Asal muasal
masuknya Islam di Jawa masih menjadi perdebatan, baik mengenai cara
penyebarannya (mode of transfer) dan cara transimisinya (mode of
transmission). Dari segi cara penyebarannya ada yang mempersoalkan tentang rute
penyebaran Islam (routes of introductian) dari tanah asalnya ke Indonesia. Di antaranya ada empat
teori yang menjelaskan mengenai hal ini. Pertama, teori yang menyebutkan bahwa
Islam masuk ke Indonesia dari tanah Arab lewat India. Kedua, teori yang
mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Arab lewat Persia. Ketiga, Islam
masuk ke Indonesia dari Arab lewat Persia, kemudian masuk ke Tiongkok dan baru
kemudian ke Indonesia. Teori terakhir menyatakan Islam masuk ke Indonesia
secara langsung dibawa oleh pembawanya dari tanah Arab.
Sementara itu, mengenai masuknya ke Jawa, juga masih diperdebatkan. Ada
yang menyatakan dari Gujarat, dari Bengal, dari
Malabar, dan dari Arab.
Namun, siapa yang
mengembangkannya, semua literatur sepakat bahwa Islam di
Jawa disebarkan dan dikembangkan oleh Walisanga.
Mereka menyebarkannya melalui
pesisir Jawa dan melembagakan Islam dalam sebuah peradaban Islam yang adaptatif
dengan tradisi lokal Jawa.
Pemilihan
pesisir Jawa bisa dimengerti karena peradaban manusia umumnya lahir dari sebuah
pemukiman di sepanjang tepi sungai atau laut, setelah mereka berpindah dari
kehidupannya di goa-goa. Lihatlah misalnya peradaban Mesir dibangun di deretan
tepi sungai Nil. Lutetia, cikal bakal Paris, berada di belah Sungai Seine.
Tepi sungai atau pantai kemudian didesain sedemikian rupa menjadi sebuah
tontonan eksotis yang merangsang untuk dinikmati. Sebut saja Bali dengan Kuta,
London dengan Sungai Thames, Hongaria dengan Budapest dan Rusia dengan St
Petersburg.
Sementara
pelembagaan Islam di Jawa dilakukan melalui jalur kebudayaan, perekonomian, dan
puncaknya politik yang ditandai dengan didirikannya kerajaan Islam pertama di
Demak.
Sebagai
sebuah term, arti Walisanga masih diperdebatkan. Kata 'wali'
terambil dari bahasa Arab berarti pembela, teman dekat, dan
pemimpin. Sedangkan 'sanga' bermakna
sembilan. Dengan demikian, Walisanga adalah Wali yang jumlahnya sembilan.
Pendapat lain menyebutkan bahwa kata sanga berasal dari kata 'tsana'
yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana
berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat. Dengan merangkum berbagai penafsiran di
atas, Ensiklopedi Islam mendefinisikan Walisanga sebagai sembilan wali yang
dianggap dekat dengan Allah SWT, terus menerus beribadah kepada-Nya, serta
memiliki kekeramatan dan kemampuan di luar kemampuan manusia biasa.
Meskipun
masing-masing tidak hidup sezaman, tetapi dalam pemilihan wilayah dakwahnya
tidak sembarangan. Penentuan tempat dakwahnya mempertimbangkan pula faktor
geostrategi yang sesuai dengan kondisi zamannya. Mereka
memilih pulau Jawa karena mereka melihat Jawa sebagai pusat kegiatan ekonomi,
politik dan kebudayaan di Nusantara pada saat itu. Sebagai pusat perniagaan,
tentunya Jawa banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari luar Jawa, sehingga
diharapkan para pedagang inilah yang nantinya akan menyebarkan ajaran Islam di
daerah asal mereka.
Formasi
penempatan Walisanga ini mengambil pola 5:3:1.
Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para wali. Di
sini ditempatkan 5 wali, dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda.
Maulana Malik Ibrahim, sebagai wali perintis, mengambil wilayah Gresik. Setelah
beliau wafat, wilayah ini dikuasai oleh Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil
posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di
Sedayu. Kelima tempat para wali tersebut adalah “kota bandar” atau pelabuhan.
Pengambilan posisi pantai ini adalah ciri Islam sebagai ajaran yang disampaikan
oleh para da’i yang berprofesi sebagai pedagang.
Di Jawa Tengah para wali
mengambil posisi di Demak, Kudus,
dan Muria. Penempatan para wali di Demak, Kudus, dan Muria ternyata tidak hanya ditujukan untuk
penyebaran Islam di Jawa Tengah semata, tetapi untuk kawasan Indonesia Tengah
seluruhnya. Saat itu, pusat kekuatan politik dan ekonomi memang sedang beralih
ke Jawa Tengah setelah Majapahit goyah akibat serangan Kediri pada tahun 1478.
Di Jawa Barat, proses Islamisasi
hanya ditangani seorang wali, Syarif Hidayatullah, yang setelah wafat dikenal
dengan nama Sunan Gunung Jati. Pada saat itu, penyebaran ajaran Islam di
wilayah Indonesia Barat, terutama di Sumatera dapat dikatakan telah merata bila
dibandingkan dengan kondisi di Indonesia Timur. Seperti sekarang hal yang
semacam itu masih dapat kita saksikan kenyataannya.
Adapun pemilihan kota Cirebon
sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati, tidak dapat dilepaskan
hubungannya dengan jalur perdagangan rempah-rempah sebagai komoditi yang
berasal dari Indonesia Timur, ataupun ke Indonesia Barat. Oleh karena itu,
pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial, politik dan ekonomi saat itu,
mempunyai nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan
keberhasilan penyebaran Islam selanjutnya.
Dengan latar
belakang tersebut, maka tak ada syak lagi
bahwa pulau Jawa kaya dengan tempat-tempat yang bernuansa sejarah dan religius.
Sejarah Walisanga bukanlah sejarah lokal, melainkan sejarah international,
karena adanya kontak dengan Gujarat, Cina, Persia,
dan Arab. Sementara nuansa religiusnya dapat kita rasakan sampai saat ini yang
ditandai oleh ritual masyarakatnya yang tidak jauh berbeda dengan pola yang
dikembangkan oleh mereka. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu
masyarakat pada masanya. Sebagian literatur malah menyebutkan bahwa yang dibawa
Walisanga bukan
hanya masalah keagamaan, melainkan juga perniagaan,
kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, dan pemerintahan.
Dalam kajian modern, Tradisi Islam yang diwariskan Walisanga
sering disebut sebagai tradisi filantropis. Kata filantropi
berasal dari bahasa Yunani, philos (cinta) dan anthropos (manusia), sehingga filantropi merupakan konseptualisasi
dari praktik memberi (giving),
pelayanan (service),
asosiasi (association)
dan secara
sukarela untuk menolong mereka yang membutuhkan.
Walisanga
dalam berdakwah menyadari bahwa sesuci dan
sekuat apapun sebuah keyakinan,
daya takluknya hanya bersifat pribadi. Karena itu masih membutuhkan
transformasi melalui struktur di luar dirinya, entah itu struktur budaya,
sosial, politik, ekonomi, atau struktur yang lain. Karena itu, mereka tidak
membombardir tradisi lokal, kebudayaan, agama dan struktur politiknya, tapi
mereka menyeruak masuk melalui spiritualitas yang ditransformasi secara cerdas
sesuai konteks lokal masing-masing.
Lihatlah misalnya Sunan Kudus melarang
umatnya menyembelih sapi karena disucikan umat Hindu. Itu
artinya Sunan Kudus tidak ingin terjadi perbenturan budaya, dan memilih model
akulturasi. Hal ini didukung oleh pembangunan Menara Kudus. Bangunan itu memiliki corak candi, tetapi ia dibangun pada masa Islam
dan sengaja diperuntukkan sebagai Menara adzan, sehingga jika diamati detil
ornamen bangunannya, tidak ditemukan ragam hias berupa makhluk hidup yang biasa
ditemukan dalam sebuah candi. Dengan demikian, bangunan tersebut merupakan
hasil akulturasi budaya hindu dengan Islam yang menghindari adanya penggambaran
makhluk hidup.
Di
sebelah barat Menara terdapat tempat wudlu. Menariknya, pada lubang pancurannya
terdapat ornamen berbentuk kepala arca yang berjumlah delapan.
Delapan pancoran ini mengandung filosofi Astasanghikanarga dalam agama Budha
yang berjumlah delapan, yaitu: pengetahuan, keputusan, perkataan, perbuatan,
penghidupan, daya usaha, meditasi, dan kontemplasi. Dengan demikian, akulturasi
Sunan Kudus tidak hanya dengan Hindu, tapi juga dengan Budha dan kebudayaan
lain yang berkembang di Kudus.
Pola
akulturasi yang berujung pada tradisi filantropis juga ditunjukkan oleh Sunan
Drajat yang membingkai tradisinya dalam catur piwulang;
Paring teken marang kang kalunyon lan wuto, Paring pangan marang kang
kaliren, Paring sandang marang kang kawudan, Paring payung marang kang kodanan. Sebenarnya
masih banyak tradisi filantropis yang ditunjukkan oleh Walisanga. Sayangnya,
banyak tradisi mereka yang tidak terbaca, atau hanya dipahami secara terpotong,
sehingga tidak menunjukkan keutuhan. Tugas kita sekarang adalah menggalinya
secara cermat, utuh, dan menstransformasikannya dalam peradaban global. []
[1] Ketua Umum Yayasan Pendidikan
Islam Qudsiyyah (YAPIQ). Makalah disampaikan di acara “Halqah; Islam Toleran dalam
Himpitan Gerakan Islam Transnasional”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar