Selasa, 03 Desember 2013

Konsep Mashlahah, Solusi yang Menjanjikan


Oleh Dr. Mudzakkir, M.A.[1]
 Berbagai kontroversi ternyata tak menyurutkan semangat umat Islam untuk menerapkan Perda Syariat. Tulisan ini mencoba mempertemukan spirit kaum muslim tersebut dengan kenyataan keadaan peraturan perundang-undangan di Indonesia dengan memakai konsep maslahah. Namun yang jelas tulisan ini tak bisa mengupas persoalan ini secara tuntas.”
Penerapan syariat sebenarnya bisa disebut sebagai perintah agama. Namun di sisi lain, dalam konteks keindonesiaan yang amat bhinneka, penerapan syariat seperti sudah disinggung sebelumnya, mengundang banyak kontroversi.
Jadi,  sebenarnya  tantangan umat Islam dalam upaya mengonstruksi hukum Islam di Indonesia adalah bagaimana menghadirkan hukum Islam sebagai bagian solusi problem kemasyarakatan, antara lain dengan mencari titik temu konsep maṣlaḥah dalam pandangan ahli ushul dengan konsep kemaslahatan dalam pandangan legislator sebuah perundang-undangan di tengah dinamika hubungan  agama-negara, dan mengerahkan seberapa banyak konsep maṣlaḥah dalam hukum Islam mampu menyumbangkan nilai-nilainya dalam rangka kemajuan, keteraturan, ketenteraman, dan kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan mencari legitimasi hukum Islam atas hukum nasional.[2] Hal ini menuntut kajian yang mendalam seputar epistemologi hukum Islam, yang salah satunya ialah kajian tentang konstruksi konsep maṣlaḥah  ke dalam tata hukum nasional.
Selain itu, secara hipotetik penerapan konsep maslahah memiliki nilai signifikansi dan kontributif bagi sebagian upaya aktualisasi keberagamaan dalam konteks keindonesiaan sekaligus kemodernan, yang secara substantif juga bermakna sebagai upaya penyadaran masyarakat akan tugas dan kawajibannya sebagai warga bangsa.

Konseptualisasi dan Kontekstualisasi Maṣlaḥah ke dalam Perda
 Secara konseptual, maṣlaḥah menurut al-Ghazali adalah suatu keadaan yang mendatangkan manfaat dan menolak bahaya atau kerugian,[3] ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam menyatakan bahwa maṣlaḥah sebagai jiwa hukum Islam harus mendatangkan manfaat dan menolak mafsadah, berarti terdapat suatu keyakinan bahwa pada setiap ketentuan hukum Islam terdapat maṣlaḥah dan sekaligus menghilangkan mafsadah, sekalipun tidak terdapat dalil yang khusus.[4] Sedangkan as-Syatibi berpendapat bahwa maṣlaḥah sebagai inti dari maqāṣid al-syarī’ah bertujuan untuk menjaga tiga gradasi kebutuhan manusia (ḍlaruriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat) dan Allah sebagai Syari’ memiliki tujuan yang inheren dalam setiap penentuan hukum-Nya, yaitu kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.[5]
Terlepas dari perbedaan tentang konseptualisasinya, para ulama ushul sepakat bahwa maṣlaḥah merupakan tujuan akhir yang harus wujud dan mengilhami serta membimbing para ahli hukum Islam (termasuk para legislator) dalam merumuskan hukum Islam khususnya bidang mu’amalah seperti perumusan sebuah peda bernuansa syariah. Konseptualisasi maṣlaḥah itu sendiri bersifat dinamis yang memungkinkan  mengakomodasi kemaslahatan atau tradisi lokal (‘urf), sehingga unsur-unsur esensial maṣlaḥah  bisa bertemu dengan esensi tujuan Perda. Dengan demikian maṣlaḥah yang telah terintegrasi ke dalam Perda akan menjadi  pranata sosial yang tanggap dengan kebutuhan masyarakat itu.
Legislasi perundang-undangan di Indonesia, adalah upaya pembuatan hukum yang dilakukan secara sengaja oleh badan yang berwenang untuk itu.[6] Proses legislasi secara komprehensif dan mengintegrasikan norma agama semakin terasa diperlukan kehadirannya, oleh karena di dalam negara yang berdasarkan atas hukum modern (verzorgingsstaat), tujuan utama dari pembentukan peraturan perundang-undangan bukan lagi menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utamanya adalah menciptakan modifikasi adanya perubahan pada  kehidupan sosio-religius masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi perilaku yang tidak religius.
Pada dasarnya UUD 1945  mengatakan bahwa negara menjamin kebebasan warganya dalam menjalankan ajaran agamanya. Klausul ini bisa berarti bahwa orang Islam dijamin kebebasannya di dalam menjalankan ajaran agama Islam, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan tetap menjaga kebhinekaan. Oleh karena itu, diperlukan metodologi konseptualisasi hukum Islam yang mampu mengakomodasi norma-norma kebhinekaan tersebut dari pesan universalnya yang tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Rumusan empiris-praktis dari pesan universal tersebut pada wilayah dan zaman tertentu tidak menuntut adanya keseragaman, selama masih dalam koridor tujuan disyariatkannya hukum Islam (maqāṣid al-syarī’ah) untuk mewujudkan kemaslahatan yang bersifat lokal (Indonesia).
Orang Islam percaya bahwa orang yang mencuri itu hendaknya dipotong tangannya, demikian terhadap orang yang berbuat zina, mereka harus dirajam, orang yang membunuh harus di-qishosh, prostitusi, korupsi, dan sebagainya. Meski demikian, penting untuk dicatat bahwa semua jenis hukuman tersebut harus berujung pada terwujudnya kemaslahatan empiris yang selaras dengan pesan universal hukum Islam. Dalam konteks negara Indonesia sebagai negara hukum, jika ada orang Islam yang memotong jari anaknya yang mencuri atau menghukum rajam orang yang mengaku berbuat zina, alih-alih mereka telah melaksanakan dan menaati hukum Islam, tetapi yang bersangkutan bisa dianggap melanggar hukum positif yang berlaku. Untuk menghindari hal yang demikian dan agar terdapat keserasian antara berbagai sumber norma, menjadi norma hukum,  negara perlu ikut mengarahkan dan mengatur kehidupan beragama dalam konteks keindonesiaan.
Contoh lainnya adalah Perda-Perda yang telah diberlakukan di Indramayu, Pamekasan dan Gresik. Sekalipun Perda-Perda ini secara eksplisit tidak menggunakan kalimat syariah, tetapi Perda itu mengatur persoalan agama dan quasi-peradilan. Dan belum diarahkan pada upaya penegakan agama secara utuh, baik dimensi materi, prosedur, maupun historisnya. Dimensi materi dan prosedur, sebuah perda harus mengintegrasikan akidah dan akhlak untuk mengatur perilaku manusia baik pada tingkat konseptual maupun aktualnya. Menurut Nurcholis Madjid, keberagamaan yang utuh terdiri dari fikih, kalam, tasawuf, dan falsafah Islam, seperti yang secara aktual berkembang pada masa Rasulullah dan masa shahabat yang memberlakukan hukum Islam setelah memantapkan dimensi akidah, akhlak, dan ibadah sosial-religius masyarakat selama lebih-kurang 10 tahun di Makkah. Sejarah mencatat, ayat-ayat hukum lebih banyak turun setelah Rasulullah hijrah ke Madinah. Sementara itu ayat-ayat Makkiyah teridentifikasi dalam kerangka konsolidasi agar umat siap menerima beban hukum (taklif) seberapa berat taklif itu.
Lahirnya Perda-Perda bernuansa syariah dengan teknik-teknik pelaksanaannya di Indonesia karenanya dikatakan bersifat “euforis” karena belum mempersiapkan keberagamaan umat untuk siap menerima ketentuan hukum dalam Perda-Perda itu. Bahkan struktur syariah Islam sebagai ide dasar legislasi Perda-Perda itu, belum diakomodasi secara komprehensif termasuk kaidah-kaidah universal yaitu konsep maṣlaḥah sebagai inti maqāṣid al-syarī’ah dengan tujuan legislasi hukum Islam.
Secara hipotetik, bila unsur-unsur tersebut bertemu dan diakomodasi dalam sebuah pranata sosial (Perda), maka hasilnya akan lebih produktif untuk masyarakat yang mayoritas beragama Islam.  Bagaimana prosedur integrasi berbagai unsur tersebut, pemilihan teorinya telah mempertimbangkan secara filosofis tentang hakikat keberadaan antara Allah SWT, akal, dan alam semesta, termasuk fenomena sosialnya.[7]

Titik Temu Maqāṣid al-Syarī’ah dengan Tujuan Legislasi Hukum Islam
Memahami hukum Islam seperti tersebut di atas, dalam perspektif politik hukum, hukum Islam diposisikan sebagai hukum adat (common law), tidak dapat sama sekali diabaikan, sekalipun suatu negara telah memakai sistem hukum perundang-undangan. Pada sebagian masyarakat, hukum Islam telah bergeser menjadi sebuah ideologi, melalui proses ideologisasi yaitu sebuah usaha mengorganisasi isi ajaran agama pada agama-agama modern. Peraturan daerah merupakan salah satu proses unifikasi hukum untuk suatu wilayah atau daerah tertentu menjadi ketentuan-ketentuan hukum yang spesifik dan praktis (kodifikasi hukum), mesti mengakomodasi sumber hukum tidak tertulis seperti posisi hukum Islam tersebut. Dalam konteks ini, para perumus Perda bernuansa syariah mesti mencermati terhadap adanya  perbedaan pendapat (mazhab) yang telah menjadi bagian dari pola beragama dan  ideologi masyarakat Indonesia.
Proses legislasi secara sosiologis harus memperhatikan tolok ukurnya, kepastian tujuannya, selaras dengan kondisi sosio-religius masyarakat yang akan diatur, sehingga tidak terjadi multi-tafsir. Dengan ditetapkannya penilaian hukum yang jelas, berarti pembuat undang-undang sudah mengantisipasi akibat legislasi, tidak ambigu bagi suatu golongan, karenanya harus mengeliminasi prinsip-prinsip subyektif dari kepentingan-kepentingan politik kekuasaan, agar produk konstitusi yang dihasilkan terlepas dari manipulasi atau penyelewengan kelompok kepentingan.[8]
Bila proses pembuatan undang-undang sudah cukup matang, hal penting lainnya adalah “upaya penegakan hukum” (law inforcement). Bagian ini terdiri dari upaya menyiapkan komponen birokrasi penegakan hukum, termasuk jenis pengadilan dan proses peradilannya masing-masing.
Kajian filosofis, metodologis yang mendalam sebagai naskah akademik harus dilakukan, dengan melibatkan sebanyak mungkin ahli dari berbagai disiplin keilmuan, baik oleh anggota DPR/D maupun para pakar dan akademisi.  Hal ini dilakukan untuk memperoleh koherensi dan harmoni antara karakter substansi hukum dengan karakter dan struktur masyarakat yang akan diatur dengan undang-undang tersebut, serta tujuan pembentukan undang-undang. Sehingga undang-undang yang dihasilkan koheren antara das sollen dengan das sein-nya, dapat mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang tertib, adil, tenteram, aman, dan sejahtera (maṣlaḥah).
Disadari bahwa suatu tatanan dalam masyarakat yang mampu menciptakan hubungan-hubungan yang tetap dan teratur antar anggota masyarakat, tidak hanya terdiri dari satu norma yang tunggal, ia terdiri dari suatu kompleks tatanan (norma). Dalam ilmu hukum dikenal adanya tiga tatanan (norma), yaitu norma kebiasaan yaitu kebiasaan atau kenyataan tingkah laku masyarakat, norma kesusilaan yaitu norma ideal yang  harus diwujudkan dalam masyarakat, termasuk norma agama  sebagai ius constitudum,[9] dan norma hukum yaitu norma yang sengaja diciptakan untuk tujuan tertentu. Legislasi berarti sebuah proses mengintegrasikan norma kebiasaan yang telah menjadi kaidah berperilaku bagi masyarakat dengan norma kesusilaan (termasuk norma agama) yang diyakini oleh umat Islam sebagai norma yang mengevaluasi suatu perilaku, oleh suatu badan atau sekelompok orang yang berkompeten, melalui mekanisme kerja tertentu, menjadi norma hukum yang mengikat seluruh warga masyarakat itu.
Dalam proses legislasi inilah, terdapat peluang mencari titik temu antara norma kebiasaan suatu masyarakat dengan norma-norma kesusilaan (dalam hal ini konsep-konsep maṣlaḥah) yang telah banyak dirumuskan oleh para fuqaha, menjadi fundamen-fundamen tatanan soaial yang bisa memenuhi rasa keadilan dan kemaslahatan.



[1] Dosen STAIN Kudus. Tulisan ini dimuat di majalah EL_QUDSY edisi 20/2012, diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Qudsiyyah (PPQ) Kudus.
[2] A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional – Kompetisi antara hukum Islam dan hukum Umum (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 176-177
[3]Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustaṣfā min ‘Ilm al-Uṣul, Vol. 2, Bairut: Dār al-Fikr, 1994. Hlm. 481
[4]‘Izz bin ‘Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Beirut: al-Kulliyat al-Azhariyah, 1986. Hlm. 160
[5]Abu Ishaq al-Syatibi,  Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004, hlm. 221
[6]Satjipto Rahardjo,  Ilmu Hukum., Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Cet.ke.4, 1996, 83

[7]Muslim A. Kadir, Dasar-Dasar Praktikum Keberagamaan dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 1-11
[8]Sirajuddin, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2008, hlm. 35
[9]Sirajuddin, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2008, hlm. 17

Tidak ada komentar: