Oleh Dr. Mudzakkir, M.A.[1]
Berbagai kontroversi
ternyata tak menyurutkan semangat umat Islam untuk menerapkan Perda Syariat. Tulisan
ini mencoba mempertemukan spirit kaum muslim tersebut dengan kenyataan keadaan peraturan
perundang-undangan di Indonesia dengan memakai konsep maslahah. Namun yang
jelas tulisan ini tak bisa mengupas persoalan ini secara tuntas.”
Penerapan syariat
sebenarnya bisa disebut sebagai perintah agama. Namun di sisi lain, dalam
konteks keindonesiaan yang amat bhinneka, penerapan syariat seperti sudah
disinggung sebelumnya, mengundang banyak kontroversi.
Jadi, sebenarnya tantangan umat Islam dalam upaya mengonstruksi
hukum Islam di Indonesia adalah bagaimana menghadirkan hukum Islam sebagai bagian solusi
problem kemasyarakatan, antara lain dengan mencari titik temu konsep maṣlaḥah dalam pandangan ahli ushul
dengan konsep kemaslahatan dalam pandangan legislator sebuah perundang-undangan
di tengah dinamika hubungan agama-negara, dan mengerahkan seberapa banyak konsep maṣlaḥah dalam hukum Islam mampu
menyumbangkan nilai-nilainya dalam rangka kemajuan, keteraturan, ketenteraman, dan kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, bukan mencari legitimasi hukum Islam atas hukum nasional.[2] Hal ini menuntut kajian yang mendalam seputar
epistemologi hukum Islam, yang salah satunya ialah kajian tentang konstruksi konsep maṣlaḥah ke
dalam tata hukum nasional.
Selain itu, secara hipotetik penerapan konsep maslahah memiliki nilai signifikansi dan kontributif bagi sebagian upaya
aktualisasi keberagamaan dalam konteks keindonesiaan sekaligus kemodernan, yang
secara substantif juga bermakna sebagai upaya penyadaran masyarakat akan tugas
dan kawajibannya sebagai warga bangsa.
Konseptualisasi
dan Kontekstualisasi Maṣlaḥah ke
dalam Perda
Secara konseptual, maṣlaḥah menurut
al-Ghazali adalah suatu keadaan yang mendatangkan manfaat dan menolak bahaya
atau kerugian,[3] ‘Izzuddin
bin ‘Abdis Salam menyatakan bahwa maṣlaḥah
sebagai jiwa hukum Islam harus mendatangkan manfaat dan menolak mafsadah,
berarti terdapat suatu keyakinan bahwa pada setiap ketentuan hukum Islam
terdapat maṣlaḥah dan sekaligus
menghilangkan mafsadah, sekalipun tidak terdapat dalil yang khusus.[4]
Sedangkan as-Syatibi berpendapat bahwa maṣlaḥah
sebagai inti dari maqāṣid al-syarī’ah
bertujuan untuk menjaga tiga gradasi kebutuhan manusia (ḍlaruriyyat, hajiyyat dan
tahsiniyyat) dan Allah sebagai Syari’
memiliki tujuan yang inheren dalam setiap penentuan hukum-Nya, yaitu
kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.[5]
Terlepas dari perbedaan tentang
konseptualisasinya, para ulama ushul sepakat bahwa maṣlaḥah merupakan tujuan akhir yang harus wujud dan mengilhami
serta membimbing para ahli hukum Islam (termasuk para legislator) dalam
merumuskan hukum Islam khususnya bidang mu’amalah seperti perumusan sebuah peda
bernuansa syariah. Konseptualisasi maṣlaḥah
itu sendiri bersifat dinamis yang memungkinkan
mengakomodasi kemaslahatan atau tradisi lokal (‘urf), sehingga unsur-unsur esensial maṣlaḥah bisa bertemu dengan
esensi tujuan Perda. Dengan demikian maṣlaḥah yang telah terintegrasi ke dalam Perda akan
menjadi pranata sosial yang tanggap dengan
kebutuhan masyarakat itu.
Legislasi perundang-undangan di Indonesia, adalah upaya
pembuatan hukum yang dilakukan secara sengaja oleh badan yang berwenang untuk
itu.[6]
Proses legislasi secara komprehensif dan mengintegrasikan norma agama semakin
terasa diperlukan kehadirannya, oleh karena di dalam negara yang berdasarkan
atas hukum modern (verzorgingsstaat),
tujuan utama dari pembentukan peraturan perundang-undangan bukan lagi
menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah
mengendap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utamanya adalah menciptakan
modifikasi adanya perubahan pada
kehidupan sosio-religius masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi perilaku
yang tidak religius.
Pada dasarnya UUD 1945 mengatakan bahwa negara
menjamin kebebasan warganya dalam menjalankan ajaran agamanya. Klausul ini bisa
berarti bahwa orang Islam dijamin kebebasannya di dalam menjalankan ajaran
agama Islam, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan
tetap menjaga kebhinekaan. Oleh karena itu, diperlukan metodologi
konseptualisasi hukum Islam yang mampu mengakomodasi norma-norma kebhinekaan
tersebut dari pesan universalnya yang tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Rumusan empiris-praktis dari pesan universal tersebut pada wilayah dan zaman
tertentu tidak menuntut adanya keseragaman, selama masih dalam koridor tujuan
disyariatkannya hukum Islam (maqāṣid al-syarī’ah)
untuk mewujudkan kemaslahatan yang bersifat lokal (Indonesia).
Orang Islam percaya bahwa orang yang mencuri
itu hendaknya dipotong tangannya, demikian terhadap orang yang berbuat zina,
mereka harus dirajam, orang yang membunuh harus di-qishosh, prostitusi,
korupsi, dan sebagainya. Meski demikian, penting untuk dicatat bahwa semua
jenis hukuman tersebut harus berujung pada terwujudnya kemaslahatan empiris
yang selaras dengan pesan universal hukum Islam. Dalam konteks negara Indonesia
sebagai negara hukum, jika ada orang Islam yang memotong jari anaknya yang
mencuri atau menghukum rajam orang yang mengaku berbuat zina, alih-alih mereka
telah melaksanakan dan menaati hukum Islam, tetapi yang bersangkutan bisa
dianggap melanggar hukum positif yang berlaku. Untuk menghindari hal yang
demikian dan agar terdapat keserasian antara berbagai sumber norma, menjadi
norma hukum, negara perlu ikut mengarahkan
dan mengatur kehidupan beragama dalam konteks keindonesiaan.
Contoh lainnya adalah Perda-Perda yang telah
diberlakukan di Indramayu, Pamekasan dan Gresik. Sekalipun Perda-Perda ini secara eksplisit tidak
menggunakan kalimat syariah, tetapi Perda itu mengatur
persoalan agama dan quasi-peradilan. Dan belum diarahkan pada upaya
penegakan agama secara utuh, baik dimensi materi, prosedur,
maupun historisnya. Dimensi materi dan prosedur, sebuah perda harus
mengintegrasikan akidah dan akhlak untuk mengatur perilaku manusia baik pada
tingkat konseptual maupun aktualnya. Menurut Nurcholis Madjid, keberagamaan
yang utuh terdiri dari fikih, kalam, tasawuf, dan falsafah Islam, seperti yang
secara aktual berkembang pada masa Rasulullah dan masa shahabat yang
memberlakukan hukum Islam setelah memantapkan dimensi akidah, akhlak, dan
ibadah sosial-religius masyarakat selama lebih-kurang 10 tahun di Makkah.
Sejarah mencatat, ayat-ayat hukum lebih banyak turun setelah Rasulullah hijrah
ke Madinah. Sementara itu ayat-ayat Makkiyah teridentifikasi dalam kerangka
konsolidasi agar umat siap menerima beban hukum (taklif) seberapa berat taklif itu.
Lahirnya Perda-Perda bernuansa syariah dengan
teknik-teknik pelaksanaannya di Indonesia karenanya dikatakan bersifat
“euforis” karena belum mempersiapkan keberagamaan umat untuk siap menerima
ketentuan hukum dalam Perda-Perda itu. Bahkan struktur syariah Islam sebagai
ide dasar legislasi Perda-Perda itu, belum diakomodasi secara komprehensif
termasuk kaidah-kaidah universal yaitu konsep maṣlaḥah sebagai inti maqāṣid
al-syarī’ah dengan tujuan legislasi hukum Islam.
Secara hipotetik, bila unsur-unsur tersebut bertemu dan
diakomodasi dalam sebuah pranata sosial (Perda), maka hasilnya akan lebih
produktif untuk masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Bagaimana prosedur integrasi berbagai unsur
tersebut, pemilihan teorinya telah mempertimbangkan secara filosofis tentang
hakikat keberadaan antara Allah SWT, akal, dan
alam semesta, termasuk fenomena sosialnya.[7]
Titik
Temu Maqāṣid al-Syarī’ah dengan Tujuan
Legislasi Hukum Islam
Memahami hukum Islam seperti
tersebut di atas, dalam perspektif politik hukum, hukum Islam diposisikan
sebagai hukum adat (common law), tidak dapat sama
sekali diabaikan, sekalipun suatu
negara telah memakai sistem hukum perundang-undangan. Pada sebagian
masyarakat, hukum Islam telah bergeser
menjadi sebuah ideologi, melalui proses ideologisasi yaitu sebuah usaha mengorganisasi isi ajaran agama pada agama-agama modern. Peraturan daerah merupakan salah satu proses unifikasi hukum
untuk suatu wilayah atau daerah tertentu menjadi ketentuan-ketentuan hukum yang
spesifik dan praktis (kodifikasi hukum), mesti mengakomodasi sumber hukum tidak tertulis seperti posisi hukum Islam tersebut. Dalam konteks ini,
para perumus Perda bernuansa syariah mesti mencermati terhadap adanya perbedaan pendapat
(mazhab) yang telah menjadi bagian dari pola beragama
dan ideologi masyarakat
Indonesia.
Proses legislasi secara sosiologis harus memperhatikan tolok ukurnya, kepastian tujuannya, selaras dengan kondisi
sosio-religius masyarakat yang akan diatur, sehingga tidak terjadi
multi-tafsir. Dengan ditetapkannya penilaian hukum yang jelas, berarti pembuat
undang-undang sudah mengantisipasi akibat legislasi, tidak ambigu bagi suatu
golongan, karenanya harus mengeliminasi prinsip-prinsip subyektif dari
kepentingan-kepentingan politik kekuasaan, agar produk konstitusi yang
dihasilkan terlepas dari manipulasi atau penyelewengan kelompok kepentingan.[8]
Bila proses pembuatan
undang-undang sudah cukup matang, hal penting lainnya
adalah “upaya penegakan hukum” (law
inforcement). Bagian ini terdiri dari upaya menyiapkan komponen birokrasi
penegakan hukum, termasuk jenis pengadilan dan proses peradilannya masing-masing.
Kajian filosofis, metodologis yang mendalam
sebagai naskah akademik harus dilakukan, dengan melibatkan sebanyak mungkin
ahli dari berbagai disiplin keilmuan, baik oleh anggota DPR/D maupun para pakar
dan akademisi. Hal ini dilakukan untuk
memperoleh koherensi dan harmoni antara karakter substansi hukum dengan karakter dan
struktur masyarakat yang akan diatur dengan undang-undang tersebut, serta tujuan pembentukan undang-undang. Sehingga undang-undang yang dihasilkan koheren antara
das sollen dengan das sein-nya, dapat mewujudkan sebuah
tatanan masyarakat yang tertib, adil, tenteram, aman, dan sejahtera (maṣlaḥah).
Disadari
bahwa suatu tatanan dalam masyarakat yang mampu menciptakan hubungan-hubungan
yang tetap dan teratur antar anggota masyarakat, tidak hanya terdiri dari satu
norma yang tunggal, ia terdiri dari suatu kompleks tatanan (norma). Dalam ilmu
hukum dikenal adanya tiga tatanan (norma), yaitu norma kebiasaan yaitu
kebiasaan atau kenyataan tingkah laku masyarakat, norma kesusilaan yaitu norma
ideal yang harus diwujudkan dalam
masyarakat, termasuk norma agama sebagai
ius constitudum,[9]
dan norma hukum yaitu norma yang sengaja diciptakan untuk tujuan tertentu.
Legislasi berarti sebuah proses mengintegrasikan norma kebiasaan yang telah
menjadi kaidah berperilaku bagi masyarakat dengan norma kesusilaan (termasuk
norma agama) yang diyakini oleh umat Islam sebagai norma yang mengevaluasi
suatu perilaku, oleh suatu badan atau sekelompok orang yang berkompeten,
melalui mekanisme kerja tertentu, menjadi norma hukum yang mengikat seluruh
warga masyarakat itu.
Dalam
proses legislasi inilah, terdapat peluang mencari titik temu antara norma
kebiasaan suatu masyarakat dengan norma-norma kesusilaan (dalam hal ini
konsep-konsep maṣlaḥah) yang telah
banyak dirumuskan oleh para fuqaha, menjadi fundamen-fundamen tatanan soaial
yang bisa memenuhi rasa keadilan dan kemaslahatan.
[1] Dosen STAIN Kudus. Tulisan
ini dimuat di majalah EL_QUDSY edisi 20/2012, diterbitkan oleh Persatuan
Pelajar Qudsiyyah (PPQ) Kudus.
[2]
A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum
Nasional – Kompetisi antara hukum Islam dan hukum Umum (Yogyakarta: Gama
Media, 2002), hlm. 176-177
[3]Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣul, Vol. 2,
Bairut: Dār al-Fikr, 1994. Hlm. 481
[4]‘Izz bin ‘Abd
al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih
al-Anam, Beirut: al-Kulliyat al-Azhariyah, 1986. Hlm. 160
[5]Abu Ishaq
al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Daar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 2004, hlm. 221
[7]Muslim A. Kadir, Dasar-Dasar
Praktikum Keberagamaan dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
hlm. 1-11
[8]Sirajuddin, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Cet. Ke-1, 2008, hlm. 35
[9]Sirajuddin, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Cet. Ke-1, 2008, hlm. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar