“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”(QS. al-Insyirah, 5-6)
Badai pasti berlalu. Begitulah yang baru saja dialami oleh sebagian
pelajar di seluruh Indonesia. Seolah tulang rapuh mereka banting,
keringat mereka kucurkan, semua usaha mereka lakukan. Tak lain hanya
untuk meraih satu kata, lulus. Setelah kesulitan itu berlalu, maka
kegembiraan pun menyambut.
Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu beban terberat bagi pelajar.
Pasalnya, pendidikan yang ditempuh selama tiga tahun seolah hanya
ditentukan oleh ujian yang hanya dilakukan dalam beberapa hari. Agar
dapat melewati ujian dengan sukses, mereka pun menempuhnya dengan segala
macam cara, dari belajar tak kenal waktu, bahkan kadang sampai ada yang
membeli bocoran jawaban.
Akhirnya, jika tidak lulus, ada yang frustasi bahkan ada yang nekad
sampai bunuh diri. Tapi bagi mereka yang masih dibekali iman yang kuat,
mereka akan bersikukuh untuk bangkit menjadi manusia yang lebih kuat dan
tidak patah semangat. Di sisi lain, bagi mereka yang berhasil dan lulus
ujian, sebagian dari mereka melakukan amalan kebajikan dan menepati
nadzar. Akan tetapi, sebagian dari mereka ada juga yang melampiaskan
kegembiraannya dengan mengumbar nafsu dengan melakukan aksi corat-coret
baju bahkan berkonvoi liar di jalan raya. Mereka melakukan aksi ini
semata-mata untuk mengekspresikan kegembiraannya setelah lulus ujian.
Lantas, apakah tindakan ini dibenarkan? Bagaimanakah yang seharusnya mereka lakukan?
Kalau kita runut, lulus ujian merupakan suatu karunia besar dari Allah.
Betapa tidak, kelulusan ini ditempuh dengan susah payah selama
menghadapi ujian. Di lain pihak, orang-orang yang tidak lulus akan
merana dan frustasi. Oleh karena itu, kelulusan ini merupakan suatu
nikmat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang patut disyukuri. So,
bagaimana mensyukurinya?
Secara etimologi, syukur adalah berterima kasih pada Allah. Sedangkan
secara istilah (terminologi tasawuf), syukur adalah melaksanakan segala
perintah Allah dan menjauhi larangannya lahir batin, baik dalam bisikan
hati, ucapan lisan, maupun refleksi amaliyah badan. Maka, inti dari
syukur adalah adanya kesadaran bahwa semua nikmat yang ada pada dirinya
berasal dari Allah dan nikmat tersebut tidak digunakan kecuali dalam
rangka taat kepada-Nya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1115, Tafsir
Qurthubi, VII, l343)
Sedangkan menurut macamnya, bersyukur kepada Allah ada tiga bentuk:
pertama, syukur bil qalbi (dengan hati), yaitu mengakui dan menyadari
bahwa segala kenikmatan yang diperoleh berasal dari Allah. Ini akan
menghantarkan manusia pada rasa rela. Berapa pun nikmat yang diberikan
Allah, akan diterima apa adanya. Kedua, syukur bil lisan (dengan lisan),
yaitu mengucapkan ungkapan rasa syukur kepada Allah bahwa semua nikmat
yang diberikan adalah dari-Nya. Syukur bil lisan ini bisa ditunjukkan
salah satunya dengan mengucap Alhamdulillah (segala puji bagi Allah).
Ketiga, syukur bil jawarih (dengan amal perbuatan), ialah mengamalkan
anggota tubuh untuk hal-hal yang baik dan memanfaatkan nikmat itu sesuai
dengan ajaran agama, yaitu menggunakan nikmat sesuai dengan tujuan
penciptaannya (Tafsir ar-Razi, III, 21).
Kita pun dapat menilik firman Allah:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, maka Kami akan menambah nikmat padamu, dan jika kamu
mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”.(Q.S.
Ibrahim: 7)
Lalu bagaimana dengan mereka yang melakukan konvoi dan coret-coret?
Mengenai corat-coret seragam sekolah dengan cat semprot, spidol, dan
sebagainya, telah disinggung di atas bahwa syukur adalah
men-tasharuf-kan sesuatu sesuai dengan tujuan penciptaannya. Lantas,
apakah seragam ini dibuat untuk dicorat-coret? Apakah cat tersebut
dibuat untuk menyemprot seragam? Jawabnya pasti tidak. Seragam dibuat
untuk dipakai dalam keadaan bersih dari corat-coret, sedangkan cat
dibuat tidak untuk disemprotkan ke baju, tetapi kepada media lain. Jadi,
aksi ini bukanlah bentuk syukur sebab tidak menggunakan suatu hal yang
sesuai dengan tujuan penciptannya. Juga, perbuatan ini tentu tidak
dilakukan dalam rangka taat kepada Allah.
Bahkan, aksi corat-coret tersebut bisa masuk kategori mubazir. Menurut
Imam Syafi’i, mubazir adalah menggunakan harta benda kepada selain
haknya. Dalam Tafsir Ath-Thabari, disebutkan, mubazir ialah menggunakan
harta untuk berbuat maksiat kepada Allah, melakukan sesuatu yang bukan
haknya, atau membuat kerusakan. (al-Jami’ Li al-Ahkam al-Quran Lil
Qurthubi, I, 3262, Tafsir Ath-Thabari, XVII, 429).
Dalam Surat al-Isra’ ayat 27disebutkan :
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا (الاسراء: 27)
Artinya: Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu adalah ingkar kepada Tuhanya.
Dari ayat di atas, jelas-jelas mubazir itu dilarang oleh syara’.
Selanjutnya, bagaimana dengan konvoi di jalan raya? Dalam Kamus Besar
bahasa Indonesia dikatakan, konvoi diartikan iring-iringan kendaraan
dalam perjalanan yang sama. Dalam prakteknya, konvoi ini dilakukan
sampai memenuhi jalan dan bahkan dengan cara yang ugal-ugalan. Sehingga,
akan mengganggu jalan. Sementara, jalan yang seharusnya digunakan
kepentingan bersama, kini dibuat kacau oleh sekelompok orang yang hanya
dengan dalih mengekspresikan kegembiraannya.
Yang jelas, aksi konvoi ini tidak dapat dikategorikan dalam bentuk
ungkapan syukur. Lantaran perbuatan ini tidak masuk dalam kriteria
syukur, bahkan sebaliknya, aksi yang dapat membuat mudarat pada diri
sendiri atau merugikan orang lain, maka hal ini jelas dilarang oleh
syara’.
Lebih lanjut, Al-Qur'an memberikan petunjuk mengenai mengekspresikan
kegembiraan. Ada gembira yang terpuji dan gembira yang tercela.
Allah berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ الله وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ
Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, handaklah dengan itu mereka bergembira.” (Q.S. Yunus, 58)
Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bergembira ketika mendapat
karunia dan rahmat dari Allah. Bergembira yang dimaksud di sini ialah
merasa gembira lantaran mendapat limpahan karunia dari Allah. Jadi,
kegembiraan ini disandarkan kepada Allah. Inilah gembira yang terpuji.
Sehingga, kegembiraan ini diungkapkan dengan rasa syukur kepada Dzat
yang memberi karunia.
Sedangkan kegembiraan yang tercela ialah merasa gembira dan bangga atas
karunia tersebut tanpa merasa bahwa hal tersebut merupakan karunia dari
Allah, sehingga menjadikan orang tersebut takabbur dan melakukan hal-hal
yang tidak sesuai dengan ajaran syara’. Hal ini merupakan kegembiraan
yang tercela. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah:
وَإِذَآ أَذَقْنَا النَّاسَ رَحْمَةً فَرِحُوا بِهَا
Dan apabila kami berikan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan (rahmat) itu. (ar-Rum, 36)
Al-Alusi memberikan penafsiran bahwa yang dimaksud dalam ayat ini ialah
orang-orang yang mendapatkan karunia, lalu ia bergembira karena sombong
dan bersuka ria kelewat batas bukan karena memuji kepada Allah dan
bersyukur, maka hal ini merupakan kegembiraan yang tercela. (Ruhul
Ma’ani, XV, 369).
Sebagai penutup, Al-Ghazali menjelaskan bahwa hal yang dialami manusia
ini ada dua macam. Pertama, sesuai dengan apa yang menjadi harapan dan
keinginannya, dan kedua, tidak sesuai dengan harapannya. Dua hal ini
perlu disikapi dengan sabar. Untuk yang pertama, misalnya seseorang
mendapatkan kesehatan, keselamatan, harta, jabatan, dan segala macam
kebahagiaan duniawi. Kesemuanya ini perlu disikapi dengan sabar.
Artinya, jika seseorang tidak membatasi dan menahan diri dari
menggunakan karunia tersebut sepuas-puasnya, maka ia dapat terjerumus ke
dalam kesombongan dan kezaliman. Oleh karena itu, hendaknya tidak
kelewat batas dalam mengekspresikan kegembiraan dengan melakukan
berbagai macam kesenangan, hiburan, dan permainan. (Ihya’ Ulum ad-Diin,
III, 171) [eLFa]
*Tulisan ini dimuat di buletin fiqh mingguan "EL-FAJR" edisi ketiga, 20
Mei 2011. diterbitkan oleh Persatuan Santri Ma'had Qudsiyyah (PSMQ)
periode 2011-2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar