Selasa, 03 Desember 2013

Syariah vis-a-vis Negara dalam Perjalanan Sejarah


Oleh Muhammad Nashirulhaq (XI D)[1]
Jangan sekali-kali melupakan sejarah (JAS MERAH).”
Ir.Soekarno

Kata-kata yang sudah sangat populer itu mungkin begitu sering terdengar di telinga kita. Jika kita renungi secara mendalam, memang pernyataan tersebut benar. Dengan mempelajari sejarah, banyak manfaat yang kita ambil, sehingga amat masuk akal jika dikatakan bahwa segala hal tidak bisa dipisahkan dari sejarahnya. Tak terkecuali dengan sejarah penerapan syariah di Indonesia.
  Sejarah penerapan syariat Islam di Indonesia sebenarnya sudah berlangsung sangat lama, bahkan sejak era pra-kolonialisme di Indonesia.
Secara umum, mengenai sejarah perkembangan upaya pelaksanaan syariat Islam di Indonesia hingga menjadi Perda Syariah dapat diklasifikasikan menjadi masa pra-kolonialisme, masa kolonialisme, menjelang kemerdekaan dan setelah kemerdekaan,  masa orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
Sejarah perkembangan SI di era pra-kolonialisme dimulai dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
Pada masa itu, dikarenakan adanya kekuasaan yang besar dari penguasa, maka dimungkinkan adanya penerapaan syrai’at dengan segala ruang lingkupnya dan dalam segala aspek kehidupan pada masa itu. Dalam arti bukan hanya sekedar dalam bidang privat seperti ibadah dan mu’amalat saja. Tapi sudah sampai pada taraf publik seperti jinayat, hudud, dan ta’zir.
Bahkan dalam salah satu catatan sejarah, pada masa ini syariah sudah diberlakukan sampai pada bentuk Negara. Pada masa ini berlaku khilafiyah Islam, karena kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia mendapat pengakuan dari kekhalifahan Utsmani (Ottoman) di Turki.[2]
     Selanjutnya  masuk dalam masa kolonialisme. Secara umum, periode ini bisa dikelompokkan  menjadi dua masa. Pada awal mula masa penjajahan Belanda hingga beberapa abad selanjutnya, syariat Islam berjalan sebagaimana sebelumnya.
Contohnya seperti yang terjadi pada kaum Padri di tanah Minang. Berdasarkan penelitian Abdul A’la, guru besar sejarah pemikiran politik Islam IAIN Sunan Ampel, kaum Padri di Minang sangat kukuh menjalankan ajaran Islam puritan. Bahkan Tuanku Imam Bonjol sebagai pemuka kaum Padri tetap menghalalkan perbudakan, karena teks tentang perbudakan memang ditemukan dalam Islam.[3]
     Pemerintah Hindia Belanda bahkan  pada tahun 1882 mendirikan peradilan agama yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk Islam. Keberadaan peradilan agama ini menjadi momentum pertama kali hukum Islam diformalkan di Indonesia oleh lembaga resmi.[4]
     Hal ini tak bisa dilepaskan dari peran dari Lodewijk Willem Christian van den Berg (1885-1927) yang mencetuskan teori Receptio in Complexu. Teori itu meyatakan bahwa   hukum Islam secara kese-luruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Dengan adanya teori ini, hukum Islam  tengah berada di atas angin pemberlakuannya dan sejajar dengan sistem hukum lainnya.
     Namun, pada masa selanjutnya, seiring adanya orientasi politik, Belanda mulai melalukan penyempitan bagi ruang gerak dan perkembangan hukum Islam.      Melalui konsep Het Indiche Adatrecht dengan tokohnya Van Vollenhoven (1874-1933) dan C.S. Hurgronje (1857 – 1936), Belanda  melahirkan teori Receptie. Dengan adanya teori itu, maka hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Artinya hukum Islam bisa  berlaku, apabila telah diresepsi oleh hukum adat .[5]
Atas pengaruh teori ini, maka pada tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad Nomor 116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dimiliki oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian.[6]
     Upaya penegakan syariat Islam memasuki babak baru pada masa pra kemerdekaan hingga sesudahnya. Hal ini tak lain karena dengan adanya ketentuan khusus mengenai formalisasi syariat Islam atau bahkan disahkannya sebagai dasar Negara, maka sudah hampir pasti syariat akan tegak di  bumi pertiwi ini bahkan sampai pada lingkup siyasah yang mengatur bentuk pemerintahan. Hal ini tentu sangat menggembirakan bagi para pejuang penegakan syariah, setelah lama terhalang-halangi oleh adanya kolonialisme.
     Menjelang kemerdekaan, kelompok tersebut mulai “beraksi”. Dimulai ketika pembahasan mengenai dasar Negara Indonesia, kelompok yang disebut nasionalis-Islami ini memperjuangkan ideo-loginya.
     Namun sayangnya, perjuangan mereka tidak berjalan mulus. Kelompok yang dikenal dengan ideologi nasionalis-sekuler menginginkan “kebangsaan” sebagai dasar Negara dan permasalahan agama, termasuk Islam hanya akan masuk dalam wilayah privat.
     Belum cukup sampai di situ, pertentangan dua kelompok kembali mencuat saat proses penggodogan Pancasila sebagai dasar Negara. Meskipun menurut Kyai Masykur[7] pembuatan Pancasila sendiri melibatkan tiga pemimpin muslim- yaitu KH Wahid Hasyim, KH Masykur sendiri dan KH Kahar Muzakkir-, namun dalam proses selanjutnya masih menimbulkan banyak pertentangan dan ketegangan.[8]
     Oleh karena itu, Soekarno kemudian memanggil Panitia 62[9] untuk kemudian dibentuk suatu panitia beranggotakan 9 orang, yang bertugas membahas kemungkinan kompromi lebih lanjut antara Islam dan nasionalisme. Hasilnya, pada 22 Juni 1945 lahirlah Piagam Jakarta. Meskipun begitu, perdebatan masih saja muncul.[10]
     Akhirnya, pada 18 Agustus 1945 dengan berbesar hati kaum muslim dalam hal ini diwakili oleh KH Wahid Hasyim mau menerima keputusan tentang Pancasila dan tidak berlakunya Piagam Jakarta.[11]
       Kegagalan umat Islam untuk mempertahankan Piagam Jakarta, ternyata tidak menyurutkan semangat untuk memperjuangkan negara Islam dengan dasar syariat Islam lewat jalur Konstituante. Kemudian, terjadi kembali perdebatan di Konstituante pada tahun 1955 tentang dasar Negara. Kelompok Islam tetap menginginkan Islam sebagai dasar negara, dan kelompok nasionalis tetap bertahan pada pendiriannya, Pancasila sebagai dasar Negara, setelah melalui beberapa perdebatan panjang dan disertai beberapa kali deadlock, akhirnya perdebatan ini diakhiri dengan adanya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1955 oleh Presiden Soekarno, di mana salah satunya menyatakan tekad untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945.[12]
       Namun keputusan ini juga tak bisa sepenuhnya dilepaskan dari persetujuan kaum muslim. Dalam catatan sejarah, Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri dari NU sudah memberikan lampu hijau kepada Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden, namun dengan catatan  agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai yang menjiwai Pancasila dan UUD 1945.[13]
       Selain di Konstituante, keinginan sebagian umat Islam atas Islam sebagai dasar Negara, diwujudkan dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan, seperti munculnya DI/TII di Jawa Barat, yang dipimpin Karto Suwiryo, di Aceh dipimpin oleh Daud Beureuh, dan di Sulawesi Selatan dipimpin Kahar Muzakar.
Selanjutnya dalam era orde baru, menurut Taufiq Nugroho, dapat dibagi pada dua fase, Pertama, antara tahun 1966-1985, pada masa ini Orde Baru dalam hubungannya dengan Islam dipenuhi dengan suasana kecemasan sekaligus harapan, dan mendukung Islam jalur kultur dan memotong jalur struktur.
Hal ini seperti yang dicontohkan Nazaruddin Umar, ia menggambarkan situasi ketika Pak Ali Murtopo tampil sebagai arsitek politik Soeharto. Dalam masa ini, membicarakan eksistensi ‘syariah’ bagaikan penuh dengan ranjau. Orang-orang harus ekstra hati-hati karena salah sedikit terjebak dalam perangkap isu SARA yang selalu dibayangi dengan akronim menakutkan dan berbagai ancaman lainnya dari Kopkamtib, suatu institusi yang mempunyai kewenangan besar untuk menangkap orang tanpa melalui proses hukum normal. [14]
Kedua, antara tahun 1985-1997, pada periode ini kebijakan Orde Baru lebih melunak terhadap Islam dan cenderung mengorganisir dan mengakomodasi kepentingan Islam.[15] Hal ini bisa dibuktikan dengan adaya peraturan perundang-undangan bernuansa syariah dan mengakomodasi kepentingan umat Islam,
Contohnya dalam bidang hukum keluarga misalnya, secara nasional, Indonesia memiliki: (1) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. (2) UU No. 1989 tentang Peradilan  Agama.  (3)  Inpres  No.  1/1991  tentang  kompilasi hukum  Islam  yang  memuat tentang perkawinan, waris, dan wakaf.
      Reformasi seakan menjanjikan era baru dalam upaya penegakan syariat di Indonesia, terutama setelah adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang kemudian disempurnakan dengan UU No 32 tahun 2004.
       Dengan memanfaatkan UU tersebut, syariat Islam diterapkan melalui cara berbeda dari sebelumnya. Setelah selalu sulit untuk merambah tingkat nasional, upaya penerapan syariat Islam mulai diterapkan di daerah-daerah.
      Penegakan syariat Islam di Indonesia semakin terasa isti-mewa dengan adanya Undang- Undang (UU) No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh pasal 3 dan 4, UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Aceh, dan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, dimana dengan adanya UU tersebut daerah istimewa Aceh bisa menerapkan syariah secara lebih luas, seperti pada lingkup jinayat misalnya.
       Selain itu, upaya penegakan syariat Islam juga tetap merambah tingkat nasional. Hal ini dibuktikan dengan adanya upaya beberapa partai seperti PPP, PBB, dan Partai Keadilan untuk kembali membicarakan isu mengenai penerapan Jakarta Charter di parlemen, namun lagi- lagi kalah suara.[16]
       Juga dibuktikan dengan adanya PP 28/1977 tentang Perwakafan. UU 17/1999 tentang Haji, UU 38/1999 tentang Zakat,
UU 41/2004 tentang Wakaf.

Penutup
Seperti itulah sejarah singkat penerapan syariah di Indonesia. Dengan adanya paparan ini, diharapkan kita bisa mengambil banyak pelajaran darinya. Selain  itu tulisan ini juga bermaksud menjadi manifestasi dari ucapan Bung Karno, yaitu “JAS MERAH”.


[1] Pemred majalah EL_QUDSY 20/2012. Tulisan ini dimuat di majalah tersebut, diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Qudsiyyah (PPQ) Kudus periode 2011/2012
[2] Disampaikan oleh  Dr. Hasyim Asy’ari dalam seminar “Islam Toleran dalam Himpitan Gerakan Islam Trans-Nasional” di gedung YM3SK PADA 11 DESEMBER 2011.
[3]Abd. A’la dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah Pemikiran Politi Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, Sabtu 17 Mei 2008. Ia menyampaikan pidato pengukuhan bertema “Genealogi Radikalisme Muslim Nusantara: Akar dan Karakteristik Pemikiran dan Gerakan Kaum Padri dalam Perspektif Hubungan Agama dan Politik Kekuasaan”.  [3] Lihat: Mudzakir, makalahRekonstruksi Dan Mapping Pemikiran Fiqh Indonesia Dari Salaf Ke Modern Dan Liberal, hlm.8.
[4]Lihat: Muhammad Fadhly Ase, makalah “Mengkaji Ulang Eksistensi Perda Bernuansa Syari’at: Sebuah Pendekatan Yuridis Formatif, hlm. 1
[5] Lihat: Mudzakir, makalah “Perda Bernuansa Syariah- Merespon Polemik Formalisasi Hukum Islam, 2011, hlm. 4.
[6] Lihat: Muhammad Fadhly Ase, Loc cit, hlm.2
[7] Menjabat sebagai Menteri Agama dari tahun 1946-1949 dan 1953-1955, anggota DPR sejak 1955, dan wakil ketua PPP pada 1973.
[8] Wawancara dengan Kyai Masykur tersimpan dalam kaset milik Arsip Nasional Indonesia tanggal 1 Oktober 1988.
[9] Panitia yang bertugas menyusun UUD bakal Republik, bagian dari BPUPKI. Lihat: B.J.Boland. 1971. The Struggle For Islam In Modern Indonesia.-The Hague: Verhandligen van het Koningklijk Vorr Taal-, Land en Volkenkunde, hal 16, sebagaimana dalam Andree Feillard. 1999. NU vis a vis Negara. (Yogyakarta; LKiS ).
[10] Lihat: B.J.Boland. 1982. The Struggle For Islam In Modern Indonesia- The Hague: Martinus Nijhoff. Hal 25 dan Marcel Boneff dkk. 1980. Pantjasila: trente anees de debats politiques en Indonesie. (Paris; Centre d’Etudes de Recherce Internasionales, Editions de la Maison des Sciences de l’Home. Hal  83-84 sebagaimana dalam Andree Feillard. Ibid.
[11] Andree Feillard, Loc cit. hal 39
[12] Lihat: Deliar Noer. 1987. Partai Islam Di Pentas Nasional 1945-1965. (Jakarta: PustakaUtama Grafiti) dan Gatra, 6 Mei 2006, 23.  .
[13] Andree Feillard, Loc cit. hal 59
[14] Nasaruddin Umar, makalah " Antara Negara & Agama Negara", bisa diakses di situs www.depag.go.id.
[15] Lihat: Taufiq Nugroho. 2003. Pasang Surut Hubungan Islam dan Negara Pancasila.Yogyakarta:Padma.89-97. 
[16] Lihat: Taufik Adnan Amal, Dkk. 2004, Politik Syariat Islam di Indonesia hingga Nigeria. Jakarta. Pustaka Alvabet. 62.  Dan juga Gatra, 6 Mei 2006, 23. 

Tidak ada komentar: