Mati satu tumbuh seribu. Pepatah ini agaknya cocok untuk
mengilustrasikan rentetan peristiwa berdarah di Indonesia. Satu bom
dijinakkan, bom yang lain diledakkan. Satu tersangka terbunuh, kader
baru tumbuh. Satu teknik terbongkar, muncul teknik baru yang lebih
segar. Jika bom Bali I diledakkan melalui timer dan remote, maka
selanjutnya dilakukan dengan bom buku dan bom bunuh diri.
Sebut saja peristiwa Paddy’s Cafe dan Sari Club Bali tahun 2002, JW
Mariott Mega Kuningan tahun 2003 dan ditambah Ritz Carlton pada 17 Juli
2009. Yang masih segar dalam benak kita, kasus Muhammad Syarif yang
meledakkan dirinya di Masjid Polwiltabes Cirebon beberapa waktu yang
lalu.
Mengapa semua ini harus terjadi? Ada banyak jawaban dan penjelasan,
tetapi agaknya belum menyentuh substansi persoalan. Ilmuan sosial
menganggap ini sebagai patologi sosial yang dipicu oleh ketidakadilan,
para politisi menganggap sebagai kegagalan sistem politik dan demokrasi,
para ekonom menganggap sebagai penghambat investasi, dan kaum agamawan
menganggapnya sebagai problem penafsiran. Masing-masing pihak senyatanya
belum menemukan formula yang pas untuk memposisikan agama dalam banjir
peradaban modern. Sebagian imun, yang lain amin, dan satunya lagi 'tidak
tahu' harus bagaimana.
Menurut anggapan pelaku, bom bunuh diri adalah salah satu bentuk jihad
melawan kedhaliman dan memerangi orang kafir demi tegaknya izzul Islam
wal muslimin. Pada dasarnya, prinsip tersebut betul. Setiap kita harus
berjuang melawan ketidakadilan dan memerangi kedhaliman. Masalahnya
kemudian adalah dengan cara apa cita ideal itu dicapai? Bolehkah
menggunakan cara-cara kekerasan?
Belajar kepada Nabi Muhammad, beliau memberi contoh kepada kita untuk
menyelesaikan persoalan dengan perilaku santun, bukan hanya kepada
kawan, bahkan terhadap lawan. Besarnya Islam tidak karena keangkuhan,
tapi karena kelembutan. Nabi Muhammad hadir di bumi bukan untuk membunuh
mereka yang salah, tapi untuk menyempurnakan akhlak mereka.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- :« إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ »
“Bahwasanya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak”
Al-akhlaqul al-karimah didedikasikan untuk kebesaran Islam itu sendiri
sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan, nilai kemanusiaan,
memberi rasa aman, menganjurkan perdamaian, menentang penindasan,
kesewenang-wenangan dan segala bentuk ketidakadilan.
Namun, kadang-kadang, untuk melaksanakan semua ini tidak cukup hanya
dengan himbauan moral belaka, akan tetapi butuh tindakan nyata. Tindakan
inilah yang sering disebut jihad. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa jihad
ialah keseriusan untuk mencurahkan potensi demi menegakkan
‘kalimatullah’ sehingga menemukan kebahagiaan di sisi-Nya. Caranya,
sebagaimana dikatakan Ismail Al Bursuwy, adalah dengan membuang
jauh-jauh sifat egoisme sehingga jihad benar-benar dalam kerangka agama,
bukan bias nafsu. Dari sinilah kita bisa memahami tafsiran al-Qurtubi
bahwa ada banyak ragam jihad, seperti berjuang untuk menegakkan
kebenaran, melawan hawa nafsu, mencegah kemungkaran dan menolak
kekufuran. (Bidayah Al Mujtahid, I, 259; Ruhul Bayan, II, 388, Al-Jami’
Li Ahkaamil Qur’an, I, 3800)
Singkatnya, kata ‘Jihad’ mengandung dua makna; esoteris (batin) dan
eksoteris (lahir). Yang pertama menunjukkan serangkaian perlawanan
terhadap sesuatu yang tidak nampak secara fisik, seperti melawan
kebodohan dan melawan hawa nafsu. Dalam konteks ini, bahasa yang sering
dipakai untuk melawan kebodohan adalah ijtihad dan mujahadah untuk
melawan nafsu. Sedang makna eksoteris menunjuk pada serangkaian
perlawanan kepada musuh yang kasat mata, seperti melawan orang kafir,
munafik dan orang-orang murtad. (Tafsir Ayat Ahkam, 95)
Kebenaran prinsip di atas bukanlah teori belaka. Fakta sejarah
membuktikan bahwa selama tiga belas tahun di Makkah, Nabi dan
pengikutnya selalu menganjurkan perdamaian, menebarkan kasih sayang dan
menjunjung tinggi nilai keadilan. Akan tetapi, selama itu pula mereka
mendapatkan perlakuan yang tidak adil; dihina, disiksa, dipinggirkan,
dan diperlakukan secara tidak manusiawi.
Dalam kondisi seperti ini, Nabi sadar, bahwa konfrontasi fisik bukanlah
jalan keluar yang baik. Untuk menata sebuah peradaban, yang diperlukan
bukanlah kekuatan senjata, tapi penataan sistem nilai. Oleh karenanya,
pilihan Nabi bukanlah perang, tapi berhijrah. Hijrah bukanlah sekedar
proyek perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan tetapi
menyiratkan sebuah pandangan ontologis, yakni proses terbentuknya sebuah
komunitas muslim dari tradisi pagan (berhala) ke tradisi tauhid yang
kemudian dikenal dengan konsep ‘Ummah’. Konsep Ummah dalam Islam
mengandung 5 nilai dan 4 sifat dasar. Lima nilai tersebut adalah
universalisme, egalitarianisme, non etnosentrisme, totalitarianisme, dan
transendentalisme. Sedangkan 4 nilai dasarnya adalah komprehensif,
kontekstualis, dinamis dan organis. (Kewargaan Dalam Islam, 132; Islam
Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, 219; Sejarah Sosial Ummat
Islam, 39)
Pembentukan komunitas bersama (Ummah) di Madinah, bukanlah sesuatu yang
lahir secara mengalir, tetapi melalui sejumlah perjuangan yang dihiasi
oleh hiruk-pikuk pengorbanan. Kekhawatiran akan semakin besarnya
pengaruh ideologi Nabi Muhammad telah menyebabkan kepanikan di pihak
paganisme Quraish. Mereka lalu mencari-cari alasan untuk memerangi Nabi
Muhammad. Dari tiga peristiwa perang besar Badar, Uhud, dan Khandaq
terlihat bahwa pemicu perang adalah kekhawatiran akan eksistensi Islam
yang semakin kuat. Sebuah sikap yang mengisyaratkan pertarungan idelogi
tauhid melawan syirik, kebenaran melawan kebatilan. Karena itulah, ayat
yang pertama kali turun dalam konteks perang adalah surat al-Hajj ayat
39
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu”
Legalitas perang diatas, secara ontologis, melahirkan dua visi besar.
Pertama, menegakkan idealisme Islam untuk memberantas ketidakadilan.
Dalam konteks inilah sering bias antara Islam dengan teror. Kata ‘teror’
berasal dari bahasa latin “terrere” yang berarti menjadikan gemetar dan
ngeri. Dalam istilah umum teror berarti usaha menciptakan ketakutan,
kengerian dan kekejaman. Jadi makna terorisme adalah paham yang
menggunakan kekerasan, kengerian, dan ketakutan untuk mencapai tujuan
tertentu. Islam jelas tidak dalam posisi ini. Dalam al-Qu’an memang ada
kata nadzir (menakuti), namun konteksnya bukan meneror warga, tapi
memberi peringatan atas pedihnya siksa neraka bagi para pembangkang. Hal
ini termaktub dalam ayat Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 119
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيمِ
“Sungguh Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai
pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan engkau tidak akan
dimintai (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka.
Kedua, visi pembentukan peradaban. Pembangunan sebuah kota tidak bisa
dilepaskan dari moralitas. Di atas pilar moralitas inilah peradaban
Islam sedikit demi sedikit mulai dibangun. Nabi mula-mula membenahi
pemikiran teologis warga kota, kemudian merambah ke aspek lain yang
lebih riil seperti distribusi kekayaan dan pemerataan kemakmuran. Maka
diperkenalkanlah konsep zakat, infaq, shodaqoh dan kaffarat, termasuk di
dalamnya konsep ghanimah, fay’ dan jizyah. (Jurnal Ulumul Qur’an, no V,
th. 1993, 54.)
Jika makna jihad dalam Islam demikian adanya, lalu bagaimana status
mereka yang jihad dengan bom bunuh diri? Marilah kita perhatikan firman
Allah:
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى
التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”
(Al-Baqarah; 195).
Ayat ini jelas melarang tahlukah (menjatuhkan diri dalam kebinasaan).
Sejauh ini, ada 5 penafsiran tentang makna tahlukah. Pertama,
meninggalkan infaq; kedua, berperang dengan tanpa bekal; ketiga,
meninggalkan jihad; keempat, putus asa dari rahmat Allah; dan kelima
sengaja mati karena melawan pasukan tak sebanding.
Tindakan bom bunuh diri (mughomaroh) dapat dikategorikan sebagai
tindakan melawan pasukan yang tak sebanding, sehingga masuk dalam
jangkauan tindakan menceburkan diri ke dalam kebinasaan yang terlarang.
(al-Jami’ li ahkamil Qur’an, II, 362; ahkamul Qur’an, I, 116).
Di sisi lain, sasaran bom bunuh diri sifatnya acak sehingga tidak bisa
mendeteksi mana muslim dan mana non muslim, mana yang halal dibunuh dan
mana yang tidak. Maka dari aspek ini Islam jelas melarangnya. Ada
beberapa kriteria orang yang haram dibunuh ketika jihad perang. Mereka
adalah wanita, anak-anak, pendeta, orang berusia lanjut, pelayan,
pedagang dan petani. Dengan demikian, tindakan bom bunuh diri hukumnya
haram, dan bukanlah jihad yang dikonsepsikan ulama. (Nihayatul Muhtaj,
XXVI, 409; Bada’iusshani’, XV,; al-Qurtubi, II, 344)
Konsep jihad sesungguhnya konsep yang santun. Ia tidak membenarkan
tindakan machiavellis (menghalalkan segala cara) untuk memetik sebuah
kemenangan. Setiap akan berangkat ke medan laga, Rasulullah senantiasa
mewanti-wanti agar tidak merusak pohon dan memerangi orang-orang lemah
seperti orang tua renta, perempuan dan anak-anak. Jika prinsip ini
dilanggar, fiqh jinayat mengategorikan aksi teroris kedalam bingkai
hirabah, yakni tindakan yang dapat mengancam harta ataupun jiwa orang
lain. (al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamy; Muqaranah bi al-Qonun al-Wadh’iy,
I, 656-660)
Namun demikian, hanya berkonsentrasi untuk memerangi terorisme tanpa
melihat tindakan lain yang menyebabkan teror itu muncul adalah salah,
dan hanya akan melahirkan kekerasan yang lebih parah. Jangan-jangan kita
sedang memerangi diri sendiri. Ibaratnya, berperang melawan “musuh
dalam cermin”, kita dibayang-bayangi kejahatan diri sendiri yang bisa
jadi lebih jahat dari teroris.
Akhirnya, sebuah tatanan global yang mencerminkan keadilan dan
nilai-nilai kemanusiaan universal harus segera ditata. Menghentikan
dominasi Barat, pemaksaan atas nama demokrasi, menciptakan kemakmuran
bersama dan keadilan untuk semua harus lebih mendapatkan prioritas
ketimbang berburu teroris. Ini memang membutuhkan waktu yang relatif
lama, tapi hasilnya akan lebih manusiawi dan relatif dapat menghadirkan
kebahagiaan bersama. [eLFa]
*Tulisan ini dimuat di Buletin EL-FAJR, Edisi 6 Mei 2011. Diterbitkan oleh Persatuan Santri Ma'had Qudsiyyah (PSMQ) periode 2011-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar