Setiap orang pasti akan sangat senang jika mendapatkan sesuatu atau
kiriman yang begitu istimewa, seperti sebuah hadiah atau semacamnya.
Apakah hal itu hanya berlaku pada orang-orang yang masih mendiami bumi?
Jawabnya tidak. Karena orang yang sudah meniggal pun bisa menerima
kiriman serupa, mungkin malah lebih istimewa yang bisa membuatnya sangat
bahagia. Tak sedikit cara untuk memberi kiriman pada orang yang sudah
wafat, di antaranya dengan mengadakan haul.
Haul berasal dari kata al-haulu yang berarti satu tahun. Kata haul dapat dijumpai dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 240:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan
meniggalkan istri hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya (yaitu)
diberi nafkah hingga satu tahun. (QS. al-Baqarah, 240)
Dari uraian di atas, kata ‘haul’ berkembang menjadi istilah Indonesia
yang lazim dipakai oleh komunitas muslim dengan arti memperingati hari
wafat seseorang yang diadakan setiap satu tahun sekali (biasanya
disertai selamatan arwah), dalam acara ini semua keluarga diundang.
(KBBI, 514).
Pada zaman Rasulullah, tak ada istilah haul yang diartikan sebagai
peringatan kematian. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang pertama
kali memperkenalkan tradisi itu? Pertanyaan ini memang terlihat begitu
sederhana. Namun, masih terlalu sulit untuk menjawab masalah yang
ternyata sangat pelik itu. Menurut Agus Sunyoto (seorang pengamat
sejarah dan budaya) haul pertama kali dilakukan oleh kerajaan Campa,
Kamboja. Sayangnya pendapat ini tak bisa dijadikan pegangan yang kuat
yang bisa digunakan sebagai rujukan. Dikarenakan sumber yang didapatnya
belum jelas.
Pada awalnya, haul diadakan hanya untuk memperingati hari wafat para
tokoh ataupun ulama yang biasanya dilakukan dengan berdzikir, membaca
sholawat, atau al-Qur’an. Bisa juga dengan membacakan riwayat hidup atau
mengenang sepak terjang orang yang dihauli dalam rangka memperjuangkan
agama. Dengan maksud supaya mampu menjadi suri tauladan, setidaknya bisa
menjadi motivasi bagi para generasi yang masih tergolong muda. Namun,
di era sekarang ini haul bukan lagi terikat untuk para tokoh maupun
ulama saja. Siapapun melakukannya, karena tujuan dan maksud dari haul
sendiri hanya satu yaitu mendoakan orang yang sudah meninggal.
Kalau sekilas, haul memang terlihat begitu baik untuk dilakukan dan
dilestarikan. Namun, masih terlalu dini untuk membenarkannya. Sebab
sejauh mata memandang, tak ditemukan ta’bir yang secara tegas memberikan
bukti bahwa tradisi ini ada pada masa Rasulullah. Dikarenakan sangat
besar kemungkinan bila haul ini dikategorikan sebagai bid’ah yang
dilarang oleh Rasulullah. Sudah wajar jika ada sebagian orang-orang yang
sensitif dengan hal seperti ini. Tak sampai di situ, mereka juga
mengecam tradisi ini. Tapi ada salah satu hadits yang konteksnya tentang
haul:
عَنِ اْلوَاقِدِى قَالَ: كَانَ النَّبِـىُّ يَـزُوْرُ شُهَدَاءَ اُحُدٍ
فِيْ كُلِّ حَوْلٍ وَاِذَا بَلَغَ رَفَعَ صَوْتـَهُ فَيَقُوْلُ: سَلاَمٌ
عَلَيْكُمْ ِبـمَا صَبَرْتـُمْ فَـنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ . ثُمَّ اَبُوْ
بَكْرٍ يَـفْعَلُ مِثْلَ ذٰلِكَ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ
Al-Waqidy berkata: “Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam.
berziarah ke makam syuhada’ uhud pada setiap tahun, apabila telah sampai
di makam syuhada’ uhud beliau mengeraskan suaranya seraya berdo’a:
keselamatan bagimu wahai ahli uhud dengan kesabaran-kesabaran yang telah
kalian perbuat, sungguh akhirat adalah tempat yang paling
nikmat/sebaik-baik rumah peristirahatan. Kemudian Abu Bakar pun
melakukannya pada setiap tahun begitu juga Umar dan Utsman.(Mukhtashar
Ibnu Katsir, II, 279, Syarah Nahj al-Balaghah,399)
Dalil inilah yang kemudian menjadi dasar dari dilaksanakannya acara
tahunan itu guna mendoakan ulama, sesepuh, dan orang tua kita. Maka dari
itu, dapat disimpulkan bahwa haul hukumnya sunah. Karena di dalamnya
terdapat do’a, tahlil, istighfar, dan ritual Islam lainnya. Dalam acara
haul, juga dianjurkan untuk berziarah ke makam orang yang dihauli.
Seperti dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ
عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ
الْأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ
وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ النَّبِيذِ إِلَّا فِي سِقَاءٍ فَاشْرَبُوا فِي
الْأَسْقِيَةِ كُلِّهَا وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا
Dahulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur, maka sekarang ziarahilah.
Dahulu aku melarang kalian untuk menyimpan daging hewan kurban lebih
dari tiga hari, maka sekarang simpanlah selama jelas bagimu manfaatnya.
Dahulu aku melarang kalian membuat anggur selain dalam qirbah, maka
sekarang minumlah dari segala tempat air, asal jangan kamu minum yang
memabukkan. (Sahih Muslim, X, 165)
Dalam disiplin ilmu ushul fiqh, ada sebuah keterangan yang menerangkan
bahwa, jika ada amr (perintah) yang terletak setelah nahy (larangan)
maka hukumnya menjadi mubah. (Lubb al-Ushul, 65)
Kalau bicara tentang siapa yang berhak dihauli, tentunya umat muslim tak
terkhususkan bagi tokoh agama, perintis, atau para pembesar lainnya.
Karena seseorang yang sudah meninggal akan sangat bahagia jika
orang-orang yang ditinggalkan almarhum mau mendoakannya. Dikarenakan
orang yang sudah meninggal, semua amalnya terputus kecuali tiga perkara
(ilmu yang bermanfaat, shodaqoh jariyyah, dan putra yang saleh) (Syarah
An-Nawawi Ala Muslim, I, 25).
Membuat bahagia orang yang sudah meninggal bukan hanya lewat doa. Masih
ada cara lain untuk membuatnya tentram. Di antaranya, mengenang
masa-masa hidupnya, bersedekah dengan niat sedekah dari almarhum, dan
masih ada yang lainnya seperti anjuran-anjuran para ulama.
Sebuah hadits menyatakan:
اذْكُرُوا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكُفُّوا عَنْ مَسَاوِيهِم
Ingatlah kebaikan-kebaikan orang yang telah mati, dan hindarilah menyebut cela mereka. (al-Jami’ as-Shaghir, I, 138)
Untuk berbelasungkawa, Islam memiliki batasan tersendiri, yaitu tidak
boleh menangis dengan menjerit-jerit, apalagi sampai menyobek-nyobek
pakaian karena perbuatan ini adalah perbuatan orang-orang jahiliyyah.
Tapi tidak masalah jika tangisan tersebut tanpa mengeluarkan suara atau
jeritan sama sekali, karena tangisan itu dengan air mata, bukan dengan
suara. (at-Tadzhib, 88)
Sebagai sesama muslim, kita dilarang menyebut cacat orang yang sudah
meninggal. Diperbolehkan menyebut cacat seseorang yang sudah wafat jika
memang demi kemaslahatan. Misalnya, cara meninggalnya seorang zalim yang
tak wajar. Agar bisa menjadi pelajaran bagi semua orang agar tidak
berbuat zalim. (Faidlul Qadir, I, 457).
Dari keterangan yang telah dikupas tadi, kita bisa mengambil hikmah
atau manfaat dari haul yang begitu agung. Seperti, mengenang perjalanan
hidupnya sehingga bisa menjadi contoh yang baik bagi kita untuk menjadi
lebih baik ke depannya. [eLFa]
Buletin El-Fajr Edisi 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar