Oleh Muhammad Nashirulhaq (XI D)[1]
“Jangan sekali-kali melupakan
sejarah (JAS MERAH).”
Ir.Soekarno
Kata-kata yang sudah sangat populer
itu mungkin begitu sering terdengar di telinga kita. Jika kita renungi secara
mendalam, memang pernyataan tersebut benar. Dengan mempelajari sejarah, banyak
manfaat yang kita ambil, sehingga amat masuk akal jika dikatakan bahwa segala
hal tidak bisa dipisahkan dari sejarahnya. Tak terkecuali dengan sejarah
penerapan syariah di Indonesia.
Sejarah penerapan syariat Islam di Indonesia sebenarnya sudah
berlangsung sangat lama, bahkan sejak era pra-kolonialisme di Indonesia.
Secara umum, mengenai sejarah
perkembangan upaya pelaksanaan syariat Islam di Indonesia hingga menjadi Perda Syariah
dapat diklasifikasikan menjadi masa pra-kolonialisme, masa kolonialisme,
menjelang kemerdekaan dan setelah kemerdekaan,
masa orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
Sejarah
perkembangan SI di era pra-kolonialisme dimulai dengan munculnya
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
Pada
masa itu, dikarenakan adanya kekuasaan yang besar dari penguasa, maka
dimungkinkan adanya penerapaan syrai’at dengan segala ruang lingkupnya dan
dalam segala aspek kehidupan pada masa itu. Dalam arti bukan hanya sekedar dalam bidang privat
seperti ibadah dan mu’amalat saja. Tapi sudah sampai pada taraf publik seperti jinayat,
hudud, dan ta’zir.
Bahkan dalam salah satu catatan
sejarah, pada masa ini syariah sudah diberlakukan sampai pada bentuk Negara.
Pada masa ini berlaku khilafiyah Islam, karena kerajaan-kerajaan yang ada di
Indonesia mendapat pengakuan dari kekhalifahan Utsmani (Ottoman) di Turki.[2]
Selanjutnya
masuk dalam masa kolonialisme. Secara
umum, periode ini bisa dikelompokkan
menjadi dua masa. Pada
awal mula masa penjajahan Belanda hingga beberapa abad selanjutnya, syariat
Islam berjalan sebagaimana sebelumnya.
Contohnya seperti yang terjadi pada kaum Padri di tanah
Minang. Berdasarkan penelitian Abdul A’la, guru besar sejarah pemikiran politik
Islam IAIN Sunan Ampel, kaum Padri di Minang sangat kukuh menjalankan ajaran
Islam puritan. Bahkan Tuanku Imam Bonjol sebagai pemuka kaum Padri tetap menghalalkan
perbudakan, karena teks tentang perbudakan memang ditemukan dalam Islam.[3]
Pemerintah
Hindia Belanda bahkan pada tahun 1882
mendirikan peradilan agama yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk
Islam. Keberadaan peradilan agama ini menjadi momentum pertama kali hukum Islam
diformalkan di Indonesia oleh lembaga resmi.[4]
Hal ini
tak bisa dilepaskan dari peran dari Lodewijk Willem Christian van den Berg
(1885-1927) yang mencetuskan teori Receptio
in Complexu. Teori itu meyatakan bahwa hukum Islam secara kese-luruhan berlaku bagi
pemeluk-pemeluknya. Dengan adanya teori ini, hukum Islam tengah berada di atas angin pemberlakuannya
dan sejajar dengan sistem hukum lainnya.
Namun,
pada masa selanjutnya, seiring adanya orientasi politik, Belanda mulai
melalukan penyempitan bagi ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Melalui
konsep Het Indiche Adatrecht dengan
tokohnya Van Vollenhoven (1874-1933) dan C.S. Hurgronje (1857 – 1936), Belanda melahirkan teori Receptie. Dengan adanya
teori itu, maka hukum Islam
yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Artinya hukum
Islam bisa berlaku, apabila telah
diresepsi oleh hukum adat .[5]
Atas
pengaruh teori ini, maka pada tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan
Staatsblad Nomor 116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dimiliki oleh
Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah-masalah lain yang berhubungan
dengan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama
hanya pada masalah perkawinan dan perceraian.[6]
Upaya
penegakan syariat Islam memasuki babak baru pada masa pra kemerdekaan hingga
sesudahnya. Hal ini tak lain karena dengan adanya ketentuan khusus mengenai
formalisasi syariat Islam atau bahkan disahkannya sebagai dasar Negara, maka
sudah hampir pasti syariat akan tegak di
bumi pertiwi ini bahkan sampai pada lingkup siyasah yang mengatur
bentuk pemerintahan. Hal ini tentu sangat menggembirakan bagi para pejuang
penegakan syariah, setelah lama terhalang-halangi oleh adanya kolonialisme.
Menjelang kemerdekaan, kelompok tersebut
mulai “beraksi”. Dimulai ketika pembahasan mengenai dasar Negara Indonesia,
kelompok yang disebut nasionalis-Islami ini memperjuangkan ideo-loginya.
Namun sayangnya, perjuangan mereka tidak berjalan
mulus. Kelompok yang dikenal dengan ideologi nasionalis-sekuler menginginkan
“kebangsaan” sebagai dasar Negara dan permasalahan agama, termasuk Islam hanya
akan masuk dalam wilayah privat.
Belum cukup sampai di situ, pertentangan
dua kelompok kembali mencuat saat proses penggodogan Pancasila sebagai dasar
Negara. Meskipun menurut Kyai Masykur[7]
pembuatan Pancasila sendiri melibatkan tiga pemimpin muslim- yaitu KH Wahid
Hasyim, KH Masykur sendiri dan KH Kahar Muzakkir-, namun dalam proses
selanjutnya masih menimbulkan banyak pertentangan dan ketegangan.[8]
Oleh karena itu, Soekarno kemudian
memanggil Panitia 62[9]
untuk kemudian dibentuk suatu panitia beranggotakan 9 orang, yang bertugas
membahas kemungkinan kompromi lebih lanjut antara Islam dan nasionalisme.
Hasilnya, pada 22 Juni 1945 lahirlah Piagam Jakarta. Meskipun begitu,
perdebatan masih saja muncul.[10]
Akhirnya, pada 18 Agustus 1945 dengan
berbesar hati kaum muslim dalam hal ini diwakili oleh KH Wahid Hasyim mau
menerima keputusan tentang Pancasila dan tidak berlakunya Piagam Jakarta.[11]
Kegagalan umat Islam untuk
mempertahankan Piagam Jakarta, ternyata tidak menyurutkan semangat untuk
memperjuangkan negara Islam dengan dasar syariat Islam lewat jalur
Konstituante. Kemudian, terjadi kembali perdebatan di Konstituante pada
tahun 1955 tentang dasar Negara. Kelompok Islam tetap menginginkan Islam
sebagai dasar negara, dan kelompok nasionalis tetap bertahan pada pendiriannya,
Pancasila sebagai dasar Negara, setelah melalui beberapa perdebatan
panjang dan disertai beberapa kali deadlock, akhirnya perdebatan ini diakhiri
dengan adanya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1955 oleh Presiden Soekarno,
di mana salah satunya menyatakan tekad untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945.[12]
Namun keputusan ini juga tak bisa
sepenuhnya dilepaskan dari persetujuan kaum muslim. Dalam catatan sejarah, Idham
Chalid dan Saifuddin Zuhri dari NU sudah memberikan lampu hijau kepada Soekarno
untuk mengeluarkan Dekrit Presiden, namun dengan catatan agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya
sebagai yang menjiwai Pancasila dan UUD 1945.[13]
Selain di Konstituante,
keinginan sebagian umat Islam atas Islam sebagai dasar Negara, diwujudkan dalam
bentuk pemberontakan-pemberontakan, seperti munculnya DI/TII di Jawa Barat,
yang dipimpin Karto Suwiryo, di Aceh dipimpin oleh Daud Beureuh, dan di
Sulawesi Selatan dipimpin Kahar Muzakar.
Selanjutnya dalam era orde baru,
menurut Taufiq Nugroho, dapat dibagi pada dua fase, Pertama, antara
tahun 1966-1985, pada masa ini Orde Baru dalam hubungannya dengan Islam
dipenuhi dengan suasana kecemasan sekaligus harapan, dan mendukung Islam jalur
kultur dan memotong jalur struktur.
Hal ini seperti yang
dicontohkan Nazaruddin Umar, ia menggambarkan situasi ketika Pak
Ali Murtopo tampil sebagai arsitek politik Soeharto. Dalam masa ini,
membicarakan eksistensi ‘syariah’ bagaikan penuh dengan ranjau.
Orang-orang harus ekstra hati-hati karena salah sedikit terjebak dalam
perangkap isu SARA yang selalu dibayangi dengan akronim menakutkan dan
berbagai ancaman lainnya dari Kopkamtib, suatu institusi yang mempunyai
kewenangan besar untuk menangkap orang tanpa melalui proses hukum normal. [14]
Kedua, antara tahun
1985-1997, pada periode ini kebijakan Orde Baru lebih melunak terhadap Islam
dan cenderung mengorganisir dan mengakomodasi kepentingan Islam.[15] Hal ini bisa
dibuktikan dengan adaya peraturan perundang-undangan bernuansa syariah dan
mengakomodasi kepentingan umat Islam,
Contohnya
dalam
bidang hukum keluarga misalnya,
secara nasional, Indonesia memiliki: (1) UU No. 1/1974
tentang Perkawinan. (2) UU No. 1989 tentang
Peradilan Agama.
(3)
Inpres
No.
1/1991
tentang kompilasi
hukum Islam yang memuat tentang perkawinan, waris, dan wakaf.
Reformasi
seakan menjanjikan era baru dalam upaya penegakan syariat di Indonesia,
terutama setelah adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang
kemudian disempurnakan dengan UU No 32 tahun 2004.
Dengan memanfaatkan UU tersebut, syariat
Islam diterapkan melalui cara berbeda dari sebelumnya. Setelah selalu sulit
untuk merambah tingkat nasional, upaya penerapan syariat Islam mulai diterapkan
di daerah-daerah.
Penegakan syariat
Islam di Indonesia semakin terasa isti-mewa dengan adanya Undang- Undang (UU)
No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh pasal 3 dan 4, UU
No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Aceh, dan UU No. 11/2006 tentang
Pemerintahan Aceh, dimana dengan adanya UU tersebut daerah istimewa Aceh bisa
menerapkan syariah secara lebih luas, seperti pada lingkup jinayat misalnya.
Selain itu, upaya penegakan syariat Islam
juga tetap merambah tingkat nasional. Hal ini dibuktikan dengan adanya upaya beberapa
partai seperti PPP, PBB, dan Partai Keadilan untuk kembali membicarakan isu
mengenai penerapan Jakarta Charter di parlemen, namun lagi- lagi kalah suara.[16]
Juga dibuktikan dengan adanya PP 28/1977 tentang Perwakafan. UU 17/1999 tentang Haji, UU 38/1999
tentang Zakat,
UU 41/2004 tentang Wakaf.
UU 41/2004 tentang Wakaf.
Penutup
Seperti itulah sejarah singkat
penerapan syariah di Indonesia. Dengan adanya paparan ini, diharapkan kita bisa
mengambil banyak pelajaran darinya. Selain itu tulisan
ini juga bermaksud menjadi manifestasi dari ucapan Bung Karno, yaitu “JAS
MERAH”.
[1]
Pemred majalah EL_QUDSY 20/2012. Tulisan ini dimuat di majalah tersebut,
diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Qudsiyyah (PPQ) Kudus periode 2011/2012
[2]
Disampaikan oleh Dr. Hasyim Asy’ari dalam seminar “Islam
Toleran dalam Himpitan Gerakan Islam Trans-Nasional” di gedung YM3SK PADA 11 DESEMBER 2011.
[3]Abd. A’la dalam
pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah Pemikiran Politi
Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, Sabtu 17 Mei 2008. Ia
menyampaikan pidato pengukuhan bertema “Genealogi Radikalisme Muslim Nusantara:
Akar dan Karakteristik Pemikiran dan Gerakan Kaum Padri dalam Perspektif
Hubungan Agama dan Politik Kekuasaan”. [3] Lihat: Mudzakir, makalah
“Rekonstruksi Dan Mapping Pemikiran
Fiqh Indonesia Dari Salaf Ke Modern Dan Liberal”, hlm.8.
[4]Lihat: Muhammad Fadhly Ase,
makalah “Mengkaji Ulang Eksistensi Perda Bernuansa Syari’at: Sebuah Pendekatan
Yuridis Formatif, hlm. 1
[5] Lihat: Mudzakir, makalah “Perda
Bernuansa Syariah- Merespon Polemik Formalisasi Hukum Islam”, 2011, hlm. 4.
[6]
Lihat: Muhammad Fadhly Ase,
Loc cit, hlm.2
[7] Menjabat sebagai Menteri Agama
dari tahun 1946-1949 dan 1953-1955, anggota DPR sejak 1955, dan wakil ketua PPP
pada 1973.
[8] Wawancara dengan Kyai Masykur tersimpan
dalam kaset milik Arsip Nasional Indonesia tanggal 1 Oktober 1988.
[9] Panitia yang bertugas menyusun
UUD bakal Republik, bagian dari BPUPKI. Lihat: B.J.Boland. 1971. The
Struggle For Islam In Modern Indonesia.-The Hague: Verhandligen van het
Koningklijk Vorr Taal-, Land en Volkenkunde, hal 16, sebagaimana dalam
Andree Feillard. 1999. NU vis a vis Negara. (Yogyakarta;
LKiS ).
[10] Lihat: B.J.Boland. 1982. The Struggle For Islam In Modern
Indonesia- The
Hague: Martinus Nijhoff. Hal 25 dan Marcel Boneff dkk. 1980. Pantjasila:
trente anees de debats politiques en Indonesie. (Paris;
Centre d’Etudes de Recherce Internasionales, Editions de la Maison des Sciences
de l’Home. Hal 83-84 sebagaimana dalam Andree Feillard. Ibid.
[11] Andree Feillard, Loc cit. hal
39
[12] Lihat: Deliar Noer.
1987. Partai Islam Di Pentas Nasional 1945-1965. (Jakarta:
PustakaUtama Grafiti) dan Gatra, 6 Mei 2006, 23. .
[13] Andree Feillard, Loc cit. hal
59
[14]
Nasaruddin Umar, makalah " Antara Negara
& Agama Negara", bisa diakses di situs www.depag.go.id.
[15]
Lihat: Taufiq Nugroho. 2003.
Pasang Surut Hubungan Islam dan Negara Pancasila.Yogyakarta:Padma.89-97.
[16]
Lihat: Taufik Adnan Amal,
Dkk. 2004, Politik Syariat Islam di Indonesia hingga Nigeria. Jakarta.
Pustaka Alvabet. 62. Dan juga Gatra, 6
Mei 2006, 23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar