Oleh : Taufiq Aulia Rahman, M.H.I
Telah ditegaskan di dalam Al-Qur'an bahwa jumlah bulan di sisi Allah
adalah dua belas bulan. Empat di antaranya merupakan bulan-bulan mulia,
sebagaimana tertuang dalam firman Allah subhanahu wata’ala,
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan,
(sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit
dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama
yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang
empat) itu.” (At-Taubah [9] : 36).
Sebagai penjelas ayat ini terdapat sebuah hadits riwayat dari Abi Bakrah
bahwa Nabi Shallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya masa
berputar sebagaimana keadaan sejak Allah menciptakan langit dan bumi.
Satu tahun ada dua belas bulan. Empat di antaranya merupakan bulan
haram. Yang tiga bulan berurutan, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan
Muharram. Dan satu lagi bulan Rajab Mudhar, antara bulan Jumadil Akhir
dan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari [2958]). Dari hadits ini telah jelas
bahwa bulan haram yang dimaksud di dalam ayat di atas ialah keempat
bulan tersebut. Sedangkan bulan yang paling utama dari keempatnya ialah
bulan Rajab menurut sebagian ulama Syafi’iyah. Meskipun ada ulama lain
yang memperselisihkannya.
Kebetulan kita sekarang tengah memasuki bulan Rajab yang merupakan salah
satu bulan yang dimuliakan oleh Allah. Sebagai hamba Allah tentunya
kita juga harus memuliakan bulan ini sesuai dengan apa yang diajarkan
oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat dimanifestasikan dengan
perbuatan yang bersifat ritual transendental maupun kegiatan-kegiatan
sosial. Orientasinya, mengisi bulan ini dengan hal-hal yang bersifat
positif dan menjauhi segala bentuk kegiatan yang kontradiksi dengan
kemuliaan bulan ini.
Bulan-bulan ini disebut bulan haram (mulia) berdasarkan dua hal;
Pertama, pada bulan-bulan ini dilarang melakukan peperangan. Walaupun
sebagian ulama berpendapat bahwa larangan perang di bulan haram ini
telah di-nasakh. Hal ini juga menjadi tradisi di kalangan orang-orang
jahiliyah zaman dulu. Mereka senantiasa menghentikan peperangan ketika
memasuki bulan-bulan haram. Makanya, bulan Rajab disebut pula dengan
Rajab ‘Al-Asham’ yang artinya tuli lantaran pada saat bulan Rajab,
orang-orang jahiliyyah menanggalkan senjata mereka. Tidak ada peperangan
dan tidak terdengar sedikit pun suara gemerincing pedang pada bulan
tersebut. Ini berarti bulan-bulan haram, khususnya bulan Rajab merupakan
bulan perdamaian dan lepas dari pertikaian.
Kedua, sebagaimana disebutkan di dalam ayat di atas, bahwa Allah
melarang manusia berbuat kezaliman pada bulan-bulan haram. Hal ini bukan
berarti kita boleh melakukan keharaman pada bulan-bulan lainnya, tetapi
pada bulan-bulan haram ini larangan melakukan kemaksiatan lebih
ditekankan. Demikian pula pada bulan-bulan ini manusia lebih diperintah
untuk melakukan ketaatan. Hal ini dikarenakan setiap perbuatan dosa yang
dilakukan pada bulan-bulan ini akan dilipatgandakan.
Sebaliknya, jika berbuat baik pada bulan ini, maka pahalanya juga
dilipatgandakan. Sebab, jika Allah telah mengagungkan sesuatu, maka
kemuliaannya pun berlipat ganda, sehingga jika seseorang melakukan
kemaksiatan di dalamnya, maka dosanya akan dilipatgandakan sebagaimana
jika melakukan amal saleh, maka pahalanya pun dilipatgandakan. Hal ini
senada dengan orang yang melakukan amal kebaikan di tanah haram, maka
pahalanya pun lebih banyak dari pada beribadah di selain tanah haram.
Hal ini berarti pada bulan ini kita harus lebih menahan diri dari
melakukan berbagai bentuk kezaliman, baik berbuat zalim pada diri
sendiri maupun kepada orang lain. Perbuatan zalim merupakan kontradiksi
dari keadilan. Sehingga, secara tersirat pada bulan ini terdapat
perintah untuk menegakkan keadilan. Dari dua hal ini, dapat dipetik
kesimpulan bahwa bulan haram khususnya bulan Rajab memberikan spirit
perdamaian dan keadilan.
Mengingat fenomena yang dialami bangsa kita akhir-akhir ini selalu
dipenuhi dengan berbagai konflik dan pertikaian. Baik pertikaian antar
warga, antar kelompok, antar aliran, bahkan antar rakyat dengan aparat
keamanan, atau pertikaian antar elite politik. Tidak jarang pula
pertikaian ini pun menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Konflik dan
pertikaian ini seakan-akan tidak pernah habis. Selesai satu, tumbuh yang
lain lagi dan begitu seterusnya. Makanya, datangnya bulan mulia ini
seyogyanya kita jadikan sebagai momentum untuk memelihara perdamaian dan
menghentikan pertikaian dan segala bentuk kekerasan. Segala
permasalahan yang menghimpit bangsa ini hendaknya diselesaikan dengan
cara yang damai dan dialogis tanpa menggunakan kekerasan.
Di sisi lain, kezaliman dan ketidakadilan di bumi pertiwi ini sudah
menjadi hal yang lumrah. Sebaliknya keadilan justru menjadi barang
langka. Yang benar dipersalahkan, yang salah dibebaskan, yang jujur
dicemooh, yang berbohong justru disanjung-sanjung. Kezaliman ini telah
merambah ke semua level dan lini masyarakat, mulai dari penentu
kebijakan, pembuat undang-undang, maupun penegak hukum. Misalnya, tidak
sedikit kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada penguasa dan
orang-orang berduit yang justru menggencet rakyat lemah, korupsi semakin
merajalela, orang-orang yang menilap uang rakyat miliaran rupiah dengan
bebas dapat melenggang ke luar negeri, sementara rakyat kecil yang
hanya mencuri sebuah semangka atau beberapa gelintir kakao harus
mendekam di penjara. Masih banyak kasus-kasus lain yang merupakan bentuk
kezaliman di negeri ini. Bulan Rajab ini hendaknya dapat dijadikan
momentum untuk memerangi segala bentuk kezaliman dan ketidakadilan.
Sehingga, keadilan di negeri tercinta ini tidak hanya menjadi
angan-angan kosong.
Oleh karena itu, berangkat dari spirit yang dibawa oleh bulan Rajab ini,
marilah kita secara bersama-sama memupuk persaudaraan dan perdamaian,
menghindari segala bentuk kezaliman dan menegakkan keadilan serta
mengisinya dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang positif untuk
kemasalahatan diri kita sendiri dan masyarakat pada umumnya dengan
memperbanyak melakukan amal saleh, misalnya berpuasa, berzikir, dan
berdoa. Ingat bahwa dosa dan pahala dilipatgandakan pada bulan mulia
ini.
Penulis adalah: Musyrif (Ustadz Pembimbing) Ma'had Qudsiyyah Menara Kudus
Tulisan ini dimuat di KOLOM JUM'AT Harian Radar Kudus Jawa Pos, Edisi Jum'at 17 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar