dan bertentangan dengan Islam. “Praktik-praktik
semacam itu harus diluruskan, atau bahkan jika diperlukan, harus diperangi
dengan jalan kekerasan”.[15] Bersama dengan
keloimpok lain yang sealiran, berusaha mendirikan negara Islam “Khilafah Islamiyyah” dengan syari’ah Islam sebagai hukum
positifnya.
Kebanyakan dari mereka, menggunakan dalil
Surat al-Maidah ayat 14 :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُون
“Barang siapa memutuskan hukum tidak bedasarkan hukum
Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”.
Bagaimana Dengan Kudus?
Dari hasil
wawancara kami dengan Bapak Ali Ihsan S, Ag., salah
seorang anggota komisi A DPRD Kudus, Kabupaten Kudus sebenarnya tidak bermaksud
menerapkan Perda Syari'ah bagi penduduknya. Aturan-aturan yang dianggap sebagai
Perda Syari'ah sepertai larangan hiburan malam dan larangan miras dibuat
berdasarkan nilai-nilai moral dan adat masyarakat Kudus sendiri. Selain itu,
sebenarnya seluruh agama memang mengharamkan hal-hal yang tidak baik dan
"menjijikkan" tersebut. Dan tentu saja hal ini sesuai dengan
semangat-semangat nasionalisme.
Selain itu –dalam kapasitasnya
sebagai warga nahdliyyin-, beliau juga menyatakan bahwa, sebenarnya
prinsip-prinsip ini -dalam arti tidak mengatasnamakan agama tertentu dalam
suatu hal yang mengakibat-kan kecemburuan agama lain- sudah lama ditanamkan
oleh para founding father NU. Yaitu melalui prinsip tasamuh, tawazun,
dan sebagainya.
Oleh
sebab itu, beliau tidak ingin ikut-ikutan dalam penerapan Perda syari’ah ini, dalam arti
Perda Syari’ah yang memang jelas-jelas “Islami” seperti kewajiban berjilbab dan
sebagainya.
[1] Tulisan
ini dimuat di majalah tersebut, diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Qudsiyyah
(PPQ) Kudus periode 2011/2012
[2] Hasil
wawancara dengan Bapak Ali Ihsan S, Ag., salah seorang anggota komisi A DPRD
Kudus.
[4] Yaitu bidang pertanahan, pertanian, pendidikan dan
kebudayaan, tenaga kerja, kesehatan, lingkungan, pekerjaan umum, transportasi,
perdagangan dan industri, investasi modal, dan koperasi.
[5]
Bidang
politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, kebijakan moneter dan
fiskal, serta agama
[6]
Sukron
Kamil, makalah "Perda Syari’ah Di Indonesia: Dampaknya terhadap Kebebasan
Sipil dan Minoritas Non Muslim", Disampaikan dalam Diskusi Serial Islam
dan HAM yang Diselengarakan Pusat Studi HAM UII di Hotel Santika
Yogyakarta, Rabu 13 Agustus 2008, hal. 2.
[7] Lihat: Mudzakir, makalah “Perda Bernuansa Syariah-
Merespon
Polemik Formalisasi Hukum Islam”,
2011, hlm. 2.
[8]
Lihat: Mudzakir, Ibid.,
hlm. 4.
[9] Koran Kompas, 16 Agustus
2007, h. 45
[11] M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta:
Logos, 2001), hlm. x
[12] Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in
the Arab World, (london and New York: Routlegde, 1991), hlm. 63-64
[13]Abdul Halim, Politik Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008),
hlm. 8-10.
[15]KH. Abdurrahman Wahid
(ed), Ilusi Negara Islam – Ekspansi
Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institut,
2009), hlm. 76-77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar