Baru-baru ini istilah negara menjadi perbincangan hangat di masyarakat.
eksistensi NKRI kembali diperdebatkan ketika isu Negara Islam Indonesia
(NII) kembali muncul dalam pentas nasional. Patut menjadi renungan,
diskursus perihal relasi Islam dan negara telah lama diperdebatkan, akan
tetapi tetap belum terpecahkan secara tuntas, bahkan cenderung
mengalami impasse (kebuntuan). Indonesia modern masih terus dalam proses
pencarian pola hubungan yang pas antara Islam dan negara.
Istilah negara, memiliki banyak teori yang mendeskripsikan. Secara
bahasa, negara berarti organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai
kekuasan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat, atau kelompok
sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di
bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan
politik, berdaulat sehingga berhak menentuntukan tujuan nasionalnya.
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 777).
Sementara, berdasarkan pendekatan teoritis ada beberapa macam pengertian
negara. Pertama, teori ketuhanan, yang menjelaskan negara terbentuk
atas kehendak Tuhan. Hal ini berpijak pada diutusnya Nabi Adam ke bumi
oleh Allah untuk memulai hidup bersosial. Anak cucunya yang kini telah
mencapai miliaran jumlahnya hidup berkelompok dengan menempati area
tertentu yang kemudian dinamakan negara.
Kedua, teori perjanjian, yang menyatakan bahwa negara terbentuk karena
antarkelompok manusia yang tadinya hidup sendiri-sendiri melakukan
perjanjian untuk mengadakan suatu organisasi yang dapat menyelenggarakan
kehidupan bersama. Teori ini mengarah pada tatanan kehidupan bersosial.
Tinjauannya terletak pada sistem adanya perjanjian atau hasil
kesepakatan bersama suatu kelompok yang mempunyai visi dan misi yang
sama.
Ketiga, melalui teori kekuasaan. Teori ini berpijak pada kekuasaan yang
tercipta dan yang paling kuat. Keempat, teori kedaulatan, yang
menjelaskan bahwa setalah asal ausul negara menjadi jelas maka
orang-orang tertentu didaulat menjadi penguasa. (Ilmu Negara, Umum dan
Indonesia).
Lalu bagaimanakah fiqh memandang pendirikan sebuah negara? Ulama Sunni,
Syi’ah, mayoritas Muktazilah dan Murji’ah sepakat bahwa mendirikan
negara hukumnya wajib. Dalil yang digunakan adalah hadis imarah.
«إذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم»
“Ketika ada tiga orang yang keluar rumah, hendaknya salah satu dari mereka memimpin”
Kalau hanya bertiga saja butuh pemimpin, maka mafhum muwafaqah fahwal
khitab tentu menyatakan bahwa perkumpulan umat Islam lebih membutuhkan
pemimpin. Tujuan kolektif umat Islam tidak akan tercapai tanpa adanya
kepemimpinan imarah (kepemimpinan). Dan kepemimpinan (pemerintahan)
inilah yang kemudian menjadi embrio hadirnya sebuah negara, disamping
rakyat dan wilayah. (Mughnil Muhtaj, IV, 129; al-Fiqhu al-Islamiy wa
adillatuhu, VIII, 414)
Imam Ghazali menyatakan bahwa dunia adalah ladang bagi akhirat. Agama
tidak akan sempurna tanpa dunia. Negara dan agama ibarat dua anak
kembar. Agama, ibarat batang pohon, sedangkan kepala negara ibarat
penjaganya. Sesuatu tanpa batang akan tumbang, dan sesuatu tanpa penjaga
akan hilang terlantar, negara dan peraturan tidak akan terlaksana tanpa
adanya pemerintahan. (Ihya’ ulum ad-din, I, 22)
Dengan melihat alasan pendirian negara di atas, sebenarnya masih ada
satu pertanyaan. Kewajiban tersebut bersifat syar’i atau aqli? Mayoritas
ulama (Sunni dan Muktazilah) berpendapat bahwa kewajiban mendirikan
negara bersifat syar’i, karena berlandaskan pada dalil syar’i,
sementara Syi’ah Imamiyyah menganggapnya sebagai kewajiban aqli, karena
soal negara sesungguhnya soal kesepakatan bersama, bukan soal ada
tidaknya dalil.
Negara yang bagaimana yang harus didirikan umat Islam? Negara Islam,
negara monarkhi, republik atau negara madinah? Negara manakah yang dapat
disebut sebagai negara yang betul-betul prototype Islam; Arab Saudi,
Iran ataukah Pakistan? Atau, mungkin kita bisa bertanya, bisakah negara
yang hanya mengimplementasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar
ajaran Islam dikatakan sebagai negara Islam, walaupun bentuknya tidak
Islam?
Jika dilihat dari sisi historisnya, istilah negara Islam (dawlah
Islamiyah) lebih merupakan suatu fenomena modern, hasil perjumpaan
antara dunia Islam dan kolonialisme Barat. Deklarasi formal mengenai
negara Islam tidak pernah ada selama periode Islam salaf dan abad
pertengahan. Istilah negara Islam, sebagaimana diperkenalkan Pakistan
dan Iran, tidak memiliki dasar pijakan dalam sejarah politik umat Islam.
Dalam wacana tarikh dan fiqh (siyasah), perbincangan politik umat Islam
hanya mengenal Dawlah Abbasiyah dan Dawlah Umawiyyah. Pada periode
Turki Usmani, istilah dawlah malah digunakan untuk merujuk pada makna
giliran. Hal ini menunjukkan bahwa umat manusia ditentukan oleh roda
nasib yang memiliki masa kebangkitan dan kejatuhan. Dalam hal ini, masa
kebangkitan merujuk pada keberhasilan memperoleh kekuasaan dan
wewenang. Gagasan mengontrol kekuasaan atau wewenang inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah dawlah. (al-Islâm wa Ushûul Hukmi, 92;
Tempo, 29 Desember 1984, 17)
Dalam prakteknya di dunia modern, ada tiga paradigma yang menghubungkan
Islam dan negara, yakni integratif, fakultatif, dan konfrontatif.
Menurut pendekatan pertama, Islam diturunkan sudah dalam kelengkapan
yang utuh dan bulat, sehingga Islam juga bisa menjadi dasar negara,
syari’ah Islam harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa
kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara
bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam)
yang tidak mengenal batas-batas politik dan teritorial. (Untuk
mengetahui pemikiran selengkapnya, dapat ditelusuri dalam al-Mabâdi`
al-Asâsiyah li al-Dawlah al-Islâmiyah atau Nadhariyyat al-Islâm
al-Siyâsiyah)
Kedua, paradigma yang mengajukan pandangan bahwa agama dan negara
berhubungan secara fakultatif, yaitu berhubungan timbal balik dan saling
membutuhkan-menguntungkan. Dalam kaitan ini, agama membutuhkan negara.
Sebab, melalui negara, agama dapat berbiak dengan baik. Hukum-hukum
agama juga dapat ditegakkan melalui kekuasaan negara. Begitu juga
sebaliknya, negara memerlukan kehadiran agama, karena hanya dengan agama
suatu negara dapat berjalan dalam sinaran etik-moral. (Data lebih
lanjut dapat dibaca pada al-Hukûmah al-Islâmiyah atau Mudzakkirat fiy
al-Siyâsah al-Mishriyah)
Ketiga, paradigma konfrontatif yang mengajukan konsep pemisahan antara
agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak
pendasaran negara pada Islam, atau menolak determinasi Islam pada bentuk
tertentu dari negara. Agama bukanlah dasar negara, tetapi agama lebih
bersifat sebagai persoalan individual semata. Dengan perkataan lain,
aliran ini berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat
yang tidak bertali temali dengan urusan kenegaraan. (data selengkapnya
silakan baca : al-Fitnah al-Kubra ; al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu`allafat
al-Duktur Thaha Husein)
Dengan melihat ketiga paradigma tersebut, fiqh salaf agaknya cenderung
ke paradigm kedua. Hal ini tampak misalnya dalam pembahasan darul islam
dan darul harb. Daarul Islam, memiliki lima karakteristik. Pertama,
negara yang di dalamnya tampak hukum Islamnya, yakni hukum Islam bisa
hidup di negara itu maksudnya adalah negara tersebut dapat menjalankan
hukum-hukum Islam dan juga melaksanakan aturan-aturan dengan dasar
syari’at Islam sebagai kebijakan negara itu; Kedua, negara yang penduduk
muslimnya bisa menghidupkan hukum-hukum Islam di dalamnya; ketiga,
adalah negara yang semua atau sebagian besar penduduknya beragama Islam;
keempat, negara yang pemerintahannya dikuasai oleh kaum muslimin
walaupun sebagian besar penduduknya tidak terdiri dari kaum muslimin;
dan kelima negara yang dikuasai oleh nonmuslim, akan tetapi kaum muslim
dapat mengamalkan hukum Islam di dalamnya. (Syarah Raudlatut Talibin,
IV, 204).
Bertolak dari karakeristik darul islam diatas, maka tak ada keraguan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masuk dalam kategori daarul
islam karena Pancasila dan UUD 1945 yang dijadikan dasar negara ini
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Jauh sebelum bangsa ini merdeka,
pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin tahun 1935, NU telah memberikan
status hukum negara Hindia Belanda dengan “negara Islam”. Meskipun saat
itu Indonesia masih dikuasai oleh Penjajahan Belanda, tetapi dalam
sejarahnya Indonesia pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam dan
orang Islam dapat secara bebas menjalankan syari’at keagamaannya.
Atas nalar ini pula, Konferensi Nasional Alim Ulama NU di Cipanas pada
1954 dan kemudian dikukuhkan oleh Keputusan Muktamar NU ke-20 di
Surabaya memutuskan bahwa kedudukan Kepala Negara Republik Indonesia
sebagai waliy al-amri al-dlarûri bi al-syawkah (pemegang pemerintahan
secara de facto dengan kekuasaan penuh). Sebaliknya, terhadap
Kartosuwiryo yang menggagas Negara Islam Indonesia (NII), Ulama NU
memberikan hukum bughat, pemberontakan kepada negara yang sah. (Masalah
Keagamaan; Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu-1926
s/d Kedua Puluh Sembilan 1994, 207-208).[eLFa]
*Tulisan ini dimuat di buletin fiqh mingguan "EL-FAJR" edisi perdana, 13 Mei 2011. diterbitkan oleh Persatuan Santri Ma'had Qudsiyyah (PSMQ) periode 2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar