Banyak peristiwa merenggut korban jiwa di negeri ini. Dari kasus
kerusuhan, kecelakaan, penyerangan tidak jelas, demonstrasi anarkistik,
dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa itu seolah terus menerus ada sejak
dulu. Yang terbaru dan menjadi perbincangan banyak orang adalah
peristiwa tabrakan pada Ahad, 22 Januari 2012. Mobil Daihatsu Xenia
yang disopiri Afriyani Susanti melaju kencang dan menghantam belasan
pejalan kaki di trotoar dan halte di Jalan M.I. Ridwan Rais, Gambir,
Jakarta Pusat. Akibatnya, sembilan orang tewas dan tiga terluka,
termasuk korban jiwa dari kecamatan Mayong, kabupaten Jepara. Lebih
heboh lagi, Afriyani menyetir mobil tersebut dalam keadaan mabuk akibat
mengkonsumsi narkoba.
Lalu bagaimana pandangan fiqh mengenai peristiwa yang merenggut korban nyawa ini, dapatkah dikategorikan sebagai pembunuhan?
Pada dasarnya, semua perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa
seseorang masuk dalam kategori qatl (pembunuhan), termasuk perbuatan
menabrak seseorang yang mengakibatkan kematian. Dalam Islam, membunuh
orang lain adalah perbuatan yang diharamkan Allah jika tidak disertai
alasan yang benar. Allah berfirman dalam surat al-Isra’ ayat 33:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. (QS. Al-Isra’, 33)
Dalam fiqh, dijelaskan bahwa qatl (pembunuhan) dibagi menjadi tiga.
Pertama, 'amdun mahdlun (murni sangaja) yaitu orang yang sengaja
menyerang pada orang tertentu dan menggunakan alat yang secara teori
bisa digunakan untuk membunuh. Kedua, Syibhu 'amdin (semi sengaja) yaitu
orang yang sengaja menyerang pada orang tertentu dan menggunakan alat
yang lazimnya tidak bisa membunuh. Seperti menggunakan tangan, kerikil,
dan pensil. Dan ketiga, khothoun mahdlun (murni kekeliruan) yaitu orang
yang tidak sengaja membunuh orang lain. Misalnya seseorang menembak
burung ternyata mengenai orang lain yang mengakibatkan kematian.
(Fathul Mu’in, IV, 125; Nihayatuz Zain, 339)
Hukum asli membunuh memanglah haram, namun ada juga membunuh yang
dibenarkan oleh syara’ yaitu sebagai hukuman (balasan) terhadap terhadap
orang yang zina muhshon (sudah mempunyai istri atau suami), orang yang
membunuh muslim secara sengaja, dan orang murtad. Namun hal itu tidak
boleh dilakukan sembarang orang dan harus menunggu keputusan hakim dan
dilakukan aparat pemerintah.
Nabi pernah berkata:
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ كُفْرٌ بَعْدَ
إِسْلَامٍ أَوْ زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ أَوْ قَتْلُ نَفْسٍ بِغَيْرِ
نَفْسٍ
Tidak halal darah seorang muslim kecuali sebab tiga perkara yaitu kafir
setelah Islam, zina muhshon, atau membunuh nyawa dengan tanpa haq.
(Sunan Abi Dawud, XII, 87)
Dalam masalah pembunuhan, dikenal juga istilah 'qishash', sebagai
hukuman atas perbuatan pelaku. Qishash adalah melakukan pembalasan
sesuai dengan apa yang dilakukan pelaku. (at-Ta'rifat, I, 56).
Qishash dalam pembunuhan hanya dapat diberlakukan untuk pembunuhan
'amdun mahdlun (murni sengaja). Juga ditambah lagi harus memenuhi empat
persyaratan yang telah dibeberkan fiqh, yaitu, pembunuh adalah orang
yang berakal, baligh, pembunuh bukan orang tua dari korban (orang yang
dibunuh), dan orang yang dibunuh derajatnya tidak lebih tinggi dari
orang yang membunuh. Artinya jika orang Islam membunuh orang kafir,
orang merdeka membunuh budak, maka tiada qishosh baginya. Tapi jika sama
derajatnya, seperti yang diterangkan dalam al-Qur'an al-Baqarah ayat
178, "…diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan
wanita dengan wanita... ", maka wajib qishash bagi si pembunuh.
(Kifayatul Akhyar, II, 159)
Untuk pembunuhan selain ‘amdun mahdlun yaitu syibhu ‘amdin dan khothoun
mahdlun, maka dikenakan diyat (denda). (Fathul Qarib, 53). Selain diyat,
bagi pelaku juga diwajibkan untuk membayar kafarat. Kafarat yang wajib
ditunaikan adalah memerdekakan budak perempuan muslimah. Apabila tidak
menemukan budak, maka puasa dua bulan berturut-turut. (Raudaltut
Thalibin, III, 416)
Allah dalam menurunkan hukum sesuatu tidak pernah asal-asalan, maka dari
itu qishash pun pastilah memiliki hikmah agung dari diberlakukannya.
Seperti yang tertera dalam surat al-Baqarah ayat 179, "Dan dalam qishash
itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu". Artinya, jika ada seorang
yang mau membunuh, dia akan tidak jadi membunuh, karena akan muncul
rasa takut dengan hukum qishash yang menantinya. Ini berarti qishash
menjamin keberlangsungan hidup dan bukannya malah melayangkan nyawa.
(Tafsir ibn Katsir, I, 492)
Ada sebuah masalah lagi mengenai qishash, sekarang bagaimana jika
terdapat satu orang yang dikeroyok sejumlah orang dan akhirnya
meninggal? Siapakah yang terkena hukum qishash?
Fiqh tak ketinggalan membahas hal itu. Fiqh menetapkan bahwa semua yang
yang ikut berpartisipasi dalam pembunuhan itu dikategorikan sebagai
qotil (pembunuh). Suatu cerita telah tersebar bahwasanya suatu ketika
Sayyidina Umar telah meng-qishash lima atau (dalam riwayat lain) tujuh
orang yang mana orang-orang tersebut telah membunuh satu orang. (Fathul
Mu’in, IV, 135)
Lalu bagaimana mengenai orang mabuk yang melakukan perbuatan yang menyebabkan kematian orang lain?
Jika kita pandang dari sisi pelaku. Orang yang tengah mabuk, walaupun
tidak dapat mengendalikan tubuhnya sendiri, tapi orang mabuk masih
dianggap sebagai seorang mukallaf. Karena sakron (orang yang mabuk)
ataupun orang yang mengonsumsi obat-obatan lainnya yang dapat
menghilangkan akal, masih terkena hukum taklif (terbebani hukum). Karena
dia sudah tahu kalau obat-obatan itu bisa menimbulkan efek yang
menyebabkan ia tidak dapat mengendalikan diri, kok masih dikonsumsi,
berarti di sinilah letak kesalahannya. Jadi, pelaku perbuatan ini dapat
dikenai hukuman qishash jika ia melakukan perbuatan tersebut dengan
sengaja (amdun mahdlun). (Raudlatut Tholibin Wa ‘Umdatul Muftin, III,
321; Hasyiyatul Jamal, XX, 256)
Lalu bagaimana nasib sang korban kecelakaan yang tengah meninggal? Dapatkah dikategorikan syahid?
Syahid digolongkan menjadi tiga macam. Pertama, syahid dunia akhirat,
ialah orang yang gugur dalam perang melawan orang-orang kafir demi
membela agama Islam. Kedua, syahid dunia ialah orang yang meninggal
dunia karena terkena musibah, seperti orang yang meninggal karena suatu
penyakit, tenggelam, terkena bencana, dan sebagainya. Dan yang terakhir
adalah syahid akhirat, yaitu orang yang gugur dalam perang sabilillah,
namun perangnya karena mengharap harta rampasan, dendam, atau riya.
Jadi, orang-orang yang tertabrak mobil (kecelakaan) dalam kasus di atas,
masuk dalam kategori syahid akhirat, karena kecelakaan tersebut
termasuk musibah bagi si korban. Maka dari itu, mereka masih dimandikan,
dikafani, dan dishalati sebagaimana mayit-mayit muslim yang lain.
(al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, V, 264)
Islam sangat menghargai nyawa manusia, dengan bukti adanya hukum
mengenai qishash, syahid, dan sebagainya, seperti yang telah disebut di
atas. Berhati-hatilah!.[eLFa]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar